Harapan yang Hilang di Bulan Ramadan

oleh Zofeen Ebrahim

KARACHI (IPS) – JUTAAN orang di seluruh dunia memasuki pekan ketiga bulan puasa Ramadan. Persaudaraan yang biasanya menyatukan umat Islam selama bulan suci tak mencakup komunitas Ahmadiyah di Pakistan, yang menghadapi penindasan lebih buruk dari sebelumnya.

Peluang sekecil apapun bagi agama minoritas ini –yang meyakini pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan dan pembaharu yang diramalkan Nabi Muhammad– tak ada sama sekali.

“Ruang bagi Ahmadi seperti apa yang Anda maksud? Mereka tak punya sama sekali,” kata Faisal Neqvi, seorang pengacara dari Lahore, kepada IPS.

Dinyatakan non-Muslim pada 1974, pengucilan secara hukum dan sosial bagi Ahmadi –sebutan untuk pengikut Ahmadiyah– diabadikan dalam undang-undang tahun 1984 yang melarang mereka menyatakan diri Muslim atau menunaikan ibadah haji ke Mekkah di Arab Saudi.

Sementara misionaris non-Muslim diizinkan berkhotbah asal tak melawan Islam, Ahmadi bahkan tak bisa ibadah bersama atau berdoa mengumandangkan puji-pujian untuk nabi.
Bulan lalu, permusuhan terhadap komunitas yang berjumlah empat juta orang itu menggelegak di Kharian, sebuah kota di provinsi Punjab, saat satuan polisi menghancurkan enam menara sebuah masjid Ahmadiyah, Baitul Hamd, dan mencopot kaligrafi di dinding masjid.

Raja Zahid, perwira polisi yang memimpin satuan itu, berkata kepada Express Tribune, harian berbahasa Inggris, bahwa tindakan pembongkaran dilakukan menyusul keluhan resmi dari organisasi keagamaan bernama Tehreek-e-Tahaffuz-e-Islam.

Menurut Zahid, sudah ada saling pengertian bahwa pembongkaran akan dilakukan.
“Kami pastikan bahwa kami punya rasa hormat, tapi pasal 298-B dengan jelas menyatakan orang Qadian (Ahmadi) tak boleh menyebut tempat ibadahnya sebagai ‘masjid’, dan karena tak bisa disebut masjid, maka bentuknya tak bisa menyerupai masjid sama sekali,” kata Zahid. (Pasal 298-B merupakan bagian dari undang-undang darurat militer, atau dikenal Ordinansi XX, yang dikeluarkan pada 26 April 1984 oleh rezim pemerintahan Jenderal Muhammad Zia-ul-Haq).

Dengan marah, seorang jurubicara Jemaat Ahmadiyah, Saleemuddin, mengatakan kepada IPS, “Tak ada desain masjid yang dipatenkan atau hukum yang menyatakan menara dari desain tertentu hanya dapat digunakan oleh sebuah masjid.”

Bahkan, Baitul Hamd berdiri pada 1980, empat tahun sebelum Ahmadiyah, dilarang menyebut diri Muslim.

Membantah pernyataan polisi, Saleemuddin berkata: “Mereka (polisi) datang tanpa perintah pengadilan pada tengah malam.”

Para pemuka komunitas Ahmadiyah melaporkan bahwa masjid dan tanah jemaatnya secara rutin disita pemerintah daerah dan diberikan kepada komunitas Muslim mayoritas. Ada kasus di mana pihak berwenang menghentikan pembangunan atau renovasi tempat ibadah.
“Semua ini bermula dari undang-undang yang diperkenalkan awal tahun 1980-an saat menjadi kejahatan bagi Ahmadi untuk memakai simbol atau doa apapun yang bisa mengindikasikan mereka sebagai Muslim,” kata Zohra Yusuf, ketua Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan, kepada IPS.

