[FPN] Di Antara Pasar Bebas dan Ideologi Kebangsaan

Di tengah krisis ini, kita perlu mempertegas identitas spiritual ini, agar kita tidak sirna. Terus terang, krisis ini bisa menandai berakhirnya peradaban kapitalisme demokrasi dan dimulainya zaman baru ekonomi post modernis yang belum kita ketahui lingkup dan batas tepinya. Saat ini, FPN melalui Forum Pengajian Tauhid Wahdatul Ummah tengah mendalaminya. Di setiap perubahan ada yang tetap, ada yang berubah, ada yang hilang dan ada yang muncul baru. Bangsa Indonesia tidak ingin menjadi bagian yang hilang dalam perubahan yang bagaimanapun di dunia ini.


Di akhir 2008 ini, dunia diguncang krisis ekonomi.

Bagi kita yang terpenting adalah dampaknya bagi Indonesia. Sejak awal, ketika pemerintah "berusaha" optimis mampu mengatasi dampak krisis dengan mengatakan bahasa kartunis, “fundamental ekonomi kita kuat”, dua bulan sebelumnya sudah diprediksi bahwa kita akan segera dilanda krisis yang hebat. Walaupun kita tidak terlibat pasar uang di AS dan tidak memiliki surat-surat berharga Triple A yang diterbitkan oleh Bear Sterns, Lehman Brothers dan Merril Lynch, bahkan perspektif prioritas ekonomi AS hanya menempatkan Indonesia pada peringkat ke-37, tetapi letupan “buble financial” yang bersumber dari kegagalan kredit property “subprime mortgage” itu dengan cepat akan menggempur sejtor riil. Apalagi, jika dilihat variable krisis secara keseluruhan yang meliputi:


  1. Penumpukan hutang nasional AS hingga mencapai USD 8,98 trilyun, sementara PDB USD 12 trilyun.
  2. Adanya program pengurangan pajak korporasi sebesar USD 1,35 trilyun yang mengurangi pendapatan negara cukup signifikan.
  3. Membengkaknya biaya perang Irak dan Afghanistan.
  4. Lemahnya pengawasan CFTC (Community Futures Trading Commission) yang merupakan lembaga pengawas keuangan terhadap ICE (Inter Continental Exchange) sebuah badan perdagangan berjangka.
  5. UU Subprime Mortgage 1925 Tentang KPR yang memberikan pagu kredit sebesar dua setengah kali lipat penghasilan.
Sudah dapat dipastikan bahwa badai akan segera melanda sector riil dengan pelambatan pertumbuhan, pelemahan daya beli, penurunan produksi dan gelombang PHK. Minggu lalu, terdapat 30 juta PHK baru dan 120 juta kaum miskin baru di dunia. Di Indonesia, PHK sudah memasuki angka ratusan ribu dan kaum miskin baru akan berlipat empat dan pemerintah masih sibuk mengurusi Grup Bakrie.

Sementara itu, di jalanan tanpa rasa malu, para pejabat sipil, militer dan kepolisian menunjukkan arogansi dan menghamburkan uang rakyat dengan konvoi pengawalan, sirine pembuka jalan dan sebagainya, untuk menunjukkan diri sebagai seorang pembesar yang berkuasa di hadapan rakyat yang menderita dan putus asa, di antaranya bahkan memilih bunuh diri, sebagian lagi panik dan marah. Hati-hati dengan reaksi yang terakhir itu.

Pemerintah tentu tahu bahwa Pasar Eropa dan Amerika Serikat sudah hancur, andalan Indonesia tinggal Pasar Asia. Jika Pasar Asia juga hancur, semua pihak mesti menyadari peringatan ini (!), bahwa Indonesia akan mengalami krisis ekonomi jauh lebih hebat dari tahun 1998. Bukan main-main.

