JAKARTA, 6 OKTOBER 2011
Menurut Achmad Yakub, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) pasca diberlakukannya Perjanjian Perdagangan Bebas Asean-China (ACFTA) 1 Januari 2010, lebih dari 6600 komoditi dari China akan masuk ke Indonesia tanpa dikenai tarif masuk sama sekali (0 persen).
Komoditi yang masuk dalam kategori nol persen tersebut diatur dalam skema Early Harvest Program (EHP) meliputi hewan hidup, daging konsumsi, ikan, susu, buah-buahan dan sayuran yang dikonsumsi kecuali jagung manis. Setidaknya terdapat 530 pos tarif lainnya yang resmi diberlakukan melalui Keputusan Menteri Keuangan RI No. 355/KMK.01/2004 21 Juli 2004 tentang penetepatan tariff bea masuk dalam skema EHP.
Lebih jauh lagi, menurut Yakub akibat langsungnya dari skema tersebut untuk produksi kentang adalah volume impor kentang dari China terus meningkat sementara Volume ekpsort Indonesia terus menurun. Padahal tahun 2006, volume ekspor kentang Indonesia mampu melampaui volume impor kentang sebesar 54.868 ton, namun kemudian volume dan ekspor kentang Indonesia terus menurun.
Saat ini hanya produk pangan yang strategis seperti beras, kedelai dan jagung manis yang masih memiliki aturan impor yang cukup ketat, itupun selalu impor dengan berbagai alasan. Walau sempat dibuka hingga nol persen selama beberapa bulan di awal 2011, pemerintah kembali mengembalikan tariff beras menjadi Rp 450 per kg per 1 April 2011.
Sayangnya tambah Yakub, hal ini tidak berlaku bagi komoditas pangan dan pertanian lainnya. Lebih lanjut juga tidak ada standar harga jual dalam negeri, yang menyebabkan produk impor ini bisa dijual jauh dibawah biaya produksi dalam negeri.
Menurut pedagang kecil di Jawa Tengah, satu truk kentang lokal yang biasanya habis terjual dalam 2-3 hari, kini baru habis hingga tujuh hari. Hal ini menyebabkan susut dan busuk meningkat. Petani banyak yang menunda panen hingga ada perbaikan harga, dengan resiko diserang hama sehingga kualitas memburuk.
"Kalau pemerintah terus memperbolehkan impor kentang, harga kentang lokal akan terus merosot, dan petani akan mengalami kerugian yang amat besar," kata Mudasir seorang petani kentang dari Dataran Tinggi Dieng(6/10).
Lebih Jauh ditambahkan Gunawan, Sekjen Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), petaka petani Indonesia tidak hanya diserbu impor berbagai bahan pangan murah dari luar tapi yang juga paling mendasar adalah ketiadaan lahan untuk berproduksi.
Info lebih lanjut:
Achmad Ya'kub | Ketua Dept. Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI)