Aku Galau Karena Aku Ada (Halah!)


GALAU, nih ye...! Galau itu penting lho. Kalau enggak ada galau bukan hidup namanya. Galau berguna ketika keseimbangan mental atau kerohanian kita sedang terganggu. Ia adalah warning. Latif memang. Galau itu ada.

Rabu pagi, tanggal 7 September 2011. Cerah cuaca di Cisalada, rumah mama saya. Pagi itu, saya baru usai sarapan. Saya duduk-duduk santai di kursi. Saya tidak sendiri. Ada Kamila, adik saya, anak ketiga dari empat bersaudara (saya yang pertama, yang kedua Syarifa, yang keempat Sajida).

Kecerahan pagi didukung dengan suasana hati saya yang menyenangkan. Happy! Apalagi, saya sudah sarapan. Beuh! Sarapan paginya adalah nasi goreng bikinan Syarifatunnisa, adik saya, Uun panggilannya, kakaknya Mila persis (dan Mila masih ada adiknya satu: Sajidah). Nah, Uun pandai bikin nasi goreng yang nasinya adalah sisa dari tadi malam. Nasi yang ia bikin rada banyak pagi itu. Di samping buat saya, pula buat Mama kami, Mila, dan suaminya Sajad.

Abis sarapan, enaknya kalau enggak main komputer atau nonton TV, ya, paling ngobrol. Kebetulan adik saya Mila yang membuka obrolan. Dan Mila membukanya dengan pemberitahuan kepada saya.

"Aa semalam kok tidurnya mengigau lagi sih? He he he."

"Hah?" seru saya bercampur geli. Geli lah mendengarnya: Mengigau lagi. Lagi? Iya. Lagi. Karena igauan tidur saya itu adalah yang kedua kali pada malam selang sehari sebelumnya. Dan igauannya disertai tangisan saya yang menyayat hari. (Lebay!).

"Ha ha ha. Masak sih, Mila? Aa ngigau lagi?" tanya saya minta kepastian.

"Iya, Aa. Hii..." mimik muka Mila menujukkan ekspresi mencela dan bibirnya yang mencibir.

"Terus?" tanya saya penasaran ingin tahu kelanjutannya lagi.

"Yaa... Langsung 'aja Mila colek-colek badan Aa sambil Mila bilang begini: 'Aa! Istigfar, Aa!' Begitu," ungkap Mila sambil tertawa renyah memamerkan giginya yang rapih kepada saya.

"Lalu?" tanya saya lagi. Masih penasaran.

"Udah gitu, Aa diam. Enggak mengigau lagi."

Umm... Heran saya. Dua kali mengigau. Ada kegalauan terpendam apakah gerangan saya ini? Mikirin apa sih? Cewek? Bisa jadi. Apalagi, hingga kini, saya masih saja betah melajang. Ini bisa jadi masalah. Tambahan pula, saya ingin sekali "nembak" si dia. Ingin rasanya saya ungkapkan perasaan suka ini? Andai saja "dia" membaca postingan ini. Itu masalah percintaan. (Dan cukup sampai di sini saja Anda mengetahuinya. Ha ha ha.)

Atawa bisakah masalah nafkah? Selama ini, saya masih menunggu panggilan kerja dari pihak tertentu yang selama ini saya tunggu-tunggu. Sebenarnya, saya ingin menulis buku kalau perlu sambil berlayar ke tempat di seluruh atau beberapa pelosok eksotik dunia. Dan, atau menjadi seorang redaktur pelaksana sebuah tabloid lokal kecil-kecilan di daerah sambil berkebun dan berternak dan memiliki perpustakaan mandiri. Boleh jadi hal ini adalah kegalauan yang kedua: Hasrat untuk menulis.

Ada lagi kegalauan yang ketiga: masalah studi yang tertunda. Maksud saya adalah kuliah. Saya kan ambil jurusan Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Jurusan yang sangat keren menurut saya di dunia ini. Sebuah kampus yang pun memiliki pamor dan disegani oleh kalangan akademisi dan orang-orang besar di negeri warung (baca: Indonesia) ini.

Studi saya tertunda karena mentok pada kemampuan akademik dasar saya pada Bahasa Inggris. Masalah uang? Ada 'lah uang mah! Bisa dicari. Meski cekak. Ya, tapi itulah: Bahasa Inggris. Mengingat jurusan yang saya ambil, pada pertengahan semester-semesternya sudah mulai menyentuh teks-teks besar dari literatur filsafat, sebagian besar berbahasa Inggris.

Tiga kegalauan itu, mungkin yang bisa saya sebutkan. Entah ada yang lain atau apa gitu, karenanya, mudah-mudahan, saya bisa berbagi beban kegalauan ini melalui tuangan posting blog saya kali ini.

Berbagi beban itu memang melegakan. Apalagi kalau ada orang yang mau kita ajak berbagi dan irang itu adalah orang yang kita cintai, entah ia dari kawan, pacar atau keluarga. Adikku Mila ini adalah salah satunya. Polos dan blak-blakan.

"Aa," sahut Mila dengan lembut. "Biasanya, keadaan hati orang bisa dilihat dari saat ia sedang tidur beserta igauannya. He he he."

Here we go again. Malah menasihati saya dia. Cengengesan 'gitu. Tapi saya terbahak-bahak setelah itu. Ada kebenaran di dalamnya meski 'nyelekit dan menohok hati. Dan hal tersebut adalah ketulusan dari seorang adik yang menyayangi kakaknya yang satu-satunya laki-laki ini. Perlahan, beban kegalaun hati ini mulai berkurang, mulai mencair, lumer.

"Ha ha ha. Kemungkinan itu benar sekali, Mila. Ha ha ha. Kamu pintar."


Saya kembali gembira. Meski tadi, sebenarnya saya menangis di dalam hati. Semoga kegalauan ini, setiap kali ada, akan bisa saya kurangi. Saya akan menyikapi setiap kegalauan yang ada dengan berpikir sepositif mungkin.

"Aku galau karena aku ada."[]

--

"Ketaatan mereka kepada Allah Taala itu, kira-kira menyerupai ketaatan anggota badan Anda kepada Anda, sebab sama sekali dia tidak membantah."
*Hadhrat Imam Ghazali r.h., dalam Ihya `Ulumu 'd-Diin Jilid IV "Kitab Taubat, Sabar, dan Syukur".