Mâliki Yaumi'd-Dîn Buah Sifat Ar-Raĥman dan Ar-Raĥim Allah swt.

Cuplikan Khotbah Jumat Hadhrat Khalifatul Masih V atba. Tanggal 9 Maret 2007

Mâliki Yaumi'd-Dîn Buah Sifat Ar-Raĥman dan Ar-Raĥim Allah swt.

LONDON, LB—Khotbah Jumat Imam Jemaah Islam Ahmadiyah Sedunia Hadhrat Amirul Mukminin Khalifatul Masih V atba. yang disiarkan MTA langsung melalui satelitsatelitnya ke seluruh dunia dari Mesjid Baitul Futuh London, Inggris minggu lalu, Jumat, 9 Maret 2007, mulai menginjak pada bahasan Sifat Mâlik Allah swt., Yang Maha Menguasai.

Pada awal khotbah tersebut, Hudhur atba. Menyinggung sabda Hadhrat Masih Mau’ud a.s. yang menyebutkan bahwa Mâliki yaumi’d-Dîn merupakan sifat-Nya yang keempat sebagai sifat yang paling penuh dengan kebijaksanaan. Sifat ini merupakan buah dari sifat Ar- Raĥman dan Ar-Raĥim Allah swt. yang secara khusus Dia wujudkan kepada setiap orang yang memiliki keimanan penuh kepada-Nya dan yang menjadi hamba-Nya secara tulus serta sungguh-sungguh.

Mâliki yaumi’d-Dîn berarti bahwa Allah swt. Merupakan Sang Pemilik dan Penguasa pada Hari Pembalasan atau Hari Kiamat. Dan dalam Surah ke-40 Surah Al-Mu’min ayat 17, pada Hari Pembalasan itu, yang jadi pemilik dan pengatur hanya Tuhan saja sebagai Pemilik Kekuasaan Tertinggi dan Kekuatan.

Hudhur atba. juga menyinggung penjelasan Hadhrat Allamah Fakhruddin Ar-Razi r.h. mengenai Sifat ini yang di dalamnya terdapat kepemilikan penuh atas mahluk-makhluk ciptaan-Nya. Dan jalan apa pun yang Allah swt. kehendaki, Dia akan menggunakannya. Tanpa membuat sekutu dengan yang lainnya, Allah swt. memiliki hak penuh terhadap semuanya. Allah swt. tidak dapat dikendalikan oleh siapa pun dan apa pun.

Dialah Al-Malik, yang menjadi Rabb, yang merupakan Pemilik maupun Penguasa dan Penciptanya. Keluhuran sifat-Nya yang keempat ini, terkait pula dengan dengan perbuatan Allah swt. Yang akan mengganjar atau membalas perbuatan seseorang. Dalam firman-Nya “Mâliki yaumi’d- Dîn” pada Alquran Karim Surah Al-Fatiĥah itu berarti, bahwa Allah swt. akan membangkitkan kita pada Hari Pembalasan.

Sebagaimana penjelasan yang tersirat dalam Surah ke- 53 An-Najm ayat 32 dan Surah ke-38 Shâd ayat 29, Hadhrat Allamah Fakhruddin Ar-Razi r.h. mengatakan bahwa pada hari tersebut akan terlihat suatu perbedaan: Siapa-siapa saja yang telah melakukan amal perbuatan baik dan perbuatan dosa, siapasiapa saja yang berserah diri kepada-Nya maupun yang menolak serta mengingkari-Nya.

Hal ini, disinggung juga dalam Surah ke-20 Thâ Hâ ayat 16, bahwa saat tersebut pasti akan datang. Karena, Allah swt. akan mengganjar atau membalas setiap orang sesuai dengan usaha yang telah ia lakukan. Di tempat lain tercatat, yakni Surah ke-99 Al-Zilzâl ayat 8 sampai 9, bahwa orang yang—bahkan—hanya mengerjakan perbuatan kecil pun, akan mendapatkan ganjaran. Demikian yang berbuat kejahatan, walau sedikit, mereka akan mendapatkan balasannya pula.

Kedalaman Cinta Kasih dan Sayang Allah swt.

Masih dari penjelasan Hadhrat Allamah Fakhruddin Ar-Razi r.h., menarikanya (!), Hudhur atba. bersabda bahwa sifat Allah swt. ini merupakan suatu zat yang kepada-Nya orang itu bergantung dan meminta atas segala sesuatu. Dan dengan mengucapkan “Mâliki yaumi’d-Dîn”, itu artinya, kita memiliki pemahaman bahwa cinta kasih dan sayang Allah swt. sangat tidak terbatas.

Hudhur atba. mengumpamakan lagi bahwa makna sifat agung Mâliki yaumi’d-Dîn ini ibarat seorang raja yang ketika para pengabdinya jatuh sakit, ia akan datang mengobati dan merawatnya. Jika para khadimnya itu lemah, maka ia akan menolong. Bila ada yang kesusahan, ia akan menolong agar kesulitannya hilang. Begitupun, tidak sekedar memiliki Keagungan dan Kekuasaan Tertinggi saja, dalam sifat-Nya ini, terdapat demikian banyak kasih sayang Allah swt. bagi para hamba-Nya.

Ganjaran Hari Pembalasan

Mengutip penjelasan Hadhrat Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi r.h., Hudhur atba. menekankan bahwa dalam Mâliki yaumi’d-Dîn tidak akan ada seorang pun yang dapat mempertanyakan atau menggugat kekuasaan Allah swt.—sebagaimana yang dilukiskan dalam Surah ke-40 Al-Mu’min ayat 17, bahwa tidak akan ada seorang Penguasa lain atau wujud ghairu’l-Lâh atau selain Allah swt. yang akan memberikan keputusan atau memberikan ganjaran. Maha Suci Dia dan tiada Tuhan yang patut untuk disembah selain Allah swt..

Sementara itu, Hadhrat Mushlih Mau’ud—Khalifatul Masih II r.a. menjelaskan bahwa sifat dalam Mâliki yaumi’d-Dîn memiliki arti, bahwa Allah swt. merupakan Penguasa atau Pemilik Hari Pembalasan. Dan di dunia ini, dengan berbagai hukum alam dan sesuai dengan sifatsifat Tuhan lainnya, segalanya telah Allah swt. takdirkan bagi para hamba-Nya. Allah swt. telah bebas memberikan pilihan kepada kita. Sehingga, hampir tidak ada ganjaran ataupun hukuman yang diberikan dengan segera.

Tetapi, pada Hari Pembalasan kelak, di mana tidak akan ada seorang pun yang dapat melarikan diri, Allah swt. akan memberikan keputusan-Nya mengenai ganjaran dan hukuman. Kita tidak bisa apa-apalagi. Tidak akan ada tobat lagi. Atau, permintaan ampunan. Persis, sebagaimana yang Allah swt. firmankan dalam Surah ke-82 Al-Infithâr ayat 18 sampai 19. Yaumi’d-Dîn adalah hari ketika tidak ada orang yang dapat bertindak atas nama siapa pun. Hanya perintah Allah swt.-lah yang akan dilaksanakan.

Jadi, inilah kedudukan yang amat “mengerikan”. Tetapi pada waktu yang bersamaan, bagi orang-orang Islam maupun yang beriman dan yang bekerja mengikuti perintah Allah swt. dan yang melakukan perbuatan amal saleh; maka, bagi mereka terdapat kabar suka bahwa: Jika kita tulus dan sungguh-sungguh bekerja sesuai perintah Allah swt., maka sifat Mâlik Allah swt. dalam Mâliki yaumi’d-Dîn ini, akan membuat kita menjadi penerima nikmat-nikmat Surga.

Dalam Surah ke-22 Al-Ĥajj ayat 57, Allah swt. menekankan bahwa kekuasaan pada Hari itu hanya milik Dia semata. Allah swt. akan menghakimi dan mengambil keputusan di antara kita. Dan bagi kita yang beriman maupun melakukan amal saleh, terdapat kedudukan Surga yang tinggi, yang indah, yang penuh dengan kenikmatan.

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda bahwa Mâliki yaumi’d-Dîn merupakan Zat yang layak memegang kendali dan memiliki kekuatan—sepenuhnya. Kekuasaan pada Hari itu menjadi kepunyaan Allah swt. semata.

Bukan saja Pemilik, tetapi juga Penguasa. Orang dapat saja berpikir bahwa Allah swt. merupakan Sang Pemilik atau Penguasa sebagaimana yang sudah kita katakan sebelumnya di dalam berbagai arti. Tetapi, Al-Malik yang ini adalah Yang juga Pemilik dari Kerajaan dan Kekuasaan. Sehingga, membuatnya jelas, bahwa segala sesuatu itu ada dalam pengendalian yang sempurna.

Lebih lanjut Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda bahwa pada kerajaan duniawi menggantungkan pada yang lain. Tetapi Allah swt., memiliki kedaulatan dan kekuasaan sedemikian rupa, yang tidak bergantung pada siapa pun, tidak di Dunia ini dan di Akhirat nanti. Karenanya, kekuasaan Allah swt. tidak seperti Raja-raja Dunia, Dia menjadi Pemilik atau Penguasa di mana Dia mengendalikan penuh kekuasaan-Nya yang berlaku di Dunia dan Akhirat.

Sesuai dengan sifat-Nya, Allah swt. memberikan kebebasan kepada makhluk-Nya bahwa Dia telah menentukan mana yang baik dan buruk. Jika kita melakukan perbuatan yang baik, maka Allah swt. akan memberikan ganjaran-Nya yang besar.

Sedangkan jika kita akan—dan malahan sudah—berbuat keburukan, maka Allah swt. akan berfirman bahwa Dia akan dan atau dapat dan berhak menghukum kita. Keputusan penuh mengenai ganjaran atau hukuman ada pada Tangan-Nya. Tiada yang dapat bekerja untuk-Nya. Tidak ada lagi tobat yang dapat dilakukan. Allah akan mengambil keputusan-Nya sendiri.

Oleh sebab itu, bagi orang yang beriman dan beramal saleh, Allah swt. memberikan khabar suka tentang Jannatin Na’îm—surga yang indah dan penuh kenikamatan. Allah swt. juga memberi peringatan kepada orang-orang yang tidak beriman maupun yang berbuat jahat, bahwa Dia akan menghukum mereka.

Dalam Surah ke-83 Al-Muthaffifîn ayat 8, Hudhur atba. menerangkan bahwa hukuman bagi pendosa tertulis dalam sebuah “buku”. Meskipun, bagi orang-orang yang ingkar dan tidak beriman tersebut mengingkari adanya Hari Pembalasan. Mereka berpikir bahwa pilihan dan kebebasan yang telah diberikan kepadanya tidak lebih karena sifat Allah swt. sebagai Al-Malik. Karena itu, mereka terus-menerus melanggar batas yang telah ditetapkan Allah swt..

Sehubungan dengan pelanggaran dan pengingkaran mereka tentang Hari Pembalasan, Allah swt. berfirman dalam Surah ke-77 Al-Mursalât ayat 16 bahwa pada Hari itu orang-orang yang tidak percaya hal ini akan menghadapi hukuman. Karenanya, Allah swt. yang telah memberikan kebebasan sepenuhnya, akan pula memberikan hukuman bagi para pendurhaka yang berdosa dan memberikan ganjaran pahala bagi mereka yang berbuat amal saleh. Tetapi semuanya itu, ada di bawah kendalian-Nya, akankah Dia mengampuni orang-orang yang berbuat jahat tersebut atau tidak.

Namun, ini tidaklah berarti bahwa Allah swt. menghukum dengan tanpa prinsip atau dasar. Pada Hari Pembalasan itu, tidak akan ada lagi permohonan keringanan, tangisan ataupun teriakan. Oleh karenanya, Allah swt. mengingatkan kita untuk berbuat amal saleh. Bila kita mengetahui hal tersebut, maka kita harus memperkuat keimanan. Kita harus memperbaiki kerohanian diri.

Allah swt. amat lunak dalam menjatuhkan hukuman. Raĥman dan Raĥim-Nya akan mengalahkan kemarahan-Nya. Jadi, betapa malangnya orang yang tetap mendapatkan hukuman dari Allah meski dalam sifat Allah swt. terdapat Raĥman dan Raĥim-Nya.

Sehubungan sifat Mâliki yaumi’d-Dîn itu, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda bahwa jika kita ingin memperoleh manfaat dan karunia Allah swt., maka kita perlu bersujud khusyuk dan mendalam. Kita harus memperlihatkan kerendahan hati. Dengan kerendahan hati, kita harus menyibukkan diri dalam salat dan doa, membungkukkan diri, bersujud, berserah diri kepada-Nya. Layaknya seorang pengemis, kita jatuh diri kita pada ambang pintu Gerbang Allah swt..

Urutan Kerja Keempat Sifat Allah swt. Menurut Hadhrat Masih Mau’ud a.s.

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda bahwa semua keempat sifat Tuhan itu—Rabbu’l-‘Âlamîn, Ar-Raĥman, Ar-Raĥim dan Mâliki yaumi’d-Dîn—bekerja di dalam dunia ini juga. Pertama-tama sesuai dengan sifat Rabb-Nya, Allah swt. menghidupi dan membesarkan kita. Kemudian, Allah swt. menyediakan lingkungan yang tepat untuk dapat berkembang.

Kemudian, Dia memberikan sarana kepada kita sehingga dapat mengembangkan tingkatan dan keadaan kita. Jika kita mendapatkan manfaat dari sifat Ar-Raĥman tersebut, maka Allah swt. akan menciptakan ganjaran paling tinggi yang memungkinkan.

Sedangkan pada tataran sifat Ar-Raĥim, Dia memberikan ganjaran atas doa dan usaha kita. Di samping itu, sifat Ar-Raĥim menghendaki agar kita melakukan salat dan doa—kerja keras. Mâlik berarti, kita harus memperhatikan Kepemilikan dan Kekuasaan-Nya dengan kerendahan diri yang mendalam.

Karena sifat ini memperlihatkan bahwa pemberian ampunan ataupun ganjaran Allah swt. itu merupakan karunia atau kemurahan Allah swt..

Selanjutnya, dengan karunia rahmat-Nya, sifat Mâlik Allah swt. memberikan kepada kita kedaulatan dan kekuasaan dunia. Inilah yang telah ditakdirkan-Nya bagi Jamaah Ilahi. Dia memberikan kepada kita pengendalian dan kekuasaan serta keunggulannya.

Untuk mendapatkan itu semua, kita harus melakukan amal saleh dan kerja keras, menjalani segala perintah-Nya dan mengkhususkan untuk beribadah. Inilah hal-hal terpenting agar kita dapat memperoleh karunia kebaikan dan kemurahan-kemurahan Allah swt.. Dengan jalan inilah, kita akan mendapatkan pengampunan serta kebebasan dan kelapangan dari-Nya.

Urutan Balik Kerja Keempat Sifat Allah swt. Menurut Hadhrat Masih Mau’ud a.s.

Namun, bagaimana jika urutannya dibalik? Hadhrat Muslih Mau’ud—Khalifatul Masih II r.a. telah memperbandingkannya dengan yang ada dalam urutan seseorang: Apakah hal ini akan sama ataukah berbeda? Untuk itu, beliau r.a. bersabda bahwa untuk mendapatkan manfaat dari sifat Allah ini, maka urutannya pun diubah. Karena, hamba-hamba itu haruslah terus meningkat maju menuju Tuhan.

Pertama-tama, Mâlik. Yup, kekuatan apa pun yang telah Allah berikan kepadanya, kita harus menegakkan keadilan dalam dan bagi lingkungannya. Ekspresikan sifat Mâlik tersebut dengan cara: Mencoba berusaha menyelamatkan lingkungan kita dari kerusakan dan kerugian. Karena itu, kita harus mengabaikan sesuatu karena Kemalikiyyatan tersebut apakah dari jalan pikiran belas kasih sayangnya atau dengan mengabaikan kesalahan-kesalahan lainnya.

Kemudian, kita harus mengekspresikan Kerahimiyatan Allah swt. sebagai seorang khadim atau khadimah. Bagi kita yang bekerja dalam sebuah lingkungan sosial, maka kita harus menghargai usaha mereka dan harus berusaha memberikan faedah kepada mereka. Kemudian, kita harus terus meningkat maju dari Kerahimiyatan ini dan akan mengikuti sifat Raĥman. Dan dengan membebaskan orang dari rasa takut sehingga hatinya senantiasa terpaut kepada Tuhan, maka kita telah mengekspresikan kualitas Kerahmaniyatan kita—setiap orang mengambil manfaat dari hal tersebut. Artinya, dalam lingkungan sosial tersebut, kita telah mengembangkan ketakwaan dan kesalehan. Itulah gambaran itâ’idzi’l-qurba—sebuah tingkatan amal saleh yang dilakukan atas dorongan rasa kasih sebagaimana terhadap kerabat terdekat.

Kemudian, jika kita terus memajukannya, maka kita harus merefleksikan Rabbu’l-‘Âlamin pada diri kita ketika kita mengadakan reformasi atau perubahan suci dalam masyarakat. Kita harus berusaha menciptakan lingkungan yang sedemikian rupa di mana hal-hal baik dapat kita kembangkan.

Jika urutan-urutan ini diterapkan, maka kedekatan maupun perjumpaan kita dengan wujud Allah swt. merupakan sebuah rahmat atau manifestasi cinta kasih Allah swt. kepada kita. Ini sebuah kekuatan. Kualitas tersebut akan selalu jelas dan nyata bagi seseorang yang memiliki pengendalian dan penguasaan terhadap sesuatu. Terutama, akhlak yang luhur (fadhillah). Status tersebut demikian tingginya dan tak mungkin dimiliki oleh seseorang yang lemah iman. Karena, bagaimana mungkin seseorang yang lemah dan tidak berdaya dapat memanifestasikan sifat Rabbubiyyat dan Rahmaniyatnya maupun sifat-sifat lainnya pada tempat, situasi dan kondisi dalam suatu lingkungan sosial.

Kekuasaan dan kedaulatan apa pun yang kita miliki, harus menunjukkan kualitasnya. Tapi, harus kita ingat dan waspadai, karena terkadang penguasaan terhadap sesuatu dapat saja menimbulkan keangkuhan pada manusia. Namun—tetap, untuk mencari manfaat dan karunia sifat-sifat Allah swt. ini, adalah perlu untuk bekerja dengan penuh dedikasi dan untuk menempa kualitas kita pada sifat tersebut.

Semoga, Allah swt. senantiasa mencurahkan itu semua kepada kepada kita. Sehingga, pada Hari itu nanti, kita akan dapat memperoleh rahmat atau cinta-Nya. Amin.

Berita Duka

Menjelang akhir khotbah, Hudhur atba. menginformasikan beberapa Ahmadi yang telah wafat dan memiliki dedikasi tinggi dalam Jemaat ini. Salah satunya adalah sebagaimana yang pernah disinggung dalam khotbah minggu lalu, seorang syuhada dari Mandi Bahauddin, Pakistan. Namanya Muhammad Ashraf Qasi Balia. Beliau disyahidkan sebagai seorang Ahmadi yang baru masuk atau baiat.

Berita duka lainnya adalah tentang seorang khadim Jemaat yang sudah sepuh. Almarhum bernama Choudhry Muneer Ahmad Arif dalam usia 78 tahun. Pada tahun 1946, Almarhum telah mewakafkan diri dan lulus dari Jamiah pada tahun 1956.

Selama 4 tahun, Almarhum mengabdi kepada Jemaat. Beliau menjadi mubalig dan bertugas di Myanmar, Nigeria dan terakhir sebagai Dosen Jamiah Rabwah, Pakistan, selama 27 tahun. Para mahasiswa Jamiah mengenal Almarhum sebagai sosok lemah lembut dan senantiasa tersenyum. Juga, selama 21 tahun terakhir ini, Almarhum bekerja di Darul Qada.

Sehari sebelum wafat, Almarhum sudah hampir tidak bisa berjalan dan mesti dibantu dengan dua tongkat menuju mobilnya untuk ke kantor. Almarhum menderita jantung dan amat lemah. Selama di Darul Qada, Almarhum banyak mendengar kasus-kasus dan menyelesaikannya, serta siap untuk mengerjakan yang lain. Nazim Qada mengatakan bahwa “Jika Tuan sedemikian sakitnya, mengapa harus memaksa diri untuk datang juga?” Almarhum mengatakan, “Saya tidak dapat mengabaikan tanggung jawab yang telah diberikan kepada saya. Saya harus menyelesaikan tugas saya.”

Beliau wafat pada keesokan hari. Semoga, Allah swt. mengampuni beliau dan meninggikan derajat kerohaniannya. Almarhum meninggalkan seorang isteri bernama Radhiya dan anakanak—satu wanita dan tiga lelaki. “Setelah Salat Jumat, saya akan mengimami Salat Jenazah gaibnya,” ucap Hudhur atba. mengakhiri khotbah.[] (MTA/QMR/SAL/PSI/ASH/LB)

-------oooOooo-------