Khoṭbah Jum‘at Imam Jama‘ah Muslim Aḥmadiyyah 31 Juli 2020 | Tujuan kedatangan Almasīḥ Yang Dijanjikan
Khoṭbah Jum‘at Imam Jama‘ah Muslim Aḥmadiyyah Sayyidinā Amīrul Mu’minīn Ḥaḍrat Khalīfatul-Masīḥ Al-Khāmis (V)–ayyadahul-Lāhu Ta‘ālā binaṣrihil-‘azīz (atba.) pada tanggal 31 Juli 2020 M/Wafā 1399 Hijriyah Syamsiyah (10 Dzulḥijjah 1441 Hijriyah Qamariyah) di Masjid Mubarak Islāmabad, Tilford, Britania Raya (UK).
Sumber: Ahmadiyah.id
Perkiraan baca 23 menit
※ Penjelasan secara
hukum Fiqh mengenai apa yang dilakukan bila Hari Raya jatuh pada hari Jumat.
Uraian berdasarkan Ḥadīts Nabi Muḥammad–ṣallal-Lāhu
‘alaihi wasallam (ﷺ).
※ Penjelasan Ḥaḍrat
Khalīfatul-Masīḥ II r.a. tentang hal yang sama.
※ Di Pakistan sebuah
resolusi dimunculkan di Parlemen mereka, berisi kewajiban menyebut ‘Khātaman-Nabiyyīn’
bila menyebut Nabi Muḥammad ﷺ.
※ Tanpa menerapkan
keteladanan Nabi Muḥammad ﷺ, tidak cukup hanya sekedar menyebut
gelar ‘Khātaman-Nabiyyīn’.
※ Menjawab tuduhan
keliru perihal keyakinan para Ahmadi tentang Khātaman-Nabiyyīn. Para Ahmadi
mengimaninya bahkan dalam makna yang jauh lebih baik dan tepat sesuai
penjelasan Pendiri Jema‘at Ahmadiyah.
※ Penjelasan Pendiri Jema‘at
Ahmadiyah mengenai Status Khātaman-Nabiyyīn Nabi Muḥammad ﷺ.
※ Kecintaan dan Ketaatan
Pendiri Jema‘at Ahmadiyah kepada Nabi Muḥammad ﷺ.
※ Keteladanan kita akan
cukup dalam menanggapi para penentang.
Setelah mengucapkan dua kalimah syahadat, ta‘awwudz, dan tilawat Al-Qur’ān Sūrah Al-Fātiḥah—
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ
إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ،
وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهٗ وَرَسُوْلُهُ.
أَمَّا بَعْدُ فَأَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ
الْعٰلَمينَ. الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ. إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعيْنُ. إِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيْمَ. صِرَاط
الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهمْ وَلَا الضَّآلِّيْنَ.
(اٰمين).
Pada pagi tadi, kita telah melaksanakan
ṣalāt ‘Īd dan hari ini juga bertepatan dengan hari Jumat. Jika ‘Īd dan Jum‘at menyatu
dalam satu hari, kita temukan sabda Rasūlullāh ﷺ,
“«اجْتَمَعَ عِيدَانِ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا فَمَنْ شَاءَ
أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ »—Jika seseorang menghendaki untuk melakukan ṣalāt Ẓuhūr saja,
bukan ṣalāt Jum‘at maka dia diizinkan.”
Namun bersamaan dengan itu Rasūlullāh
ﷺ pun bersabda, “«وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ إِنْ
شَاءَ اللهُ»—Kita akan melaksanakan Jumat.”[1] Beliau ﷺ melaksanakan ibadah
Jum‘at.
Terkait hal itu, saya telah
menyampaikan kepada Bapak Amir (Ketua Umum Jema‘at Ahmadiyah Inggris), “Siapa yang
ingin melaksanakan ṣalāt Ẓuhūr, mereka dapat melaksanakan ṣalāt Ẓuhūr secara
berjamaah dan tidak perlu melaksanakan ibadah Jum‘at.”
Keadaan saat ini membuat orang-orang
tidak dapat berkumpul dalam jumlah banyak di masjid. Secara umum orang-orang
berada di rumah dan jika mereka leluasa di rumah, mereka dapat melaksanakan ibadah
Jum‘at juga di rumah seperti biasa mereka lakukan sebelumnya. Bagi mereka yang
memiliki kesibukan pekerjaan, mereka dapat melaksanakan ṣalāt Ẓuhūr saja. Akan
tetapi, dalam rangka mengikuti amal perbuatan Rasūlullāh ﷺ, saat ini kita mengadakan ibadah Jum‘at.
