Bagi-bagi Proyek Usai Perang Jalur Gaza

SELAMA 22 hari gempuran Israel di Jalur Gaza sejak 27 Desember 2008, telah mengakibatkan 1.300 korban sipil meninggal dan kerugian materiil sekitar USD 2,5 milyar. Bagi kepentingan penarikan pasukan Israel dari Gaza, Hamas setuju dilaksanakan gencatan senjata secara total selama sepekan. Israel yang tidak bermaksud menduduki Gaza memang nampaknya tidak punya rencana untuk mengontrol Gaza.

Arab Saudi menyatakan akan memberikan bantuan bagi rehabilitasi Gaza. Sikap Arab Saudi, tentu akan diikuti oleh negara-negara teluk kaya, seperti Qatar, Uni Emirat Arab, Kuwait dan bahkan Israel untuk mengucurkan dana bagi pembangunan kembali kawasan Gaza.

Maka, perang Gaza akan segera memasuki babak baru yang lebih padat modal. Perang yang penuh dengan trik komersial ini sekurangya telah memperbaiki omzet industry persenjataan militer, dan menahan kejatuhan lebih jauh harga minyak dunia. Di samping itu, terjadi restrukturisasi sosial ekonomi yang cukup signifikan pada kawasan itu.


Kiri ke kanan: Presiden Obama, Menlu Clinton dan Menhan Israel Ehud Barak.

Pada tahap rehabilitasi ini, akan berlangsung pembangunan kembali kawasan Gaza yang hancur akibat gempuran Israel. Sudah tentu, akan terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi di kawasan itu dengan dinamika yang akan menimbulkan pengaruh positif pada pertumbuhan perekonomian di kawasan sekitar. Maka pasca perang, kita akan menyaksikan geliat kemakmuran Gaza, insya Allah.

Lalu bagaimana dengan Hamas? Masalah itu bisa dibiarkan saja mengambang, toh sudah ada pemerintahan Otoritas Palestina di bawah Presiden Mahmoud Abbas. Pemerintahan itu di mana Hamas termasuk di dalamnya, dapat berjalan terus untuk melanjutkan pelaksanaan Resolusi PBB Nomor 181 tahun 1947 tentang Pembentukan Negara Palestina dan Israel di bumi Palestina. Sudah barang tentu dengan bekerjasama dengan Israel. Dalam hal ini, dunia internasional dapat berunding langsung dengan pemerintahan Presiden Mahmoud Abbas seperti diutarakan oleh Dubes Palestina di Jakarta. Untuk sementara, Hamas agaknya tidak akan menentang mekanisme ini.

Perang 22 hari ini, agaknya telah memperbaiki pula hubungan antar faksi politik di Palestina, terutama antara Fatah dengan Hamas. Sementara di pihak Israel, telah menempatkan popularitas Menlu Tzipi Livni yang juga pemimpin Partai Kaddima dan Menhan Ehud Barack yang pemimpin Partai Buruh sebagai kandidat-kandidat utama PM Israel pada Pemilu Februari mendatang.

Inilah perang dengan prinsip, “the War With the Enemy Collaboration”. Pada kenyataannya, perang dengan peragaan roket Hamas dan bombardemen Israel sedikit sekali menimbulkan korban di kalangan militer. Di pihak Israel tidak sampai 10 orang, demikian pula di pihak Hamas. Penduduk sipil dikorbankan.

Kekejaman Israel terhadap warga sipil, dan tindakan Hamas menjadikan warga sipil sebagai perisai, inilah yang dikecam Eropa Barat dan dunia internasional, termasuk Indonesia.

Perang yang mencuri waktu menjelang pelantikan Presiden Barack Hosein Obama, artinya dalam kevakuman masa transisi Gedung Putih, memang berhasil mencuri kesempatan yang menguntungkan bagi industri militer dan industri perminyakan secara terbatas. Meskipun tidak berhasil mendongkrak harga minyak, karena tingkat resesi yang cukup parah, tetapi berhasil menahan kejatuhan lebih parah harga minyak dunia. Sebelum perang harga minyak dunia dikisaran USD 38/barel, kini mencapai kisaran USD 41/barel. Lumayan.


Kiri: Raja Arab Saudi Abdullah siap mengucurkan petro dolar ke Jalur Gaza yang hancur. Kanan: Pasukan Hamas di Jalur Gaza dengan peluncur roket tipe terbaru. Bagaimana kalau berhulu ledak nuklir ? Penyimpangan diluar skenario yang sangat dikhawatirkan Israel, AS dan Eropa. Pertempuran berhenti, sementara Presiden Obama dilantik Rabu 20/1.

Perang yang membuktikan ketidakberdayaan PBB dalam menghadapi Amerika Serikat dan Israel itu, telah menciptakan demoralisasi yang paling parah badan dunia itu. Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1860 tahun 2009 yang berisi 7 butir mengenai Situasi di Jalur Gaza itu tidak digubris baik oleh Israel maupun Hamas. Dan, dianggap tidak ada oleh Amerika Serikat.

AS yang terang-terangan mendukung Israel tetap menganggap Hamas sebagai organisasi teroris. Pada perkembangan akhir, Menlu pemerintahan Presiden Obama yang dilantik tanggal 20 Januari 2009 ini, Hilary Clinton melunakkan sikapnya dengan menyatakan, bahwa selama Hamas tidak mengakui negara Israel, maka tidak akan ada negoisasi dengan Hamas. Artinya, jika Hamas mengakui keberadaan negara Israel sesuai Resolusi PBB nomor 181 tahun 1947, maka terbuka peluang negoisasi.

Kesempatan ini juga diperbesar oleh Pidato Presiden Obama dalam pelantikannya di Washington DC, 20 Januari waktu setempat atau pukul 00.05 dini hari (2/1) WIB, dengan perayaan yang paling kolosal dan paling memberikan harapan.

Barack Obama menyatakan keinginannya untuk memperbaiki hubungan dengan dunia Muslim, dengan cara pandangan baru untuk kepentingan bersama dan rasa hormat bersama. Presiden Obama juga menegaskan eksistensi Negara AS yang plural-multikultur, terdiri warga Negara yang Kristen, Muslim, Hindu, Buddha, Yahudi dan yang tidak beragama, yang menjadikan Amerika dapat menjadi teman setiap Negara dan setiap orang. Artinya, AS siap menyelesaikan masalah yang menjadi tanggung jawabnya dengan semua pihak yang berkompeten. Tentu termasuk dengan Hamas dengan persyaratan Menlu Clinton tadi.

Nah, mengingat posisi dan asal-usul Hamas, yang justru dibiayai Israel pada awal berdirinya pada th.1971, maka sesungguhnya terdapat hubungan tradisional diantara Hamas dengan Israel. Oleh karena itu kemungkinan keduanya berunding dan berdamai dapat saja terjadi, dan bukan hal yang luar biasa.

Sejauh ini perang ini menguntungkan keduabelah pihak baik secara politik, ekonomi bahkan dari sudut kepentingan komersial masing-masing pihak. Rakyat memang menjadi korban yang tak terhindarkan, tetapi setelah ini rakyat juga akan menikmati masa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam proses rehabilitasi kawasan Gaza yang menjanjikan perbaikan dan kemakmuran.

Semoga pengorbanan mereka tidak sia-sia, insya Allah. Faktanya perang bukan hanya bagian dari peradaban, tetapi lebih spesifik lagi merupakan bagian dari proses ekonomi dan komersial.[] (AM/A.Sh. Mallarangeng)