[khotbah jumat imam jemaah muslim ahmadiyah] [1 April 2011] Ketaatan Terhadap Negara


Petikan Summary Khotbah Jumat
Hadhrat Khalifatul Masih V atba. Tanggal 1 April 2011

KETAATAN terhadap Negara” menjadi topik khotbah jumat tanggal 1 April 2011 yang disampaikan oleh Imam Jemaah Muslim Ahmadiyah Sedunia Sayyidina Hadhrat Amirul Mukminin Khalifatul Masih V Mirza Masroor Ahmad atba. dari mesjid Baitul Futuh London, Inggris Raya.

HUDHUR atba. menyampaikan harapannya berulang-ulang terkait yang telah disebutkan beberapa minggu lalu agar kita mendoakan dunia Islam. Beliau meminta supaya—kita—para Ahmadi berdoa, semoga Allah swt. membukakan hati nurani para pemimpin muslim sehingga negara-negara Islam dilindungi dari keterpurukan. Begitu pula beliau berpesan kepada warga muslim untuk menghindar agar tidak menjadi korban para ekstrimis dan perusuh dari luar.

Dengan karunia Allah, para Ahmadi mengerti bahwa doa itu sendiri adalah senjata sebenarnya. Mereka tidak ikut di dalam berbagai aksi protes dengan kekerasan. Walau saat ini ada pertanyaan, seberapa besar kesabaran yang mesti ditunjukkan seseorang terhadap kebijakan-kebijakan yang salah dari sebuah tirani. Di beberapa negara Afrika ada pertanyaan, reaksi apa yang harus diambil terhadap sejumlah pemimpin. Misalnya, di dalam menghadapi situasi terkini di Pantai Gading: Seberapa besar peran Ahmadi berpartisipasi di dalam reaksi radikal massa atau ikuti pawai-pawai anti pemerintah? Bahkan, beberapa orang terpelajar tersebut tidak memahami ruh amanat Hudhur atba.. Saat ini, mereka mengharapkan memiliki jawaban yang tepat apakah mereka boleh ikut serta di dalam suatu misi guna menuntut hak mereka secara radikal dan juga berapa banyak tekanan ynag mesti mereka lakukan.

Hudhur atba. mengadakan pertemuan dengan Arab Desk di mana beliau menerangkan kepada Haani Tahir berkenaan bangsa-bangsa Afrika-Arab dan menjelaskan rinci tindakan apa yang seharusnya para Ahmadi lanjuti.

Hudhur atba. pun memberikan arahan bahwa amanat beliau harus disampaikan ke negara-negara bersangkutan dalam bentuk tertulis agar mereka memahami dengan lebih baik. Namun, ada beberapa surat dan pertanyaan muncul dari beberapa orang yang tidak memahami pandangan Jemaat Ahmadiyah di dalam masalah ini, yaitu pandangan yang didasarkan pada Alquran, Hadis dan sabda-sabda Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Namun demikian, Hudhur atba. merasa perlu menyampaikan lagi supaya menghapus semua keraguan.

Alquran memfirmankan dalam (QS 16:91), “Dan, [Allah] melarang dari perbuatan keji, dan hal yang tidak disenangi, dan memberontak….”

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjelaskan, di dalam bahasa Arab, «baghyi» atau pelampau batas adalah seperti hujan besar yang menghancurkan tanaman. Ini berarti, seseorang yang menurunkan wewenang atau seseorang yang berlebihan di dalam mengambil wewenang kebenaran. Allah melarang keduanya, baik penguasa ataupun rakyat, mengambil wewenang ini ataupun berlebihan di dalam hal ini. Jika mereka melakukan tersebut, mereka telah merusak batasan yang diatur oleh Allah.

Akhir-akhir ini, massa sedang melakukan tindakan mengerikan melawan pemerintah-pemerintah. Menanggapi permasalahan tersebut, Hudhur atba. menyampaikan sebuah perumpamaan. Ada sebuah riwayat hadis yang menyatakan “bahkan, bilapun pemimpin berbuat salah, maka rakyat diperintahkan bersabar.”

