Sebab-sebab Krisis Ekonomi Global

Namun sesungguhnya, jika kita renungkan lebih dalam penyebab paling hakiki dari kiris finansial yang berlanjut dengan krisis ekonomi global ini adalah moral hazard, yaitu keserakahan para kapitalis dan pelaku pasar bebas yang tak terkontrol. Keserakahan itulah yang justru telah memusnahkan kekayaan mereka. Keserakahan adalah ekspresi dari jiwa yang tidak seimbang yang tidak memiliki equilibrium, seperti ketauhidan yang menjadi sumber rasionalitas.


Sejak pasca Lebaran, kita direbak dengan krisis ekonomi global yang memukul perekonomian nasional kita. Adalah menjadi kewajiban pemerintah untuk terus menunjukkan sikap optimisme daya tahan fundamentalisme perekonomian nasional. Tetapi yang terlebih penting adalah kebijakan atau action pemerintah dalam menyelamatkan perkonomian nasional, termasuk menyelamatkan lantai Bursa Efek Indonesia yang suspend tiga hari (8-10/10).

Kemerosotan IHSG pada waktu suspend sekitar 10,8 persen. Tidak terlalu tinggi, tetapi volume perdagangan sangat rendah, di bawah Rp. 900 miliar. Sumber suspend terutama kemerosotan saham-saham Bakrie Group yang direpo oleh JP Morgan yang diikuti dengan pemebelian dollar corporate dalam jumlah besar terus-menerus, menekan nilai rupiah secara signifikan.

Betapa pun, ini merupakan indikator negatif terhadap situasi moneter. BI mencoba menahan rush dengan meningkatkan BI rate 25 basis poin menjadi 9,50 persen dan meningkatkan batas jaminan deposito dari Rp. 100 juta menjadi Rp. 2 milyar.

Saat itu, belum terjadi kepanikan publik, tetapi kekhawatiran fault di sektor reksadana harus benar-benar diperhatikan, karena hal itu akan menghancurkan kepercayaan investor publik dan paksa jual secara panik untuk mencegah kerugian lebih besar, yang biasanya akan diikuti dengan rush dan panic buying valas yang akan menjatuhkan nilai rupiah lebih dalam dan dapat menyulut krisis moneter.

Kini kita akan melihat secara lebih kongkrit sebab-sebabnya:

[1] Bank hipotik dalam prekreditan rumah Bear Sterns, telah memberikan kredit rumah kepada warga AS dalam jumlah masif, dan yang terbesar kepada kelompok masyarakat yang disebut subprime mortgage (kalangan kurang mampu), jumlahnya nominalnya mencapai lebih dari US$. 5,4 trilyun. Artinya, tagihan Bearn Sterns kepada debitur kira-kira sebesar itu yang didasarkan pada kertas kontrak kredit yang mewakili asset yang nyata yaitu kepemilikan rumah, atau dalam istilah keuangan mereka sebut securitizatioan of aseet (SOA) yang lazim juga disebut “surat berharga primer”, karena dijamin dengan barang yang nyata.

[2] SOA tersebut, oleh Bearn Stearns dikelompokkan menurut tanggal jatuh temponya. Lalu setiap kelompok itu, dijadikan dasar untuk menerbitkan “surat utang” atau surat janji bayar atau yang disebut securitization of security (SOS) yang dijual terbesar kepada Lehman Brothers dan bank-bank lain yang memiliki nama besar. Artinya, surat piutang dari ribuan debiturnya dijadikan dasar oleh Bearn Stearns untuk menerbitkan surat utang kepada Lehman Brothers. Surat utang ini, disebut juga “surat berharga sekunder”, karena tidak lagi dijamin oleh barang yang nyata, melainkan oleh surat janji bayar dari bank hipotik yang ternama. Nah, uang tunai dari Lehman Brothers itu oleh Stearns digunakan untuk memberikan kredit lagi kepada warga yang membutuhkan rumah, atau yang terbanyak adalah rumah kedua atau ketiga oleh dibitur yang sama. Artinya potensi kredit macet semakin besar.

[3] Maka, Lehman memegang surat utang dari Bear Sterns dan dari berbagai perusahaan sejenis. Oleh Lehman, surat-surat utang itu dikelompokkan lagi ke dalam peta geografis, seperti kelompok debitur Los Angeles, Atlanta, California dan sebagainya. Lalu, dijadikan dasar untuk menerbitkan “surat utang” yang dijual kepada Merril Lynch dan bank-bank dengan nama besar lainnya. Surat utang turunan ketiga ini dapat juga disebut “surat utang tersier”. Demikian seterusnya, artinya satu rumah sebagai jaminan dapat menghasilkan uang tunai ke dalam kas bank-bank ternama dengan akumulasi yang berlipat ganda atau dapat juga disebut sliced and diced yaitu barang yang dipotong-potong dan masing-masing potongan diperjudikan. Maka, tak heran jika ada bank yang debt equity ratio-nya bisa mencapai 30 kali lipat.