Demikian pula, pada zaman Ḥaḍrat Muṣlīḥ
Mau‘ūd r.a., suatu ketika, ‘Īd dan Jum‘at jatuh pada hari yang sama.
Beberapa orang menyampaikan dalil-dalilnya lalu mengatakan bahwa hendaknya
dilakukan ṣalāt Ẓuhūr saja dan ibadah Jum‘at tidak perlu. Beliau r.a.
memberikan jawaban yang sangat baik dengan bersabda, “Betapa dermawannya Tuhan
kita yangmana Dia telah memberikan dua ‘Īd (dua hari raya) sekaligus kepada
kita. Bagi mereka yang akan mendapatkan dua roti capati (), lantas kenapa pula
ia menolak salah satu rotinya? Secara alami orang itu akan menerima keduanya
kecuali jika ia mendapatkan satu keterpaksaan yang khas. Karena itulah Rasūlullāh
ﷺ mengizinkan. Maksudnya, jika seseorang menghadapi keterpaksaan lalu
ingin melaksanakan ṣalāt Ẓuhūr saja tanpa ibadah Jum‘at maka orang lain
hendaknya tidak melontarkan keberatan pada orang itu.
Ada juga yang mendapatkan taufik
untuk dapat melakukan kedua ṣalāt tersebut, maka orang lain hendaknya tidak melontarkan
keberatan kepadanya dengan mengatakan bahwa orang itu tidak memanfaatkan
keringanan yang diberikan. Pendeknya, memang itu sebuah keringanan, namun yang tampak
dari amal perbuatan Rasūlullāh ﷺ
kepada kita adalah beliau bersabda, ‘Kami akan melaksanakan ibadah Jum‘at
(setelah ‘Īd).’”
Dengan demikian, sebagaimana telah
yang saya katakan, kami tengah melakukan ibadah Jum‘at pada hari ini, namun khoṭbah
akan saya sampaikan secara singkat saja. Saya telah memilih beberapa sabda Ḥaḍrat
Masīḥ Mau‘ūd a.s. yang di dalamnya beliau a.s.
menjelaskan tujuan diutusnya beliau. Beliau juga menyampaikan sabda yang penuh
makrifat perihal meyakini Nabi Muḥammad ﷺ
sebagai Khātaman-Nabiyyīn dan nabi yang hidup. Beliau juga menjelaskan perihal
maqam dan martabat Rasūlullāh ﷺ.
Para penentang kita melontarkan keberatan
kepada kita dengan mengatakan, “Kalian dengan beriman kepada Ḥaḍrat Masīḥ Mau‘ūd
a.s., berarti kalian telah—na‘ūdzu bil-Lāh—mengurangi maqom dan martabat Rasūlullāh ﷺ.” Para penentang kita merasa bangga karena telah meluluskan sebuah
resolusi di parlemen yang isinya kewajiban untuk menambahkan gelar Khātamun-Nabiyyīn
setelah menyebut nama Rasūlullāh ﷺ.
Dengan melakukan hal ini, mereka merasa memperlihatkan kecintaan yang dalam
kepada Rasūlullāh ﷺ
dan kedudukan beliau ﷺ.
Jika memang hati mereka pada
hakikatnya memberikan kesaksian akan hal itu lalu menjadikan mereka mengamalkan
teladan suci Rasūlullāh ﷺ, tentu saja itu perkara yang sangat baik. Namun, amal perbuatan
mereka telah menjauhkan mereka bermil-mil dari ajaran Nabi ﷺ.
Jika seseorang kembali sejenak pada
zaman Nabi Muḥammad ﷺ
lalu menerapkan ajaran dan teladan
yang beliau contohkan maka tidak akan ada umat Muslim saat ini—tidak akan—saling
membunuh antara sesama. Daripada melakukan itu, mereka akan datang dengan
berlari untuk baiat kepada Imam Zaman dan hamba sejati Rasūlullāh ﷺ.
