Entitas Tauhid dalam “Ada-dan-Tiada” Parmenides


Oleh Rahmat Ali

ADA seorang filsuf[1] yang berasal dari zaman Prasokratik,[2] namanya Parmenides. Kalau ditulis dengan aksara Yunani adalah sebagai berikut: Παρμενίδες. Parmenides lahir sekitar tahun 515 SM (menurut kesaksian filsuf Plato) di kota Elea, sebuah koloni Yunani, sebelah selatan negara semenanjung Italia sekarang. Namun, catatan literatur-literatur lebih banyak menulis kelahiran beliau pada 540 dan wafat pada 473.

Jauh sebelum Parmenides, filsuf-filsuf Prasokratik sudah ada yang eksis, yaitu: Herakleitos, Xenophanes, Pythagoras, Anaximenes, Anaximandros dan Thales. Sesudah beliau, ada Zenon serta Melissos, dan seterusnya.[3]

Sebagai filsuf pertama yang meletakkan dasar metafisika, yakni ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal nonfisik atau tidak kelihatan, Parmenides berpendapat bahwa ‘yang ada’ adalah ‘ada’ dan yang ‘tidak mungkin’ adalah ‘tiada’. Parmenides memiliki pendapat bahwa sesuatu bukanlah bentuk keilahian melainkan kebenaran, cuma ia tetap; jadi dunia—menurut Parmenides, bangunnya statis.[4]

Seraya menyikapi penuh syak wasangka pada kemampuan indrawi yang dikatakan sering menipu, ternyata Parmenides meyakini ketetapan nalar dalam mencerap dan memeluk kebenaran mutlak, yakni “Ada”. Beliau menganggap, segala sesuatunya pasti ada. Tidak ada sesuatu yang muncul dari ketiadaan, dan tidak ada satupun yang ada menjadi tiada. Dengan kata lain, beliau menegaskan bahwa tidak ada perubahan yang aktual, tidak ada yang dapat menjadi sesuatu yang berbeda dari yang sebelumnya.

Konsekuensi pernyataan “ada dan tiada” tersebut ada empat, yaitu: ‘Yang ada’—pertama—merupakan ‘satu’ dan ‘tidak terbagi’; kedua, ‘yang ada’ adalah ‘kekal’, tidak mungkin ada perubahan; ketiga, ‘yang ada’ adalah ‘sempurna’, yakni tidak bisa ditambah atau diambil darinya; dan, keempat, ‘yang ada’ adalah ‘mengisi segala tempat’ yang akibatnya tidak mungkin ada gerak sebagaimana klaim Herakleitos yang sering dipersandingkan sebagai antipode beliau.” [5]

Permenides sadar sepenuhnya bahwa sifat alam adalah dinamis; karena bagaimanapun, indra kita dapat merasakan semua. Namun, beliau melakukan sebuah gagasan inovatif yang membandingkan antara segala sesuatu yang dapat dilihat oleh indra maupun akal manusia. Jika dipaksa memilih, maka beliau lebih memilih untuk bergantung pada akal sebagai manifestasi kehidupan manusia. Secara jujur, Parmenides mengungkapkan, bahwasanya beliau tidak mempercayai sesuatu meski sudah melihat secara langsung. Indra-indra manusia, menurut beliau, memberikan gambaran yang tidak tepat tentang segala sesuatu yang ada di dunia.

Menurut Parmenides, hakikat keberadaan adalah “tunggal”, tidak terbagi, tidak berawal dan tidak berakhir, tidak muncul dari ketiadaan dan tidak akan lenyap. Beliau mengatakan, tiada masa lampau dan masa depan, melainkan hanya “saat sekarang” semata. Eksistensi ‘sumber’ dan hakikat ‘keberadaan mutlak’ bersifat “Esa”, tidak ada ‘kejamakan’ dan tidak ada ‘perubahan’. Karena perubahan, melintasi fase ‘ketiadaan’ dan munculnya ‘keadaan baru’, hal yang tidak mungkin terjadi bagi ‘hakikat keberadaan’ yang bersifat konstan abadi.

Hakikat keberadaan adalah satu kesatuan yang utuh dan bulat, yakni tanpa adanya pembedaan antara aspek rohani dan aspek jasmani. Maka, ia tidak memerlukan tambahan, melainkan memenuhi ruang, tidak ada ruang kosong; karena, tiada hakikat lain, kecuali keberadaan yang Esa.

