Kutipan ringkasan Khotbah Iduladha Ḥaḍrat Khalīfah 10-JUL-2022: Berkorbanlah demi Allāh sebagaimana yang diamalkan Ḥaḍrat Nabi Ibrāhīm a.s. dan keluarganya
ALHAKAM.org | 10
JUL-2022 | update 13 JUL-2022.
Terjemahan bebas oleh Rahmat Ali | Cisalada,
15-JUL-2022.
BACA NORMAL ±14
MENIT (2069 KATA)
BERTEMPAT di area markas besar Jama‘ah Muslim Aḥmadiyyah di Islāmabad, Tilford, Surrey, Inggris, dan bertepatan pada hari Ahad pagi waktu setempat, 10 Juli 2022, Imam Jama‘ah Muslim Aḥmadiyyah Sayyidinā Amīrul Mu’minīn Ḥaḍrat Khalifatul Masih V Mirza Masroor Ahmad (Ḥuḍūr) a.a. menyampaikan khotbah ‘Īdul-Aḍḥā.
Diawali setelah menilawatkan dua kalimah syahadat,
ta‘awuḏ dan Al-Qur’ān Sūrah Al-Fātiḥah, Ḥuḍūr a.a. menyoroti
pentingnya memiliki keyakinan-teguh pada janji-janji Allāh, Yang Tidak-membiarkan-pengorbanan-tulus
itu sia-sia dan akhirnya memberikan kemenangan kepada para mu’min. Namun,
penting bagi kita untuk bertindak sesuai dengan apa-apa yang “dikehendaki” Allāh.
Ḥuḍūr a.a. bersabda, kita merayakan ‘Īdul Aḍḥā adalah
untuk memperingati pengorbanan Ḥaḍrat Nabi Ibrāhīm a.s. , istrinya
Hajar, dan putra mereka Ḥaḍrat Ismā‘īl a.s.. Ini bukanlah amalan
ibadah yang berdiri-sendiri; sebaliknya, pengorbanan mereka telah berlangsung
lama, sepanjang hidup mereka. Allāh, Yang Maha Benar didalam firman-firman-Nya,
memberi mereka ganjaran atas pengorbanan-pengorbanan yang dipersembahkan secara
tulus ini dengan sangat megah: Tanah yang dulunya ditinggalkan, kini dipenuhi orang
jutaan demi jutaan, guna memenuhi janji yang dibuat oleh Allāh Yang Mahakuasa (swt.).
Di atas segalanya, pemenuhan janji Allāh telah
menghantarkan pada puncak-puncaknya didalam pengutusan Ḥaḍrat Nabi Muḥammad
ṣaw., Sang Nabi Penutup yang diberi syariat terakhir dari Allāh untuk makanan
rohani segenap umat manusia.
Guna penyebaran kitab suci Al-Qur’ān ini ke seluruh
penjuru dunia melalui cara-cara damai dan demi menegakkan keluhuran Islām,
Allāh telah mengutus pula Ḥaḍrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. dari
Qadian, sebagai seorang Almasīḥ dan Imam Mahdi yang kedatangannya tepat waktu,
sesuai yang telah dinubuatkan Ḥaḍrat Nabi Muḥammad ṣaw. pada waktu
yang telah ditentukan.
Sebagai hasil dari pengorbanan Ḥaḍrat Ibrāhīm a.s.
ini, Allāh mendirikan seluruh kota dan mengumpulkan semua jenis kesenangan
duniawi dan rezeki di Makkah dan Madinah. Ḥuḍūr a.a. mengatakan
bahwa ketika para peziarah datang untuk melaksanakan haji dan beribadah kepada Allāh,
mereka juga mengambil manfaat dari lingkungan dan rezeki pada daerah tersebut. Kini,
jutaan orang mengambil manfaat dari tanah suci ini.
Ini menunjukkan penggenapan janji Allāh, menyebabkan
negeri tandus yang penuh berkah dan mengutus Nabi terbesar ke negeri yang
diberkati itu.
