Meneropong di Balik Luka Hutan Siberut

Selayang Pandang

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki tidak kurang dari 17.504 pulau; artinya, 95 persen dari seluruh kepulauan, tergolong pulau kecil. Hal ini menarik bila dikaitkan dengan perkembangan otonomi daerah, di mana banyak kabupaten baru dibentuk, yang wilayahnya terdiri dari kepulauan.

Kabupaten Kepulauan Mentawai yang baru berdiri pada tahun 1999 mungkin dapat diambil sebagai pelajaran yang menarik. Wilayah yang terdiri dari empat pulau, yaitu: Siberut, Sipora dan Pagai Utara-Selatan ini, dulunya merupakan bagian dari Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatra Barat.

Pulau Siberut merupakan pulau terbesar di antara tiga pulau besar di Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan luas sekitar 403.300 hektar yang dalam peruntukannya oleh pemerintah dibagi atas Taman Nasional Siberut, hutan produksi dan areal penggunaan lain. Siberut memiliki variasi topografi mulai daerah rawa-rawa hingga lereng-lereng bukit yang terjal. Tidak ada pegunungan di pulau tersebut. Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), yang ada adalah bukit dengan ketinggian 384 meter-di atas permukaan laut.

Berdasarkan penelitian World Wild Fund (WWF) tahun 1980, sedimenlah yang telah membentuknya. Tanahnya, ditandai dengan shale muda atau batu dari tanah liat yang mudah pecah sehingga menjadi kepingan-kepingan tipis, endapan lumpur, maupun marl—yaitu tanah yang biasanya terdiri dari tanah liat, pasir dan kalsium karbonat yang digunakan untuk membuat semen atau pupuk. Dengan ketinggian curah hujan yaitu 3.320 milimeter per tahun, dipercaya merupakan potensi penyebab erosi. Dalam skala waktu, geologi Siberut masih relatif muda. Sehingga, pulau ini sangat rentan terhadap erosi. Satu-satunya benteng dari bahaya erosi adalah hutan lebat yang melingkupinya.

Siberut merupakan bagian dari rangkaian pulau non-vulkanik yang letaknya di penghujung barat Indonesia, lebih dari seratus kilometer sebelah barat garis pesisir Sumatra Barat. Gugusan kepulauan itu merupakan punggung pegunungan bawah laut yang sangat tua.

Siberut, adalah pulau terbesar yang terpisah dari Sumatra sekurang-kurangnya 500 ribu tahun lampau, zaman Mid Pleistocene. Proses pemisahan itu memberikan ‘splendid isolation’. Isolasi dengan pengaruh terbatas dari daratan utama, menyebabkan flora dan fauna di Siberut telah berevolusi dan berko-evolusi secara terpisah dari kejadian evolusi daratan utama Sunda Besar (Sundaland). Proses isolasi dan tiadanya kolonisasi flora dan fauna dari daratan, mendorong terbentuknya endemisitas dan keunikan ekologi yang tinggi, pula memberikan kekayaan hayati yang beraneka ragam.

Mengutip ucapan tegas Profesor Dr. Emil Salim yang pernah menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup semasa mendiang Presiden Soeharto, (ini menarik), hutan Siberut bukan untuk tujuan komersial, tetapi untuk tujuan pengetahuan, sehingga harus diselamatkan dari ekploitasi menjadi konservasi.[1] Siberut bisa memberikan makna pada pengembangan ilmu pengetahuan, biologi, ekologi, dan antropologi. Siberut memiliki sistem tersendiri. Jangan lakukan Siberut sebagai kawasan komersial. Ditambahkannya, Siberut adalah pulau yang amat istimewa. Siberut harus kita pertahankan, karena dia memberi warna kepada keanekaragaman hayati, warna keanekaragaman masyarakat kita.

Sejak tahun 1981, UNESCO menetapkan Pulau Siberut sebagai cagar biosfer karena keanekaragaman hayati dan keistimewaan budaya masyarakat. Komitmen ini diperkuat dengan dikukuhkannya Taman Nasional Siberut pada tahun 1993 seluas 190.500 hektar. Tahun 2005, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama Departemen Kehutanan dan Conservation International Indonesia melakukan survey singkat keanekaragaman hayati (RAP) di wilayah Siberut Utara. Survey berhasil mencatat berbagai satwa yang langka dan yang terancam, termasuk burung Bangau storm “Ciconia stormii” yang memiliki status ‘terancam punah’ atau endanger, karena terjadi penuruan populasi. Juga, satu jenis hewan pengerat yang berstatus rentan yaitu Tikus raksasa ekor panjang “Leopoldamys siporanus” yang terakhir dikoleksi tahun 1976, tidak pernah diteliti lagi sejak saat itu.

