Sumpah Kebangsaan (Bagian II)

[Materi Pengajian Tauhid Wahdatul Ummah FPN ke-185]

Pada tanggal 14 Nopember 1945, Presiden Soekarno mengundurkan diri sebagai kepala pemerintahah, tetapi tetap memegang jabatan sebagai kepala negara. Sutan Sjahrir yang sebelumnya sudah diangkat sebagai Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BP KNIP) diangkat lagi sebagai Perdana Menteri. Ini sebenarnya bertentangan dengan UUD 45. Ini disebabkan adanya pendapat bahwa sistem UUD 45 otoriter dan tidak memungkinkan berkembangnya demokrasi. Pandangan ini yang mendorong lahirnya Maklumat Wakil Presiden Moh. Hatta, tanggal 3 November 1945, yang membenarkan dibentuknya Partai-partai Politik, sekaligus menghapuskan sistem partai tunggal PNI (Partai Nasional Indonesia), yang berlaku sebelumnya. Inilah kecenderungan demokrasi liberal dan pertentangannya denan sistem monolit sejak awal kemerdekaan. Sutan Sjahrir adalah pelopor demokrasi liberal dan sistem parlementer, seperti tampak dalam bukunya berjudul ”Perjuangan Kita” yang terbit pada tanggal 10 November 1945 yang menyerukan likwidasi KNIP menjadi Dewan Perwakilan Rakyat yang bertugas mengawasi pemerintah.

Sutan Sjahrir
Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama yang menyimpang dari sistem UUD 1945.

Moh. Hatta
Wakil Presiden Moh. Hatta, menandatangani Maklumat Pemerintah, tanggal 3 Novemper 1945 yang mendorong lahirnya partai-partai politik, mengawali proses demokrasi liberal yang berakhir antiklimaks dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Kembali ke UUD 1945.

Van Mook
Dr. H.J. Van Mook, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di masa awal kemerdekaan RI.

Tetapi sesungguhnya ditampilkannya Sjahrir bukan semata alasan demokratisasi, tetapi dimunculkannya seorang politisi yang menurut ukuran Belanda bukan kolaborator Jepang. Karena Sukarno dianggap kolaborator Jepang. Di masa pendudukan Jepang Sjahrir memang menolak bekerjasama dengan tentara Jepang dan memilih berjuang memimpin gerakan bawah tanah. Tetapi Sjahrir juga bukan antek Belanda, terbukti dengan strateginya menginternasionalisasikan proses perjuangan kemerdekaan Negara Republik Indonesia dengan melibatkan dan menarik dukungan masyarakat internasional, terutama negara-negara Barat sebagai pemenang Perang Dunia II. Dan pendukung utama Sjahrir dari kalangan petinggi Belanda tak lain adalah Dr. H.J. Van Mook, yang selalu memiliki pendirian bahwa penyelesaian masalah Indonesia yang terbaik adalah dengan jalan diplomasi. Dalam hal ini, Van Mook bertentangan dengan induk pemerintahnya di Den Haag yang tidak mengakui adanya RI dan menginginkan dipulihkannya kekuasaan Hindia Belanda sepenuhnya di Indonesia.

Kelak pilihan demokrasi liberal terbukti keliru, tidak efektif dan menciptakan instabilitas yang melemahkan negara. Anti klimaks krisis politik multipartai itu dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Kembali ke UUD 1945. Langkah serupa agaknya diperlukan pada masa sekarang, setelah terbukti kegagalan demokrasi liberal dalam masa pasca reformasi yang terus terpuruk tanpa ekspektasi.

Kembali ke masa awal kemerdekaan; Dengan dukungan para penasehatnya van der Plas dan Abdul Kadir Widjojoatmodjo, tanpa persetujuan Den Haag, Van Mook mengadakan perundingan langsung dengan Sjahrir secara tertutup, pada tanggal 3 Desember 1945, yang berhasil meletakkan dasar-dasar persetujuan. Politik nekad Van Mook itu ternyata akhirnya diterima juga oleh Den Haag. Hasil perundingan langsung pertama RI-Belanda itu terkenal dengan,”Konsep Batavia”, berisi sebagai berikut:

1. Van Mook mengakui Kabinet Sjahrir sebagai wakil sah Indonesia,
2. Bersama-sama RI dan Belanda akan menyusun sistem pemerintahan baru di Indonesia,
3. Antara Belanda dan RI harus ada perjanjian tertulis mengenai sistem pemerintahan itu,
4. Akan ditentukan masa peralihan untuk memberikan peluang kerjasama mewujudkan sistem pemerintahan tersebut.

Tidak lama setelah perundingan ini, PM Sutan Sjahrir meletakkan jabatan. Sementara pada tanggal 6 Desember 1945 Van Mook diundang oleh pimpinan tertinggi SEAC (South East Asia Commandan) Jenderal Lord Mountbatten, sebagai penguasa Sekutu tertinggi di kawasan ini, ke Singapura, untuk mengadakan pembicaraan dengan pimpinan tentara Inggris Field Marshal Lord Alanbork, yang tengah berkunjung ke Singapura.

Pertemuan Singapura itu mengambil keputusan sebagai berikut:

1. Pasukan Belanda tidak diperbolehkan masuk Jawa dan Sumatra,
2. Pasukan RI tidak diperbolehkan memasuki wilayah Jakarta-Bogor-Bandung.

Tetapi 'ketentuan b' itu tidak dapat dilaksanakan, karena Mountbatten tidak berhasil mendapatkan tambahan pasukan. Maka, SEAC hanya bisa menjadikan Jakarta sebagai wilayah bebas pasukan RI. Maksud Mountbatten agar kedua delegasi dapat berunding dengan tenang di kota Jakarta tanpa ancaman pasukan. Tetapi, keputusan demiliterisasi Jakarta ini, membuat pemerintah RI hijrah ke Yogyakarta. Dan sejak itu, kota Yogyakarta menjadi ibukota perjuangan RI. Apapun peristiwa yang mengiringinya satu hal yang tidak berubah, yang dilihat oleh Lord Mountbatten dan Van Mook, bahwa nyala sumpah kebangsaan untuk merdeka tidak pernah padam. Para pemuda bersumpah ‘merdeka atau mati’, dan para pemimpin bersumpah atas nama Allah bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan Rahmat Allah Yang Maha Esa.

Istana Presiden di Yogyakarta
Gedung Agung, Istana Presiden di Yogyakarta.

Apapun alasannya, sikap Inggris yang menekankan pentingnya penyelesaian diplomasi memberikan peluang besar bagi RI untuk terus eksis. Sikap Inggris telah mencegah Belanda melakukan operasi militer besar-besaran untuk memulihkan kekuasaannya atas negeri jajahan Hindia Belanda.[] (GM/FPN/ALI)