Benang Merah Konsep Yaumi`d-Diin Lintas Peradaban

Pertanyaan Malunkyaputta dan Yan Hui
Bikkhu Malunkyaputta bertanya kepada Sakyamuni Buddha tentang semesta alam, "Apakah semesta alam terbatas atau tak terbatas? Abadi atau tidak?" Sakyamuni Buddha tidak menjawab langsung masalah itu, melainkan ia membatasi penjelasannya pada fakta-fakta esensial dari kehidupan seperti kelahiran, usia tua, kerusakan, kematian, kesedihan, kesakitan, ratap tangis dan penghentian dari semua penderitaan itu. Bahkan menurut Sakyamuni Buddha, pertanyaan Malunkyaputta tidak menolongnya untuk mencapai pelepasan, kedamaian, kesadaran yang dalam dan mencapai Nirvana.

Hadhrat Buddha Gautama a.s., 500 SM
Dialog itu terjadi sekitar 500 tahun Sebelum Masehi. Pada kurun waktu yang hampir sama, Yan Hui bertanya kepada Sang Filsuf Hadhrat Khong Hu Chu a.s. tentang kematian. Beliau a.s. hanya menjawab, "Soal kematian hanya Thian yang tahu."
Pada abad ke-20, menjawab pertanyaan tentang kematian, Sigmund Freud filsuf abad modern hanya menjawab, "Kehidupan adalah perjalanan menuju kematian, kembali kepada konstansi an-organis."
Pertanyaan Malunkyaputta di puri Saviti Jevatana dan Yan Hui di Qufu 2500 tahun yang lalu, masih terus bergema hingga masa pascamodernitas abad ke-21 sekarang ini. Jawaban Sakyamuni Buddha, Khonghuchu dan Sigmund Freud tidak utuh dan tentu tidak memuaskan. Generasi Malunkyaputta dan Yan Hui pada 25 abad yang silam hingga generasi Howard pada zaman aerospace dan cybervision ini, tetap mencari jawaban yang sesungguhnya dari pertanyaan kosmik itu.
Sebelas abad dari masa Malunkyaputta dan Yan Hui, seorang aristokrat Quraisy dari lembah Bakkah atau Makkah Al-Mukaromah bernama Muhammad saw. menyatakan diri sebagai Rasul Allah dan menjawab pertanyaan 11 abad yang lalu itu, dengan penegasan-penegasan yang dapat diartikan sebagai personalitas ketuhanan dan otoritas kehidupan sesudah mati yang merupakan sublimasi kehidupan Ruh setelah Big Bang 'jilid kedua' yang disebutnya secara eksplisit sebagai 'Hari Kiamat'. (Periksa link Pengajian Ke-5 pada Persatuan.web.id)


