Ada kesedihan yang serupa dalam dua perpisahan yang berbeda—perceraian dan kematian. Keduanya adalah pintu yang menghantar kita pada ruang hampa, tempat seseorang yang pernah menjadi bagian dari denyut hidup tiba-tiba tiada.
Bedanya, yang satu pergi secara fisik, sementara yang lain pergi dalam kehadirannya. Namun, keduanya sama-sama meninggalkan luka yang dalam, seolah dunia tak pernah benar-benar membaik setelahnya.
Karena keduanya adalah pemutusan.
Perceraian, bagi saya adalah kematian kecil—kematian sebuah janji dan komitmen, sebuah ikatan yang saya sempat yakini itu abadi. Sementara kematian, adalah perceraian terakhir, di mana tak ada lagi kata-kata yang tersisa untuk diucapkan.
Ya. Keduanya membawa duka yang tak terukur, bukan hanya karena kehilangan, melainkan juga karena kehilangan itu memaksa kita untuk berhadapan dengan ketidakberdayaan.
Kita tak bisa memaksa seseorang untuk tetap mencintai kita, sebagaimana kita tak bisa meminta kematian untuk mengembalikan yang pergi.
Dan dalam kesunyian yang tersisa, saya bagai dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang menggugah jiwa, "Kok gini amat? Apa artinya semua ini? Gimana move on-nya ya?"
Menderita sih iya. Tapi, di sinilah, ternyata, mengalir dan terukir hikmah yang tak terduga yang telah Allāh siapkan.
Ternyata—pertama, saya jadi belajar tentang ketahanan. Umpama besi yang ditempa dalam api, jiwa yang pernah hancur justru sering kali muncul lebih kuat. Kita jadi sadar bahwa air mata tidak membunuh kita, bahwa kita mampu bertahan meskipun awal mula rasanya mustahil.
Kedua, yaitu kita tumbuh dalam kedewasaan emosional. Duka mengajarkan kita bahwa cinta dan kehilangan adalah laksana dua sisi mata uang yang sama. Kita jadi lebih bijak dan sekaligus realistis di dalam mencinta dan menyukai seseorang, lebih peka terhadap rasa sakit orang lain, dan lebih berani untuk jujur pada diri sendiri.
Ketiga, adalah kita memahami arti kehadiran. Entah itu kepergian karena perceraian atau kematian, kita tersadar dan atau disadarkan betapa berharganya sebuah pelukan, sebuah percakapan sederhana, atau sekadar kebersamaan serta komunikasi yang dulu kita anggap remeh. Hidup tiba-tiba terasa lebih pendek, dan kita pun belajar untuk tidak lagi menyia-nyiakannya.
Dan yang terpenting, kita tuh jadi belajar melepas. Iya, rela melepas bukan karena kita tak lagi peduli, melainkan karena kita maklum dan mafhum bahwa ada hal-hal yang tak bisa kita genggam selamanya. Melepas adalah bentuk penerimaan tertinggi—bahwa hidup ini bukan tentang mengontrol, melainkan tentang merasakan, belajar, dan terus berjalan.
Perceraian dan kematian mungkin tak pernah membuat hidup "lebih baik," tetapi mereka membuat kita lebih dalam menghikmahi hidup. Mereka mengajarkan bahwa cinta dan kehilangan adalah bahagian dari proses kemenjadian manusia. Dan, meskipun duka itu berat, ia juga adalah guru yang tak tergantikan—membentuk kita menjadi insan yang lebih utuh, lebih manusiawi.
Maka, jika hari ini kamu sedang menanggung salah satu dari keduanya, ingatlah: Kamu tidak sendiri. Setiap air mata yang jatuh adalah bukti bahwa Anda pernah mencinta dengan sungguh. Dan dari sanalah, perlahan-lahan—in syā’ Allāh, makna baru akan tumbuh. Āmīn.