Mereka beranggapan bahwa dengan mengharuskan
menulis gelar Khātaman-Nabiyyīn setelah menulis nama Rasūlullāh ﷺ sebagai sebuah kewajiban [menurut Undang-Undang Pakistan],
berarti telah memberikan jasa yang sangat besar dan dengan berbuat demikian beranggapan
telah menghalangi jalan para Ahmadi.
Orang-orang yang tuna ilmu itu tidaklah
menyadari bahwa justru para Ahmadi-lah yang memahami secara benar maqam Khātaman-Nabiyyīn dan hal ini telah Ḥaḍrat Masīḥ Mau‘ūd a.s.
ajarkan kepada kita. Orang-orang ini tidak akan mempu mendekati kekuatan dan
pengaruh yang terdapat dalam sabda-sabda Ḥaḍrat Masīḥ Mau‘ūd a.s.. Setiap
amalan dan langkah Ḥaḍrat Masīḥ Mau‘ūd a.s. merupakan perwujudan
kecintaan sejati beliau a.s. kepada Ḥaḍrat Khatamul Anbiya Muḥammad
Muṣṭafā ﷺ halmana pemikiran mereka pun
tidak akan dapat sampai kepadanya. Berkenaaan dengan itu, banyak sekali sabda Ḥaḍrat
Masīḥ Mau‘ūd a.s. dan juga tulisan beliau a.s.. Saat ini
akan saya sampaikan beberapa diantaranya.
Ḥaḍrat Masīḥ Mau‘ūd a.s.
bersabda mengenai tujuan pengutusan beliau dan kemajuan Jema‘at. Beliau
berbicara ditujukan kepada para penentang sebagai berikut, “Kedatangan saya
memiliki dua tujuan. Bagi umat Muslim adalah memastikan supaya mereka tegak
diatas ketakwaan dan kesucian sejati serta menjadi Muslim sejati sesuai dengan
makna Muslim seperti yang dikehendaki Allāh Ta‘ālā dan mereka mengamalkan hukum-hukum
Allāh Ta‘ālā dengan segenap ketaatan.
Tujuan kedua pengutusan saya terkait bagi
orang-orang Kristen adalah untuk mematahkan salib supaya gagasan salah tuhan
palsu mereka tidak tampak dan dunia sepenuhnya melupakan hal itu lalu beribadah
hanya kepada Tuhan yang Satu.”
Beliau a.s. bersabda,
“Setelah mengetahui tujuan kedatangan saya tersebut, kenapa mereka masih
menentang saya juga? Mereka hendaknya ingat bahwa amal perbuatan apa saja yang
dilakukan dengan warna ketidaksucian dalam diri pelakunya dan terwarnai dengan
kekotoran kehidupan duniawinya maka hal itu akan binasa dengan sendirinya
disebabkan oleh racun yang ada di dalamnya tersebut.”
Jika di dalam hati seseorang terdapat
kemunafikan dan kekotoran maka tidak ada keberkatan dalam perbuatan yang
seperti itu, bahkan serta-merta hasilnya akan terlihat dan perbuatan-perbuatan
tersebut akan sia-sia (gagal) dan dihancurkan.
Apakah seorang pendusta bisa
berhasil? “«إِنَّ
اللهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ
كَذَّابٌ
[innal-Lāha lā yahdī man huwa
musrifun kadzdzāb]»—Sesungguhnya, Allāh Ta‘ālā tidaklah memberikan petunjuk
kepada orang yang melampaui batas dan pendusta. «إِنَّ اللهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ»—Bagi si pendusta, cukuplah
kedustaannya sebagai penyebab kehancurannya.’[2] (Artinya, jika
seseorang berdusta, kesalahan mereka ini akan membawa mereka menuju kehancuran
mereka).
Namun, perbuatan apa pun yang dilakukan
dengan membawa keberkatan Tuhan nan Perkasa dan Rasul-Nya ﷺ dan merupakan
tanaman yang ditanam oleh Tangan Tuhan sendiri, maka para malaikat sendirilah
yang akan melindunginya.”
Bukanlah dibawah kemampuan manusia
untuk melakukan hal itu. Dikarenakan Jema‘at ini didirikan oleh Allāh Ta‘ālā
maka para malaikat-Nya akan turun menjaganya. Siapa yang dapat
menghancurkannya? Ini merupakan sebuah tantangan. Seberapa besar penentangan
dihadapi, sebesar itu pulalah kemajuan Jema‘at yang dialami, dengan
karunia-Nya.
