Usai Baca kedua novel “Princess”-nya Jean P. Sasson...

Malam ini—Selasa, aku menyelesaikan bacaan buku kedua novel “Princess”-nya Jean P. Sasson. Yang pertamanya-sih sudah kutamatkan ketika mengisi hari-hari santaiku di Pandeglang sejak Kamis malam hingga Sabtu. Review buku pertamanya sudah kutulis di FS Dea.

“Emmh...buku yg kamu pinjamkan itu, benar2 bikin aku tersentuh. Dan ini salah satu yang buat aku senang kalo baca kisah nyata. Setelah membaca, aku seperti baru aja masuk ke suatu dunia yang menakjubkan.

“That is, kata Mbah Wikipedia, a person’s thoughts (conscious and unconscious), emotions, and beliefs cause a change in the physical world that attracts positive or negative experiences that correspond to the aforementioned thoughts, with or without the person taking action to attain such experiences.

“Apapun yang kita pancarkan akan memantul balik kepada diri kita, walaupun itu hanya pikiran bawah sadar kita.

“Setelah baca bukumu itu, aku jadi lebih banyak beristigfar, selawat, tasbih, zikir dan doa-doa yang kupanjatkan dengan penuh kekhusyukan.”

Pada buku yang kedua ini, aku menjumpai adanya impersonalitas dalam modernitas yang ditabuh oleh rezim Dinasti As-Saud. Kenyataannya, terdapat ketidakbahagiaan yang luas terhadap impersonalitas dan kekosongan spiritual aristokrat Arab Saudi. Artinya, ada kehampaan. Aku nggak yakin, kelemahan ini bisa disembuhkan melalui treatment politik, bahkan gejala kebangkitan kembali agama dalam beberapa hal, disebabkan karena kekurangan modernisasi tersebut.

Dalam kaitan ini perhatikan pernyataan Max Weber dalam The Protestant Ethic and the Spirit, sebagai bantahan terhadap Karl Marx, bahwa bentuk produksi materi itu bukan basis. Melainkan, superstruktur yang berakar pada agama dan budaya. Dan untuk memahami munculnya kapitalisme modern serta motif pengejaran keuntungan, harus kita pelajari asal-usulnya dalam wilayah kesadaran manusia--dalam hal ini Arab Saudi.

Kegagalan memahami akar perilaku ekonomi yang terletak dalam wilayah kesadaran dan budaya (termasuk agama), itu telah menjadi penyebab timbulnya kesalahan umum yang melekatkan faktor materi bagi fenomena pemikiran, yaa...seperti penilaian umum di Barat terhadap kemajuan China. Mereka menganggap sebagai kemenangan material atas dominasi pemikiran ideologis sebelumnya.

Padahal jika ditelusur benar, maka akar kemajuan China terletak pada perubahan kesadaran/pemikiran kalangan elite China yang mengambil keputusan liberalisasi ekonomi dengan tetap memiliki spirit tradisional China yang ternyata dapat tetap mempertahankan keutuhan China yang modern dengan ekonomi Liberal.

Sejumlah kelemahan Liberalisme terutama dalam impersonalitas dan kekosongan spiritual, telah memberikan peluang peran komplementer bagi modernisasi pemahaman Tauhid untuk membawa modernitas dunia kepada bentuk yang lebih utuh.

Sesungguhnya, hakekat manusia tidak terdiri atas fitrah material semata yang bersifat ekstrinsik, melainkan terdapat fitrah spiritual yang mendominasi wilayah kesadaran dan ketidaksadaran yang bersifat intrinsik. Sebaliknya, teokrasi yang penuh kekerasan adalah despotisme dan fasisme yang lebih rendah derajatnya dari impersonalitas materialisme. Akhirnya yang kita perlukan adalah Liberal-Constitution dengan spirit keseimbangan duniawi dan ukhrowi sebagai inti ajaran Tauhid.

Ada kesalahkaprahan di Arab Saudi. Ini bom waktu, yang siap menghancurkan kapan pun. Semoga, Raja Abdullah semakin menyadari. Aku yakin, beliau semakin peka dan peduli. Tahu mesti berbuat apa dan bagaimana. Beliau bukan orang sembarangan, dan pintar melihat “sesuatu”. Semoga demikian adanya. Amin.