﷽
السّلام عليكم ورحمة اللّٰه وبركاتهٗ
Hari Masih Mau'ud, yang diperingati setiap tanggal 23 Maret, adalah momen sakral bagi Jamaah Muslim Ahmadiyah di seluruh dunia, wabilkhusus 🇮🇩
Tahun 2025 ini, tepatnya tiga hari lalu—23 Maret 2025—cahaya peringatan ini menyala, mengenang keberanian , keteguhan, dan komitmen Ḥaḍrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. saat mendirikan Jemaat ini di Qadian, Gurdaspur, Punjab, India, pada tahun 1889.
Namun, lebih dari sekadar perayaan historis, hari itu membuka jendela untuk merenungkan sumbangsih luar biasa seorang reformer atau mujaddid agung, dengan pena dan visi, guna mengukir jejak bagi peradaban dunia.
Apa yang telah beliau wariskan, melalui Jemaat Ahmadiyyah, bukan hanya kisah tentang iman, tetapi juga tentang ceritera bagaimana mestinya kita dapat menjembatani masa lampau dan masa yang akan datang dalam harmoni perdamaian atau keselamatan, pengetahuan atau makrifat, dan kemanusiaan.
Bayangkan sebuah dunia di penghujung abad ke-19, di mana kekuatan kolonialisme global mencengkeram erat, dan topeng agama menjadi medan pertempuran—bukan hanya antar keyakinan, tetapi juga dalam jiwa umatnya sendiri.
Di tengah-tengah kegelapan itu, sosok Ḥaḍrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. muncul, membawa 'nyala cahaya yang tak biasa. Beliau tidak mengacungkan pedang, melainkan pena, ialah senjata yang diyakini mampu menaklukkan hati-sanubari serta pikiran.
Dalam lebih dari 80 karya tulis beliau, seperti Barāhīn-e-Aḥmadiyyah, beliau menyerukan kebangkitan spiritual Islām yang telah lama mati suri, menawarkan jalan kembali kepada kemurnian roh Al-Qur'ān serta Sunnah.
Bagi dunia, ini bukan sekadar seruan keagamaan; ini adalah manifesto intelektual yang menantang dogmatisme, mengajak umat manusia untuk merangkul iman dengan akal sehat.
Dari Qadian yang kecil, beliau menabur benih yang kini telah tumbuh laksana pohon raksasa, menaungi lebih dari 210 negara dengan mesjid, sekolah, dan rumah sakit—simbol nyata dari perjuangan yang melampaui batas-batas geografi.
Namun, sumbangsihnya tak berhenti pada laku-lisan atau wawansabda. Ḥaḍrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. membawa angin segar dalam wacana atau terma jihad, menolak kekerasan yang kerap disalahartikan sebagai perintah ilahi.
“Jihad dengan pedang telah usai,” sabda beliau, “kini saatnya jihad dengan pena.”
Dalam dunia yang saat ini masih bergulat dengan bayang-bayang ekstremisme, visi ini terasa seperti ramalan atau nubuatan yang hidup.
Jemaat Ahmadiyyah, sebagai pewaris amanahnya, telah menjadi pelopor perdamaian, membuktikan bahwa agama dapat menjadi jembatan, bukan jurang. Kita membangun dialog, bukan tembok; mengakui kebenaran dalam silsilah ajaran-ajaran para Nabi dan pendiri agama besar–'alaihimus-salām, sembari menegaskan Islam sebagai penyempurnanya.
Televisi MTA yang menyiarkan pesan damai, Al-Qur’an yang diterjemahkan ke lebih dari 70 bahasa, dan pertemuan antaragama yang hangat merupakan bukti dan tanda bahwa toleransi dan kebebasan beragama serta berkeyakinan bukanlah sekadar impian, tetapi kenyataan yang dapat kita wujudkan.
Di balik semua itu, ada denyut kemanusiaan yang tak bisa kita abaikan. Lebih dari 16.000 masjid, 600 sekolah, dan 30 rumah sakit yang didirikan Jemaat Ahmadiyyah hingga beberapa tahun silam, bukanlah angka kosong. Mereka adalah saksi nyata bagaimana visi dakwah Ḥaḍrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. diterjemahkan menjadi tindakan dan amalan nyata, menyediakan pendidikan bagi yang haus ilmu, menyembuhkan yang sakit, dan membangun rumah ibadah bagi yang mencari kedamaian.
Di Afrika, Asia Selatan, hingga Indonesia, jejak ini terasa, menyentuh kehidupan lintas kultur dan agama. Ini adalah peradaban dalam arti sejati: membangun, bukan meruntuhkan; memberi, bukan merampas.
Pada 23 Maret 2025, ketika Jemaat Ahmadiyyah berkumpul untuk berdoa dan bermuhasabah, dunia mungkin tak sepenuhnya menyadari betapa dalamnya pengaruh seorang insan dari Qadian ini.
Namun, bagi mereka dan kita yang memahami, legasi ini adalah nur yang—in syā' Allāh—terus bersinar, mengingatkan kita bahwa revolusi rohani yang agung dapat lahir dari langkah-langkah sederhana lagi bersahaja, bahwa perdamaian adalah kekuatan, dan bahwa pena dapat lebih tajam dari pedang serta senjata api.
Tentu, di luar lingkaran Jemaat Ahmadiyyah, perdebatan teologis tentangnya tetap mengggema, terutama soal dakwa kenabian yang memicu kontroversi.
Namun, terlepas dari sudut pandang itu, sulit menyangkal bahwa sumbangsih kita telah menorehkan tinta emas dalam sejarah peradaban: sebuah panggilan untuk hidup berdampingan, belajar, dan menyumbang makna pada keberadaan kita sebagai manusia.
مُحَبِّكُم والدّاعي لكم ،
والسّلام عليكم ورحمة اللّٰه وبركاتهٗ .✨🙏🏻
Rahmat Ali
📍 Kampung Cisalada, Desa Ciampea Udik, BOGOR 16620, Jabar🇮🇩
⏳Rabu, 26-MAR-2025