Ḥaḍrat Masīḥ Mau‘ūd a.s.
bersabda, “Ingatlah, jika memang Jema‘at saya ini didirikan semata-mata demi
kepentingan duniawi maka ia akan hilang sampai ke akar-akarnya. Namun jika Jema‘at
ini berasal dari Allāh Ta‘ālā dan memang sesungguhnya berasal dari Allāh Ta‘ālā,
sekalipun seluruh dunia menentangnya, maka tetap akan tumbuh berkembang dan
para malaikat akan menjaganya. Jika tidak ada yang menyertai saya walau satu
orang saja dan tidak ada yang membantu, tetap saja saya meyakini bahwa Jema‘at
ini akan berkembang dan berhasil.”
Beliau a.s. bersabda,
“Saya tidak mempedulikan penentangan”—(karena itu akan selalu ada)—“dan saya
menganggap penentangan sebagai suatu keniscayaan bagi kemajuan Jema‘at. Tidak
pernah terjadi ketika Allāh Ta‘ālā mengutus seorang pilihan-Nya atau
Khalifah-Nya ke dunia ini lalu orang-orang menerimanya dengan senang hati tanpa
penentangan. Sungguh aneh keadaan dunia. Tanpa memperhatikan bagaimana luhurnya
ketakwaan seseorang, ada saja manusia yang tidak mau berhenti untuk membiarkannya
dan terus melontarkan keberatan kepadanya.”
Beliau a.s. bersabda, “Dengan
karunia Allāh Ta‘ālā, kemajuan Jema‘at kita terjadi secara luar biasa.”
Pada hari ini, kita menyaksikan lebih
dari 200 negeri yang terdapat orang-orang tulus yang baiat kepada beliau.
Ketika beliau a.s. menulis hal tersebut, jumlah Ahmadi masih ratusan.
Saat ini dengan karunia Allāh Ta‘ālā ratusan ribu yang baiat dari tahun ke
tahun. Beliau a.s. bersabda, “Tujuan utama mendirikan Jema‘at ini
adalah supaya manusia dapat keluar dari kekotoran duniawi dan meraih kesucian
sejati serta mengarungi kehidupan seperti malaikat.”
Sesuai dengan sabda Ḥaḍrat Masīḥ
Mau‘ūd a.s. tersebut, merupakan tanggung jawab kita untuk
menyelaraskan keadaan kita sejalan dengan ajaran Islām yang sebenarnya. Inilah
cara yang sebenarnya untuk mengalahkan mereka yang memusuhi kita dan memperoleh
kemenangan atas mereka.
Ḥaḍrat Aqdas Masih Mau’ud a.s.
menyampaikan mengenai pernyataan keimanan beliau dan yang juga diyakini Jema‘at
beliau dan ketaatan sejati kepada Nabi Muḥammad ﷺ,
“Saya katakan dengan sebenar-benarnya, dan saya katakan dengan bersumpah demi Allah
bahwa saya dan Jema‘at saya adalah orang-orang Muslim. Jema‘at saya mengimani Al-Qur'ān
Karīm dan Nabi Muḥammad ﷺ
sebagaimana seharusnya seorang Muslim sejati wajib mengimaninya.
Saya meyakini bahwa satu zarah (hal
kecil) saja melangkah keluar dari Islām merupakan penyebab kebinasaan. Dan,
inilah keyakinan saya bahwa seberapa besar pun karunia dan berkat yang dapat
seseorang peroleh, dan seberapa pun taqarrub
ilahiyyah (kedekatan pada Allāh) yang dapat dia peroleh, semua itu dapat
diperoleh semata-mata karena ketaatan sejati dan kecintaan sempurna kepada Nabi
Muḥammad ﷺ. Tanpa mengikuti beliau ﷺ, itu semua adalah mustahil. Selain beliau ﷺ tidak ada lagi jalan kebaikan saat ini.
Memang benar pula, saya sama sekali
tidak percaya Nabi Isa a.s. telah naik dan hidup di langit dengan
tubuh jasmaninya dan sampai sekarang masih hidup. Hal ini karena mempercayai
Nabi Isa a.s. masih hidup berarti terang-terangan telah menghina dan
merendahkan kehormatan Nabi Muḥammad ﷺ.