Hadhrat Khong Hu Chu a.s., 500 SM
Setelah kematian maka semua ruh manusia hidup dalam Yaumi`d-Diin atau Hari Akhirat, yang bersifat nirjasad, suci dan transenden. Jika dalam Al-Rahmaan dan Al-Rahiim Allah lebih menitikberatkan pada fungsi agnostik dan logis, maka pada Maaliki Yaumi`d-Diin, Allah menyatakan totalitas transendental sebagai: Pencapaian akhir manusia yang kembali pada pemurnian zat-nya, yaitu Ruh yang tercipta abadi sebagai bagian dari Sumber Segala Ruh, yang dalam kitab suci Alquran dipersonalitaskan sebagai Allah-dengan-segala otoritas dan kasih sayang-Nya yang agnostik dan transenden. (Periksa link Pengajian Keenam pada Persatuan.web.id)
Konsep Teologis
Maka terjawablah sudah pertanyaan Malunkyaputta dan Yan Hui bahwa semesta alam bersifat terbatas dan fana karena ia berada dalam hukum-hukum agnostik yang terikat ruang dan waktu serta sebab dan akibat. Semesta alam berada dalam lingkup alfa dan omega, berawal dan berakhir. Secara tegas Hadhrat Rasululullah saw. mengajarkan kepada manusia bahwa akhir dari semesta alam adalah Hari Kiamat, merupakan konsep transenden dari teologi Tauhid.
Secara indrawi, Hari Kiamat dapat disiasati sebagai destruksi kosmik, karena adanya mutasi kosmik dan perubahan orbit yang dapat menciptakan Big Bang "jilid kedua", yaitu ledakan dahsyat yang mengakhiri peradaban material semesta alam, untuk kembali kepada peradaban nirjasad, yang dalam konsep transenden disebut Yaumi`d-Diin atau Hari Akhirat.
Ini sekaligus menyempurnakan jawaban Freud. Kematian bukan hanya kembali kepada konstansi an-organis, tetapi lebih hakiki kembali kepada struktur nilai nirjasadi dengan pemurnian dan pemulyaan zat inti yaitu Rohaniah.
Nirvana Buddha, bukan konsep transenden, karena sesungguhnya Nirvana yang arti harfiahnya adalah kekosongan yang hakiki, adalah kondisi psikologis seseorang yang berhasil mencapai individuasi dan ekualitas melalui latihan dan meditasi, sehingga energi psikis mengalir seimbang, memusat pada ego. Sehingga, ego mampu mengontrol semua organ-organ jiwa dengan baik, dan mampu mencapai ekuilibrium atau keseimbangan kognitif yang memberikan kewaspadaan dan kearifan dalam memahami impuls instinktif, seperti fantasi, seksualitas dan sensasi perasaan yang menjadi sumber penderitaan.
Selanjutnya, membawa kesadaran pada proses kontemplasi, yakni Moderasi atau Jalan Tengah dengan Akal Sehat yang menuntun kehidupan kearah perilaku humanitas.
Inilah yang diistilahkan Buddha sebagai Inti Kebenaran Universal. Kondisi itu sama dengan Taoisme (ajaran Hadhrat Lao Tzu a.s.) yang mengakhiri proses kontemplasi dengan kekosongan abadi, yaitu kondisi keseimbangan 'konstitusi jiwa' yang memberikan kemampuan kognitif dalam memahami kolektivisme unsur-unsur alamiah kehidupan. Khong Hu Chu a.s. melangkah lebih empirik dengan menempatkan harmonisme, yaitu serba keserasian dan keseimbangan aspektivitas kehidupan dalam dimensi sosial dan kosmik sebagai puncak pencapaian.
Apa yang dikatakan Sigmund Freud bahwa kehidupan adalah perjalanan untuk mati, yaitu kembali kepada konstansi an-organis, adalah representasi rasionalitas dan logika pada garis batas ruang dan waktu. Bagaimanakah proses setelah kematian? Apakah transferabilitas nilai-nilai kehidupan pada dimensi sesudah kematian?
Baik Freud, Buddha a.s., Khong Hu Chu a.s. maupun Lao Tzu a.s., tidak pernah menjelaskannya. Bukan berarti mereka salah dan sesat. Semuanya adalah tahapan-tahapan perjalanan peradaban, jiwa dan ruh manusia untuk mencapai puncak transcendental, yaitu: Maaliki Yaumi`d-Diin.
Freud, Buddha a.s., Khong Hu Chu a.s. maupun Lao Tzu a.s., dengan falsafah agnostitisme-nya telah memberikan sumbangan yang besar dalam peradaban manusia, dan telah mengeluarkan manusia dari takhayul kepada agnostisitas dan realitas, dan pada akhirnya mempersiapkan manusia untuk menerima teologi Tauhid yang transenden. Ciri-ciri konsep Tauhid adalah personalitas Tuhan Yang Tunggal, Hari Kiamat, Hari Akhirat, yaitu kehidupan sesudah mati seperti alam sorga dan neraka, dalam sistem Yaumi`d-Diin.
Reinkarnasi
Konsep Yaumi`d-Diin sekaligus mengakhiri spekulasi reinkarnasi, yang telah dianut manusia sejak Agama Wu 3 milenium Sebelum Masehi dan masih tampak hingga masa sekarang dalam tradisi Khonghucu, Tao dan Hindu. Reinkarnasi menempatkan manusia sebagai subyek keabadian yang semu. (Periksa link Pengajian Ke-3 pada Persatuan.web.id)

Masjid Nabawi, di kota suci Madinah
Reinkarnasi yang merupakan mitos kelahiran kembali pada hari depan di bumi ini, telah menjadikan kehidupan sesudah mati tetap sebagai bagian dari kefanaan dunia. Artinya manusia tidak memiliki kehidupan rohaniah yang transenden dan abadi. Bahkan Buddha a.s. mengatakan, "Untuk mencapai Nirvana orang harus dapat memutuskan tali reinkarnasi."
Pernyatan Buddha a.s. menunjukkan kesadaran awal sisi transendental dari kehidupan spiritual. Mitos Reinkarnasi yang menjadi ciri-ciri paganisme atau agama bumi dan agama-agama penyembah berhala, merupakan proses spiritual yang terjebak dalam relativitas ruang dan waktu. Dalam hal ini, aspek Das Es yang bersifat pleasure prinsiple menjadi faktor dominan, dan membentuk struktur nilai absurd yang menguasai Das Ich. (Periksa link Pengajian Pertama pada Persatuan.web.id)
Manusia yang memiliki naluri transenden dalam dirinya, tidak akan puas berhenti pada mitos reinkarnasi yang hanya akan bermutasi pada kematian yang paling akhir, dan binasa dalam konstansi an-organis seperti dikatakan Freud. Melainkan terus mencari tiada henti dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan kosmik Malunkyaputta dan Yan Hui, hingga munculnya jawaban Alquran tentang konsep Yaumi`d-Diin. Di sini, kita sudah menemukan benang merah Konsep Yaumi`d-Diin yang Lintas Peradaban.[]