Gus Dur





--
Mencintai Gus Dur Secara Rasional

Masdar Online, 20 November 2007

Gus Dur (Abdurrahman Wahid) termasuk figur yang tidak pernah selesai untuk diperbincangkan mengingat sikap dan pandangannya yang selalu menuai kontroversi. Belum lama ini, seperti yang ramai dipublikasikan media massa di negeri ini, Gus Dur diberitakan telah mengeluarkan “kartu kuning” kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang saat ini dipimpin Hasyim Muzadi untuk tidak mengintervensi “gempa politik” yang terjadi di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Secara genetik, mantan ketua umum PBNU (1984, 1989, dan 1994) dan presiden Republik Indonesia ke-4 ini, termasuk keturunan darah biru. Ayahnya, KH. Wahid Hasyim adalah putra KH. Hasyim Asy’ari, pendiri ormas NU dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang: KH. Bisri Syamsuri. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama besar NU sekaligus tokoh penting bangsa Indonesia.

Namun demikian, popularitas Gus Dur bukan semata-mata karena ia merupakan keturunan darah biru. Popularitas Gus Dur dibentuk melalui proses panjang, di mana ia pernah berorganisasi dan belajar di Mesir, Irak, serta beberapa negara Eropa. Di sejumlah negara tersebut, Gus Dur tekun mempelajari berbagai macam pengetahuan, baik yang lahir dari rahim (tradisi) Islam maupun Barat. Penjalanan panjang pendidikan Gus Dur tentu ikut memberikan kontribusi dalam mempopulerkan nama besarnya.

Gus Dur juga dikenal sebagai pembela sejati orang-orang tertindas yang termarjinalkan di banyak sektor, seperti jamaah Ahmadiyah, Inul Daratista, dan banyak aliran sesat yang oleh kelompok-kelompok tertentu dinilai menghina Islam. Jamaah Ahmadiyah dituduh sudah keluar dari ajaran-ajaran Islam konvensional, sedangkan Inul Daratista dihina karena goyangannya yang mengundang kemaksiatan. Tanpa rasa ragu sedikitpun, Gus Dur tampil membela orang-orang yang teraniaya tersebut di garis terdepan.

Kepedulian dan pembelaan Gus Dur terhadap orang-orang yang tertindas dan teraniaya bukan tanpa dasar dan alasan kuat. Sebagaimana telah dituturkan Eman Hermawan dalam bukunya, 9 Alasan Mengapa Kiai-kiai Tetap Membela Gus Dur (2007), jika sebagian orang yang tidak suka dengan pemikiran dan gerakan Gus Dur tiba-tiba memvonisnya berada di jalan orang-orang yang “tidak benar”, hal itu lebih disebabkan oleh kesenjangan pemikiran antara mereka.

Sedangkan bagi orang-orang yang memahami tradisi berpikir pesantren, akan tampak terlihat bahwa sebetulnya yang dibela Gus Dur bukan aqidahnya jamaah Ahmadiyah atau goyang ngebornya Inul Daratista. Gus Dur membela mereka dari tindak kekerasan dan teror yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang mengatas-namakan Islam. Kekerasan dan teror bertentangan dengan tujuan syariat Islam (maqashid as-syari’ah).

Hal yang sama juga ditunjukkan Gus Dur di wilayah politik. Gus Dur merupakan guru bangsa yang getol memperjuangkan tegaknya demokrasi dan toleransi dalam berpolitik dengan tetap berada di pihak orang-orang termarjinalkan. Logis jika kemudian Gus Dur menolak formalisasi syariat Islam di Indonesia, karena hanya akan melegalkan aneka bentuk pemaksaan sebagaimana yang tertulis dalam bukunya, Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2006). Demokrasi dalam pemikiran Gus Dur lebih relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang plural.

