HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) = Calon Rejim Ideologi Mitologis? Apa Iya? Khayali dan Utopiskah Usungan Konsep Khilafah Mereka Bagi Indonesia?






USAI Pengajian, sayang klo moment foto-memoto terlewatkan. Walhasil, Bro' Firdaus memotret kami, Jumat (17/8). L-R: Fulan, Fulan dari PTIQ Ps Jumat - Jaksel, saya, NKS, Ismail Yusanto (IY) "Jubir HTI", Ust Fulan, GM, Soekmana Soma "Ummur Kharijiah (Humas/Jubir) PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia, AADP "bokap saya", Fulan, dan Fulan "Kyai dari RT setempat-tetangga GM".[] (Foto by Firdaus)



DAN ternyata
,
saya yakin, sejak seminar di IAIN Mataram ttg "Mungkinkah Ahmadiyah Mendirikan Agama Baru?" April lalu, IY agak sedikit melunak. Dan, lebih jinak--malah! Apa karena ada GM kali, yah?! ;-) [] (Foto by me)

Yg patut dicatat dan dipegang dari omongan IY saat jd tamu pengajian Jumat (17/8) malam itu, adalah statement ttg keterbukaan HTI utk berdialog dan bergaul dg siapa pun. Inklusif. Juga, statement IY ttg konsep Khilafah yang utopis, khayali, ideologi-mitologis, yg bakal diusung HTI (bukan HT International) yg menjamin kebebasan beragama, berserikat dan bermazhab-apa-pun.

Hm, apa iya. Soalnya, secara pribadi, pd saat memberikan ceramahnya, IY mengatakan hal-hal yang (Huh!) tidak menyejukkan--menurut saya sbg pribadi Muslim Ahmadi. ;-) Dan, apakah klo dia sdh berkuasa nanti, ranah pribadi tsb akan dia langgar? Benar, nggak? Konsekuenkah?

Kita lihat saja NANTI!!! Jika dia langgar, maka kejadian serupa seperti MASYUMI di tahun 50-an akan menimpa HTI. Camkan itu, wahai Saudara-saudaraku di HTI!!! :-)


--


Syari’ah, Khilafah dan Kebangsaan


Assalamu’alaikum War. Wab.

Bismillahirrahmanirrahiem.


“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, namun sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” ; Al-Baqoroh : 177.

Seperti tradisi pengajian ini, kita akan membahas ayat ini dengan pendekatan eklektik multiperspektif, baik dari perspektif teologi, antropologi, historiografi maupun psikologi dll, secara holistis dan komprehensif, agar dapat diperoleh pemahaman secara utuh dan hikmah yang setinggi-tingginya dari kandungan ayat ini, insya Allah.

Kiri ke kanan : Ketua Partai Hanura Fuad Bawazier dan Ketua Partai Demokrasi Perjuangan Sukowaluyo. Kedua petinggi parpol baru ini menyatakan siap melakukan perubahan-perubahan yang berpihak pada rakyat. Benarkah ?

Pokok Bahasan.

Asbabun-nuzul ayat ini, diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ dan Qatadah, disebabkan adanya silang pendapat diantara kaum Yahudi yang sembahyang menghadap ke Barat, sedangkan orang-orang Nasrani menghadap ke Timur. Masing-masing mengklaim golongannyalah yang benar. Maka turunlah ayat ini yang menafikkan pendirian kedua golongan ahli-kitab itu.

Tetapi pendapat ini kurang kuat. Ibnu Katsir mengatakan, bahwa ayat ini berkaitan dengan ayat-ayat tentang perpindahan kiblat kaum Muslimin, dari Baitul Maqdis ke Ka’bah Baitullah, yang berdampak menimbulkan keraguan pada sementara ahli-kitab dan pada sebagian kaum Muslimin, yang sudah banyak diterangkan pada pengajian-pengajian terdahulu.

