Mudarat Sang Pemberi Fatwa




by Jamal

MAJELIS Ulama Indonesia tak mencabut fatwa sesat atas Ahmadiyah. Kalau tak mampu mengatasi perbedaan, MUI selayaknya dibubarkan saja.

DI usianya yang ke-33, sulit untuk tidak mengatakan Majelis Ulama Indonesia telah "mengkhianati" kredonya sendiri. Tekad menjadi organisasi yang mewujudkan silaturahmi untuk "persatuan dan kesatuan umat Islam", seperti bunyi anggaran dasarnya, kian jauh dari kenyataan. MUI tidak terlihat mewakili kemajemukan umat.

Kesan bahwa MUI terlalu kaku terlihat jelas dalam kasus Ahmadiyah. Meskipun Jamaah Ahmadiyah sudah mengeluarkan 12 poin pernyataan, di antaranya mengakui Muhammad sebagai nabi terakhir, sangat disayangkan bila MUI ngotot mengeluarkan "hukuman". Pernyataan Ahmadiyah bahwa Mirza Ghulam Ahmad—nabi mereka selama ini—sebagai guru, mursyid, pembawa berita gembira, dan pemimpin yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam yang dibawa oleh Muhammad, semestinya bisa diterimasepenuhnya. Tidak perlu berlebih-lebihan menuntut Ahmadiyah secara tegas menyebut Mirza bukanlah nabi dan rasul.

Seandainya pun 12 pernyataan itu hanyalah "strategi cerdik" Ahmadiyah agar terhindar dari vonis kejaksaan dan cap organisasi terlarang, itu tak usah dipersoalkan. Tidak ada urgensi kejaksaan dan MUI mengejar pengikut Ahmadiyah sampai ke bilik-bilik surau hanya untuk memastikan mereka tidak lagi memuja Ghulam Ahmad sebagai nabi.

MUI juga tidak usah buang waktu menjadi "intel" yang merazia warga Ahmadiyah hingga ke kamar tidur. Jangan sampai MUI punya imajinasi untuk memasang sejenis alat sadap untuk memeriksa kalau-kalau ada kata "Ghulam" terselip di antara rapalan penganut Ahmadiyah. MUI tidak berhak mengadili keyakinan warga yang berbeda dengan mayoritas umat.

Umat Islam di negeri ini, sayangnya, tak bisa mengabaikan begitu saja fatwa itu. Maka, MUI harus bertindak bijak dan hati-hati karena fatwanya dijadikan landasan sebagian warga untuk menyerbu penganut Ahmadiyah di sejumlah tempat. Sebuah studi menunjukkan, kekerasan
terhadap Ahmadiyah umumnya terjadi setelah 1980, ketika pertama kali MUI menyebut Ahmadiyah "di luar Islam, sesat dan menyesatkan". Dengan kata lain, meski kejaksaan urung menurunkan vonis "terlarang" kepada Ahmadiyah, fatwa MUI tetap bisa menjadi bara yang membakar.

Didirikan pada 1975 oleh ulama 26 provinsi plus 10 ulama yang mewakili sejumlah organisasi, di antaranya Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Syarikat Islam, juga perwakilan TNI dan kepolisian, MUI memang dipakai untuk menyatukan umat. Namun pendirian MUI jelas senapas dengan kehendak pemerintah Orde Baru "menyederhanakan"organisasi sosial kemasyarakatan. Di ranah politik, pemerintah menggabungkan sejumlah partai. MUI dibentuk untuk mencapai kesamaan sikap di dalam umat Islam dan, seperti tercantum dalam anggaran dasarnya, menjadi penghubung antara ulama dan umara (pemerintah).

Zaman berubah, pemerintahan berganti. Kini, perbedaan pendapat umat mestinya tak lagi dianggap sebagai ancaman. Meski fatwa sesat dikeluarkan MUI, sejumlah kiai Nahdlatul Ulama, misalnya, secara konsisten tetap membela Ahmadiyah dan bergaul baik dengan penganutnya. Dengan kata lain, "persatuan umat" tak perlu diformalkan dalam wujud MUI. Ironi lain: seumur hidupnya MUI dibiayai negara—pajak yang dikumpulkan dari warga, termasuk dari penganut Ahmadiyah.

Kian jelas bahwa lebih banyak mudarat ketimbang manfaat yang bisa kita ambil dari MUI. Karena itu, tanpa perubahan sikap berarti, sebaiknya majelis itu dibubarkan saja.[]