Ḥuḍūr a.a. bersabda bahwa janji yang
Allāh berikan kepada Ḥaḍrat Ibrāhīm a.s. dan Ismā‘īl pada 4.000
tahun yang lalu, menunjukkan betapa Allāh mencintai orang-orang yang
menunjukkan pengorbanan sejati kepada Allāh. Tidak ada agama hari ini, sabda Ḥuḍūr
a.a., yang penganutnya mengikuti ajaran yang sebenarnya dan asli
dari agama tersebut. Hanya ajaran Islām-lah yang telah tetap dilindungi dalam Al-Qur’ān
pada hari ini dalam bentuk aselinya meskipun ada upaya-upaya dari mereka yang
memendam kebencian terhadap Islām. Allāh terus mengutus orang-orang yang akan
melindungi Al-Qur’ān baik dengan kata dan makna, dengan cara mengirimkan
orang-orang yang benar-benar mengikuti-dan-mengamalkannya.
Ḥaḍrat Nabi ṣaw. menubuatkan bahwa
seorang manusia akan datang 1.400 tahun setelah beliau. Dialah yang akan
menghidupkan kembali ajaran-ajaran Islām yang hilang dan akan —melalui dalil-dalil
dan bukti-bukti—membuktikan kebenaran Islām dan juga menangani mereka yang
menolak Allāh.
Dalam mengikuti nubuatan ini, Allāh mengutus Ḥaḍrat
Masīḥ Mau‘ūd Mirza Ghulam Ahmad a.s.. Pembela Allāh
inilah yang menunjukkan nūr Islām yang sebenarnya dan berdakwah dengan dalil-dalil
yang kuat bahwa tidak ada agama yang lebih agung selain Islām. Dia menantang
semua agama untuk menunjukkan bukti-bukti mereka jika mereka pikir mereka lebih
tinggi dari Islām.
Ḥaḍrat Masīḥ Mau‘ūd a.s. mengumumkan
kepada umat Islām bahwa Islām akan disebarkan dengan cinta, bukan melalui
perang. Beliau bersabda, “Jika saya tidak datang, orang lain akan datang.” Dia
menekankan bahwa inilah saatnya Sang Almasīḥ Yang Dijanjikan datang dan
menasihati umat Islām untuk tidak menentangnya; dan sebaliknya, berbai‘at untuk
menyebarkan ajaran-ajaran Islām yang hakiki.
Ḥaḍrat Masīḥ Mau‘ūd a.s. mengatakan kepada umat Islām bahwa mereka akan melihat kesuksesan jika mereka berbai‘at dengan beliau dan bahwa mereka harus bersyukur atas kedatangan beliau. Namun sebaliknya, sayangnya, umat Islām berbalik melawan Rasūlullāh ini dan terus melakukannya.
Ḥuḍūr a.a. mengatakan bahwa umat Islām tidak hanya
di leher satu sama lain, tetapi telah mengeluarkan fatwa untuk membunuh,
menjarah dan melecehkan para pengikut Rasul Allāh. Mereka mencoba menghentikan laju
da‘wah Islām Aḥmadiyyah; tetapi, untuk mengalihkan hal tersebut, Allāh
menciptakan cara baru. Namun demikian, para penentang ini terus, atas nama Islām,
melecehkan anak-anak Ahmadi di jalan-jalan dan bahkan menggali jenazah Ahmadi.
Tapi “Islām macam apa ini?” tanya Ḥuḍūr a.a..
Ḥaḍrat Ibrāhīm dan Ismā’īl a.s. berdoa bagi
keadaan kota yang “damai” sehingga mereka yang tinggal di sana dan berkunjung
dapat melindungi kedudukan kota tersebut. Oleh karena itu, jika umat Islām
menghubungkan diri mereka dengan kota Ka'bah yang beberkah, mereka harus
menanamkan dalam hati mereka kedamaian dan menciptakan perdamaian pada masyarakat.
Mengeluarkan fatwa kufur terhadap para pengikut Ḥaḍrat Masīḥ Mau‘ūd a.s.
dan membunuh serta melecehkan mereka adalah tidak sesuai dengan doa-doa Ḥaḍrat Ibrāhīm
bagi didirikannya kota Makkah.
Ḥuḍūr a.a. mengajak umat Islām —di
seluruh dunia— untuk merayakan ‘Īdul Aḍḥā yang hakiki dengan menerima Ḥaḍrat
Masīḥ Mau‘ūd a.s..