Keanekaragaman hayati yang menjuluki Siberut sebagai “Galapagos of Asia” oleh para ahli biologi, justru mendorong pulau tersebut ke jurang masa depan yang suram. Di pulau ini, tercatat 896 fauna tingkat tinggi, 31 spesies mamalia. Tercatat pula oleh LIPI-Citra (1995), sekitar lebih dari 846 spesies, 390 genus dan 131 famili, adalah terdiri dari pohon, semak, herba, liana dan epifit. Jika dipetakan, adalah 65 persennya endemik, 58 persen endemik pada tingkat marga, 15 persen endemik untuk tumbuhan dan 10 persen endemik untuk kelas burung.

Siberut memiliki empat spesies primata endemik yang hanya dimiliki Mentawai, yaitu: Bilou atau Siamang Kerdil “Hylobates klosii”, Simakobu atau Monyet Ekor Babi “Simias concolor”, Bokkoi atau Beruk Mentawai “Macaca pagencis”, Joja atau Lutung Mentawai “Presbytis potenziani”. Kawasan hutan Siberut yang mempunyai tingkat densitas primata tertinggi di dunia, saat ini terancam lenyap akibat kebijakan pengelolaan hutan yang eksploitatif dan cenderung tidak terkendali.[2]

Demografi

Jumlah penduduk Siberut diperkirakan 35 ribu dan menunjukkan kerapatan 7,5 per kilometer persegi. Semenjak dekade terakhir, populasi penduduk Siberut meningkat karena berubahnya pola pemukiman dan sosio-ekonomi. Tahun 1930, jumlah penduduk masih diperkirakan 9 ribu. Dari tahun 1960 sampai sekarang, jumlah itu naik 300 persen. Para pendatang non Mentawai yang menetap di pulau, berjumlah sekitar 3 ribu jiwa atau 10 persen dari keseluruhan penduduk. Penduduk Siberut memberikan suatu citraan kuat sebagai suku yang menjaga hutan. Mereka diberi otonomi daerah dan menentukan adatnya, memilih kepercayaan dan menjalankan tradisi. Sejalan dengan agenda konservasi, mereka dipandang sebagai model ideal masyarakat dalam dan sekitar hutan. Mereka memiliki ekologi dengan cara hidup yang terpelihara dan unik. Karenanya, aktivis dan turis melakukan lobi-lobi untuk melindungi masyarakat dari destruksi eksternal dan sekaligus melindungi keanekaragaman hayatinya. Ada pula yang dinamakan sikerei atau dukun orang Mentawai. Mereka adalah keepers of the forest. Sistem perladangan tradisionalnya, dipandang memberi kemungkinan hidup selaras dengan alam karena tidak pernah menggunakan api dalam proses pembukaannya.

Hutan bagi penduduk Siberut dilihat tidak semata bernilai ekonomi, namun bermakna spiritual, yakni penonjolan hubungan erat antara manusia dengan hutan sehingga terekspresikan dari kemampuan mereka mempertelakan 233 jenis dan 69 famili tumbuhan untuk menyembuhkan 129 jenis penyakit. Suatu pengetahuan tentang pengenalan tumbuhan yang paling tinggi di Indonesia.

Bila dilihat dari bagian selatan, Siberut adalah tempat yang sangat ideal. Kecamatan ini terdiri dari 10 desa dengan 85 persen merupakan penduduk Mentawai. Di Kecamatan pemukiman-pemukiman lama masih bertahan. Di kecamatan ini terkenal adanya daerah Sarereiket dan Sakuddei yang dipandang melanggengkan keaslian budaya Mentawai yang tradisional. Di sini kita dapat melihat contoh par exellence, bagaimana masyarakat yang dicitrakan sebagai masyarakat tradisional—bahkan primitif—bersinggungan dengan proses-proses yang melanda belahan dunia lainnya: Kehadiran kolonial, pemerintah, perluasan dan perkembangan pasar, antropolog, NGO (Non government Organization) dan turis domestik maupun mancanegara.