Hadhrat Nabi Besar Muhammad saw. bersabda, “Setelah kepergian saya, Anda akan melihat ketidakadilan, kebenaran tenggelam, dan ada yang diberikan kekuasaan atas Anda. Anda akan melihat masalah-masalah yang Anda tidak berkenan atasnya.”

Saat ditanya apa perintah Islam di dalam situasi seperti itu, Hadhrat Rasulullah saw. menjawab, “Bayarlah hak pemimpin Anda dan mintalah hak Anda kepada Allah.”

Beliau saw. bersabda lagi, “Kepada siapa pun yang tidak berkenan atas hal yang dilakukan oleh pemimpinnya, maka bersabarlah. Karena, siapapun yang tidak taat kepada pemimpinnya, meski hanya sejengkal tangan, ia akan mati dalam kematian yang durhaka.”

Seseorang datang kepada Hadhrat Rasulullah saw. dan mengeluh bahwa dia telah memilih pemimpinnya. Dan pemimpin yang dipilihnya tidak mempedulikannya. Atas pertanyaan itu, Hadhrat Rasulullah saw. menjawab, “Setelah saya, Anda akan dapati segolongan yang diberikan kekuasaaan atas Anda. Namun, Anda bersabarlah hingga hari pengadilan.”

Pernah Hadhrat Rasulullah saw. ditanya bagaimana sebaiknya orang-orang bereaksi jika penguasa yang tidak adil menekan mereka. Beliau diam tidak menjawab. Beliau ditanya; dan lagi, beliau tidak menjawab. Saat beliau ditanya ketiga kalinya, beliau menjawab bahwa “Meskipun pada kondisi demikian, pemimpin itu harus ditaati. Ia akan dihisab atas tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Sementara, masalah-masalah akan dimintai pertanggungjawabannya dari mereka (para pemimpin).”

Suatu hari, Hadhrat Rasulullah saw. mengambil baiat. Setelah itu, beliau bersabda, “Jika seseorang ditunjuk menjadi pemimpin, ia tidak boleh didebat kecuali dia kufur secara nyata. Dan karena ini, mereka (rakyat) memiliki alasan dari Allah.”

Pemberontakkan terhadap pemerintah adalah melawan syariat. Institusi-institusi pendidikan Wahhabi—dan banyak lainnya—memiliki pemikiran ekstrim yang mereka rujuk berdasar hadis tersebut. Bahwa, jika kekafiran seorang pemimpin menjadi nyata, maka kepemimpinannnya harus dikudeta. Mereka mengeluarkan fatwa yang mengerikan bahwa mereka yang tidak mengakui orang-orang kafir yang kepadanya mereka (para ulama) memutuskan kafir, itu adalah juga kafir. Padahal, hadis itu menyebutkan ketaatan dan bukan pemberontakkan.

Di dalam Jemaah Muslim Ahmadiyah, ada satu contoh “ketidaktaatan” kepada pemerintah. Ini terjadi di Pakistan dimana Jemaah kita dilarang untuk menyebut diri kita Muslim, dilarang membaca Alquran, tidak boleh mengucapkan Dua Kalimah Syahadat, tidak boleh mengucap salam, dan sebagainya. Padahal, kita tidak memberontak dan taat kepada semua hukum-hukum di negeri itu.

Hadhrat Imam Nawawi r.h., di dalam penjelasannya tentang hadis tersebut, menerangkan kata «kufur» di sini berarti ‘dosa’. Beliau r.h. menambahkan bahwa jika sesuatu kesalahan diketahui ada di dalam pemerintahan, permasalahan tersebut semestinya di angkat dengan cara yang baik, dan tanpa ada perlawanan; bahkan, jika mereka adalah tirani yang kejam. Bertentangan dengan situasi saat ini, keduanya—baik pemerintah maupun rakyatnya—berada dalam konflik ini, dan sedang berlangsung: Muslim membunuh muslim lainnya.

