Suatu hal yang tidak tertera dalam akidah seseorang, tidak dapat dituduhkan atau dicela hanya berdasarkan pada dugaan, khayalan maupun cerita yang bohong belaka; sebab, tuduhan dan celaan semacam itu hanya akan menambah kebencian serta permusuhan

Judulnya panjang amat!

Berikut adalah adaptasi dari tulisan Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a. (1889—1965), Khalifatul Masih II Jemaat Ahmadiyah Internasional menulis dalam bukunya Sirat Masih Mau'ud a.s. (Bahasa Urdu, 1948) atau dalam Bahasa Indonesia: "Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad".


Pada tahun 1897 dan 1898, perdebatan-perdebatan agama terjadi berulang kali. Hal itu mempertajam pergesekan antar golongan di kalangan penduduk India. Keadaan yang kacau dan bergejolak itu dimanfaatkan oleh sebagian orang yang bertujuan politik untuk menghasut khalayak umum menentang pemerintah. Untuk menghindari keadaan kacau yang tidak diharapkan, pemerintah telah membantuk Undang-undang Sedition. Tetapi, keadaan di India semakin kacau dan undang-undang tersebut tidak mendatangkan dampak yang baik.


Di India, pengaruh agama sangat mendalam. Dan orang India lebih rela berkorban untuk agama daripada untuk politik. Tetapi, Undang-undang Sedition tidak menutup pintu pergeseran dan pertentangan agama. Lagi pula hal itu tidak dianggap perlu dan penting oleh pemerintah. Hal-hal yang tidak dipahami oleh para petinggi negeri pada waktu itu, ternyata telah dipahami betul oleh Hadhrat Ahmad a.s., walapun beliau berdiam di tempat yang sepi dan terpencil. Maka pada bulan September 1897, beliau a.s. telah menyampaikan sebuah memorial (imbauan) kepada Lord Eligen, raja muda di India, dan dicetak serta disiarkan. Dalam surat itu, Hadhrat Ahmad a.s. mengatakan bahwa sumber kekacauan dan keributan ini adalah pergeseran dan perselisihan agama, yang menimbulkan kegelisahan serta pergolakan dalam perasaan masyarakat umum. Dan kesempatan ini lalu dimanfaatkan oleh sebagian orang untunk menentang pemerintah. Maka di dalam UU Sedition itu harus ditambahkan lagi larangan untuk melontarkan ucapan-ucapan kasar serta melewati batas kesopanan dalam perkara agama satu sama lainnya. Hadhrat Ahmad a.s. mengemukakan tiga pasal berikut ini:


1. Harus ditetapkan undang-undang bahwa pengikut suatu agama boleh memaparkan keindahan-keindahan agamanya, tetapi dilarang untuk menyerang agama lain. Peraturan ini tidak akan menggangu kemerdekaan beragama dan tidak akan membantu suatu agama tertentu dengan berat sebelah. Hendaknya tiap-tiap agama pun menyetujui peraturan yang adil ini, yakni tidak boleh menyerang agama lain.


2. Jika peraturan nomor 1 tidak disetujui, sekurang-kurangnya ditetapkan bahwa suatu agama tidak dibenarkan menyerang atau mencela perkara-perkara tertentu dalam agama lain yang mana perkara-perkara tersebut ditemukan juga di dalam agama itu sendiri. Yakni, tidak boleh mencela agama lain, dimana cela itu pun terdapat di dalam agamanya sendiri.


3. Sekiranya peraturan nomor 2 pun tidak diterima, sebaiknya pemerintah meminta dari pihak masing-masing agama mendaftar kitab-kitabnya yang sah dan resmi, untuk menetapkan sebuah peraturan bahwa agama itu tidak boleh dicela tentang hal-hal yang tidak terkandung di dalam kitab-kitabnya tersebut.

Suatu hal yang tidak tertera dalam akidah seseorang, tidak dapat dituduhkan atau dicela hanya berdasarkan pada dugaan, khayalan maupun cerita yang bohong belaka. Sebab, tuduhan dan celaan semacam itu hanya akan menambah kebencian serta permusuhan saja.

Sungguhnya, sumber keributan di India adalah perselisihan agama yang disalahgunakan oleh beberapa orang yang menginginkan keributan dengan jalan licik untuk menghasut rakyat terhadap pemerintah. Bila para pengikut suatu agama dihina agamanya--yang sangat mereka cintai--maka, orang-orang lugu dari mereka dengan sangat mudah dapat dihasut melawan pemerintah dengan menyatakan bahwa karena sikap pemerintahlah mereka menderita kesusahan itu. Niscaya mereka pun akan bersedia untuk melawan pemerintah.[]

--
[istghfr-tsbh-slwt-wsslm]
www.RahmatAli.web.id
"Love for All, Hatred for None"
--sent from Gmail.com--