Beralih pada sisi lain, potensi alam di Siberut bagian utara memiliki daya tarik yang sangat kuat. Terlebih, demikian kuatnya, menarik minat para pemilik modal. Sehingga sempat dan agak membingungkan serta sarat ketidakkonsistenannya pemerintah: Menteri Kehutanan mengeluarkan surat nomor '102/Menhut-VI/2001' yang ditujukan bagi PT Salaki Summa Sejahtera (SSS) guna mendapatkan cadangan areal seluas 49.440 hektar, disusul surat nomor '287/Menhut-VI/2003 tanggal 8 Mei 2003' perihal pembatalan cadangan areal konsesi yang telah disetujui, dan kemudian surat nomor '665/Menhut-VI/2003 tanggal 17 Desember 2003' sebagai peninjauan kembali. Penetapan aturan yang tidak sesuai. Wajar, jika suatu saat, (atau memang tengah berlangsung?), adanya praktek illegal logging dan ketidaksesuaian dengan aturan yang telah ditetapkan.[3] Ditambah lagi: Menteri Kehutanan M.S. Kaban, pada awal Mei 2007 dalam pemberitaan Kompas tahun lalu, telah mengeluarkan surat izin hak pengelolaan hasil hutan (HPH) bagi PT SSS untuk melakukan penebangan hutan di wilayah utara Pulau Siberut. Izin HPH berlaku selama 45 tahun.[4]

Hutan Siberut adalah hutan adat dan tanah ulayat Suku Mentawai, di mana mereka sangat menjaga hutannya karena demikian tinggi ketergantungan mereka terhadap hasil hutan. Namun, oleh tangan kekuasaan daerah tersebut dikeluarkan HPH dan izin-izin pemanfaatan kayu (IPK) yang merupakan sumber kehancuran hutan dan sendi-sendi budaya Pulau Siberut. Kondisi spesifik Siberut tidak bisa disamakan dengan kondisi hutan di daratan; karena kalau tidak ada kapal yang mengangkut, tidak akan mungkin kayu keluar dari pulau ini. Hanya orang yang 'punya duit' yang mempunyai kapal pengangkut kayu. Ini yang pertama.

Kedua, fakta sejarah di Siberut menunjukkan hal yang bertentangan. Beberapa studi di Siberut menunjukkan bahwa masyarakat hanya mendapatkan porsi tiga hingga lima persen dari seluruh keuntungan HPH. Sangat minim jika masih ditambah dengan dampak kerusakan hutan dan lingkungan yang masyarakat rasakan langsung untuk jangka waktu yang panjang. Porsi keuntungan sistem HPH adalah: HPH 66,7 persen, pusat dan provinsi 23,5 persen, kabupaten 6,1 persen dan masyarakat 3,6 persen.

Dalam kasus di Siberut, ancaman selain HPH adalah justru datang dari para Bupati yang menerbitkan IPK yang dampak lingkungannya sangat mengerikan. Pada tahun 2002 udah beroperasi 5 IPK dan menyusul 17 IPK(!). Jika begini, HPH mana yang bisa memberikan kesejahteraan pada masyarakat sekitar?

Konflik Horisontal

Kajian lapangan menunjukkan, kegiatan HPH Alam PT SSS, setidak-tidaknya menyebabkan konflik horisontal antar Uma atau marga dan antar keluarga dalam Uma yang merupakan suku. Karena, lahan di Mentawai adalah milik Uma, bukan milik perorangan. Ditengarai, realitas keberadaan PT SSS di Siberut Utara tidak mendapat dukungan luas dari masyarakat setempat. Sementara, pihak perusahaan menggunakan “tangan kokoh” untuk mengantisipasi masyarakat yang tidak berpihak kepadanya: Iming-iming duit tentu saja.

Dengan memberikan izin beroperasinya HPHA PT SSS di wilayah Siberut Utara sama dengan melegalkan pembabatan hutan alam, ikut berkontribusi terhadap pengrusakan lingkungan, penghancuran terhadap masyarakat adat maupun nilai-nilai adat yang mereka terapkan dan penghancuran sumber kehidupan masyarakat. Dengan demikian, berarti Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dan ikut berkontribusi terhadap dampak negatif eksploitasi sumber daya alam hutan di Pulau Siberut. Ini semakin memperkuat dugaan perselingkuhan yang terjadi antara pihak pemilik modal dan pihak pemerintah terkait. Kita, hanyalah salah satu dari sekian banyak orang yang prihatin atas kebijakan yang telah Depertemen Kehutanan keluarkan untuk HPH yang sedang dan akan dan terus beroperasi di Pulau Siberut.