Kalimat,”Laesalbirro an tuwalluu wujuuhakum qibalal-masyriqi wal-maghribi….” : “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan……..dst”. Memastikan bahwa arah mata angin itu tidak mengandung kesakralan, melainkan hakekat kesakralan ialah dengan beriman kepada Allah dan segala perangkat kesucian-Nya, membangun pemerataan ekonomi dan keadilan sosial secara progresif, memberantas kemiskinan dan eksploitasi terhadap kaum lemah melalui mekanisme infaq, shodaqoh dan zakat, bersikap jujur-berakhlak, tabah dan sabar dalam kesulitan dan penderitaan. Itulah manifestasi keimanan dan ketaqwaan yang lebih berorientasi kepada realitas kehidupan sosial ekonomi yang adil, egaliter dan sejahtera, yang bebas dari eksploitasi yang kuat terhadap yang lemah, mendasarkan mekanisme sosial yang bersifat human-relationship yang bersifat rahmatan.

Namun, ayat ini juga mengandung prinsip-prinsip dogma keimanan dalam sistem peradaban agama Semit yang bersifat holistis, yang mengisyaratkan bahwa Islam sebagai agama Semit yang mutakhir mewarisi semuanya secara tuntas dan menempatkan diri sebagai satu-satunya keabsahan monoteis. Ayat ini mengandung dua prinsip sekaligus, yaitu mitos dan logos, yang diaplikasikan secara utuh. Prinsip keimanan harus diimplementasikan dengan perbuatan efektif, tanpa itu maka keimanan hanya utopia kosong yang tidak ada artinya. Dan sebaliknya sebuah perbuatan tanpa iktikad iman-tauhid, hanya merupakan tindakan duniawi yang tidak memiliki makna transenden. Seperti diketahui Nasrani menitikberatkan pada iktikadiyah, sedangkan Yahudi menitikberatkan kepada amaliyah.

Al-Andalus.

Islam adalah sublimasi keduanya, seperti substansi ayat ini, yang akan menghasilkan emansipasi tertinggi, yang akan mewakili capaian-capaian terbesar umat manusia dalam membangun peradaban, seperti dibuktikan kemudian dalam sejarah perjalanan Islam di muka bumi, dari sejak zaman Rasulullah saw, Khulafa’urrasyidin, Daulah Umayyah, Daulah Abbasiyyah, Imperium Al-Andalus di Spanyol, Imperium Mongol di India, Imperium Safawiyah di Iran dan Imperium Utsmaniyyah di Turki, dalam kurun waktu 1300 tahun telah menerangi dunia dengan kemajuan peradaban yang mengantarkan umat manusia mencapai tahap modernitas seperti sekarang ini.

Kemenangan Turki modern.

Setelah Perang Dunia ke I, sistem khilafah dan syari’ah yang dijalankan oleh imperium Utsmaniyyah di Turki terbukti tidak lagi memadai. Modernisasi Barat yang berkembang cepat, telah melampaui kemampuan-kemampuan terunggul kaum Muslimin. Dampaknya dalam persaingan kekuatan dan kekuasaan segera tampak. Dalam Perang Eropa dimana Utsmaniyyah berpihak Jerman berhasil dikalahkan sekutu Eropa Barat yang kemudian memecah belah negara menjadi sejumlah protektorat, yang berdampak sangat memperlemah kedudukan para penguasa imperium Islam itu. Pada situasi seperti itulah muncul komandan pasukan Mustafa Kemal Affandi yang kemudian kesohor sebagai Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938).

Kiri ke kanan : Mustafa Kemal Attaturk dan Sultan Abdul Hamid II

Sejak 1919 – 1922 Attaturk memimpin pasukan nasionalis Turki dalam suatu perang kemerdekaan. Kekuatan Attaturk berhasil membendung masuknya Eropa ke Turki, serta berhasil membentuk sebuah pemerintahan independen yang berdaulat penuh, yang dijalankan dengan cara Eropa modern. Ini belum pernah terjadi sebelumnya di dunia Islam. Sultan Abdul Hamid II penguasa Imperium Utsmaniyyah terakhir diasingkan hingga wafatnya. Pada th. 1947 Turki sudah memiliki birokrasi yang efisien dan perekonomian kapitalis, serta menjadi negara demokrasi sekuler dengan sistem multipartai yang pertama di Timur Tengah.

