Posmodernisme Ingin Membuka Dialog Baru Bagi Pemahaman Budaya (Termasuk Agama Di Dalamnya)

Filsuf postmodernisme paling awal Friedrich Nietzsche yang dilahirkan di Rocken-Jerman 15 Oktober 1844 wafat di Weimar-Jerman, 25 Agustus 1900, berpendapat, bahwa peradaban Eropa menghadapi fakta tentang nilai-nilai Kristen yang lemah secara nalar dan tidak bisa diandalkan. Bahkan lebih keras lagi Nietzsche menyatakan, “Siapapun yang tetap percaya nilai-nilai Kristen berarti pendusta atau tidak autentik.” Tetapi Nietzsche juga mengecam pemujaan terhadap ilmu dan kemajuan yang menurutnya mengalami kebangkrutan.




Friedrich Nietzsche (1844-1900).



Nietzsche selalu berpendapat bahwa masyarakat (Eropa) mestinya tidak perlu mempercayai nilai-nilai transenden (Kekristenan) yang semu. Manusia harus menghadapi kenyataan eksistensinya dengan tangguh.


Dasar pemikiran postmodernisme yang dibangun Nietzsche sama dengan filsafat modernisme, yaitu materialisme. Hanya dalam hal ini Nietzsche melakukan dekonstruksi dan post-strukturalisasi nilai-nilai modernisme yang dianggap telah bangkrut.


Nietzsche menolak kebenaran tekstual seperti kitab-kitab suci. Nietzsche berpendapat, bahwa konsep mental manusia bersesuaian dengan semesta karena manusia memiliki akses langsung terhadap realitas semesta baik melalui indera maupun rasio. Oleh sebab itu Nietzsche berpendapat satu-satunya kebenaran nyata adalah Kehendak akan Kuasa. Maksudnya manusia hanya bisa menciptakan kebenaran bagi dirinya sendiri yang berguna dan membantu manusia melestarikan diri sebagai spesies. Pada dasarnya apa yang disebut sebagai pengetahuan dan kebenaran hanyalah perangkat efektif, bukan entitas transenden. Itu semua (termasuk agama) hanya konsep-konsep ciptaan manusia.


Nietzsche berpendapat, bahwa alam semesta “yang menjadi” selalu dalam keadaan bergerak dan berubah terus-menerus tanpa aturan, sehingga apa yang disebut sebagai stabilitas dan koherensi sebenarnya hanyalah ciptaan manusia belaka (termasuk kekristenan). Berpangkal pada pendapatnya itu Nietzsche tidak pernah mengembangkan teori pengetahuan secara konsisten dan benar-benar koheren. Karena hal itu hakekatnya tidak ada.


Mengetahui, menurut Nietzsche berarti memasang kategori-kategori terhadap proses tak beraturan, yang menjadikan dunia berguna bagi kita dan memberi kita kesan akan kekuatan dan kekuasaan. Pada puncaknya Nietzsche menihilkan peradaban matematika yang dinilainya tidak lebih dari hasil rancangan manusia yang bersifat pra-pengandaian, yang sesungguhnya tidak berkaitan dengan apapun dalam dunia nyata yang sebenarnya.


Inilah pikiran-pikiran Friedrich Nietzsche yang dahsyat yang mengguncangkan dunia modernisme, dan membawa zaman kedalam proses post modernisme. Modernisme telah jenuh dan mengalami jalan buntu. Meluasnya kekacauan, kemiskinan dan penderitaan di dunia akibat perang, genosida, endemic, dan kekacauan ekonomi adalah bukti dari kebuntuan dan kebangkrutan modernisme.




President Barack Hosein Obama.


Barack Obama dalam pidato kampanyenya di Charleston, Virginia Barat, 20 Maret 2008 bertekad akan membebaskan Amerika Serikat dari apa yang disebutnya sebagai,”TIRANI MINYAK” dan menyelamatkan planet bagi anak-anak Amerika. Langkah Obama akan mengawali tindakan praksis post-modernisme di bidang perekonomian. Pembebasan AS dan dunia dari tirani minyak, jelas akan mengubah peradaban dunia secara meyeluruh. Seluruh system tekonologi konvensional akan mengalami perubahan. Dunia industri konvensional akan kiamat dan digantikan zaman baru. Ini juga akan menuju kepada post-strukturalisme social dimana kapitalisme demokrasi global akan mengalami disorientasi dan dislokasi global yang akan mendorong negasi dunia kearah tatanan baru. Novus Ordo Seclorum. Dalam posisi ini post-modernisme dapat pula diartikan sebagai neo-modernisme.



Postmodernisme menolak pemahaman budaya dengan struktur yang pasti. Sebaliknya postmodernisme ingin membuka dialog baru bagi pemahaman budaya (termasuk agama didalamnya) secara lebih bebas dan radikal, dengan membebaskan diri dari hukum-hukum, pola-pola konvensional, tetapi juga menolak paham modern yang selalu menghegemoni pemaknaan. Dengan kata lain postmodernisme ingin menjebol status-quo.Karena itu postmodernisme menolak tatanan rapi yang linier, menolak sekat-sekat budaya, menolak teori-teori baku, dan memijakkan diri pada segala hal yang mungkin meskipun berawal dari hal-hal sepele. Sikap seperti ini akan menimbulkan konjunktur yang akan selalu bergerak, masyarakat akan senantiasa berada dalam dinamika perubahan tanpa mengenal kejenuhan dan jalan buntu. Suatu post-strukturalisme yang menempatkan otoritas individu sebagai epicentrum dengan dinamika akal pikiran, emosi, intuisi dan kemauan yang tak terbatas.


Lalu dimanakah posisi agama dalam proses perubahan yang demikian dahsyat. Simak pernyatan Obama, pada tgl. 28 Juni 2006 dalam sebuah Pidato di “Call to Renewall” di Washington DC, suatu tempat berkumpulnya para aktivis keagamaan (baca Kristen):”… masuk akal jika kita keluar dari gereja dan melihat Ibrahim berdiri di atap, mengangkat pisau (siap menyembelih Ishak), setidaknya kita akan memanggil polisi dan meminta Departemen Pelayanan Anak dan Keluarga (Departement of Children and Family Services) mengambil alih pengasuhan Ishak.”




Vatikan City pusat keristenan dunia yang dianggap sebagai kekeliruan peradaban oleh Nietzsche.


Secara tidak langsung Obama membenarkan pendapat Nietzsche bahwa Kekristenan adalah kekeliruan dalam peradaban Barat. Inilah awal post-modernisme social, ketika tatanan budaya dibahas kembali, ketika peradaban kolegial dibahas kembali,ketika partisi-partisi social dirobohkan, ketika institusi publik dibahas kembali kearah negasi baru yang menitikberatkan pada kreativitas, dinamika dan otoritas individu tanpa batas; Ketika infra struktur teknologi minyak fosil digantikan dengan teknologi energi non-fosil yang akan mendorong dunia bernegasi kearah bentuk peradaban teknologi baru yang lebih shophisticated, humaniter dan konservatoris.[] (AM/AShA)

Link lengkap