Lihat indikator ekonomi nasional kita saat ini dengan cadangan devisa 50 milyar dollar AS, dan kesulitan mencari pinjaman di luar negeri atau kalau ada menerapkan bunga tinggi hingga 15 persen. Ini disebabkan krisis kepercayaan yang melanda pasar uang dunia. Posisi hutang luar LN kita saat ini di atas 160 milyar dollar AS dengan DSR 21 persen. Maka dapat diprediksi kemampuan finansial APBN 2009/2010 hanya sekitar Rp. 600 trilyun, atau menurun 40 persen dibanding APBN saat ini yang mencapai Rp. 1.000 trilyun. Sudah dapat dipastikan, pertumbuhan akan melambat di bawah 5 persen disertai kepanikan publik terhadap nilai tukar yang akan menghempaskan rupiah melampaui angka Rp. 12 ribu per dollar AS, dan bisa terpuruk hingga Rp. 15 ribu.

Perkembangan lanjutnya kini tengah menghempas kita, yaitu gelombang PHK dan kepanikan kaum buruh. Sungguh aneh, di tengah suasana yang meresahkan itu, pemerintah mengeluarkan SKB 4 Menteri yang tidak jelas maksud dan tujuannya. Bahkan, dengan SKB seluruh anggota kabinet sekalipun, PHK tidak dapat dibendung. Yang diperlukan adalah langkah-langkah kongkret untuk mempertahankan daya serap pasar domestik terhadap barang dan jasa dengan kebijakan moneter, fiskal dan sektor riil yang progresif.

Tindakan sibuk pemerintah untuk menyelamatkan pasar modal membuktikan pemerintah tidak memiliki visi penyelesaian krisis yang sedang terjadi dan tidak memiliki keyakinan apa yang seharusnya dilakukan. Ledakan PHK pada saat ini diperkirakan sudah melampaui angka 500 ribu dan masih akan terus bertambah. Artinya, terdapat limpahan jumlah penggangguran baru dan tentu saja gelombang kaum miskin baru dalam jumlah besar.

Kita diambang kekacuan social. Ini sudah sering diperingatkan dalam berbagai kesempatan. Dan apa yang dilakukan pemerintah dan para pemimpin parpol pada saat ini? Sibuk membuat iklan untuk pencitraan diri untuk Pemilu 2009! Puluhan bahkan ratusan milyar dan trilyunan dikeluarkan untuk pemilu hedonistis yang sesat dan menghancurkan bangsa. Apa yang sedang terjadi sama sekali bukan proses demokrasi, melainkan anarkhisme dan vandalisme yang merusak tatanan dan peradaban.


Gelombang PHK dan Kemiskinan

Sementara itu, para pejabat Pemda, untuk kepentingan keindahan kota, dengan kejam menggusur para pedagang kaki lima yang merupakan bagian dari sektor non-formal yang menyumbangkan sekurangnya 3 persen pertumbuhan ekonomi nasional. Tahukah mereka bahwa para pedagang kaki lima itu merupakan alur arus barang yang paling dinamik hingga ke tingkat terbawah? Hal yang tidak dapat dilakukan pihak lain.

Penggusuran terhadap mereka merupakan pemangkasan distribusi barang-barang produksi yang merugikan kepentingan perekonomian nasional. Para komandan trantib dan Satpol PP mestinya diberikan kursus tentang ini agar mereka tidak melakukan kebodohan-kebodohan yang merusak pasar domestik yang harus kita bangun optimal saat ini, kalau kita ingin selamat.

Saat ini, rejim 'devisa bebas' dan 'pasar bebas' harus dirubah pemerintah menjadi 'rejim devisa' dan 'pasar terkendali'. Pemerintah harus membuat regulasi yang memberikan kemampuan untuk mengendalikan devisa dan pasar domestik untuk kepentingan perekonomian nasional. Lalu lintas devisa dan ekspor-impor barang harus diatur sedemikian rupa untuk melindungi pasar domestik.

Untuk dinamisasi pasar domestic pemerintah juga harus segera menurunkan lagi harga BBM dalam negeri sesuai harga minyak dunia saat ini yang semakin turun.