Ḥuḍūr a.a. bersabda bahwa di Pakistan,
pihak berwenang telah mengumumkan bahwa dalam tiga hari ‘Īdul Aḍḥā, tidak ada
Ahmadi yang diizinkan untuk berqurban karena pihak otoritas mengklaim hal
tersebut bertentangan dengan syariat Islām jika Aḥmadiyyah mempersembahkan qurban.
Artinya, hanya ulama Muslim-lah yang berhak berqurban dan mereka telah mencap Islām
untuk diri mereka sendiri. Namun, jika mereka tidak berhenti dengan cara ini,
maka ketetapan Allāh akan berlaku juga dan Dia tidak akan menyayangkan siapa
pun dari antara para penentang.
Ḥuḍūr a.a. menasihati para Ahmadi yang
menderita untuk bersabar. Dia mencontohkan kesabaran Ḥaḍrat Ibrāhīm a.s.
dan keluarganya. “Oleh karena itu, akankah Allāh Yang-setia pada janji-Nya
meninggalkan kita hari ini? Pasti tidak!”, sabda Ḥuḍūr a.a. kepada para Ahmadi.
Orang-orang yang memusuhi Jema‘at tidaklah memiliki
sedikit pun kekuatan di hadapan Allāh swt.; oleh karena itu, para
Ahmadi harus tunduk di hadapan Allāh lebih dari sebelumnya, meningkatkan ketaqwāan
mereka, mengembangkan semangat ‘Īdul Aḍḥā yang sejati dan berqurban dengan cara
yang paling akurat. Saat itulah kita bisa mengambil bagian dari berkah Allāh
dan janji-janji yang Allāh berikan kepada Hadhrat Masih Mau'ud as .
Berbicara tentang bagaimana mencapai tingkat pengorbanan ini, Hadhrat Masih Mau'ud as bersabda bahwa manusia mendapat petunjuk dari Allāh bahwa mereka harus—dengan segala daya dan keberadaan mereka—siap untuk berkorban untuk Allāh. Pengorbanan hewan hanyalah sebuah contoh. Pengorbanan yang sebenarnya adalah taqwā kepada Allāh sedemikian rupa sehingga Anda mati di jalan-Nya karena rasa taqwānya dan seperti seseorang yang mempersembahkan hewan qurban dengan tangan mereka, dengan cara yang sama: mati demi Allāh.
Ḥuḍūr a.a. mengatakan bahwa beberapa orang
tergesa-gesa menulis surat kepadanya, bilang bahwa doa dan pengorbanan mereka
tidak terpenuhi. Janji-janji kepada Hadhrat Masih Mau'ud tentu akan menjadi
kenyataan, sabda Ḥuḍūr a.a.. Tetapi, masing-masing kita harus
bertanya pada diri sendiri apakah kita termasuk pada tingkat pengorbanan yang Ḥaḍrat
Masīḥ Mau‘ūd a.s. maksudkan.
Seseorang harus menunjukkan ketulusan sejati kepada
Allāh dan ini menuntut suatu maut didalam ranah atau semesta kerohanian. Ḥaḍrat
Masīḥ Mau‘ūd a.s. bersabda bahwa penyembahan berhala bukan sekedar penyembahan
batu; sebaliknya, segala sesuatu yang menempatkan rintangan di hadapan Allāh
adalah berhala. Apa pun yang menghentikan seseorang dari menyembah Allāh atau
mencapai-Nya adalah berhala.
Allāh menginginkan amalan-nyata dan Allāh riḍa hanya
dengan amalan-nyata, dan amalan-nyata dihasilkan dari kepedihan dan kesedihan, sabda
Ḥaḍrat Masīḥ Mau‘ūd a.s.. Inilah yang terjadi dengan pengorbanan
besar Ḥaḍrat Ibrāhīm a.s. seperti ketika siapnya Ibrāhīm untuk
mengorbankan putranya, Ismā’īl a.s., dan kemudian juga dimasukkan ke
dalam api. Jika seseorang melakukan ini, maka pada gilirannya, Allāh
menyelamatkan mereka dari rasa sakit dan kesedihan.