Pemikiran Parmenides adalah genial, yakni kecerdasan berpikir yang luar biasa pada zamannya. Genialitas tersebut merupakan perenungan transenden yang mendalam, dan pada era-era para filsuf berikutnya terus mengalami kemajuan, sebagai upaya insan untuk memahami serta meraih imajinasi tertinggi tentang hakikat hidup jasmani dan rohani seutuhnya.

Tiga abad sesudah Parmenides wafat, Yang Mulia (YM) Musa a.s. (‘alaihis`s-salâm; “on whom be peace”) telah mendakwahkan ketauhidan kepada bangsa Israel di Mesir yang berlanjut dengan eksodus bangsa tersebut dari Mesir ke Yerusalem. Kemudian, lima abad setelah kewafatan Parmenides, YM Yesus-dari-Nazaret atau yang lebih kita kenal dengan Sang Isa Almasih a.s., menyampaikan khotbah agung di perbukitan Galilea, menyerukan monoteisme: Peribadatan hanyalah kepada Allah Yang Esa, yang memiliki Kerajaan Surga.

Lanjut setelah sebelas abad masa kewafatan Parmenides, pemikiran beliau semakin menemukan makna transendensinya. Adalah YM Muhammad saw. (shalla`l-Lâhu ‘alaihi wa sallam; “may peace and blessings of Allah be upon him”; †632 M), yang menyerukan umatnya tentang Ketiadaan atau Kegaiban, Ketauhidan, Keilahian, Keesaan, Sumber Energi Yang Tunggal yang meliputi alam ragawi dan rohani, yang meliputi agnostisitas dan transendental, Yang Tiada Awal dan Tiada Akhir, Yang Meliputi semua makhluk, semua sel, semua molekul dan semua atom—bahkan inti atom, Yang tidak terikat ruang dan waktu serta tidak dibatasi oleh logika, dan Yang meliputi segalanya dalam kehidupan dan sesudah kematian.[6]

Tatkala dimaknai, maka hakikat Kegaiban adalah Tunggal, Tidak Terbagi, Tidak Jamak dan Tiada Sekutu. Diyakini pula, bahwa ‘Keberadaan dan Ketiadaan’ pun adalah Kemahakuasaan, Yang Berdiri-sendiri, Pencipta segala sesuatu yang ada, tak kunjung berubah, kekal dan abadi; sedemikian rupa, meski dekat namun jauh; walau tunggal, tapi penjelmaan-Nya nampak dalam bermacam ragam corak.

Semakin tinggi, manakala terjadi perubahan di dalam diri seseorang, maka bagi orang yang dimaksud, Keilahian tersebut adalah manifestasi Tuhan yang baru, sehingga Wujud itu memperlakukannya dengan penjelmaan-Nya yang baru. Orang itu melihat suatu perubahan di dalam Wujud-baru, menurut proporsi perubahan yang ada pada dirinya.

Tetapi, hal tersebut bukanlah seakan-akan terjadi suatu perubahan di dalam Wujud tadi. Karena sesungguhnya, Sumber Energi Yang Tunggal tadi, tidak akan sekali-kali mengalami perubahan. Wujud tersebut memang paripurna. Namun, dengan tiap-tiap perubahan yang berlaku di dalam diri seorang manusia yang menjurus ke arah kebaikan, Wujud Yang Tiada Awal dan Tiada Akhir tadi, menjadikan diri-Nya terhadap manusia di dalam bentuk kejadian baru.

Dengan tiap-tiap upaya mana saja bagi kemajuan pada diri manusia, maka Sang Wujud pun memperlihatkan dirinya dengan penjelmaan yang lebih agung lagi perkasa. Keilahian-Nya menjelmakan eksistensi yang luar biasa, hanya apabila manusia memperlihatkan suatu perubahan di dalam dirinya secara luar biasa pula.[7]