Namun ada catatan kelam yang mengawali sukses ini, yaitu pembantaian etnis Yunani dan Armenia di Anatolia sejak 1894-1927 yang dilakukan oleh pemerintah Utsmaniyah dan dilanjutkan pemerintah Attaturk. Pembasmian setidaknya satu juta warga Yunani dan Armenia itu meliputi 90 persen kaum borjuis, telah memberikan kesempatan kepada Attaturk untuk membangun kelas ekonomi menengah pedagang Turki yang menjadi partnership pemerintah dalam modernisasi ekonomi. Inilah genosid pertama di abad 20 yang telah memberikan identitas nasional negara baru Republik Turki yang modern. Rabi Kook seorang rahib Yahudi mengatakan dengan getir, nasionalisme sekuler dapat menjadi hal yang mematikan dan sama bahayanya dengan pembasmian atas nama agama seperti yang dilakukan penguasa katholik di zaman Inkuisisi Spanyol.

Sekularisasi Attaturk bersifat agresif, dan bertekad “membaratkan” Islam dan mengecilkannya menjadi pernyataan iman yang bersifat pribadi, tanpa pengaruh hukum, politik dan ekonomi. Agama ditempatkan lebih rendah dari negara. Orde Sufi ditiadakan, madrasah dan perguruan Al-Qur’an ditutup, wajib berpakaian ala Barat, wanita dilarang pakai jilbab dan laki-laki dlarang pakai tarbus.

Syaikh Said Nursi

Maka pecahlah pemeberontakan besar Syaikh Said Nursi, seorang ulama berpengaruh di Turki yang menjadi pemimpin orde syufi Naqshabandiyyah. Tetapi dengan kemampuan militer pemerintah Attaturk yang efisien dan efektif pemberontakan Syaikh Nursi itu berhasil dipatahkan hanya dalam waktu dua bulan.

Di Barat sekulerisasi adalan proses pembebasan, dianggap sebagai cara yang lebih maju dan lebih baik daripada tradisi agama mereka. Maka sekulerisme dirasakan sebagai perkembangan positif yang membawa perubahan peradaban sosial yang lebih toleran.

Tetapi di Timur Tengah sekulerisasi dirasakan sebagai serangan yang bengis, penuh paksaan dan bagi kaum fundamentalis disamakan dengan penghancuran Islam. Namun demikian, suatu kenyataan bahwa Nation State System yang bersifat sekuler mendominasi negara-negara Muslim terkemuka seperti Mesir, Al-Jazair dan Indonesia. Namun juga suatu kenyataan bahwa sistem modernisasi Barat yang banyak dianut di negara-negara Muslim tidak membuahkan hasil seperti di tempat asalnya.

Faktanya negara-negara demokrasi seperti Indonesia, Bangladesh, Pakistan bahkan Mesir tidak menikmati kehidupan sosial ekonomi yang memadai, dan termasuk dalam jajaran negara-negara miskin di dunia. Pertumbuhan ekonomi yang rendah, pengangguran dan kelahiran yang terus meningkat, kemiskian massal, kriminalitas, kerusuhan, kerusakan lingkungan, bahkan narkoba mewarnai kehidupan sosial yang buruk di Indonesia, Afrika Barat, Bangladesh, Pakistan dll.

Sementara itu solusi salafiyah yang ditawarkan kaum fundamentalis, yaitu kembali kepada sistem syari’ah dan khilafah, lebih bersifat utopia. Hanya rejim ideologi mitologis yang bersifat transenden yang sudah tentu tidak mampu memberikan jawaban rasional-praktis terhadap problematik ekonomi, kemiskinan, kebodohan dan social-constrain, yang betapapun memerlukan penyelesaian empirik, bukan hanya dogma-dogma yang khayali. Ini sudah banyak kita bahas pada pengajian-pengajian terdahulu.

Syari’ah, Khilafah dan Kebangsaan

Keinginan Hizbut-Tahrir untuk menjadikan Syari’ah dan Khilafah sebagai problem-solving kegagalan pemerintahan sekuler di negara-negara Muslim tidak disertai dengan cetak biru yang implementatif. Sifatnya dogmatis, utopis dan lebih bersifat idealisme spekulatif yang hanya keras dalam anti-Barat, tapi tidak solusif. Khilafah tidak bersifat konformitas dogmatis tetapi harus sepenuhnya rasional-praktis, mewakili semua alternatif empirik yang mampu memberikan solusi. Tanpa itu maka syari’ah dan khilafah akan membawa malapetaka baru.

