Capture googling 20150424 page1 "perempuan muslim gosip ghibat" |
BAGAIMANA rasanya bila ketauan ada orang yang menggibat atau nge-GOSIP?
Enggak pada sekumpulan laki-laki maupun perempuan: sama saja. Rasanya
sedemikian rupa! Si anu menjelek-jelekkan si fulan. Si fulanah
mengungkit-ungkit bobroknya si anu. Terus begitu. Entah sampai di mana rasa
puasnya!
Silah cek di Al-Qur’ān Sūrah XLIX—Al-Hujurāt ayat ke-12 (QS 49:12).
Berperilaku ghibat ada di dalamnya. Berghibat dikatakan sebagai pemakan bangkai
saudaranya sendiri. Dan yang berghibat merasa keenakan.
Tidak hanya umum terdapat pada kaum perempuan, pada kaum adam juga ada. Orang
yang berghibat bisa hingga larut malam ajang bergunjingnya.
Ada dua ‘farji’ atau lubang atau indera yang harus kita jaga di Akhir Zaman
ini: lubang mulut dan lubang kelamin. Lubang kelamin sudah jamak bagaimana kita
menjaga kesuciannya. Tapi menjaga lubang mulut atau lisan, ini yang mesti ektra
hati-hati juga. Masih ingat dong betapa keampuhan lisan itu adalah melebihi
tajamnya pisau.
Ada sebuah kisah sufi yang memiliki dua murid. Seorang di antaranya minum
minuman keras dan jatuh ke dalam parit karena mabuk. Murid yang kedua mengadu
kepada sang sufi.
Sufi itu berkata, “Engkau sangat tidak beradab, engkau mengadukannya dan
engkau tidak menggendongnya pulang.”
Saat itu juga sang murid itu pergi dan membawa pulang kawannya. Kemudian murid
kedua bilang kepada sufi bahwa murid pertama itu sangat banyak menegak minuman
keras. Rupanya sang murid kedua itu tidak paham akan maksud perkataan sang sufi
tadi. Maksud sufi itu adalah mengapa sang murid kedua tersebut melakukan ghibat
(menggunjing) tentang saudaranya.
YM Rasūlu'l-Lāh saw. pernah ditanyakan mengenai ghibat. Beliau saw.
bersabda, “Memaparkan suatu ‘hal benar’ ketika seseorang itu tidak ada dengan
cara dernikian rupa yang jika dia hadir di situ dia akan merasa tidak enak,
itulah ghibat. Dan kalau hal itu tidak ada pada diri orang tersebut, dan kalian
memaparkannya, itu namanya fitnah.”
Dari ayat ‘QS 49:12’ ini juga terbukti bahwa jamaah Ilahi yang terbentuk di
dalamnya pun pasti terdapat orang-orang yang melakukan ghibat. Jika tidak ada
ghibat, tentu ayat tersebut tidak ada gunanya. Tidak mungkin seseorg bakal jadi
suci begitu saja. Jika tidak ada keburukan dari diri orang-orang lalu apa
perlunya ayat ‘QS 49:12’?
Pada masa-masa awal suatu jamaah Ilahi, ada sebagian yang lemah, ada sebagian
ada yang kekuatannya sudah pulih. Kalau kita temukan dalam umat ada yang masih
lemah maka nasihatilah secara terselubung. Jika tidak ada perubahan suci maka
doakanlah. Jika melalui kedua cara itu tidak juga ada iṣlaḥ maka anggap itu
adalah takdir.
Jadi, ketika kita menyaksikan aib, alangkah baiknya jangan langsung kita perlihatkan
emosi. Mudah-mudahan saja yang dighibati itu akan menjadi benar. Jika saja ada
orang yang tidak baik kemudian dia itu berusaha sepenuhnya untuk mengadakan
perbaikan diri— alḥamdu li'l-Lāh.
Orang yang dighibati itu jangan dijauhi. Coba deh kita perbaiki. Kita
doakan sama-sama supaya ada iṣlaḥ. Sama-sekali bukan ajaran Al-Qur’ān jika
melihat aib lalu kita sebarkan dan kita sampaikan pada orang lain. Justru
dinasihatkan agar kita menasihatkan serta saling menasihatkan dengan kesabaran
dan kasih sayang (QS XC—Al-Balad ayat ke-18).
Sangat patut disesali bila ada yang memaparkan aib seseorang ratusan kali
tetapi satu kali pun dia tidak mendoakannya. Mending ‘lah bila—na‘ūdzu bi'l-Lāhi
miń dzālik—memaparkan aib seseorang setelah paling sedikit 40 hari telah
memanjatkan doa tulus untuknya sambil me-nangis-nangis disertai taubat.
Ada sebuah syair indah dari seorang sufi bernama Syaikh Sa‘adī r.h., begini:
“Allāh swt. mengetahui lalu menutup-nutupi # sedangkan tetangga tidak
mengetahui tetapi ribut kesana-kemari.”
Mari renungkan. Allāh swt. memiliki nama indah, yaitu: As-Sattār atau Maha
Menutupi atau Maha Menyelubungi. Andai kita terapkan “akhlak-akhlak Allāh”, itu
bukan maksud supaya kita menjadi pendukung aib. Mestinya adalah kita jangan
sebar-luaskan dan jangan lakukan ghibat karena menyebarkan dan
menggunjingkannya merupakan dosa.
Dikisahkan, Ḥaḍrat Syaikh Sa‘adī r.h. memiliki dua orang murid. Salah
seorang di antaranya selalu memaparkan hakikat-hakikat dan makrifat. Sedangkan
murid yang satunya lagi selalu marah-marah. Dengkinya setengah mati.
Murid yang pertama menyampaikan kepada Sa‘adī r.h., “Bila saya memaparkan
sesuatu maka dia ini jadi terbakar amarah dan dengki.”
Dengan lemah lembut dan bijak, Syaikh Sa‘adī r.h. menjawab, “Yang satu
telah memilih jalan neraka, yakni telah bersikap dengki; sedangkan Anda telah
berbuat ghibat.”
Sesungguhnya, umat yang sudah berada di dalam bahtera al-Islām ini tidak
akan dapat melaju selama di antara sesamanya belum ada rasa kasih, doa, sikap
sattār, menutup-nutupi, dan sikap saling menyayangi. Semoga apa yang
disampaikan ini membawa ibrah bagi kita semua, menjadi iṣlah yang baik di dalam
penghambaan kita kepada Allāh swt. Āmīn.
*diposting via blogger.com☺