Batas Tipis Antara 'Keimanan' dengan 'Rasionalitas dan Argumentasi'

SETELAH mempelajari filosofi para pemikir Eropa berkenaan dengan agama, wahyu, logika dan rasionalitas, saya mendapat kesimpulan bahwa pandangan Scotus sangat mengagumkan dan didasari oleh rasa sosial. Inilah patokannya. Seseorang tidak akan mempercayai sesuatu kecuali jika memiliki alasan untuk mempercayainya. Tanpa alasan yang dapat dipercaya, keimanan hanya sebuah fantasi belaka dan tidak dapat menghadapi ujian dari waktu. Ini adalah faktor yang sangat penting yang harus dipahami oleh seseorang. (Alm. Mirza Tahir Ahmad 'Khalifatul Masih IV r.h.')

Ini adalah ekstraksi dari sebuah Tanya-Jawab yang dipandu langsung oleh Imam Jemaat Islam Ahmadiyah Sedunia Mendiang Hadhrat Khalifatul Masih IV Mirza Tahir Ahmad r.h., terjadi pada tanggal 12 Mei 1996 di Masjid Fadhl Putney-London.

Tentang keimanan dan realitas, banyak agama di dalam berbagai sistem keimanan agama mereka, mengharuskan penganutnya mengamalkan eksistensi tuhan. Hal ini menunjukan bahwa keimanan pada dasarnya adalah kepercayaan terhadap yang gaib, kepercayaan terhadap hal yang tidak atau belum diketahui, dan yang menjadi kesulitan kita memahami hal ini adalah bagaimana seseorang pindah dari posisi ‘mempercayai’ menjadi ‘mengamalkan-kenyataan-adanya-Tuhan’? So, di mana keimanan itu berakhir dan dimana realitas itu dimulai?

Inilah sebuah pertanyaan yang sangat menarik dan harus dijawab, mengacu kepada pertanyaan yang timbul pada masa Renaissance dan bagaimana pula beberapa atau para filsuf umumnya menjawab pertanyaan tersebut. Tetapi, kita harus kembali agak jauh.

Pada abad ke-13, seorang filsuf Inggeris, John Scotus, yang pertama kali mempertanyakan hal ini. Alangkah mengherankannya, beliau adalah seorang yang beriman. Untuk mendukung kepercayaannya, beliau menganggap bahwa rasionalitas dan alasan mempunyai batas yang tipis dengan keimanan, tetapi dia tidak memisahkan keimanan itu di dalam area supernatural atau khayalan.

Apa yang beliau katakan cukup logis. Beliau menganggap bahwa bahwa keimanan itu meresap begitu dalam dan begitu besar ke dalam pandangan, pikiran dan hati manusia, sehingga orang-orang yang menilik keimanan, dapat melakukan pengorbanan untuk hal tersebut.

Pada awalnya keimanan harus memiliki alasan tepat untuk mendukungnya. Pasti ada sesuatu sehingga generasi pertama dari sebuah agama tidak memperoleh keteguhan dalam keimanan mereka semata-mata dari khayalan. Daya rasional mereka, bagaimanapun tidak terlihat meyakinkan jika dilihat dari masa yang jauh, contohnya dari masa sekarang. Generasi-generasi [pada awal sebuah agama] mempercayai hal-hal yang telah mereka saksikan jika telah didukung sepenuhnya oleh bukti-bukti, bukti yang pada waktu itu dianggap sebagai bukti yang sesuai. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, aspek dari bukti-bukti tersebut menghilang tetapi elemen dari keimanan tetap berlanjut.

Melalui masa-masa yang berbeda, keimanan berkembang dengan diuji dari waktu ke waktu oleh realita baru yang muncul. Dan ketika realita tersebut menguji keimanan, seseorang harus menguji dengan kepala dingin pro dan kontra dari kedua atau berbagai sisi. Dan jika logika menolak keyakinan, maka keimanan harus ditolak dan logika harus diadopsi.

Setelah mempelajari filosofi para pemikir Eropa berkenaan dengan agama, wahyu, logika dan rasionalitas, dapat disimpulkan bahwa pandangan Scotus sangat mengagumkan dan didasari oleh rasa sosial. Inilah patokannya. Seseorang tidak akan mempercayai sesuatu kecuali jika memiliki alasan untuk mempercayainya. Tanpa alasan yang dapat dipercaya, keimanan hanya sebuah fantasi belaka dan tidak dapat menghadapi ujian dari waktu. Inilah faktor yang sangat penting yang harus dipahami seseorang.

Pada tingkatan selanjutnya, pada masa mendatang setelah permulaan sebuah agama, yang terjadi sekarang adalah tidak ada aturan logika, alasan atau rasional pada keimanan kebanyakan orang. Mereka mewarisi keimanan, dan jika manusia telah mewarisi keimanan, ada dua tipe manusia yang muncul. Yaitu, orang-orang yang cenderung ke arah sebelah ”kanan” dan orang-orang yang cenderung ke sebelah “kiri”. Ketika mereka menyadari kenyataan bahwa keimanan tidak bisa bertentangan dengan realita dan tidak menemukan hubungan antara keimanan mereka dengan kenyataan, mereka cenderung ke arah “kiri” dan berkata bahwa ini semua adalah sihir/keajaiban, atau walaupun mereka tidak mengatakannya dalam perkataan, praktek kehidupan mereka tidak dipengaruhi oleh agama. Keimanan bukanlah hal yang penting bagi mereka.