Harus dicatat bahwa Rasulullah saw tidak menjadikan masalah kepemimpinan (khilafah) sebagi ritual yang bersifat ortopraksi namun suatu kesepakatan syuro (demokratis) yang dinamis, prosesnya melalui kontrak sosial (aqad mu’ahadah al-ijtima’iyyah) seperti pembentukan negara kota Madinah, yang bahkan lebih mendekati bentuk sekuler daripada teokratik.

Puluhan ribu massa ummat Islam memenuhi stadion utama Gelora Bung Karno, dalam pembukaan Konferensi Internasional Khilafah, Minggu, 12 Agustus 2007 yang diselenggarakan Hizbut-Tahrir Indonesia dan diikuti delegasi Hizbut-Tahrir dari berbagai negara, seperti Jepang, Inggris, Denmark, Turki, Sudan dll. Kurang sejalan dengan semangat kebangsaan.

Jika yang dimaksud syari’ah dan khilafah adalah semata-mata pemerintahan agama yang teokratik-dogmatis, ini akan sangat berbahaya, karena akan menimbulkan konflik dan perpecahan dan antiklimaks nihilisme seperti yang dialami Syaikh Said Nursi di Turki. Tetapi jika syari’ah dan khilafah berupa solusi rasional dengan agregat ekonomi, politik dan sosial budaya, terutama nilai-nilai kebangsaan, maka kami percaya terdapat harapan di dalamnya. Khilafah ala minhaj nubuwah bukan dogma yang harus dibaca harfiah, tetapi azas dan nilai-nilai yang pengetrapannya harus konteks dengan problematiK dan tuntutan zaman.

Jika aqidah dan ubudiyah dianjurkan bersifat salaf (ortodoks), maka ijtima’iyyah lebih dianjurkan bersifat jadid (modern). Dalam modernitas yang tauhidiyah, ada sisi dogmatis yang harus digali di masa silam tetapi yang terbanyak sisi rasional yang harus digali dimasa kini dan masa depan. Kita tidak memerlukan sekulerisasi, karena agama Islam tidak pernah menjadi hambatan bagi kemajuan sosial, bahkan sebaliknya menjadi faktor emansipasi sosial yang determinan.

Yang diperlukan adalah pemahaman umat yang lebih baik, agar dapat membentuk psyche kearah yang lebih kreatif. Kita memerlukan suatu metode dakwah yang dapat memberikan psycho-cognitive yang mampu mengubah struktur schemata kepada bentuk konstitusi jiwa baru yang lebih kreatif. Modal personality kaum Muslimin yang dogmatis utopis seperti orang-orang Kristen Mesianik itu harus diubah menjadi basic personality structure yang divergen, kreatif dan progresif. Maka sifat ketauhidan akan berubah menjadi energi dinamik yang akan mampu membangun kembali peradaban dunia baru yang Islami. Bukan Negara Islam tetapi Negara yang Islami. Lengkapnya Masyarakat dan Negara Pancasila yang Islami. Sejauh ini konsep syari’ah dan khilafah lebih tampak sebagai agama kemarahan. Sekian, terima kasih.

Dirgahayu Republik Indonesia yang ke 62. Semoga mendapatkan hidayah dan ridho Allah Azza wa Jalla. Dirgahayu Hisbut-Tahrir Indonesia dan pak Ismail Yusanto dkk, semoga tidak lelah berijtihad demi keluhuran Bangsa dan Negara di jalan yang diridhoi Allah swt.

Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut-Tahrir Indonesia, tengah menyimak Buku Spirit Islam ke 8.


--

Opini
Sabtu, 18 Agustus 2007

Relevansi Khilafah di Indonesia
Azyumardi Azra

Konferensi Khilafah Internasional yang diselenggarakan Hizbut Tahrir Indonesia pada 12 Agustus 2007 setidaknya berhasil menarik perhatian media internasional.

Beberapa hari sebelum dan pada hari-H konferensi itu, saya diwawancarai beberapa media internasional, termasuk al-Jazeera English live, dari Jakarta. Bagi kalangan media internasional yang memiliki persepsi atau bahkan bias tertentu terhadap Hizbut Tahrir (HT), Konferensi itu memiliki signifikansi sendiri. Bahkan dari aneka pertanyaan yang diajukan, tergambar seolah dengan konferensi itu Islam Indonesia telah berubah drastis; kesan mereka, dengan konferensi itu, khilafah segera berdiri (entah di mana), dan syariah Islam secara serta-merta segera berlaku di seluruh Indonesia.

Konferensi itu diselenggarakan bertepatan dengan 28 Rajab (1428 H). Konon pada tanggal yang sama apa yang disebut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai "Khilafah Utsmaniyyah" di Turki dihapuskan penguasa sekuler Turki, Kemal Ataturk pada 1924. Jika orang-orang Turki saja tidak pernah menangisi tamatnya riwayat khilafah ini, sebaliknya HT umumnya di berbagai penjuru dunia meratapi berakhirnya kekuasaan Turki Utsmani itu sebagai tamatnya persatuan Islam.

Makna khilafah

Apa sebenarnya khilafah itu? Masih relevan atau viable-kah pembentukan sebuah khilafah di tengah realitas dunia Muslim Indonesia dan internasional?

Awalnya istilah khilafah mengacu pada Al Quran surat al-Baqarah Ayat 30 tentang penciptaan manusia yang disebut khalifah, wakil Tuhan di bumi. Dalam hubungan dengan ayat-ayat lain, para ulama menafsirkan, tugas khalifah ialah memakmurkan kehidupan di muka bumi, bukan menegakkan khilafah, yaitu kekhalifahan, sebuah lembaga politik yang bermula pada masa pasca-Nabi Muhammad. Kekhalifahan ini dikenal sebagai al-Khulafa al-Rasyidun berturut-turut Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan ’Ali bin Abi Thalib. Ciri paling menonjol dari kekhalifahan yang empat ini ialah bahwa sukses didasarkan merit, keunggulan kualitas pribadi daripada yang lain- lain.

Kekhalifahan (khilafah), menurut sejarawan terkemuka Ibn Khaldun, tamat dengan berakhirnya al-Khulafa’ al-Rasyidun. Entitas politik Islam selanjutnya, seperti Dinasti Umaiyyah, Dinasti Abbasiyah, dan Dinasti Utsmaniyyah, bukan khilafah karena suksesinya berdasar tali darah daripada merit. Semua entitas politik pasca-al-Khulafa’ al-Rasyidun adalah kerajaan atau kesultanan, bukan khilafah.

Karena itu, seperti pernah saya kemukakan dalam wawancara khusus tentang khilafah dengan majalah al-Wa’ie, media resmi HTI, gagasan khilafah yang mereka usung pada dasarnya merupakan romantisme dan idealisasi sejarah belaka. Karena, jika rujukan gagasan khilafah ialah kekuasaan Turki Utsmani, maka sejak awal pembentukannya pada masa Sulaiman al-Qanuni abad ke-15, para penguasanya hampir tidak pernah menyebut entitas politik mereka sebagai khilafah atau memanggil diri mereka sebagai khalifah. Sebaliknya, dengan rendah hati menyebut diri sebagai sultan. Barulah saat penguasa Turki Utsmani terakhir Sultan Abd al-Hamid pada dasawarsa kedua abad ke-20 terancam gerakan Turki Muda yang akan mengambil alih kekuasaan, ia menyebut diri sebagai khalifah guna menarik simpati dan solidaritas kaum Muslim lainnya.

Para penguasa Turki Utsmani tampaknya menyadari, khilafah dan jabatan khalifah bukan sembarangan. Mereka tahu, pada dasarnya adalah para ghazi, perwira, yang karena perjalanan sejarah menjadi para penguasa. Namun, sadar atau tidak, kekuasaan yang mereka bangun—dalam perspektif ilmu politik modern—adalah "oligarki militer" yang kemudian mengalami transformasi menjadi kesultanan.

Sampai masa Tanzimat (reformasi) sejak paruhan kedua abad ke-19, para sultan Turki Utsmani lebih dikenal sebagai penguasa yang despotik, yang lebih asyik dengan diri sendiri daripada memedulikan rakyat. Namun, untuk menciptakan citra kesalehan bagi dirinya, para penguasa ini memberi beasiswa kepada para penuntut ilmu, khususnya yang ada di Haramayn (Mekkah dan Madinah).

