Mungkinkah Pemerintah RI Memposisikan Ahmadiyah [di] Indonesia sebagai Agama di Luar Islam?

Versi lengkap petikan artikel ini bisa Anda lihat pada website Front Persatuan Nasional.


Petikan Bahan Pengajian Mingguan Tauhid Wahdatul Ummah/FPN Ke-181
Jumat, 20 Juni 2008 di Permata Hijau, Jaksel

Masalah Ahmadiyah (Bagian II)

Oleh K.H. Agus Miftach

Assalaamu’alaikum War.Wab.,

Bismi`l-Laahi`r-rahmaani`r-rahiim,

...Dari enam diktum SKB Nomor 199 Tahun 2008 tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), intinya terletak pada diktum kedua dan ketiga. Banyak pihak, terutama yang anti-Ahmadiyah menilai SKB ini banci, mengambang, tidak jelas dan sebagainya.

Padahal, kalau dicermati secara mendalam, SKB itu sudah memenuhi ketentuan dalam UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Penodaan Agama, di mana sifatnya memberi peringatan. Apabila peringatan ini tidak diindahkan, barulah dimungkinkan pelarangan ajaran Ahmadiyah melalui Keputusan Presiden.

Di samping itu JAI masih memiliki peluang berdiri sendiri sebagai agama Ahmadiyah di luar Islam. Dan dengan sendirinya dapat membangun pokok ajarannya sendiri berdasarkan keyakinan yang berkembang selama ini, seperti tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad dan “kitab” Tadzkirah, Ahmadiyah dapat menetapkannya sebagai pokok ajaran agama Ahmadiyah. Justru posisi itu, menjadikan Ahmadiyah terlindungi oleh konstitusi dan sistem hukum Indonesia.

[Jika] sebagai agama tersendiri, Ahmadiyah dapat menjalankan peribadatan dengan tenang sesuai pokok-pokok ajarannya sendiri. Dan tidak perlu ada konflik dengan kaum Muslimin.

HAMMA
Mirza Ghulam Ahmad Qadiani (1839-1908), Pendiri aliran Ahmadiyah

AKBAR MOGHUL
Kaisar Akbar (1556-1605) dari India, penguasa Muslim-Mongol, Inspirator agama Sikh

Dahulu, agama Sikh yang diinspirasi oleh kaisar Akbar penguasa Islam dari Dinasti Mongol di India pada abad ke-16, juga merupakan sekte dalam agama Islam. Sekte itu merupakan sinkretisme Islam-Hindu. Karena banyak konflik dengan mainstream kaum Muslimin, sekte Sikh kemudian berdiri sendiri sebagai agama Sikh, dan mengembangkan pokok ajarannya sendiri di luar agama Islam. Dan nampaknya, hal itu merupakan jalan terbaik bagi penganut Sikh. Dan bisa jadi, jalan terbaik pula bagi penganut Ahmadiyah. Keduanya sama-sama berasal dari India: Sikh dan Ahmadiyah.

KUIL SIKH AMRITSAR
Kuil Emas Sikh (the Golden Temple of Sikh), di kota suci Sikh Amritsar, India

JAI yang masuk ke Indonesia pada tahun 1925 atau 1924, kini beranggota aktif sekitar 550.000 orang, dengan iuran anggota rata-rata Rp. 30 ribu per bulan yang dijalankan secara tertib dan terorganisir. Oleh karena itu, meskipun kecil, organisasi JAI berjalan efektif dengan kemampuan self-supporting yang memadai.

JAI dapat dikatakan merupakan organisasi keuangan publik di mana terakumulasi dana trilyunan yang menjadi kekuatan utama organisasi Ahmadiyah di dunia. Oleh karena itu, keberadaannya dirasakan mengancam aliran-aliran tradisional mainstream kaum Muslimin. Faktanya, masalah konflik sektrarian, tak hanya soal teologis, melainkan menyentuh pula urusan politik.

Tak terkecuali Ahmadiyah, bagi kekuasaan mainstream Muslimin, keberadaannya makin lama dirasakan sebagai ancaman dari dalam. Maka, berjalanlah hukum politik, Ahmadiyah ditekan, harus dilarang, dibubarkan atau dikeluarkan dari Ummah, seperti yang terjadi pada sekte Sikh.

Fragmentasi ini, sesungguhnya merupakan hal biasa, yang dialami semua agama-agama besar di dunia, baik dari lingkungan Semit seperti Katholik, Protestan, Yahudi, Qabbala, Sunni, Shyi’ah dan–kini–Ahmadiyah, maupun di luar peradaban Semit, seperti Zoroaster, Hindu, Budhha, Tao dan Khonghucu. Tetapi, karena Ahmadiyah dianggap sebagai aliran baru pada pertengahan abad ke-19 yang menyimpang jauh dari pokok ajaran Islam yang sudah baku, maka masa depan Ahmadiyah lebih berpeluang berdiri sebagai agama tersendiri di luar Islam. Kemungkinan ini, sebenarnya sudah sering saya diskusikan dengan kalangan JAI yang tidak menampik alternatif damai ini. Semoga, kedamaian meliputi kita semua. Sekian.[] (FPN/Edit by me)