BAGAIMANA kita memberikan Pujian yang Arif dan Menjaga Perasaan?

DALAM kehidupan sehari-hari kita, pujian adalah salah satu bentuk komunikasi yang mampu menjalin keakraban, meningkatkan kepercayaan diri, dan mempererat hubungan antarmanusia. Namun, seperti pedang bermata dua, pujian yang tidak tepat dapat memicu kesalahpahaman, membuat orang lain merasa tidak nyaman, atau bahkan dianggap kurang sopan. Kekhawatiran untuk tidak terkesan cabul, mesum, atau tidak menghormati saat memuji, terutama kepada seorang perempuan, mencerminkan kesadaran sosial yang kian meningkat di era modern. Ini bukanlah sekadar paranoia, melainkan cerminan dari kepekaan terhadap batasan interpersonal dan norma budaya yang terus berkembang. Bagaimana kita dapat memuji dengan arif, menjaga perasaan lawan bicara, sekaligus tetap tulus dalam menyampaikan apresiasi? Jawabannya terletak pada pemilihan kata yang bijak, pemahaman konteks, dan kepekaan terhadap respons orang lain.

Pertama, pujian yang arif adalah pujian yang berfokus pada kualitas, usaha, atau pencapaian seseorang, bukan semata pada aspek fisik yang bersifat personal. Misalnya, mengatakan, “Kerja kerasmu di proyek ini benar-benar mengesankan, hasilnya luar biasa!” jauh lebih netral dan bermakna ketimbang pujian yang berfokus pada penampilan, seperti “Kamu cantik banget hari ini.” Pujian tentang usaha atau keterampilan menunjukkan bahwa Anda menghargai kerja keras atau karakter seseorang, yang cenderung diterima dengan baik di berbagai konteks, baik profesional maupun kasual. Contoh lain, “Aku suka cara kamu mendengarkan orang lain, aku merasa amat dihargai,” tidak hanya memuji kepribadian, tetapi juga membuka ruang untuk interaksi yang lebih hangat dan bermakna. Jika pujian kita tentang penampilan memang diperlukan, kita dapat coba gunakan pendekatan yang umum dan tidak terlalu intim, misalnya, “Pilihan outfit kamu hari ini keren, cocok banget sama vibe kamu, deh!” Pendekatan ini mudah-mudahan, niscaya menjaga pujian tetap sopan dan terhindar dari ketidaknyamanan.

Kedua, interaksi sosial yang sukses bergantung pada kemampuan kita membaca konteks dan penyesuaian diri kita dengan situasi. Memberikan pujian bukan sekadar soal apa yang kita katakan, tetapi juga bagaimana, kapan, dan kepada siapa pujian itu kita sampaikan. Dalam hubungan yang belum terlalu dekat, seperti dengan rekan kerja atau kenalan baru, pujian yang netral dan terkait konteks situasi akan terasa lebih natural. Misalnya, di lingkungan kerja, mengatakan, “Presentasi kamu tadi jelas dan bikin orang antusias,” adalah lebih tepat ketimbang kita memuji sesuatu yang bersifat personal. Sebaliknya, dalam hubungan yang sudah akrab, seperti dengan teman dekat, pujian yang sedikit lebih personal mungkin masih diterima dengan baik, asalkan tetap tulus dan tidak berlebihan. Selain itu, bahasa tubuh dan nada suara memainkan peran penting. Nada yang santai, kontak mata secukupnya serta teduh, dan sikap yang tidak agresif akan membuat pujian terasa tulus dan tidak memaksa. Jika respons lawan bicara tampak canggung, ini bisa jadi sinyal untuk menyesuaikan pendekatan di masa depan.

Lebih jauh, pujian yang arif juga melibatkan interaksi dua arah. Alih-alih hanya melempar pujian lalu beralih topik, mudah-mudahan cara berikut ini dapat kita coba menggunakannya sebagai jembatan supaya percakapan bisa lebih mendalam. Misalnya, setelah mengatakan “Cara kamu 'nulis artikel itu keren banget,” kita lanjutkan dengan, “Ada tips buat yang masih belajar 'nulis kayak saya?” Ini tidak hanya menunjukkan ketertarikan kita pada keahlian mereka, tetapi juga mengundang mereka untuk berbagi. Sehingga, interaksi terasa lebih alami dan tidak seperti basa-basi. Pendekatan ini, semoga--na`uudzu bil-Laahi mindzaalik--membantu mengurangi risiko pujian kita dianggap sebagai upaya untuk “menggoda” atau memiliki motif terselubung.

Namun, kekhawatiran berlebihan tentang bagaimana pujian diterima atau tidak, bisa jadi adalah tanda overthinking atau kecemasan sosial belaka. Nah, untuk mengatasinya, penting untuk melatih kepercayaan diri dan mengingatkan diri kita bahwa niat kita adalah menghargai, menghormati, bukan untuk membuat ketidaknyamanan. Latihan sederhana, seperti memuji teman dekat atau sahabat atau bestie atau karib-kerabat dekat, dapat membantu kita menemukan gaya yang nyaman.

Refleksi diri juga penting ya: jika kita merasa cemas, tanyakan pada diri sendiriu, “Apa yang membuatku takut disalahartikan?” Apakah karena pengalaman masa lalu atau karena narasi budaya atau tradisi tertentu? Dengan memahami akar kekhawatiran, semoga kita dapat lebih rileks dan autentik dalam berkomunikasi. Lebih menjadi diri sendiri. Diri yang damai dan tidak menjadi ancaman dan menebar aura atau vibe positif.

Pada akhirnya, seni memuji adalah tentang keseimbangan antara ketulusan, kepekaan, dan penghormatan terhadap perasaan orang lain. Dengan memilih kata yang tepat, memperhatikan konteks, dan menjaga interaksi tetap alami, pujian tidak hanya menjadi alat untuk mengapresiasi, tetapi juga untuk membangun hubungan yang lebih bermakna. Dalam dunia yang semakin kompleks secara sosial, kemampuan untuk memuji dengan arif adalah keterampilan berharga yang mencerminkan empati dan kedewasaan.

Di tepi sawah burung berkicau,
Pagi cerah bunga bermekar;
Puji dengan tulus janganlah kacau,
Hormati perasaan, hati pun sukar.

Bunga di taman harum baunya,
Kumbang hinggap di kelopak lembut;
Beri pujian yang sopan gayanya,
Agar hati senang, tiada sengkarut.

Langit biru awan berarak,
Burung terbang ke luar sarang sejak usai subuh;
Puji usaha janganlah serak,
Hargai jiwa, hubungan pun jadi tumbuh.

MuḥabbiKum wad-dā‘ī laKum. Wassalāmu ‘alaikum waraḥmatul-Lāhi wabarakātuhū.

_

*diposting via blogger.com
Video tentang Bahasa Kasih dari Dokter Aisah Dahlan: