Ahh...Itu-sih Terjebak dalam Romantisme Masa Silam

4:00 WIB; 17/01/2010

Curhat nih.

Kita sadar bahwa hal ini pun menjadi realitas sosial di sekeliling kita. Kadang, para 'oknum' generasi [yang merasa] tua, selalu saja menghakimi atau (yaa...katakanlah) 'terlalu mudah mengambil kesimpulan' dari sikap generasi yang lebih muda dengan alasan 'mengawal' serta
'demi kebaikan' generasi muda itu sendiri. Padahal, jangan-jangan, na'uudzu bi 'l-Laahi min dzaalik, jika ditelusuri, sebenarnya mereka takut kewibawaannya terancam, kekuasaannya terusik, dan sebagainya. Hehe...

Sesungguhnya KETAKUTAN itu nyata dan harus diakui karena tak ada orang yang lahir, bebas dari rasa Takut. Kebanyakan Rasa Takut bersifat Psikologis dan bersumber dari Imajinasi atau Ilusi yang salah arah/Negatif. Karena Dasar Berpikir Negatif yang menghancurkan Rasa Percaya Diri adalah KETAKUTAN dan didukung dengan ALASAN sebagai Pupuk yang menyuburkan Rasa Takut dan Menghilangkan Rasa Percaya Diri.

Rasa Ketakutan bersumber dari: Rasa Takut terhadap hal yang belum terjadi; Rasa Takut Kehilangan apa yang dicintai (jasmani dan rohani); Rasa Malu untuk bertindak; Rasa Rendah Diri; Rasa Superior (merasa lebih dari yang lain (jasmani dan rohani). (http://adf.ly/18he; 3:58 17/01/2010)

Maka--walhasil, jadilah generasi muda kadang dibatasi, dibungkam, dan seterusnya. Padahal, mestinya mereka haruslah membiarkan proses alam ini terjadi, supaya ada regenerasi. Supaya nanti, generasi muda tersebut bisa berkembang dengan baik. Jaga-sih jaga, kawal mbok-ya-kawal, tapi tetaplah kita buka pintu [kesempatan] dialog dan komunikasi yang ajeg, elegan, santun, dan raĥmatan li 'l-'Aalamiin. ('
ngutip dari http://adf.ly/18gs; 3:16 17/01/2010)

If we could raise one generation with unconditional love, there would be no Hitlers. We need to teach the next generation of children from Day One that they are responsible for their lives. Mankind's greatest gift, also its greatest curse, is that we have free choice. We can make our choices built from love or from fear.
--Dr. Elizabeth Kubler-Ross

('ngutip dari http://adf.ly/18gu; 3:15 17/01/2010)

Persoalan muncul, ketika generasi tua menilai habitus generasi muda-tertentu sebagai "kurang asyik" ataupun "tidak religius" atau "melawan struktur". Dari sini terbit kesan seolah-olah--misalnya: sosialita atau berjejaring di internet--mencemaskan, padahal sejatinya generasi [yang merasa] tua-lah yang tengah kehilangan "dunia lama" mereka. Mereka memang ikut memakai gadget atau perangkat digital (whatever), tetapi jiwanya masih tertambat pada adfontes atau romantisme masa silam. Melihat masa lampau sebagai masa depan. Ya Allah, repot 'ngga yah kalo kayak gitu? (http://adf.ly/18hJ; 3:38 17/01/2010)

Bagaimana menurut Anda?



--
[istghfr-tsbh-slwt-wsslm]
www.RahmatAli.web.id
"Love for All, Hatred for None"
--sent from Gmail.com--