[Hari Anak Nasional Tanggal 23 Juli 2008] PESAN-pesan Yang-tak-terucapkan dalam ‘Diam’-nya Anak

Forwarded by Fitri MARYANTI on 04/15/2008 09:59 AM
Forwarded by Diah WIDYANINGTYAS on 04/15/2008 11:24 AM
From: Widya Kalsita; Date: Thu, 17 Apr 2008 10:01:19 +0700
From: Widya Hartanto; Date: Thu, 17 Apr 2008 09:57:42 -0700 (PDT)
From: Iskandar Zulkarnain; Date: Wed, 23 Apr 2008 09:46:24 +0700 (WIT)
From: laela masyrifah; Date: Thu, 24 Apr 2008 20:57:52 -0700 (PDT)
From: DIANA RATNASARI; Date: Fri, 25 Apr 2008 08:35:27 -0700 (PDT)

MARI, kita buka kembali buku hidup kita, sebagai bahan renungan untuk para orang tua.

--

TAHUN lalu, saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor. Anak sulung kami bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Kala itu, saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah.

Pasalnya, menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi, justru tercatat sebagai anak yang bermasalah. Saat saya tanyakan tentang masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru menanyakan apa yang terjadi di rumah, sehingga anak tersebut selalu murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk melamun. Prestasinya kian lama kian merosot.

Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika, “Apa yang kamu inginkan?” Dika hanya menggeleng.

“Kamu ingin ibu bersikap seperti apa?” tanya saya.

“Biasa-biasa saja,” jawab Dika singkat.

Saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah beberapa kali untuk mencari pemecahannya. Namun, sudah sekian lama tak ada kemajuan, akhirnya kami pun sepakat meminta bantuan seorang psikolog.

Suatu pagi, atas seizin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk menjalani tes IQ. Tanpa persiapan apa pun, Dika menyelesaikan soal-demi-soal dalam hitungan menit.

Beberapa saat kemudian, psikolog yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil tesnya. Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147—Sangat Cerdas (!)—di mana skor aspek-aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160. Ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115—Rata-Rata Cerdas.

Perbandingan mencolok pada dua tingkat kecerdasan berbeda itulah, yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Karenanya, psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali ke tempat tersebut seminggu lagi. Menurutnya, Dika perlu menjalani tes kepribadian.

Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti rangkaian tes kepribadian. Melalui wawancara dan tes tertulis yang dilakukan, setidaknya, psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa faktor penghambat kemampuan verbal Dika. Setidaknya, saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu, membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.

Ketika psikolog itu menuliskan pertanyaan “Aku ingin ibuku: …”, Dika pun menjawab: Membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja.

Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu, saya berpikir bahwa dengan banyaknya ragam permainan edukatif, saya merasa perlu menjadwalkan kapan waktu menggambar, main puzzle, main basket, baca buku cerita, main game di komputer dan sebagainya. Waktu itu, saya berpikir, bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang memang tinggal sedikit. Karena, sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar sekolah.

Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata, permintaan Dika hanya sederhana: Diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.

Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan “Aku ingin Ayahku: ...”, Dika pun menjawab dengan kalimat yang berantakan. Namun, kira-kira artinya: Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu.

Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ‘ini’ dan ‘itu’. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.

Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan “Aku ingin ibuku tidak: ...”, Maka Dika menjawab: Menganggapku seperti dirinya.

Dalam banyak hal, saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu, merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir, saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua lainnya, seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto kopi diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.

Ketika Psikolog memberikan pertanyaan “Aku ingin ayahku tidak: …”, Dika pun menjawab: Tidak mempersalahkan aku di depan orang lain, tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa.

Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar. Hingga, hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk berbuat kesalahan.

Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anak pun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul, karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan untuk mencegah atau menghentikannya.

Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan “berbuat salah”. Kemudian, dia pun bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah, adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.

Ketika Psikolog itu menuliskan “Aku ingin ibuku berbicara tentang…", Dika pun menjawab: Berbicara tentang hal-hal yang penting saja.

Saya cukup kaget. Karena waktu itu, saya justru menggunakan kesempatan yang sangat sempit—sekembalinya dari kantor—untuk membahas hal-hal yang menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya. Namun ternyata, hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang penting untuk anak saya.

Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya dingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan.

Atas pertanyaan “Aku ingin ayahku berbicara tentang : …”, Dika pun menulis: Aku ingin ayahku berbicara tentang kesalahan-kesalahannya, aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku.

Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar. Tetapi sebagai manusia, orang tua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya. Dan kalau perlu, meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua kepadanya.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan “Aku ingin ibuku: Setiap hari…”, Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar : Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku.

Memang, adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah. Pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan. Supaya, hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu, saya tidak menyadari bahwa perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya, seringkali oleh anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.

Secarik kertas yang berisi pertanyaan “Aku ingin ayahku: Setiap hari…”, Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata: Tersenyum.

Sederhana memang. Tetapi seringkali, seorang ayah merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawa. Padahal kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari.

Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan “Aku ingin ibuku memanggilku: …”, Dika pun menulis: Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang bagus.

Saya tersentak sekali! Memang, sebelum ia lahir kami telah memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu: Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan ‘Nang atau Le’.

Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata “lanang” yang berarti ‘laki-laki’. Sedangkan Le’, dari kata “tole”, kependekan dari kata ‘kontole’ yang berarti alat kelamin laki-laki. Waktu itu saya merasa bahwa panggilan tersebut wajar-wajar saja, karena hal itu merupakan sesuatu yang lumrah di kalangan masyarakat Jawa.

Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi “Aku ingin ayahku memanggilku: …”, Dika hanya menuliskan dua kata saja, yaitu: Nama Asli.

Selama ini, suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan “Paijo” karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan logat Jawa medok. “Persis Paijo, tukang sayur keliling,” kata suami saya.

Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu karena selama ini saya bekerja di sebuah lembaga yang membela dan memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang, saya kampanyekan pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan “To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choice”. Sebuah seruan yang mengingatkan bahwa “Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan”.

Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat.

Dalam ‘diam’-nya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak, yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak pesan-yang-tak-terucapkan.

Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satu pun anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para ayah (orang tua) tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya.

Para ayah harus mendidik anaknya di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Untuk menyambut Peringatan Hari Anak Nasional Tanggal 23 Juli 2008, saya ingin mengingatkan kembali kepada para orang tua supaya selalu berpikir, bersikap dan melakukan hal-hal yang Tuhan kehendaki. Amin.[] (Lesminingtyas/ditulis kembali oleh Rahmat Ali)