Ada sebuah hadis sebagai berikut, “Pengandaian mereka ‘yang taat kepada perintah-perintah Allah’ dan mereka ‘yang menganiaya orang-orang yang taat ini’ adalah bagaikan orang-orang yang mencari tempat di kapal. Ada beberapa di antara mereka tinggal di dek atas dan yang lainnya di dek bawah.

“Saat mereka yang berada di dek bawah memerlukan air, mereka pergi ke atas mengambil air dan membuat mereka yang ada di dek atas merasa terganggu. Salah satu dari mereka yang ada di dek bawah mulai membuat lubang di dasar perahu.

“Mereka yang berada di dek atas bertanya, ‘Apa yang sedang ia lakukan?’

“Dia menjawab, ‘Saat aku ke atas untuk mendapatkan air, kalian tidak menyukainya. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa tanpa air.’

“Karenanya, jika mereka yang di atas dek menghentikannya, mereka bukan hanya menyelamatkannya, namun mereka sendiri. Jika mereka membiarkannya membuat lubang di dasar kapal, mereka bukan hanya akan membunuhnya, juga mereka akan terbunuh.”

Beberapa orang mengartikan hadis ini. Bahwa, jika mereka yang melakukan kejahatan dihentikan dengan kekerasan, hal itu tidak tepat dan menimbulkan kerusakan. Jika kita mengerti ini, melakukan perlawanan terhadap negara bertentangan dengan perkataan Hadhrat Rasulullah saw..

Hadis tersebut dapat menjamin menghentikan kerusuhan. Namun, ini tidak diterapkan di negara yang bermasalah. Rasulullah saw. tidak bisa mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan Alquran.

Beliau saw. bersabda, “Jika Anda melihat sesuatu keaniayaan, Anda harus mencegahnya dengan tangan Anda. Jika Anda tidak memiliki kekuatan untuk ini, maka lakukan dengan ucapan Anda. Dan jika tidak memiliki kekuatan untuk itu pula, maka setidaknya hati Anda menyangkalnya. Dan, itu adalah selemah-lemahnya iman.”

Imam Mullah Ali Qari menjelaskan hadis ini bahwa perintah mencegah ‘dengan tangan’ adalah untuk para penguasa, perintah ‘dengan ucapan’ adalah untuk para ulama (pemimpin agama), dan perintah ‘menyangkal sesuatu yang tidak disukai dengan hati’ adalah untuk umat yang beriman.

Inilah penjelasan baik dari sebuah hadis dan sesuai dengan hadis sebelumnya tentang permisalan kapal. Hanya mereka yang berada di dalam kekuasaan yang memiliki hak untuk mencegah sesuatu terjadi. Jika seseorang mulai menasihati satu sama lain, maka kekacauan tidak terjadi.

Alquran menjelaskan “…Dan, Allah tidak menyukai kekacauan (QS 2:206).” Dan, seperti disebutkan sebelumnya, “Allah…melarang perbuatan keji, hal yang tidak disenangi, dan memberontak. (QS 16:91).

Kita memiliki teladan dari para rasul Allah swt. dalam hal ketaatan terhadap negara. Hadis memberitahu kita bahwa 124 ribu nabi-nabi datang ke dunia. Alquran menyebutkan duapuluh hingga duapuluh lima para nabi dan tak ada satu pun dari antara mereka yang mengatakan sesuatu yang menentang pemimpin mereka dalam hal-hal duniawi atau bahkan berunjuk rasa bersama pengikutnya.

Di dalam masalah keimanan beragama, semua nabi secara terbuka menentang kepercayaan para penguasa daerah mereka dan sepenuhnya menyebarkan kepercayaan-kepercayaan yang benar.

Teladan Hadhrat Yusuf a.s. selalu dikemukakan berkenaan dengan ini. QS [Yûsuf] 12:4 menyatakan, “Kami ceritakan kepada engkau sebaik-baiknya kisah dengan mewahyukan kepada engkau Alquran ini. ….”