Jelas bahwa Keadaan-dan-Ketiadaan tidak mungkin tertangkap dengan pengamatan indrawi atau agnostik. Tetapi, dengan proses kognitif atau yang berdasar kepada pengetahuan faktual empiris, maka akal pikiran akan mampu memahami Keadaan-dan-Ketiadaan sebagai kenyataan terbesar dalam hakikat keberadaan segala sesuatu. Akal dan Ilmu sebagaimana dimaksud Parmenides adalah satu kesatuan. Kenyataan yang benar bukan didasarkan pada pengamatan indrawi, melainkan hanya dapat kita ketahui dengan akal. Bahkan, beliau menegaskan, segala pengetahuan dan gagasan-gagasan tentang kemajemukan dan perubahan, adalah semata penipuan indrawi dan merupakan keberadaan semu. Keberadaan Yang Hakiki—Yang Maha Tunggal—hanya dapat kita ketahui dengan akal bukan dengan indra.[8][]

-------oooOooo-------


[1] Filsuf artinya ahli atau orang yang berfilsafat. Secara etimologis, “filsafat” berasal dari bahasa Yunani: Ph-i-l-o s-o-ph-i-a (Φ-ι-λ-ο σ-ο-φ-ί-α); philo berarti cinta, sophia adalah kebijaksanaan atau kebenaran; jadi artinya: Mencintai kebijaksanaan atau kebenaran. Filsafat muncul karena beberapa faktor, terutama adanya pertentangan antara mitos dan logika, munculnya rasa ingin tahu, adanya rasa kagum serta perkembangan kesusastraan. Karakter filsafat sendiri adalah skeptis, milik komunal, disinterestedness atau tidak untuk kepentingan tertentu, dan universalisme atau hak seluruh manusia. Adapun pembagian filsafat menurut Aristoteles ada empat cabang, yaitu: logika, filsafat teoritis (fisika, matematika, metafisika), filsafat praktis (etika, ekonomi, politik) dan filsafat peotika atau kesenian. Pada intinya, obyek kajian filsafat tidak terlepas dari Tuhan, manusia dan alam.

[2] Para Filsuf Prasokratik disebut para Filsuf Alam, karena obyek yang mereka persoalkan dan mereka pikirkan adalah makrokosmos atau alam semesta, yakni kenyataan hidup dan ragawi. Jadi, perhatian tokoh-tokohnya mengarah kepada apa yang dapat dicermati sebagai suatu fenomena, yang kemudian lazim disebut Filsafat Alam. Kefilsafatan Yunani, yang merupakan filsafat berpengaruh sepanjang sejarah, dimulai sekitar tahun 625 SM.

[3] Kota Miletos adalah tempat kediaman berkembangnya Filsafat Yunani Era Pertama (Milesian School), yaitu: Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Golongan kedua adalah filsuf Herakleitos, masih di bawah pengaruh pendahulunya, Thales. Mazhab ketiga adalah para Filsuf Elea (Eleatic School), komandannya adalah Xenophanes yang taat beragama, diikuti Parmenides, Zenon dan Melisos. Xenophanes menyatakan bahwa Tuhan hanya satu yang terbesar di antara manusia dan dewa, tidak serupa dengan makhluk fana. Era berikutnya dihiasi Pyhtagoras dan pengikut-pengikutnya yang religius, non politik dan menghormati Dewa Apollo.

Lalu timbul kembali para Filsuf Alam yaitu: Empedokles dan Anaxagoras yang mewakili para filsuf Pluralis, serta Leukippos dan Demokritos yang mewakili para filsuf Atomis. Setelah itu, muncul aliran baru yang disebut Sofisme atau kaum cerdik pandai, yang pandai retorika, mengajarkan relativisme dan skeptisisme sebagai pokok ajaran mereka. Ironisnya, retorika pula yang menumbangkan aliran ini. Penganjurnya adalah Protagoras, Gorgias, Hippias, dan Prodikos. Athena, kota tempat berkembangnya aliran ini, memudarkan kejayaannya.[] (Willson Gustiawan—artikel ~ kutipan berbagai sumber, Terbenam dalam Bantal Filsafat, 1 Juli 2008, http://manarabbani.co.cc/?p=4)

[4] Seorang murid Parminides, Zenon, mendukung pendapat gurunya dan membantah dalil-dalil lawannya dengan mengemukakan “paradox”. Dan Melisos, murid beliau yang lain, mempertahankannya dengan alasan yang positif.[] (Willson Gustiawan (artikel, kutipan berbagai sumber), Terbenam dalam Bantal Filsafat, 1 Juli 2008, http://manarabbani.co.cc/?p=4). «Lihat kutipan Dr. Rm. A. Setyo Wibowo pada diktat mata kuliah pertemuan kedua Sejarah Filsafat Yunani STF Driyarkara Jakarta tanggal 2 September 2008 dalam fragmen-fragmen Parmenides, e.g. DK 28 B 2 “Proclus, Komentar untuk Timaios I, 345, 18”.»