Sementara semakin banyak yang mendukung adat dan usaha pelestarian lain dan mengikuti pertemuan-pertemuan LSM, berdemontrasi, membuat petisi anti perusahaan, mereka lebih sering dipandang secara hati-hati dan penuh selidik. Kadangkala, mereka dilihat sebagai musuh dalam selimut. Tidak satu dua orang, yang dulunya getol menyuarakan perlunya pelestarian alam dengan adat sebagai tumpuannya, belakangan menjual lahan dan bekerja sama dengan perusahaan kayu. Konflik meluas, melibatkan Uma lain dan menyiratkan konflik horisontal yang laten. Kasus lain adalah yang terjadi pada anggota organisasi adat masyarakat Mentawai yang dibayar oleh perusahaan setiap bulannya, meski visi dan misi organisasi tersebut diantaranya adalah tidak adanya penebangan komersial skala besar di Siberut.

Konflik horisontal semacam itu bukanlah sekali dua kali terjadi. Banyak Uma mengalami perpecahan internal karena sebagian anggota Uma menghendaki penjualan lahan, sementara yang lain menghendaki tetap lestari; sementara yang lain lagi, menghendaki penebangan kayu yang diolah sendiri. Peristiwa-peristiwa yang menunjukkan naiknya kadar politik identitas di Siberut—demonstrasi ke Padang, pertemuan dengan Menteri Kehutanan, pembentukan kabupaten baru—dalam upaya menunjukkan pandangan tentang hutan, membangkitkan kembali ingatan-ingatan akan perebutan tanah dan hutan di masa lalu.

Dengan mereproduksi cara pemerintah dan perusahaan kayu dalam menanganinya, hutan sekarang bagi penduduk setempat menjadi lahan tak bertuan seperti pada masa awal pembentukan Uma. Siapa yang menang klaim, dia yang akan menguasai. Erosi ikatan Uma, menjadi pelatuk bagi masyarakat untuk menjadikan hutan sebagai “common property”. Hutan dapat dijual siapa saja yang mempunyai akses dengan HPH. Semua berbondong-bondong menawarkan tanah mereka secepat mungkin. Kesepakatan penjualan seringkali tidak melibatkan persetujuan kolektif dan ini membuka perseteruan internal Uma atau sesama keturunan yang mewarisi tanah.

Di dusun Rokdok dua Uma (Sarokdok dan Sakulok) pecah menjadi 7 Uma baru: Sarokdok I, Sarokdok II, Sarokdok II, Sarokdok III, Sakulok I, Sakulok II, Sakulok III. Di Madobak, Uma Sabaggalet mendirikan dusun tandingan karena pemerintah desa tidak memberi surat izin penjual hutan ke perusahaan; kasus perpecahan Uma Sanene juga terjadi di Saibi; konflik Uma di Sotboyak (Sirirui dan Siritoitet) masih belum menemukan kata sepakat.

Belakangan, fakta-fakta bahwa masyarakat Mentawai terikat dengan tradisi, hidup subsisten, keeper of the forest, seperti yang telah dinarasikan oleh antropolog dan etnograf tahun 1970-an, sudah jarang ditemukan. Hutan mengalami perluasan nilai dan tidak hanya dinilai spiritual lagi. Gagasan tentang tradisi yang alamiah dalam mengelola hutan, barangkali, di masyarakat Siberut sendiri tidak punya pengikut.

Di Siberut, bahwa kembali ke adat adalah bagaimana bupati, kepala DPRD, atau pejabat-pejabatnya harus dipilih yang beragama Kristen atau Katolik. Ini tentu saja kontradiktif, sebab agama-agama tersebut adalah agama yang datang dan diimpor dari luar. Sementara agama lokal sendiri, Arat Sabulungan, tidak menjadi alternatif bagi adat.

Dalam hubungannya dengan pengelolaan sumber daya alam, adat menerjemahkannya dengan upaya pengelolaan sumber daya alam tanpa perantara siapa pun. Masyarakat Mentawai sering menyatakan tidak ingin melakukan apa pun dengan pelaku perubahan dari luar. Ada kesadaran bahwa pemerintah, perusahaan kayu atau konservasi, ingkar janji.

Perubahan Sosial

Tercatat dalam salah satu ungkapan penduduk Madobak: “Tanah Siberut, adalah tanah kami. Tanah leluhur kami. Kami berhak memanfaatkannya dengan cara apa pun. Orang luar tidak berhak mencampuri urusan ini. Kami boleh menjualnya ke perusahaan atau membiarkannya jadi rimba raya. Kalau ada orang yang macam-macam, kami akan mendendanya (tulou) dengan berat berdasarkan adat.”