QS Yûsuf mengupas kehidupan Hadhrat Yusuf a.s.. Ia menceritakan bahwa Hadhrat Yusuf a.s. adalah menteri keuangan dalam pemerintahan raja Mesir, Firaun. Apakah raja berpikir bahwa Hadhrat Yusuf a.s. setia kepadanya dan menaatinya?

Allah swt. melarang sikap munafik. Jika demikian, maka raja tidak akan pernah membuatnya menjadi seorang menteri. Bila demikian, maka kita menganggap beliau secara tidak hormat.

Allah swt. menyatakan dalam QS 12:77, “Demikianlah telah Kami rencanakan untuk Yusuf. Ia tidak dapat menahan saudaranya menurut undang-undang kerajaan, kecuali jika Allah menghendaki. …”

Peraturan raja Mesir tidak mengijinkan Hadhrat Yusuf a.s. membawa saudaranya ke sana. Demikianlah, Allah menghendaki jika beliau menyimpan [secara tidak sengaja] cangkir minum raja di dalam kantung saudaranya yang setelah dicari lama akhirnya ditemukan di sana. Ini menunjukkan bahwa Hadhrat Yusuf a.s. taat kepada aturan raja Mesir yang penyembah berhala itu. Namun, beliau tidak menuruti raja dalam masalah agama.

Allah menyatakan di dalam QS [An-Nisâ'] 4:60, “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang yang memegang kekuasaan di antaramu. Dan, jika kamu berselisih mengenai sesuatu, maka kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu memang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Hal demikian itu adalah paling baik dan paling bagus akibatnya.”

Di dalam penjelasan surah ini, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda, kita wajib menaati Allah, Rasul, dan perintahnya. Beliau juga bersabda, “Hai orang-orang beriman, jika Anda memiliki beberapa ketidaksetujuan, serahkan masalah itu kepada Allah dan Nabi-Nya untuk keadilan. Jika Anda percaya kepada Hari Akhir, ambillah pelajaran ini. Karena, inilah ajaran yang paling baik. Ajaran Allah dan Rasul-Nya seperti yang disebutkan sebelumnya, bukan untuk memberontak apapun situasi yang dihadapi.

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda, “Alquran menyatakan, ‘Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan para pemimpin di antara kamu.’ Jika seseorang berkata bahwa ‘pemerintah tidak termasuk dalam bahasan ini’ merupakan kesalahan nyata. Apapun yang dilakukan sebuah pemerintahan dalam hal syariat adalah termasuk di dalam masalah ini.”

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda, “Jika seorang penguasa melakukan keaniayaan, jangan mengkritiknya, malah perbaikilah dirimu. Allah sendiri yang akan menggantikannya atau akan membuatnya menjadi saleh. Masalah-masalah terjadi adalah karena tindakan buruk seseorang. Nasihat saya yaitu, bersikaplah dengan cara yang membuat kamu menjadi contoh di dalam berbagai segi. Jangan ambil hak Allah dan jangan ambil hak manusia.”

Menjelaskan ayat yang sama, Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. bersabda bahwa beberapa muslim salah mengartikan bahwa ayat tersebut hanya untuk pemimpin muslim. Beliau bersabda, ini bertentangan dengan perintah Alquran. Dan, di sini menandakan, mereka tidak memahami agama. Allah menegur orang-orang durhaka di dalam QS [Al-An’âm] 6:131, “…Tidakkah telah datang kepadamu rasul-rasul dari antaramu? …”

Perintah di dalamnya adalah untuk menaati mereka yang memerintah negeri di mana ia tinggal. Jika ada ketidaksetujuan dengan negara, serahkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. bersabda, kisah Nabi Yusuf a.s. di dalam Alquran menjelaskan pentingnya menaati penguasa apa pun agamanya.

Situasi-situasi saat ini, di mana ada ketidaksetujuan dengan penguasa dan masyarakat dalam masalah agama, perintah Rasulullah saw. adalah, “Saya memerintahkan Anda untuk memiliki ketakwaan kepada Allah dan selalu taat di jalan Anda walaupun seorang budak hitam menjadi pemimpin Anda. Mereka yang akan membela saya akan mengalami pertentangan besar di antara manusia. Namun demikian, saya perintahkan Anda mengikuti jalan saya. Dan, setelah saya akan ada khalifah pengganti saya. Berpeganglah dengan kuat pada ‘tali ini’ dan jangan pernah mengabaikan jalan saya atau para khalifah saya.”