Saya tidak dapat menerima penghinaan semacam
itu barang sesaatpun. Semua orang mengetahui bahwa Nabi Muḥammad ﷺ telah wafat dalam usia 63 tahun dan pusara beliau ada di
Madinah-ṭayyibah. Tiap tahun, ribuan orang bahkan ratusan ribu jamaah haji
berziarah ke sana.
Jika seseorang meyakini Nabi Isa
a.s. telah wafat atau menganggap beliau a.s. telah wafat
merupakan suatu ketidakhormatan maka saya bertanya jika seseorang meyakini Nabi
Muḥammad ﷺ telah wafat maka mengapa hal
itu tidak dianggap telah berlaku tidak hormat dan tercela terhadap beliau ﷺ?”
Mengapa orang-orang menerima bahwa
Nabi Muḥammad ﷺ
telah wafat dan dimakamkan di Madinah? [Sementara itu, mereka tidak menerima
bila ada orang yang beranggapan Nabi isa a.s. telah wafat].
Selanjutnya Pendiri Jema‘at a.s.
bersabda, “Dengan amat gembira kalian mengatakan bahwa beliau ﷺ telah wafat. Pada upacara kelahiran anak kalian, para penceramah
menceritakan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Nabi Muḥammad ﷺ dan membicarakan kewafatan beliau ﷺ
dalam bahasa yang fasih dan irama
merdu. Bahkan, kalian lebih bergembira daripada orang kafir dalam hal tanpa
menentang kalian menerima bahwa Nabi ﷺ
telah wafat.
Karena itulah, saya tidak mengerti,
mengapa terdapat huru-hara terhadap penyampaian bahwa Nabi Isa a.s.
telah wafat. Batu macam apakah yang telah menghantam kalian dengan begitu keras
[sesuatu yang membuat kalian marah] sehingga hanya dengan menyatakan kewafatan
Nabi Isa a.s. saja kalian menjadi begitu marah?”
Saat ini pun sebagian orang, sebagian
ulama dan sebagian firqah yang menyebabkan keributan terhadap kepercayaan ini
dengan mengatakan, “Coba lihat, apa yang telah dilakukan oleh mereka (orang-orang
Ahmadi).” Sebagian dari mereka menolak bahwa nabi Isa a.s. akan datang.
Sebagian lagi meyakini bahwa nabi Isa akan datang (turun) namun tidak meyakini
bahwa Almasīḥ Yang Dijanjikan adalah Pendiri Jema‘at karena menurut mereka Nabi
Isa a.s. masih hidup di langit.
Selanjutnya, Ḥaḍrat Masīḥ Mau‘ūd a.s.
bersabda, “Kami juga tidak berkebaratan apabila kalian meneteskan air mata karena
mendengar kata-kata perihal kewafatan Rasūlullāh ﷺ.
Tetapi yang sangat disesalkan adalah kalian menerima dengan amat gembira
kewafatan Sang Khātaman-Nabiyyīn dan Sarwar-e-do-’Alam (Pemimpin dunia ini
dan selanjutnya). Namun berkenaan dengan seseorang yang menganggap dirinya
sendiri tidak layak membuka tali sepatu Rasūlullāh ﷺ,
[yaitu Nabi Isa a.s.], kalian meyakini beliau a.s. masih
hidup. Dan kalian menjadi amat murka ketika mulut [seseorang] mengatakan bahwa
Nabi Isa a.s. sudah wafat. Andai saja Rasūlullāh ﷺ masih hidup hingga saat ini, maka tidak masalah, karena beliau ﷺ telah datang membawa petunjuk agung yang tidak dijumpai bandingannya
di dunia ini. Dan beliau ṣaw. telah memperlihatkan keadaan-keadaan amalan dimana
semenjak zaman Nabi Adam a.s. sampai saat ini, tidak ada yang dapat
mengemukakan contoh semisal dengan itu.
