Menunggu K[in]erja Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia


Ilustrasi gambar adalah dari sini.

Amir Nasional JAI: "Di Indonesia ini, lebih banyak "komentator sepakbola" daripada "pemain bola" atau "pencetak gol"nya.


Ini adalah sebuah keisengan berupa artikel adaptasi Analisis Politik “Menunggu Kerja Partai Politik” Sukardi Rinakit di Kompas—Selasa, 13 Juli 2010, halaman 15.
--
AWAL bulan Juli 2010 lalu adalah telah dimulainya masa bakti kepengurusan Pengurus Majelis Amilah Jemaat Ahmadiyah di tingkat nasional (Pengurus Besar atau PB) maupun yang di cabang-cabang. Program kerja dan anggaran-anggarannya telah disahkan. Kita bisa melihat bagaimana kerja mereka yang telah diberi amanah Majelis Musyawarah atau Majelis Syura. Dalam menjalankan amanah syura, tak pelak bakal menghadapi berbagai tantangan maupun ujian, dan itu adalah bisa jadi persoalan; masalah bagaimana mengelola, masalah bagaimana menjaga amanah. Pula, ini bisa menjadi pertanyaan besar bagaimana mengelolanya.

Dengan tegas kita tentu sepakat bahwa yang terpenting adalah penguatan atau pemaduan kelembagaan atau nizam. Di situ ada pemaduan yang tegas antara nizam pemegang amanah regulasi dan pelaksanaanya. Dalam konteks ini, Majelis Amilah Jemaat dan jajaran para pengurusnyanya bertindak sebagai pemegang amanah regulasi, sedangkan Badan-badan Jemaat beserta para pengurusnya bergerak pada ranah praksis. Dengan demikian, mekanisme checks and balances terjadi.

Pengkhidmatan dan kinerja “suwung”
Pemaduan Nizam tersebut berlaku umum mengingat gerak perubahan zaman atau sa’ah yang akhir-akhir ini cenderung ekstrem, cepat, dan tak terduga. Fenomena ini tak hanya terjadi pada iklim, bisnis, politik, ekonomi, tetapi juga [mesti] terjadi pada warga Ahmadi dalam merespon dan menggali berbagai gejala, semangat, maupun masalah zaman. Para orang tua kita kerap mewanti-wanti, “Ini zaman edan. Ingat dan waspadalah agar kamu selamat.”

Bagi kita, nasihat itu pararel dengan pemaduan nizam. Tanpa langkah itu, kita hanya akan digulung oleh gelombang perubahan yang bergerak ekstrem dan tak terduga.
Oleh sebab itu, terasa aneh jika di tengah pusaran gelombang yang sulit diduga tersebut, para pengurus malah gamang. Seolah-olah saat ini tidak ada masalah yang membelit warga Jemaat. Seolah-olah tidak ada warga yang kelaparan, sakit, kecewa, dan diperlakukan tidak adil.

Jika pendiaman ini dibiarkan terus mengakar karena menganggap semua kehidupan yang melingkupi warga Jemaat berjalan baik-baik, para individu—kita—yang diamanahi sebagai pengurus itu pasti akan segera digulung zaman. Sejatinya, kita bukan saja tidak melakukan pemaduan nizam secara internal, tetapi juga mengabaikan napas warga Jemaat yang menderita. Pengurus itu telah lupa asal-usulnya, yaitu dari warga atau Anggota Jemaatlah mereka lahir dan karena Anggotalah mereka diberi amanah.

Diamnya para pengurus tersebut, bila berlangsung lama, akan membuat alam pengkhidmatan menjadi suwung atau kosong tanpa makna. Lapangan pengkhidmatan tak lebih dari dari sepah-sepoh (sekadar formalitas, seperti ampas). Di sini, nilai-nilai fadhillah seperti pergulatan memperjuangkan antara lain tabligh, taklim, dan tarbiyat warga Jemaat disingkirkan. Sebaliknya, yang ada hanya kehidupan hari-hari yang hampa dan garing.

Kepengurusan yang menghambat
Akibat lain dari sikap diam pengurus adalah terjadinya kemunduran kepengurusan atau kepengurusan yang menghambat. Padahal rancang bangun menuju supremasi panji-panji Islam yang dijunjung tinggi jemaah Ahmadiyah menempatkan nizam kepengurusan sebagai salah satu pilar bangunan itu. Jika pengurus hanya membisu terhadap persoalan Anggota, akhirnya justru menjadi penghambat terwujudnya nizam Jemaat yang mengakar.

Hal itu disebabkan masuknya kekuatan destruktif yang merangsek ke ranah kerja dan pengkhidmatan yang suwung. Sikap diam suatu kepengurusan, secara obyektif, membuka peluang bagi potensi ‘di luar’ nizam untuk mengejar kepentingan pribadi mereka, bukannya mengejar kemaslahatan Jemaat itu sendiri. Kekuatan ini, bisa berasal dari Anggota Jemaat sendiri yang memiliki latar belakang sebagai politisi, militer, pengusaha, akademisi, birokrat, teknorat, intelijen, budayawan, hingga cendikiawan, dan lain-lain.

Terlambat mengantisipasi gerakan kekuatan ‘di luar’ nizam, para pengurus akan kehilangan legitimasi di mata para Anggota Jemaat. Secara sistematis, kekuatan itu akan berhasil “mencaplok” ranah pengkhidmatan tersebut, terutama yang berkaitan dengan proses pembuatan kebijakan. Para pengurus, para pemangku amanah nizam, tanpa sadar menjadi robot yang disetir oleh kekuatan itu. Ini suatu kemunduran? Semoga belum terlambat.

Bahaya lain dari sikap diamnya para pemikul amanah ini adalah menggelembungnya kepercayaan diri pengurus yang berlebihan. Mereka merasa sudah bekerja keras. Bahkan, mungkin mereka merasa sudah memakai jubah yang indah meskipun sebenarnya telanjang bulat. Oleh karenanya, para warga Ahmadi yang telah memberikan amanahnya kepada para pengurus pasti bakal tidak akan tinggal diam. Mereka bisa saja berdoa sambil menggedor-gedor pintu Arasy di Langit. Pengkhidmatan adalah masalah kerja dan dedikasi. Bukan citra.

Ayo! Mumpung belum terlambat.[]