Seorang pemimpin harus kita taati meski ia tidak adil. Dan berdoalah kepada Allah untuk memperbaikinya. Para Ahmadi harus mengingat Syarat-syarat Baiat. Syarat kedua berbunyi: “Dia akan menjauhi dosa, zina, menyembah berhala, penghianatan mata, hal-hal yang membuat ketagihan, minum minuman keras, kekejaman, ketidakjujuran, keaniayaan dan pemberontakkan; dan, tidak akan membuat dirinya terbawa tindakan emosi, walaupun kuatnya pengaruh itu.”

Dan syarat keempat: “Meskipun di bawah tekanan, dia tidak akan menyakiti apapun ciptaan Allah dan Muslim khususnya, baik dengan lidahnya, tangannya, atau cara apa pun.”

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda, “Merusak perdamaian lebih buruk daripada membunuh.”

Beliau a.s. bersabda, “Tidak boleh melibatkan diri di dalam perlawanan dan sejenisnya baik itu di perguruan tinggi atau universitas. Karena, hal ini bertentangan dengan ajaran saya dan tindakan itu seperti perlawanan.”

Hadhrat Khalifatul Masih I r.a. bersabda, “Penting bagi muslim untuk menaati Allah, Rasul-Nya, dan pemimpin atas mereka.”

Beliau r.a. bersabda, “Jika seorang pemimpin di dalam kekuasaannya melakukan tindakan yang melanggar perintah Allah atau Rasulullah saw., maka Anda tidak perlu mematuhinya. Atau, dengan jalan lain, Anda harus hijrah.”

Ada beberapa pertanyaaan tentang unjukrasa/protes, bahwa Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. ada pernah membantu bangsa Kashmir, dan dianggap hal itu berkaitan dengan perlawanan. Namun, sebenarnya, tindakan ini untuk memberikan hak-hak bangsa Kashmir, dan tidak meyebabkan kerusuhan. Di sini, kita ditarik perhatian terhadap perampasan hak milik bangsa Kashmir yang pendapatannya diambil oleh raja mereka.

Saat Hadhrat Muslih Mau’ud r.a. ditanya tentang apa tindakan warga Ahmadi atas aksi pergolakan pada tahun 1929, beliau bersabda, “Mereka tidak boleh ikut di dalamnya, namun bisa berpartisipasi di dalam aksi damai yang diizinkan pemerintah.”

Beliau bersabda, “Jika toko-toko milik Ahmadi yang tetap buka dipaksa mereka untuk ditutup, maka beliau memerintahkan untuk melaporkannya kepada polisi. Jika polisi bersedia memberikan perlindungan, maka toko-toko boleh buka. Kalau tidak ada perlindungan, jangan dibuka. Kita tidak pernah bisa bekerjasama dengan mereka yang bertindak melawan hukum. Karena itu, bertentangan dengan ajaran agama kita. Seberapa burukpun Ahmadi dianiaya, hukum syariat dan hukum dunia/positif tidak boleh dilanggar.”

Pada QS 2:206, “Dan apabila ia berkuasa, berkeliaranlah ia di muka bumi untuk membuat kekacauan di dalamnya dan membinasakan sawah ladang dan keturunan, dan Allah tidak menyukai kekacauan,” ayat ini memperingatkan para pemimpin yang tidak adil. Alquran tidak hanya membimbing umat, namun juga memerintahkan para pemimpin serta memperingatkan mereka untuk tidak bersikap angkuh akan kekuatan yang mereka miliki dan untuk tidak menjadi pemimpin yang tidak adil.