Saya katakan kepada kalian dengan
sebenar-benarnya bahwa kaum Muslimin dan bahkan seluruh dunia lebih memerlukan keberadaan
Rasūlullāh ﷺ daripada keberadaan Nabi Isa
a.s.. Wujud beliau ﷺ
adalah wujud yang penuh berkat sedemikian rupa sehingga pada saat kewafatan beliau
ﷺ, keadaan para sahabat menjadi menghadapi tekanan perasaan yang
hebat sampai-sampai Ḥaḍrat ‘Umār r.a. menghunus pedangnya dan
mengatakan akan memenggal kepala siapa yang menyebut Rasūlullāh ﷺ telah wafat. Dalam keadaan yang emosional itu, Allāh Ta‘ālā
menganugerahkan nur yang khas dan ketajaman pikiran kepada Ḥaḍrat Abu Bakr aṣ-Ṣiddīq
r.a.. Beliau mengumpulkan semua orang lalu menyampaikan khoṭbah dengan
membacakan ayat berikut, “«وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ
الرُّسُلُ»—yakni, ‘Muḥammad
hanyalah seorang Rasul dan telah berlalu semua Rasul sebelum beliau.’
Sekarang, renungkanlah oleh Anda,
pikirkanlah, katakan, mengapa Ḥaḍrat Abu Bakr aṣ-Ṣiddīq r.a.
membacakan ayat ini pada saat kewafatan Ḥaḍrat Rasūlullāh ﷺ? Apakah maksud serta tujuan beliau? Dan beliau r.a.
membacakannya dalam keadaan semua sahabat hadir. Dengan sesungguhnya saya katakan,
dan Anda pun tidak dapat mengingkarinya bahwa hati para sahabat dilanda
kesedihan teramat dalam karena wafatnya Ḥaḍrat Rasūlullāh ﷺ. Mereka menganggap kewafatan Rasūlullāh ﷺ itu tidak dan belum pada waktunya. Mereka tidak dapat menerima
kabar bahwa Ḥaḍrat Rasūlullāh ﷺ
telah wafat.
Keadaannya sedemikian rupa sehingga Ḥaḍrat
‘Umār r.a. sebagai seorang sahabat yang terkemuka dan gagah berani
pun tidak dapat mengendalikan kemarahannya dan di tengah keadaan yang
mengharukan itu, hanya dengan menyimak ayat inilah yang membuat beliau menjadi tenang.
Seandainya Ḥaḍrat ‘Umār r.a. berkeyakinan bahwa Ḥaḍrat Isa a.s.
masih hidup, maka hal itu tentu akan menggoncangkan jiwa beliau, bahkan dpat
membuat beliau mati seketika di sana. Ḥaḍrat ‘Umār r.a. adalah
pecinta Nabi Muḥammad ﷺ
dan selain hidupnya Nabi Muḥammad ﷺ,
beliau tidak dapat menerima seseorang lain masih hidup [di langit]. Maka dari
itu, bagaimana bisa Ḥaḍrat ‘Umār r.a. meyakini kewafatan beliau ﷺ tapi
beranggapan Nabi Isa a.s. masih hidup?
Dalam kata lain, betapa setelah
menyimak Ḥaḍrat Abu Bakr r.a. berkhoṭbah, gejolak hati beliau
mereda. Saat itu, para sahabat membaca ayat tersebut di jalanan kota Madinah
dan merasa seolah-olah baru saat itulah ayat tersebut turun.
Ḥaḍrat Ḥassan bin Tsābit r.a.
menulis sebuah syair terkait peristiwa ini yang di dalamnya beliau mengatakan:
“«كُنتَ السَّوَادَ لِنَاظِرِي» [kuntas-sawāda lināẓirī]—Engkau dahulu adalah biji mataku,
“«فَعَميَ عَلَيْكَ النَّاظِر» [fa‘amiya ‘alaikan-nāẓiru]—[Kini setelah kewafatan engkau] mataku menjadi buta.
“«مَنْ شَاءَ بَعْدَكَ فَلْيَمُتْ» [man syā’a ba‘daka falyamut]—Setelah kematian engkau, ‘ku tak peduli siapa pun yang mati,
“«فَعَلَيْكَ كَنتُ أُحَاذِرُ» [fa‘alaika kuntu uḥādziru]—[namun yang] kutakutkan hanyalah kewafatan engkau.”[3]
Karena ayat yang disebut sebelumnya
menyatakan bahwa semua orang sebelum Nabi Muḥammad ﷺ
telah wafat maka Ḥaḍrat Ḥassan
r.a. pun mengatakan, “Sekarang tidak kupedulikan siapa pun yang akan
mengalami kematian.’ Pahamilah dengan sesungguhnya, terlalu sulit bagi para Sahabat
r.a. untuk percaya bahwa seorang [Nabi lain] masih hidup sedangkan Ḥaḍrat
Rasūlullāh ﷺ telah wafat. Mereka tidak dapat
menerima hal itu kecuali bagi Ḥaḍrat Rasūlullāh ﷺ
saja. Dengan demikian, ini merupakan ijma’
pertama yang terjadi di dunia setelah wafatnya Ḥaḍrat Rasūlullāh ﷺ dan di dalamnya telah pula diputuskan perihal kewafatan Ḥaḍrat ‘Īsā
a.s..