Pemerintah juga perlu menasionalisasi atau sekurangnya renegoisasi posisi cabang-cabang industri strategis yang dikuasai pihak asing. Pemerintah juga dapat melakukan moratorium hutang-hutang luar negeri selama 25 tahun ke depan. Kesemuanya itu dalam rangka membangun daya tahan perekonomian nasional, agar bangsa ini tetap survive di tengah krisis ekonomi dan perubahan zaman ini.

Keinginan untuk kembali ke UUD 1945 yang asli dengan spirit reformasi, dalam rangka memperkuat kedaulatan nasional di tengah krisis ini, merupakan pikiran yang tepat. Menghadapi krisis ekonomi global ini, tidak hanya diperlukan langkah-langkah pragmatik, melainkan juga langkah-langkah idealistik agar kita tetap survive.

Tanpa idealisme Pancasila dan UUD 1945 "yang asli", kita tidak memiliki nilai kesakralan terhadap eksistensi bangsa ini, yang membuat kita rela berkorban.

Di tengah krisis ini, kita perlu mempertegas identitas spiritual ini, agar kita tidak sirna. Terus terang, krisis ini bisa menandai berakhirnya peradaban kapitalisme demokrasi dan dimulainya zaman baru ekonomi post modernis yang belum kita ketahui lingkup dan batas tepinya. Saat ini, FPN melalui Forum Pengajian Tauhid Wahdatul Ummah tengah mendalaminya. Di setiap perubahan ada yang tetap, ada yang berubah, ada yang hilang dan ada yang muncul baru. Bangsa Indonesia tidak ingin menjadi bagian yang hilang dalam perubahan yang bagaimanapun di dunia ini.

Industri bankrupt, pabrik-pabrik tutup

Apapun kata Frederich Nitzche, Jaques Derrida dan Susan Sontag tentang post modernisme ekonomi yang bakal mengkoreksi sistem ekonomi kapitalisme demokrasi global yang menurut mereka cacat, berbahaya dan banyak menimbulkan penderitaan, maka selama kita tetap teguh berpegang pada Pancasila dan UUD 1945 yang asli, kita akan tetap memiliki kepercayaan diri untuk survive. Kita memiliki sejarah, kepribadian dan cara kita sendiri yang berbeda, dalam menjalankan dan melayani kepentingan perjuangan. Kita memiliki basis tradisi, religi dan modernisme yang koheren dan mampu beradaptasi di setiap perubahan zaman. E Pluribus Unum.

Tentu, akan menjadi perdebatan internal kita tentang bagaimana implementasinya dalam praktek penyelenggaraan negara. Apa Konstitusi 2002 ini harus kita batalkan dan Parlemen harus menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 yang asli dengan spirit reformasi, dengan segala konsekwensinya? Dan, apakah Pemilu 2009 harus kita laksanakan, atau kita bereskan dulu urusan konstitusi ini?

Ini semua memang pertanyaan yang sulit dan mengandung sejumlah bahaya revolusioner. Apalagi, jika sebagian besar rakyat sudah tidak mampu membeli makanan. Apa yang bakal terjadi? Apa artinya Pemilu? Apa artinya iklan diri para politisi? Sepertinya, kita bakal dilanda perubahan yang dahsyat. Pemerintah yang menganggap semuanya dalam keadaan sangat baik seperti dongeng PNPM Mandiri itu, kiranya kita baru akan terbangun dari mimpi masturbasinya: Ketika badai telah merobohkan istana dan tidak ada lagi yang bisa diperbuat.

Nah, kita tidak ingin mengikuti fatalisme seperti itu, karena kita yakin, sesungguhnya kita mampu berbuat besar sebagai bangsa seperti kita buktikan dalam kesejarahan kita sejak zaman Majapahit hingga Indonesia Merdeka. Bangsa kita sudah ada sejak awal sejarah masehi, dan akan tetap ada selama-lamanya. Bahkan di tengah tatanan dunia yang berubah kita akan tetap merupakan entitas yang kokoh kuat berdiri karena kita mengerti arah perubahan: Novus Ordo Seclorum.[] (Agus Miftach/A. Shaheen)

Persatuan.web.id