Karena watak Dinasti Turki Utsmani seperti itu, Haji Agus Salim pernah mengingatkan tokoh-tokoh Muslim Indonesia yang terlibat dalam Komite Khilafat, yang menentang penghapusan yang dilakukan Kemal Ataturk, bahwa khilafah tidak memiliki relevansi dengan Indonesia. Sebaiknya kaum Muslimin Nusantara tidak menjadikan para penguasa Utsmani yang despotik itu sebagai sosok ideal mereka. Yang relevan dengan kaum Muslimin Indonesia ialah mencapai kemerdekaan dan memakmurkan kehidupan bangsa sesuai dengan surat al-Baqarah Ayat 30 itu. Sejak itu, Komite Khilafat Indonesia kehilangan momentumnya dan ide khilafah tidak pernah lagi menjadi wacana kaum Muslimin arus utama seperti diwakili Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan banyak lagi.

Lepas dari pernyataan Haji Agus Salim dan kenyataan tidak berkembangnya wacana khilafah dalam arus utama kaum Muslim Indonesia, gagasan khilafah agaknya tidak pernah pudar. Sejak Jamaluddin al-Afghani menyerukan perlunya khilafah (politik) di Istanbul dan khilafah keagamaan di Mekkah, bisa disimak ide khilafah yang dikembangkan para pemikir sejak Abd al-Rahman al-Kawakibi (Suriah), Abu al-A’la al-Mawdudi (Pakistan) dan Taqi al-Din al-Nabhani (Palestina), pendiri HT. Tentu saja, sejauh ini HT paling gigih memperjuangkan apa yang disebut khilafah.

Khilafah dan negara bangsa

Gagasan khilafah pada masa modern kontemporer menyerukan pembentukan kekuasaan politik tunggal bagi seluruh umat Islam di muka bumi; sebuah gagasan yang dapat dipertanyakan kelayakan dan keberlangsungannya (viability). Jika umat Islam boleh jujur kepada diri sendiri, kesatuan semacam itu tidak pernah terwujud, bahkan sebelum berakhirnya kekuasaan al-Khulafa’ al-Rasyidun. Kesatuan hanya terwujud pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Tetapi sejak masa khalifah ketiga, Utsman bin Affan, terjadi pertikaian dengan ‘Ali bin Abi Thalib—lalu menjadi khalifah keempat. Sejak itu, persatuan umat Islam di bawah satu kekuasaan politik tunggal lebih merupakan imajinasi yang jauh.

Abu A’la al-Mawdudi, yang merumuskan khilafah secara lebih komprehensif, menyadari hampir tidak mungkinnya mewujudkan khilafah universal. Akhirnya ia menyerah kepada realitas negara-bangsa (nation-state). Ia menerima kehadiran negara-bangsa Pakistan pascapartisi Anak Benua India pada 1947, lalu mendirikan parpol Jama’ati-Islami untuk mewujudkan cita-citanya mencapai khilafah. Maka, al-Mawdudi dan Jama’ati-Islami terlibat pergulatan politik nasional Pakistan yang kompleks, sampai terlihat seolah melupakan gagasan dan cita khilafahnya.

Pengalaman al-Mawdudi itu setidaknya menunjukkan dua kontradiksi. Pertama, khilafah tidak mungkin dicapai melalui negara-bangsa. Kedua, negara-bangsa yang ada pada dasarnya menerapkan sistem demokrasi modern. Dan khilafah tidak kompatibel dengan demokrasi yang bersandar pada vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan), sementara khilafah yang berdasar pada vox dei vox populi (suara Tuhan adalah suara rakyat).

Realitas politik yang begitu kompleks membuat al-Mawdudi mengompromikan cita khilafahnya. Boleh jadi, HTI akan menempuh jalan yang sama. HT Jordania, misalnya, membentuk parpol yang terlibat proses-proses politik modern. HTI boleh jadi mengikuti langkah lebih realistis dengan membentuk parpol. Jika itu jalan yang ditempuh, realisme HTI patut diapresiasi dengan iringan doa, semoga berhasil di belantara politik Indonesia.

Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

-------oooOooo-------