Selanjutnya berkenaan dengan maqam
dan martabat Rasūlullāh ﷺ,
Ḥaḍrat Aqdas Masih Mau’ud a.s. bersabda, “Beliau-lah manusia yang
dengan pribadinya, sifat-sifatnya, perbuatan-perbuatannya, tindakan-tindakannya,
dan dengan rohani serta kedahsyatan daya kesuciannya, telah menampilkan teladan
sempurna dan penuh secara keilmuan, amal perbuatan, kebenaran, maupun keteguhan,
dan atas hal itu, beliau disebut sebagai insan kamil (manusia sempurna).”
Tidak ada segi yang tersisa dalam hal:
beliau ﷺ merupakan teladan dalam keilmuan,
amal perbuatan, tolok ukur kebenaran, keteguhan, dan ilmu makrifat juga. Atas
dasar itulah, beliau ﷺ
disebut juga sebagai insan kamil.
Selanjutnya, beliau a.s.
bersabda, “Beliaulah manusia yang paling sempurna dari semua manusia. Beliau
seorang sempurna baik sebagai manusia maupun sebagai seorang rasul. Beliau datang
membawa berkat paling istimewa. Beliau yang telah menimbulkan kehidupan rohani
dan kebangkitan kembali menjadi penampakan dari hasyr (penghakiman) pertama di dunia dan dengan demikian telah
menghidupkan kembali [kerohanian] dunia.”—(mereka dikaruniai dengan kehidupan rohani
baru)—“Beliaulah Rasul yang penuh berkat, beliau sayyidunā (junjungan kita), Khātaman-Nabiyyīn (sebuah dunia yang
runtuh secara rohani telah dihidupkan kembali melalui beliau ﷺ),
imāmul-aṣfiyā (imam para suci),
penghulu para muttaqi, khātamul-mursalīn (terbaik
dari antara semua Rasul), fakhrun-nabiyyīn
(kebanggaan semua Nabi), adalah Muḥammad-muṣṭafā–ṣallal-Lāhu ‘alaihi wasallam.
“«فيا ربنا
الحبيب ارحم وسلِّم على هذا النبي الحبيب رحمة وسلاما لم ترحم وتسلِّم بمثلها على
أحد منذ بدء الخليقة» [Yā Rabbanā al-Ḥabīb, arḥam wasallim ‘alā
hādzan-Nabiyyil-ḥabībi raḥmatan wasalāman lam tarḥam wa tusallim bimitslihā ‘alā
aḥadin mundzu bad’il-khalīqah]—Wahai Tuhan kami nan Tersayang, turunkanlah rahmat dan berilah
kesejahteraan kepada nabi tersayang ini dengan jenis rahmat dan kesejahteraan
yang belum pernah Engkau turunkan sebelumnya kepada siapa pun sejak awal
penciptaan.
“Jika Rasul agung ini tidak muncul di
dunia maka kami tidak akan memiliki bukti kebenaran Rasul-rasul yang berada di
bawah derajat beliau ﷺ
seperti Yūnus, Ayyūb, ‘Īsā Ibnu Maryam, Malakhi, Yaḥyā, Zakariyya, dan
lain-lain—‘alaihimus-salām (ams.). Memang benar, mereka itu
semuanya adalah sosok-sosok terhormat, dekat dengan Allāh Ta‘ālā dan dicintai Allāh
Ta‘ālā; namun, merupakan jasa baik Rasul agung ini sehingga mereka kemudian
orang-orang mengakui kebenaran mereka. «اللّٰهمّ صلّ وسلّم وبارك عليه واٰله وأصحابه أجمعين» [Allāhumma ṣalli
wasallim wabārik ‘alaihi wa ālihi wa aṣḥābihi ajma‘īn]—Ya Allāh, turunkanlah salam dan berkat-Mu
atas diri beliau, keluarga, dan para pengikut beliau serta para sahabat beliau—semuanya.