[4] Kasus berikutnya, sebagian besar debitur yang memang sudah diketahui sebelumnya sebagai kelompok ekonomi kurang mampu dengan istilah subprime mortgage, ternyata gagal membayar cicilan utang pokok dan bunganya. Apa yang terjadi? Kalau satu tagihan di sliced (dipotong-potong) menjadi 5 atau 6, lalu dibeli oleh bank-bank yang berbeda, maka gagal bayar 1 debitur akan berdampak langsung merugikan 5 atau 6 bank. Nah, tingkat kepercayaan dunia yang tinggi terhadap bank-bank investasi dan lembaga keuangan AS yang memiliki nama besar itu, menjadikan sliced itu lebih banyak lagi potongan, artinya lebih banyak lagi bank-bank di dunia yang ikut terpukul. Nah inilah duduk perkara yang sebenarnya.

[5] Dampak langsung letupan “buble financial” ini ialah, ketidakpercayaan sesama bank melalui pembelian surat berharga. Dampak lanjutannya, bank-bank yang tadinya dapat memperoleh likuiditas-nya dari sesama bank, jadi kesulitan likuiditas. Sementara investmen bank (bank investasi) dan hedge fund (lembaga keuangan) tidak memperoleh uanganya dari penabung individual, melainkan dari bank-bank komersial atau sesama investment bank atau hedge fund. Ini diikuti dengan rush dari bank-bank kreditor. Inilah pula yang melanda Lehman Brothers, maka tak kurang dari 24 jam raksasa financial AS itu roboh, menandai krisis likuiditas terbesar yang melanda AS dan dunia. Perusahaan-perusahaan besar dengan nama-nama besar dan sejarah yang panjang bangkrut, saham-sahamnya yang dipegang masyarakat tidak lagi bernilai, musnah, dan masyarakatpun panik.

[6] Sangat banyaknya kertas-kertas derivatif (surat-surat berharga) yang diproduksi bank-bank ternama di AS, telah membuat bank-bank besar di seluruh dunia membelinya sebagai investasi. Ketika surat-surat berharga itu mendadak musnah harganya, maka banyak bank-bank besar di dunia, tidak terkecuali Bank of China yang sontak dilanda krisis yang hebat.

[7] Di samping itu terdapat sebab-sebab lain yang signifikan, yaitu:

1. Penumpukan hutang nasional AS hingga mencapai US$. 8,98 trilyun, sementara PDB US$. 12 trilyun.
2. Adanya program pengurangan pajak korporasi sebesar US$. 1,35 trilyun yang mengurangi pendapatan negara cukup signifikan.
3. Pembengkakan biaya perang Irak dan Afghanistan.
4. Lemahnya pengawasan CFTC (Community Futures Trading Commission) yang merupakan lembaga pengawas keuangan terhadap ICE (Inter Continental Exchange) sebuah badan perdagangan berjangka.
5. UU Subprime Mortgage 1925 tentang KPR yang memberikan pagu kredit sebesar dua setengah kali lipat penghasilan.

Namun sesungguhnya, jika kita renungkan lebih dalam penyebab paling hakiki dari kiris finansial yang berlanjut dengan krisis ekonomi global ini adalah moral hazard, yaitu keserakahan para kapitalis dan pelaku pasar bebas yang tak terkontrol. Keserakahan itulah yang justru telah memusnahkan kekayaan mereka. Keserakahan adalah ekspresi dari jiwa yang tidak seimbang yang tidak memiliki equilibrium, seperti ketauhidan yang menjadi sumber rasionalitas.

Dampaknya terhadap Indonesia

Hubungan ekonomi Indonesia dengan AS kecil. Dari perspektif ekonomi AS, Indonesia menempati urutan ke-37. Praktis hampir tidak ada uang Indonesia yang ditanam dalam saham-saham AS yang sekarang musnah itu. Paling hanya ada segelintir orang Indonesia yang super kaya yang memiliki saham-saham perusahaan AS. Jenis uang inipun sudah lama tidak bermukim di Indonesia.

Dampak riil sebenarnya tidak berkaitan langsung, melainkan efek domino yang bersumber dari para investor asing yang menjual saham-saham domestik di Bursa Efek Indonesia. Lalu, memborong dollar untuk kepentingan di negara masing-masing. Ditambah, kegelisahan publik. Maka, IHSG anjlok dan nilai rupiah mulai terjun curam sampai ke angka Rp. 12.000 per US$. Tindakan pemerintah seakan menentang kenyataan, yaitu dengan cara mensuspensi Bursa Efek atau dengan kata lain membatasi ruang gerak Bursa Efek. Hasilnya? Nihil 100 persen! Nilai saham terus berguguran!