Pada hari raya ‘Īd ini, Ḥuḍūr atba.
bersabda, kita juga harus introspeksi diri terhadap pengorbanan, keikhlasan,
kebenaran, dan taqwā kita. Sebagai warga Jama‘ah, semakin kita merenungkan
kondisi kita dan berusaha memperbaikinya (siap memperbaiki diri, ikhlas
memaafkan diri, dan siap pulih), semakin cepat kesuksesan datang. Kita harus
berdoa untuk hal ini juga, Ḥuḍūr a.a. menekankan.
Kita semua, Ḥuḍūr atba. menghimbau,
harus berdoa agar segenap Ahmadi—lelaki, perempuan, lansia, dewasa, remaja,
belia, dan hingga anak-anak mencapai tingkat pengorbanan, secara amalan-nyata,
yang Ḥaḍrat Ibrāhīm a.s. serta keluarganya raih/capai/laksanakan.
Ḥaḍrat Masīḥ Mau‘ūd a.s. bersabda bahwa ‘Īdul-Aḍḥā
lebih besar dari ‘Īdul-Fiṭri dan orang-orang bahkan mengatakan ini dengan
lantang. Namun, berapa banyak yang memenuhi standar luhur ‘Īd ini? Banyak yang
bahkan tidak memikirkan mengapa ‘Īd ini disebut «‘Īd yang besar».
Ḥuḍūr atba. bersabda, banyak yang
bertanya tentang aspek tertentu dari ‘Īdul-Aḍḥā dan bagaimana [sistem] tarbiyat
pada anak-anak wakaf -e-nau harus dilakukan/digalakkan.
Ḥuḍūr a.a. bersabda, “Berkenaan dengan ‘Īdul-Aḍḥā,
saya juga ingin menjawab secara singkat pertanyaan yang sering ditanyakan dalam
mulaqat —dalam mulaqat virtual maupun mulaqat pribadi— tentang tarbiyat waqifīn
nau dan bagaimana cara melaksanakannya. Saya telah menjawab ini pada banyak
tempat dalam khotbah dan ceramah saya. Namun, saya ingin berbicara secara
singkat dan menarik perhatian Anda untuk ini.
“Merupakan rahmat dan karunia besar dari Allāh swt. bahwa atas himbauan/permintaan Ḥaḍrat Khalīfatul-Masīḥ IV r.h., para orang tua menjawab dengan ‘Labbaik’ dan anak-anak perempuan dan laki-laki yang berdedikasi pada skema ini —mereka mengamalkannya saat ini dan akan terus mengamalkannya, iŋ syā’ Allāh. Keteladanan ini akan tetap ada sepanjang teladan ketulusan dan kesetiaan tetap ada didalam Jema‘at—selama warga Jamaat yang tulus melihat keteladanan [Ḥaḍrat Ibrāhīm a.s.]: “« وَاِبۡرٰهِیۡمَ الَّذِیۡ وَفّٰی » (Dan Ibrāhīm yang menggenapi [perintah-perintah]).” Selama sistem/niẓām Khilāfat ada didalam Jemaat —dan ini akan tetap ada hingga Akhir Zaman— amalan mewaqafkan anak-anak pada jalan Allāh pun akan tetap ada, iŋ syā’ Allāh.
“Namun, orang tua yang mendedikasikan, atau
mendedikasikan hidup anak-anak mereka demi mengkhidmati Agama, harus diingat
bahwa waqaf menuntut sebuah pengorbanan. Apa standar pengorbanan ini? Ini
adalah standar pengorbanan seperti yang ditunjukkan oleh Ḥaḍrat Ibrāhīm dan Ismā’īl
a.s.. Ketika Ḥaḍrat Ibrāhīm berkata kepada putranya, ‘Aku melihat diriku
menyembelihmu dalam mimpi,’ dan bertanya kepada putranya, «Apa niatmu?», anak
laki-lakinya, yang tarbiyatnya dilakukan secara murni oleh orang tua yang
diresapi dengan taqwā, menjawab, ‘Sempurnakanlah mimpi Anda. Anda akan
menemukan saya adalah termasuk didalam orang-orang yang bersabar dan berkorban.’
“Oleh karena itu, orang tua hendaknya mengingat hal
ini pada saat mendedikasikan/mewaqafkan anak-anak mereka bahwa 'Kami sedang mewaqafkan
anak-anak kami, oleh karena itu tarbiyat mereka harus kami lakukan sedemikian
rupa, dan kami harus berdoa untuk mereka, agar anak-anak kami dapat menjawabnya
sesuai dengan tradisi Ḥaḍrat Ismā’īl a.s..'