Mereka yang cenderung ke arah “kanan” adalah orang-orang yang tidak mampu memaknai pertanyaan-pertanyaan tersebut secara mendalam dan hasilnya mereka tetap mengikuti arus dari generasi ke generasi. Keimanan tetap ada pada mereka, dengan kukuh dipegang. Tetapi, tidak berakar. Karena keimanannya, tidak memiliki hubungan dengan akal pikiran mereka.

Namun, ketika pilihan muncul antara benar dan salah, banyak orang yang selalu memilih yang salah. Karena ketika keimanan yang tidak mempunyai dasar bertabrakan dengan keinginan pribadi kebanyakan orang, maka kesenangan pribadi tersebut lebih dipilih. Hal ini menyebabkan kemerosotan moral yang terus-menerus pada orang-orang. Dan tiba suatu saat: Ketika keimanan lenyap dari kepala orang-orang; ketika ia tidak mempengaruhi perilaku manusia.

Setiap keyakinan telah mencapai tingkatan ini keseluruhan, kehilangan kekuatannya atas cara hidup manusia. Kemudian datang peraturan dari para pemuka agama--di setiap agama, bukan hanya di Kristen. Sekarang mereka membuat suatu kesepakatan pada situasi ini antara dua hal.

Mereka berkata “Baiklah, selama kamu tidak mengganti namanya, selama kamu tetap di dalam pengawasanku hal itu baik-baik saja lakukanlah apa yang kamu suka. Kami akan menutup mata kami terhadap cara hidupmu tetapi jangan melawan doktrin secara umum dan terbuka. Jika kamu melakukannya maka kamu akan dihukum”.

Ini adalah awalnya, tetapi kekhawatiran ini juga mulai menjadi kenyataan dan kemudian penentangan-penentangan secara terbuka mulai muncul dan gereja menarik diri lebih jauh. Orang-orang masih menjadi umat Kristen, mereka tidak menjadi umat Islam atau Hindu ataupun umat yang lainnya.

Pendeta kemudian mengatakan, “Jika Anda tidak ingin dekat ke gereja, tidak masalah. Asalkan Anda masih seorang Kristen yang baik. Kekristenan adalah jiwa. Bukan sebuah bentuk. Anda harus mempercayai jiwa Kekeristenan dan berusaha menjadi baik terhadap manusia. Itu saja.”

Jadi, aturan-aturan agama mulai memudar, menghilang dan menjadi hal yang langka--hanya sebuah nilai yang tidak berdasar. Lebih baik jika kita dapat mengambil nilai-nilai tersebut tanpa pengorbanan pribadi. Tetapi, bagaimanapun masih ada beberapa orang yang dapat memegang nilai-nilai tersebut dan juga memberikan pengorbanan, tapi hanya sedikit. Mereka adalah orang yang memelihara keimanan.

Pada prinsipnya saya setuju dengan Scotus. Ini juga pandangan pribadi. Jika keimanan dipisahkan dari pendirian yang mendasar, maka ia akan kehilangan rasionalitasnya. Sekarang, pendirian dan keyakinan itu berbeda. Apa yang saya maksud dengan pendirian adalah keyakinan yang berdasar pada akal pikiran dan rasionalitas. Keyakinan ini menghasilkan pendirian.

Jadi, keyakinan itu, pada dasarnya adalah pendirian, bukan hanya keyakinan belaka. Secara bertahap, hal tersebut disebut keimanan karena kehilangan sentuhan dengan realita dan mulai menjauh. Tetapi di dalam literarur agama, tentu saja kita dapat menyebutnya (pendirian) ‘keimanan’. Tetapi di sana, pada awalnya, keimanan adalah selalu sebagai nama lain dari pendirian.

Sekarang, karena hampir semua agama-agama besar telah menyimpang jauh dari sumbernya, saya ragu jika doktrin agama dapat mengatur perilaku manusia kecuali doktrin tersebut bersifat keras dan objeknya bukan agama dan ketuhanan, melainkan politik. Hal tersebut hanya memiliki pengaruh terhadap masalah-masalah manusia, selama obyeknya adalah materi, untuk mendapatkan kebanggaan atas nama persatuan agama dan hal-hal keduniaan, sebagai contohnya. Di sini bukanlah ketuhanan yang bekerja, tetapi ego nasional, ego rasial dan sebagainya, yang mengambil alih. Dan hal itu, terbungkus di dalam jubah agama dan nama baiknya.

Agama kehilangan nilai dan tanda nyata dari hal tersebut, adalah ketika para pemuka agama mengajak orang-orang untuk berbuat kerusuhan, penganiayaan, pembunuhan atau sabotase mereka menanggapinya. Tetapi, ketika mereka diajak kepada hal-hal yang baik, untuk memperhatikan orang-orang miskin dan memberikan seluruh pengorbanan di jalan kebaikan, mereka tetap diam.

Capek deh![] (usama/ali)