Tentang pembatasan jaminan terhadap nasabah yang dinaikkan dari Rp. 100 juta menjadi Rp. 2 milyar, di satu sisi mungkin dimaksudkan untuk mencegah pelarian rupiah keluar, di sisi lain seperti pengumuman bahwa Indonesia hanya aman untuk penyimpanan uang sebesar Rp. 2 milyar saja. Penaikan BI rate sebesar 25 basis poin, menjadi 9,50 persen juga dimaksudkan untuk menahan dana nasabah hengkang dengan sedikit tambahan bunga 0,25 persen itu. Tetapi, di pihak lain, memperberat sektor riil dengan peningkatan suku bunga kredit, sementara permintaan barang dari negara-negara tujuan ekspor menurun drastis. Dalam pada itu, dampak informasi global yang canggih, mengakibatkan semua orang berhati-hati dalam pembelanjaan, akibat lanjutnya sudah tentu penyusutan pembelanjaan yang berakibat merosotnya nilai transaksi dengan segala multidampak negatifnya.

>>>Dilihat dari kinerjanya, patut diduga, Tim Ekonomi Pemerintah kurang memahami variabel faktor-faktor, mekanisme dan kekuatan-kekuatan yang bekerja setelah pecahnya buble financial yang menyeret perekonomian global dalam gerak spiral yang terus menurun.

Kita mengenal conjunctuur atau gerak pasang-surut yang inheren dalam sistem kapitalisme dengan mekanisme pasar bebasnya. Gerak pasang yang sampai ke titik puncak, diikuti dengan titik balik menurun, dan sebaliknya gerak surut sampai ke titik terendah diikuti dengan titik balik pasang menuju kegairahan baru. Pola pasang-surut ini berulangkali terjadi, setidaknya kita dapat merunut conjunctuur sistem kapitalisme selama 2 abad terakhir.

Nah, seberapa besar kemampuan pemerintah SBY menghadapi krisis ini, tergantung pada pemahaman Tim Ekonomi Pemerintah terhadap perbandingan antara struktur ekonomi dengan kebutuhan riil, terutama antara ketersediaan modal dengan populasi tenaga kerja. Bagian strategis inilah yang justru tidak dibicarakan pemerintah dan para ahli. Apa mereka kurang mengerti?

Dengan APBN yang diperkirakan merosot hingga 30-40 persen, melambatnya pertumbuhan hingga mungkin di bawah 5 persen, sudah dapat dibayangkan ledakan pengangguran dan kemiskinan dengan segala multidampaknya, yang akan merupakan beban social yang dahsyat yang bakal dihadapi Indonesia, ditengah situasi politik yang anarkhistis, politisi busuk dan rakyat yang vandalis, demoralisasi, sparatisme, dan fundamentalisme yang brutal. Semuanya berpotensi meluluhlantahkan bangunan NKRI ini seperti lenyapnya Majapahit, Demak dan Mataram. Maka, Pancasila dan cita-cita Preambule UUD 1945, seperti Nagari Kertagama dan Zaman Kerta-nya Mahapatih Gajah Mada tinggal menjadi dongeng, seperti dongeng PNPM Mandiri itu.


Namun sesungguhnya, jika kita renungkan lebih dalam penyebab paling hakiki dari kiris financial yang berlanjut dengan krisis ekonomi global dan yang kini mulai menghantam negara kita, terutama karena kebodohan. Kita dijerumuskan ke dalam keserakahan pasar bebas yang tak terkontrol itu. Keserakahan itulah yang telah memusnahkan bangunan pasar modal mereka yang lenyap seperti balon yang pecah dan runtuh seperti istana pasir. Keserakahan adalah ekspresi dari jiwa yang tidak seimbang yang tidak memiliki equilibrium, seperti ketauhidan yang menjadi sumber rasionalitas. Dipihak lain, sistem kapitalisme seperti story conjunctuur-nya, tidak akan hancur, dia hanya mengalami anti klimaks lalu akan menciptakan gerak pasang dari titik balik. Ekonomi AS juga tidak hancur, tapi menurun dan akan menemukan gerak conjunctuur-nya itu, dan akan pasang kembali setelah mencapai titik baliknya.

Lalu ke mana Rakyat Indonesia akan melangkah? Agar tidak menjadi negeri dongeng ngoyoworo dan mati terlantar karena bodoh, kita harus kembali ke UUD 1945 yang asli, (bukan UUD 2002 aka. "Amandemen"). Kembali ke jati diri bangsa, sumber rasionalitas yang akan membawa kita menemukan jalan terbaik.[] (Agus Miftach/Rahmat Ali)
persatuan.web.id