[5] Alih-alih meyakini ketetapan mengenai ‘yang ada’, Herakleitos (kira-kira 540-480 SM) filsuf dari Ephesus di Asia minor ini, beranggapan bahwa aliran atau perubahan terus-menerus, merupakan ciri dari alam yang paling mendasar. “Segala sesuatu terus mengalir,” kata beliau. Segala sesuatu mengalami perubahan terus-menerus dan selalu bergerak, tiada yang menetap. Kita tidak dapat melangkah dua kali ke dalam sungai yang sama, kalau saya melangkah ke dalam sungai untuk kedua kalinya, maka saya atau sungainya yang berubah, ujar beliau melanjutkan. «Lihat kutipan Dr. Rm. A. Setyo Wibowo pada diktat mata kuliah pertemuan kedua Sejarah Filsafat Yunani STF Driyarkara Jakarta tanggal 2 September 2008 dalam fragmen Herakleitos Platon “dialog Kratylos 402a”.»

Baik Parmenides dan Herakleitos, sama-sama mengemukakan dua hal. Permenides menyatakan; (i) Tidak ada sesuatu yang berubah; dan, (ii) bahwasanya kemudian persepsi indra manusia tidak dapat dipercaya. Heraclitus menyatakan; (i) Segala sesuatu dapat berubah atau mengalir; dan, (ii) bahwasanya persepsi indra manusia dapat dipercaya sepenuhnya.

Adalah Empedokles (kira-kira 490-430 SM) yang berasal dari Sisilia, yang mencoba melakukan sintesa terhadap keduanya. Empedokles menyatakan mereka benar dalam salah satu penegasannya, akan tetapi kurang tepat mengenai penegasan yang lain. Empedocles mendapati, bahwa penyebab pertentangan mereka adalah: Kedua filosof tersebut hanya mengemukakan adanya satu unsur saja. Empedocles menyatakan bahwasanya air murni tetaplah air murni dan tak bisa berubah menjadi seekor ikan atau kupu-kupu. Maka, Permenides benar ketika mengatakan bahwa segala sesuatu tidak berubah. «Artikel Yustinus Prastowo 'Mahasiswa Pascasarjana Filsafat STF Driyarkara' dan 'Anggota Komunitas Filsafat AGORA', Kebenaran--Titik Temu Sebuah Paradoks, dalam tembolok arsip Google.com pada situs internet Kompas Cetak “Humaniora” tanggal 10 Maret 2007: http://209.85.175.104/search?q=cache:NA7yczhzphwJ:www2.kompas.com/kompas-cetak/0703/10/humaniora/3369720.htm+parmenides&hl=id&ct=clnk&cd=9&gl=id&client=firefox-a.» «Dikutip blog Puguh Windrawan pada Ranah Filsafat Peradaban Eropa, “http://puguhwindrawan.blogspot.com/2008/09/ranah-filsafat-peradaban-eropa.html”, arsip September 2008, dari novel filsafat Jostein Gardner, Dunia Sophie, Bandung: Penerbit Mizan.»

[6] Lihat Dr. K.H. Agus Miftach. Ketauhidan dan Tsunami Aceh, situs internet Front Persatuan Nasional (FPN), Jakarta (28 Januari 2005): FPN, http://persatuan.web.id/?p=151.

[7] [Petikan] Mirzâ Ghulâm Aĥmad, Kasytî Nûĥ, Qâdiyân (1902): Dhiyâ`u`l-Islâm Press. ___, Rûĥânî Khazâ`in Jilid XIX, London (1984): Additional Nâzhir Isyâ’at. [Dalam] Mirza Ghulam Ahmad, Ajaranku (Ed. Bahasa Indonesia Our Teachings, penggalan Kasytî Nûĥ oleh Mirza Bashir Ahmad, M.A.), Bogor (1993): Yayasan Wisma Damai, halaman 2, penerjemah: R. Ahmad Anwar.

[8] Agus Miftach, Ketauhidan.