Pernyataan di atas pun kontradiktif. Pengakuan hak mengelola sumber daya alam bagi masyarakat merupakan pengakuan dari luar, tetapi orang luar yang mengadvokasinya tidak boleh melakukan intervensi apapun terhadap hak mereka. Retorika itu menyiratkan adanya keinginan untuk membuat pilihan-pilihan terhadap sumber daya bersifat manasuka. Tidak tergantung dari agenda konservasi maupun agenda eksploitasi.

Tumbuh dalam kesadaran politik mereka, selama ini mereka menjadi objek mainan dari orang luar. Kira-kira, perasaan ini terwakili dalam anekdot yang sangat terkenal di Siberut: “Penebang ambil uang, Taman Nasional ambil uang. Mereka semua datang buang tinja lalu pergi. Sementara, kitalah yang membersihkan taiknya. Sekarang kita yang buang tinja, kitalah yang membersihkannya.” Ironis. Ironis sekali bahwa kekayaan keanekaragaman hayati yang tidak ternilai harganya ini, telah selamat dari bencana tsunami 2004 yang meluluhlantakkan kawasan pantai barat Sumatra; tetapi sekarang, terancam oleh perdagangan balak kayu yang tidak pernah dapat mengembalikannya ke tempat asalnya semula. Terancam dengan adanya babak demi babak, arena atau media “perselingkuhan” baru di antara kaum pemodal dan aparat pemerintah.

Film pendek dokumenter Luka Hutan Siberut (Kisah Suku Mentawai dan Hutannya) yang berdurasi 24 menit oleh Indonesia Forest and Media Campaign (INFORM), membawa kita pada suatu persoalan dan bahasan yang tidak jauh beda. Kini, perubahan-perubahan sosial tengah tumbuh, yang bagi kebanyakan masyarakat Siberut berlangsung tidak menentu, bersama kontradiksi-kontradiksi yang dibawanya telah menghubungkan masyarakat Siberut dengan wacana yang sedang terjadi di seluruh dunia.

“Luka Hutan Siberut” adalah satu dari antara film-film lain tentang dinamika hidup tentang suku Mentawai, baik yang dibuat oleh turis, peneliti, maupun aktivis konservasi, yang beredar ke penjuru dunia dari Amerika ke Amsterdam dan mengabarkan ancaman perusakan pulau eksotik. Begitu sebaliknya, film-film Jane Goddal dalam National Geographic dan kepahlawanan Chico Mendez mempertahankan hutan Amazonia telah beredar hingga ke pedalaman Siberut. Kayu gelondongan dan produk hutan Siberut telah melintasi benua dan menjadi furnitur yang membuat orang “tampak lebih beradab”. Begitu pula sebaliknya, kayu-kayu itu mengundang orang-orang yang “tampak lebih beradab” dari benua lain, datang melindunginya.

Itulah pusaran angin puting-beliung, yang telah menghasilkan hal-hal yang tidak terduga: Individualisasi agresif, penjualan hutan, dahsyatnya konflik horisontal, ributnya wacana ekologi, serta merangseknya pasar dalam kehidupan sehari-hari. Semuanya menandai punahnya konsepsi “tradisional” tentang hutan. Hutan bukan lagi tempat roh dan sumber subsistensi.

Periode ini sejalan dengan perubahan-perubahan struktur sosial, sistem ekonomi tunai dan terkikisnya ekonomi subsisten. Jika sepanjang hidup, mereka terus menemukan hutan dengan perubahan yang amat sedikit, maka retorika konservasi memperkuat persepsi masyarakat Mentawai akan terbatasnya hutan, degradasi lingkungan dan gerakan-gerakan penyelamatan hutan hujan tropis yang berkembang di dunia.

Pun sebaliknya, meski kesadaran lingkungan diresapi, pandangan tentang hutan mengalami kristalisasi. Hutan sekarang dipandang sebagai aset yang akan membawa mereka ke arah kemajuan. Sementara mereka menyadari bahwa hutan terbatas, penjualan balok kayu adalah salah satu cara menggapai masa depan. Berkembangnya kesadaran bersekolah, bepergian ke penjuru dunia, pengobatan modern dan kebutuhan pangan beras hingga minum kopi serta teh manis, secara teratur telah menjauhkan kapasitas subsistensi hutan. Dengan mengikuti konsumsi barang-barang lain, kini mereka melihat hutan sebagai bulagat taikamanua—uang yang masih berbentuk roh.