Di dalam kejadian-kejadian pada negara-negara akhir-akhir ini, cerita yang sama dapat didengar di penjuru dunia bahwa perolehan negara telah dikorup dan massa memaksakan hak-hak mereka. Betapa tidak beruntungnya mereka yang kepadanya Allah telah memberitahukannya, orang-orang ini tetap melakukan kesalahan-kesalahan. Mereka yang berada di dalam kekuasaan memiliki tanggung jawab yang besar atas rakyatnya. Dan dengan tidak terhormat, para pemimpin ini menciptakan kekacauan. Allah sangat tidak menyukai kekacauan. Para pemimpin muslim seharusnya mengikuti jalan yang telah dicontohkan kepada mereka.

Hadhrat Khalifah Ar-Rasyidah Umar bin Khaththab r.a. memerintahkan bahwa selama pemerintahan kristen, rakyat—termasuk muslim—tidak seharusnya menentang. Beliau meminta kembali kepada aturan muslim. Apa yang dibutuhkan adalah ketakwaan. Namun, itu tidak ada di antara orang-orang muslim saat ini, keduanya, baik pemerintah maupun rakyatnya.

Perintah yang jelas bagi para Ahmadi adalah menghindar diri mereka sendiri dari kekacauan ini dan berdoa lebih khusyuk. Allah akan mendengar doa orang-orang tulus. Dan jika para pemimpin ini tidak adil, mereka akan diselamatkan dari para pemimpin ini. Di masa mendatang, perubahan-perubahan yang dilakukan mungkin membawa perdamaian untuk sementara, namun tidak akan tetap.

Saat kekuatan diraih melalui cara pemberontakan atau melalui revolusi, perdamaian mungkin hanya berlangsung untuk sementara. Karena, setelah waktu tertentu, penguasa tirani berikutnya akan ada lagi. Karenanya, berdoalah, semoga Allah membuat umat Islam mengenal hak-hak mereka dan mengenal ketaatan. Maka, saat ini, persembahkanlah keindahan ajaran Islam kepada dunia.

Selanjutnya, Hudhur atba. mengumumkan bahwa usai shalat jumat, akan dilaksanakan shalat jenazah gaib untuk beberapa nama almarhum , yaitu—pertama—untuk Almarhumah Amtul Wadood isteri dari Nazir Isya’at Anjuman Ahmadiyyah Rabwah Syed Abdul Hayye Shah yang wafat di Rabwah beberapa hari yang lalu. Almarhumah wafat pada usia tujuhpuluh dua tahun. Ia adalah Ahmadi mukhlis yang merupakan ibunda dari Ketua Humanity First Syed Yahya.

Lalu, untuk Almarhum Muhammad Saeed Ashraf yang wafat di kota Lahore karena kecelakaan lalu lintas. Saat terjadi kecelakaan, ia segera di bawa ke rumah sakit tapi wafat lima menit setelah tiba di sana.

Kemudian, Almarhumah Naeema Begum yang wafat di Ohio, Amerika Serikat (AS). Ia adalah puteri dari dokter Hashmatullah Khan yang merupakan dokter spesialis Hadhrat Khalifatul Masih II r.a.. Almarhumah Naeema memiliki ikatan tulus dengan khilafat sejak masa kekhalifahan yang kedua hingga khalifah saat ini.

Berikutnya, Almarhum Naeem Ahmad Waseem, wafat 6 Maret di AS. Almarhum sebelumnya adalah petugas keamanan selama kekhalifahan Hadhrat Khalifatul III r.a.. Ia adalah Ahmadi yang mukhlis dan berkhidmat di dalam badan anshar jemaat AS. Beberapa bulan lalu, ia mendapat serangan jantung. Hal pertama yang ia katakan setelah siuman adalah permintaan mengecek pembayaran perjanjian dana mesjid.

Kita doakan, semoga arwah mereka ditempatkan pada tempat yang mulia. Semoga kekuatan dilimpahkan atas anak-anaknya.[] (Alislam.org)

Penerjemah: Iin Qurrotul Ain binti T. Hidayatullah;
editor: Rahmat Ali ‘Daeng Mattiro’

Subscribe