Penampakan Tuhan dalam Endapan Ketidaksadaran Kolektif

RILIANA Oktavianti--sewaktu dalam perjalanan pulang bareng dari kampus (Riliana mengikuti Extension Course dan aku mengikuti Diskusi Komunitas Hegel)--dan Encep Hanif Ahmad (dalam tanggapan postingan blog saya di Ahmadi Socialite), mengilhami saya tentang analisa mimpi yang disampaikan Freud sebagai sebuah ketidaksadaran kolektif.

Sigmund Freud dalam karya pertama yang sangat monumental, Interpretation of Dream, menjadikan mimpi sebagai obyek riset psikoanalisis untuk mengatasi gangguan-gangguan neurosis pada pasiennya. Dengan karya beliau ini, beliau mulai diperhitungkan perannya dalam dunia psikologi. Tidak sedikit yang dipengaruhinya, antara lain C.G. Jung dan Alfred Adler yang kemudian bergabung di bawah naungan psikoanalisis Freud, meski tidak berlangsung lama. Bahkan, banyak ahli psikoterapi yang menekankan pentingnya analisa mimpi.



Kalau kita lacak lebih jauh, sekitar 600 tahun sebelum teori ini muncul, Hadhrat Ibnu Arabi r.h. (filosof sekaligus sufi dari Spanyol) sebenarnya pun sudah banyak membahas tentang mimpi. Banyak kelebihan teori mimpinya yang tidak dimiliki oleh Freud, begitu juga sebaliknya. Bisa dibikin titik temunya-'lah. :-)

Menurut Freud, mimpi adalah penghubung antara kondisi bangun dan tidur. Bagi beliau, mimpi adalah ekspresi yang terdistorsi atau yang sebenarnya dari keinginan-keinginan yang terlarang diungkapkan dalam keadaan terjaga.

Jika Freud seringkali mengidentifikasi mimpi sebagai hambatan aktivitas mental tak sadar dalam mengungkapkan sesuatu yang dipikirkan individu, beriringan dengan tindakan psikis yang salah, selip bicara (keprucut), maupun lelucon, maka Ibn Arabi mengidentifikasinya sebagai bagian dari imajinasi.

Bagi Ibnu Arabi, karena mimpi adalah bagian dari imajinasi, maka untuk memahami terminologi mimpi dalam khazanah pemikiran beliau, terlebih dahulu mengacu pada makna imajinasi itu sendiri. Bagi beliau, imajinasi adalah tempat penampakan wujud-wujud spiritual, para malaikat dan roh, tempat mereka memperoleh bentuk dan figur-figur “rupa penampakan” mereka, dan karena di sana konsep-konsep murni (ma'ani) dan data indra (mahsusat) bertemu dan memekar menjadi figur-figur personal yang dipersiapkan untuk menghadapi drama event rohani.

Beliau juga menambahkan, bahwa kecakapan imajinasi itu selalu aktif baik sedang dalam keadaan bangun maupun dalam keadaan tidur. Selama jam-jam bangun kecakapan ini juga disimpangkan oleh kesan-kesan indra (sense impression) untuk melakukan pekerjaannya secara wajar, tapi dalam keadaan tidur, ketika indra-indra dan kecakapan lainnya sedang istirahat, imajinasi terbangun semua. Beliau menyinggung tentang 'ketidaksadaran'. (Lihat link dari Acehforum.or.id)

Carl Gustav Jung (1875-1959) seorang pakar Psikologi Analitis Aliran Freud menyatakan bahwa 'kesadaran' adalah puncak kecil dari gunung es, sedangkan 'ketidaksadaran kolektif' merupakan dasar gunung es yang maha luas, berisi seluruh pengalaman nenek moyang umat manusia sepanjang zaman yang mengendap dalam ketidaksaran kolektif dan muncul dalam ketidaksadaran individual yang kemudian terefleksi secara selektif dalam perilaku sadar manusia. (Lihat link dari Persatuan.web.id)

Encep mengomentari:
dalam suatu wawancara, Pramudya Ananta Toer ditanya "Apakah anda pernah mengalami hal-hal magis?" "Suatu malam sewaktu di pulau buru saya pernah didatangi oleh seekor harimau yang besar sekali," katanya. "Ah, tapi itu mungkin hanya halusinasi saya saja karena dalam kondisi yang sedemikian tertekannya," pungkas Pram.

dalam petikan dialog itu, tergambar bagaimana materialisme demikian melekat pada diri Pram, padahal tentu yang namanya filsafat dan seabreg bacaan tauhid, hidup, dan kehidupan telah dilalapnya habis..... so, dia tetap istiqomah untuk tidak bertemu Tuhan.... atau Tuhan tidak mau menampakan diri-Nya pada Pram... atau memang Tuhan benar-benar tidak bisa ditemukan...? (Link Ahmadi Socialite)
Akan halnya yang dialami Pramoedya Ananta Toer itulah, betapa agama dan ketuhanan, telah membentuk konstitusi jiwa beliau, sebagaimana pula hal tersebut telah membentuk konstitusi jiwa bangsa Indonesia atau Nusantara ini berabad-abad. Endapan-endapan murni yang luhur dan latif tersebut keluar saat tekanan-tekanan tertentu yang demikian hebatnya datang. Erupsi jiwa. Di situlah Tuhan intrinsik-nya Pramoedya berbicara. Hati nuraninya menggugat. Tuhan menampakkan diri.

ENCEP: o iya... klo dikaitkan dengan teori alam bawah sadarnya Freud, apakah revelation juga dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk ekspresi yang terdistorsi, akibat dari tekanan-tekanan mental yang dihadapi...? (Ahmadi Socialite)

"Curiga"-nya sih, begitu. Coba kita telisik pada masa Hadhrat Sidharta Gautama a.s., Hadhrat Muhammad-Rasulullah saw. dan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad--Imam Mahdi-Sang Avatar Agung-dan-The Promised Messiah (Almasih-Yang-Dijanjikan/Masih-mau'ud) a.s. (Pendiri Jemaat Ahmadiyah), betapa benturan tatanan hidup sosial maupun budaya atau peradaban demikian kasat mata. Hadhrat Budha a.s. menyepi diri, Hadhrat Rasulullah saw. mesti mengkhususkan diri berkhalwat di Gua Hira dan Hadhrat Masih Mau'ud a.s. pun pernah berbuat serupa selama puluhan hari pada sebuah rumah di pojok-pojok keramaian kota Hosyiarpur.

Hanya saja, 'revelation' yang Hadhrat Khalifatul Masih IV r.h.--bahkan yang Hadhrat Masih Mau'ud a.s.--maksudkan, menduduki kedudukan yang teramat paripurna dan ilahiyah sekali. Nikmat Tuhan yang tak bisa sembarangan orang mendapatkannya--it's very-very graceful.[]