Di ujung cakrawala lain, fajar otonomi identitas politik, angin kedaulatan telah berhembus. Tangga untuk terlibat dalam wacana dunia, sayup-sayup terlihat. Respon-respon terhadap angin puting-beliung itu pastilah berbeda-beda, memperlihatkan banyaknya jumlah hitungan kepala dalam merespon arus tersebut.

Tidak seperti manusia modern lain yang berimajinasi tentang totalisasi dunia, kebanyakan masyarakat Mentawai melihat dunia sebagai nilai yang tidak pernah bisa dikuasai dan diakses sepenuhnya. Mereka hanya bisa menerima separuh dan menolak sebagian, menghormati di satu sisi dan memberi kecaman di sisi yang lain, bersikap reseptif serta resisten pada waktu yang bersamaan. Apapun perubahan dari luar, harus menyesuaikan dengan pengalaman material Siberut yang partikular.

Respon-respon masyarakat yang terjadi adalah internalisasi pengalaman aktif selama ini. Lewat lintasan waktu, kita bisa melihat pilihan-pilihan tindakan orang Siberut terhadap perubahan hutan, dan nilainya selalu taktis, dalam pengertian sesuai dengan pengalaman material sehari-hari. Pandangan masyarakat terhadap hutan juga mengalami evolusi yang tidak sederhana dan selalu berubah melintasi sejarah.

Sementara mereka menerima retorika konservasi dan berdiam diri terhadap dinamika kebijakan Menteri Kehutanan yang melegalkan perusahaan kayu, secara diam-diam mereka pun tengah menghubungkan diri dengan situasi yang ada di luar. Apakah itu termasuk wacana tentang hak-hak adat, bencana akibat pemusnahan hutan, atau gerakan lingkungan hidup global. Perlahan namun pasti, cara ini mengefektifkan renegoisasi hutan, merumuskan kembali kesepakatan bersama, yaitu: Hutan sebagai satu-satunya potensi alam yang menarik semua orang luar untuk berdatangan ke pulau ini. Semakin hari semakin kuat, masyarakat Mentawai Siberut menarik kesimpulan-kesimpulan dari peristiwa empirik yang menumpuk di belakang pengalaman: Susutnya panen ikan, banjir tahunan, kesulitan air bersih dan keringnya mata air saat musim kemarau tiba, dan di atas itu semua: Punahnya keragaman hayati.[5][]

-------oooOooo-------



[1] Kutipan dalam situs “Puailiggoubat.ycm-mentawai.org” dari majalah TROPIKA terbitan Conservation International Indonesia pada pranala http://puailiggoubat.ycm-mentawai.org/berita_370_siberut_dimata_emil_salim.html.

[2] Artikel “Kekayaan dan Kerapuhan Pulau Siberut” dalam situs CONSERVATION.or.id, arsip termuat pada pranala http://209.85.175.104/search?q=cache:ihL1cNCmOkIJ:www.conservation.or.id/home.php%3Fmodul%3Dnews%26catid%3D23%26tcatid%3D368%26page%3Dg_news.detail+Kekayaan+dan+Kerapuhan+Pulau+Siberut&hl=id&ct=clnk&cd=1&gl=id. Jakarta, tanggal 12 Oktober 2006.

[3] Artikel “Menyoal HPH PT SSS di Pulau Siberut (Surat Terbuka Untuk Menteri Kehutanan)” dalam situs Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada pranala http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/shk/hut_hph_siberut_100504/.

[4] Artikel “Lingkungan Hidup—PT SSS Sadari Masalah Siberut Sensitif” dalam situs Kompas Cetak, 26 Juli 2007 pada pranala http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0707/26/sumbagut/3716552.htm.

[5] Kutipan artikel “Pengetahuan Lokal/Tradisi Dalam Perubahan Sosial: Pengalaman Pulau Siberut, Sumatra Barat” oleh Darmanto pada situs internet Info Sumatra <http://infosumatra.com/v2/index.php?news=111> dari situs Akar Foundation, tanggal 19 Maret 2008, dalam pranala http://akarfoundation.wordpress.com/2008/03/19/pengetahuan-lokal-tradisi-dalam-perubahan-sosial-pengalaman-pulau-siberut-sumatra-barat/.