“Seharusnya orang tua jangan hanya mengorbankan
anak-anak mereka dengan keadaan semangat yang sementara atau dengan ikut-ikutan
orang lain. Mereka harus merenungkan dan bertanya pada diri sendiri, ‘Apakah
kita mampu membesarkan anak-anak kita dengan cara yang mencerminkan tanggapan Ḥaḍrat
Ismail a.s. merespon pertanyaan dari Ḥaḍrat Ibrāhīm a.s.?'
Hal ini hanya dapat terjadi bila keteladanan orang tua sendiri sedemikian rupa
sehingga dapat mencapai standar luhur ketaqwaan dan taqwā.
“Jika tidak, na‘ūḏu bil-Lāhi min ḏālik, anak-anak
tumbuh dan merespons dengan mengatakan, ‘Anda mendedikasikan kami untuk wakaf,
tetapi kami belum siap untuk ini. Kami tidak dapat melayani Jemaat sambil hidup
dengan uang saku yang minim. Kami tidak bisa bekerja dengan batasan ini dan
itu. Oleh karena itu, kami tidak dapat mewaqafkan hidup kami.’
“Bahkan, jika niat para orang tua adalah tulus-dan-murni
pada saat berkeputusan untuk mewaqafkan hidup anak-anak mereka, jika keadaan amalan
ibadah dan kerohanian para orang tua itu lemah dan mereka tidak dapat secara
positif berperan dalam tarbiyat anak-anak mereka maka anak-anak tidak akan
pernah siap untuk pengorbanan seperti itu.
“Oleh karena itu, dengan cara ini, para orang tua waqifīn
nau atau orang tua yang ingin mewaqafkan hidup anak-anaknya, harus merenungkan
dan bertanya pada diri sendiri apakah para orang tua dapat mencapai standar
seperti itu.
“Demikian pula, jika anak-anak yang sudah dewasa
dan sedang menunaikan wakafnya harus memikirkan satu hal maka seharusnya
bagaimana mereka bisa unggul dalam standar kesetiaan dan pengorbanan mereka,
dan bukan bagaimana mereka bisa mengatur pengeluaran rumah tangga mereka. [Dengan]
percaya sepenuhnya kepada Allāh dan unggul dalam taqwā [maka] Allāh senantiasa memenuhi
kebutuhan seseorang. Waqifīn nau yang saat ini mengkhidmati Jema‘at haruslah melihat
untuk menghayati sifat-sifat/karakter-karakter Ismail a.s.. Hanya
dengan demikianlah Allāh akan membukakan kepada mereka jalan-jalan kemakmuran
dan kesuksesan.
“Semoga Allāh menganugerahkan kemampuan kepada para
orang tua untuk melaksanakan kewajiban mereka dan semoga Dia memberikan
anak-anak Waqafin Nau kemampuan untuk memahami tugas-tugas mereka terkait
dengan waqaf, untuk bergantung hanya kepada Allāh dan mempersembahkan pengorbanan
kepada Agama. Setelah rampung menyelesaikan studi-studi mereka, semoga mereka bukanlah
orang-orang yang cenderung kepada dan menikmati kehidupan dunia; melainkan: Semoga
mereka adalah orang-orang yang mendahulukan kepentingan Agamanya, memenuhi
sumpah waqafnya, dan dengan ikhlas mempersembahkan pengkhidmatannya. Semoga Allāh
menganugerahkan mereka kemampuan untuk mengamalkannya.”
Pada akhirnya, Ḥuḍūr a.a. menutup
khotbah ‘Īd dengan doa bersama. Setelah itu, beliau menyampaikan ucapan «‘Īd
mubārak!» kepada segenap hadirin-hadirat dan semua yang menonton secara
langsung melalui MTA.
Setelah doa bersama, Ḥuḍūr a.a.
meninggalkan Masjid Mubarak dan mengunjungi tenda besar para jama‘ah kaum perempuan
dan anak-anak yang hadir dan sekaligus menyampaikan salam dan «‘Īd mubārak!».■