Akhir seruan kami ialah «الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ»—Segala puji bagi Allāh, Tuhan seru sekalian alam.”[4]
Semoga Allāh Ta‘ālā senantiasa
menganugerahi kita pemahaman yang benar mengenai maqam dan martabat Ḥaḍrat Rasūlullāh ﷺ dan memberikan taufik kepada kita
untuk dapat mengirimkan ṣalāwat kepada beliau. Semoga, lebih dari sebelumnya,
kita menjadi orang-orang yang tunduk ke hadapan Allāh Ta‘ālā. Dengan cara
demikianlah kita buktikan kecintaan kepada Rasūlullāh ﷺ
dan kita akan tanamkan itu dalam hati kita sehingga kita akan dapat menjawab
penentangan para penentang Jema‘at, maksudnya keadaan rohani kita akan menjawab
keberatan para penentang kita. Semoga Allāh Ta‘ālā memberikan taufik untuk itu
kepada kita.
Khoṭbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهٗ وَنَسْتَعِيْنُهٗ وَنَسْتَغْفِرُهٗ وَنُؤْمِنُ بِهٖ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ
شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا.
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ
وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ – وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ.
عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ!
إِنَّ اللهَ
يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى
عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ
–
أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ
يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.
Penerjemah: Mln. Mahmud Ahmad Wardi,
Syahid (London, UK) dan Mln. Ataul Ghalib Yudi Hadiana (Bogor, Indonesia).
Editor: Dildaar Ahmad Dartono. Penyunting ulang: Rahmat Ali (Ciampea, Bogor; 11
Agustus 2020).
-------oooOooo-------
[1] Sunan Ibni Maajah, Kitab tentang Ṣalāt
dan sunnah mengenainya, nomor 1311. عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ـ صلى الله عليه
وسلم ـ أَنَّهُ قَالَ Riwayat Abdullah ibnu Abbas. Abu
Daud di dalam Sunannya juga, kitab tentang ṣalāt (كتاب الصلاة), bab jika
Jumat satu hari dengan Idul Fithri atau Idul Adhha (باب إِذَا وَافَقَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ يَوْمَ عِيدٍ),
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ
هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ Artinya: “Pada hari ini terkumpul bagi kalian dua hari raya, siapa yang
ingin mencukupkan dengan (ṣalāt id) daripada ṣalāt Jumat, maka itu cukup
baginya, tetapi kami tetap ṣalāt Jumat bersama“. HR. Abu Daud (1/647, no. 1073).
[2] QS 40–Ghāfir (Al-Mu’min):
29, “«وَقَالَ
رَجُلٌ مُّؤْمِنٌ مِّنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَهُ أَتَقْتُلُونَ رَجُلًا
أَن يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ وَقَدْ جَاءَكُم بِالْبَيِّنَاتِ مِن رَّبِّكُمْ ۖ
وَإِن يَكُ كَاذِبًا فَعَلَيْهِ كَذِبُهُ ۖ وَإِن يَكُ صَادِقًا يُصِبْكُم بَعْضُ
الَّذِي يَعِدُكُمْ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ»—Dan seseorang yang beriman di antara
keluarga Fir‘aun
yang menyembunyikan imannya berkata, ‘Apakah kamu akan membunuh seseorang
karena dia berkata «Tuhan-ku adalah Allāh», padahal sungguh, dia telah datang
kepadamu dengan membawa bukti-bukti yang nyata dari Tuhan-mu. Dan jika dia
seorang pendusta maka dialah yang akan menanggung [dosa] dustanya itu; dan jika
dia seorang yang benar, niscaya sebagian [bencana] yang diancamkannya kepadamu
akan menimpamu. Sesungguhnya, Allāh tidak memberi petunjuk kepada orang yang
melampaui batas dan pendusta.’”
[3] “Diwān Ḥassan bin Tsābit. Tuḥfah
Gaznawiyyah,” Rūḥānī Khazā’in, Jilid 15, halaman 583.
[4] Inti Pokok Ajaran Islām, Volume
I, halaman 199; Rūḥānī Khazā’in, pada “Itmamul Ḥujjah”, Volume 8, halaman
308.