Melalui PKB, perjuangan untuk menegakkan demokrasi dan toleransi dilakukan Gus Dur. Di banyak kesempatan, Gus Dur sering memberikan teladan soal bagaimana format politik ideal yang tidak berseberangan dengan konsep demokrasi dan toleransi pada kader-kader PKB. Karena itu, kader-kader terbaik Gus Dur kemudian merasa nyaman berada di sampingnya dan betah berpolitik di PKB. Posisi Gus Dur dengan seperti itu memberikan warna khas yang kental dalam politik PKB.

Hanya, diprediksi bahwa kharisma dan posisi Gus Dur di PKB tersebut dibaca secara lain oleh sejumlah orang yang memiliki “kedekatan” dengan Gus Dur. Keberanian Gus Dur mengambil keputusan kontroversial seakan menjadi justifikasi tersendiri bagi sejumlah orang dekat dan yang mendekat kepada Gus Dur untuk melakukan manuver-manuver politik. Politik instrumentalis, sebagaimana disinyalir oleh banyak pihak, terlihat di sini. Akibatnya, pribadi Gus Dur yang dikenal sebagai demokrat sejati ternodai.

Gus Dur digunakan sebagai referensi oleh sejumlah orang dekat dan yang mendekat kepadanya yang diprediksi membawa kepentingan-kepentingan politik tertentu. Nama besar Gus Dur sering dijadikan referensi dalam pemecatan dan pembekuan pengurus PKB yang marak dilakukan. Padahal, jika dicermati, pemecatan kader-kader dan pembekuan kepengurusan PKB masih perlu dikoreksi pijakannya. Ini juga akan mengganggu konsolidasi partai. Persoalan inilah yang kemudian dibawa oleh sejumlah kiai berpengaruh di PKB ke PBNU beberapa waktu yang lalu.

Perubahan Sikap?
Mencermati perubahan sikap Gus Dur yang berseberangan dengan pemikiran dan karakter sejatinya, muncul kesan bahwa “guru berpihak” yang sekarang ini menjabat sebagai ketua umum Dewan Syuro DPP PKB seakan telah berubah menjadi “guru sepihak”. Gus Dur terkesan tidak demokrat dan toleran lagi, karena keputusan-keputusan politiknya yang kontroversial.

Kesimpulan sementara ini memang perlu diluruskan. Gus Dur tetaplah Gus Dur. Namun, dalam tafsir saya yang bisa jadi berbeda dengan tafsir orang lain, Gus Dur yang kini berbeda dengan Gus Dur yang dulu. Jika Gus Dur yang dulu suka berbagi dan berdialog dengan kader-kader terbaiknya, maka Gus Dur dalam konteks kekinian “dikelilingi” kader-kader berkepentingan politis. Jadi, sumber masalah di tubuh PKB bukan semata-mata terletak pada Gus Dur secara personal.

Dengan meminjam analisis Yasraf Amir Piliang dalam buku Transpolitika (2005), orang-orang yang memanfaatkan kharisma Gus Dur potensial menjadi pribadi-pribadi plastis (split) yang dapat berubah wajah karena alasan-alasan tertentu. Pribadi-pribadi plastis tidak hanya memiliki dua wajah, tetapi jamak. Dalam konteks ini, tidak heran jika mereka memilih mencintai Gus Dur dengan selalu merujuk kepadanya demi kepentingan-kepentingan politis. Gus Dur seakan diposisikan sebagai komoditas politik dalam “cinta eksploitatif” mereka.

Mencintai Gus Dur karena kepentingan-kepentingan politis belaka, jangan dibiarkan terus terjadi. Besar kemungkinan Gus Dur sendiri tidak akan pernah berkenan dicintai dengan motif-motif semacam itu. Jika ingin mencintai Gus Dur secara rasional, cintailah dengan sebenar-benarnya cinta. Cinta yang sejati dan tanpa ditunggangi kepentingan apa pun, kecuali cinta itu sendiri. Ini penting direalisasikan demi “kesakralan” nama besar Gus Dur dan kemajuan PKB. (Syaiful Bari)....


Shared with Flock - The Social Web Browser
http://flock.com