Undang-undang itu sangat ekstrem. “Pernah, seorang anak yang baru berusia beberapa tahun dipenjara gara-gara menerima kartu undangan yang menggunakan kata ‘Bismillah’,” Yusuf menambahkan.

Agama, dan dengan demikian intolerensi agama, kian merembes ke hampir setiap institusi negara di Pakistan. Namun, sementara banyak orang mengutuk penindasan terhadap Muslim Syiah, Hindu, dan Kristen, hanya sedikit yang berani bicara terbuka mengenai Ahmadiyah, yang terus dianaya.

Khawatir dianiaya, mereka tak menonjolkan diri selama bertahun-tahun. “Selagi orang-orang tidak menyadari identitas kamu, kamu aman,” ujar Hasan Ahmad, mahasiswa kedokteran. “Tapi sekali orang tahu kamu Ahmadi, sikapnya berubah sama sekali dan apapun bisa terjadi pada kamu.”

Sejak 28 Mei 2010, ketika 86 jemaat Ahmadiyah dibantai di masjid-masjid mereka selama salat Jumat di kawasan timur kota Lahore, serangan terhadap Ahmadiyah meningkat tajam.
Hussain Naqi, anggota Komisi HAM Pakistan (HRCP), berkata kepada IPS bahwa level diskriminasi menjadi kian parah.

“Perangkat pemerintah menyelidiki dulu keyakinan agama seseorang untuk menyaring mereka yang termasuk jemaat Ahmadiyah dan bila seorang Ahmadi telanjur masuk di angkatan bersenjata, dia takkan pernah naik pangkat,” katanya.

Naqi juga menyesalkan ironi dari fakta bahwa, berdasarkan UU penodaan agama itu, “orang yang mengotori ayat suci Alquran dihukum, tapi tidak jika dilakukan di sebuah masjid Ahmadiyah oleh polisi.”

Dia bilang hakim agung Pakistan harus menangani masalah ini. “Tapi saya tahu dia takkan melakukanya,” katanya dengan putus-asa.

Menurut Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2011, yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan diluncurkan pada 31 Juli, aparat penegak hukum Pakistan bertanggungjawab atas pelanggaran terhadap agama minoritas, terutama yang dilakukan dengan kedok pasal-pasal penodaan agama.

Laporan itu mencatat pemerintah sekarang gagal mengambil “langkah-langkah memadai untuk mencegah penyalahgunaan hukum yang diskriminatif”, terutama pasal-pasal anti-Ahmadiyah.
“Organisasi nonpemerintah menganggap pasal anti-Ahmadiyah sebagai hukum pidana dan kebijakan pemerintah lainnya menyuburkan intoleransi terhadap komunitas ini dan, bersama minimnya tindakan polisi, membentuk budaya impunitas,” tulis laporan itu.

Sejak UU anti-Ahmadiyah diundangkan pada 1984, 218 Ahmadi dibunuh atas nama agama. Sejak awal tahun ini, menurut pemuka Ahmadiyah, tujuh Ahmadi tewas dalam pembunuhan berencana.

“Tak pernah ada seorang pun yang ditahan,” ujar Saleemuddin.

Lebih buruk lagi, komisi penyelidikan yang dibentuk untuk menyelidiki pembantaian Mei 2010 belum mengemukakan temuannya dan, hingga hari ini pejabat dari komisi itu gagal menghubungi komunitas Ahmadiyah.

Tapi yang lebih menyedihkan bagi komunitas Ahmadiyah dan pembela HAM adalah minimnya kritik dari media.

“Media melaporkan kekejaman setiap hari tapi tak ada yang memberikan pandangan mengapa hal ini terjadi,” tutur Neqvi.

“Cerita yang disajikan lewat media, boleh saja membenci orang lain, seperti jemaat Ahmadi, tapi bukan yang lain (Syiah atau Sunni moderat). Ini benar-benar apa yang disebut pesan ganda.”

Sebagai seorang Syiah, Neqvi meyakini sebuah pertanyaan besar hari ini, “Apakah ada ruang tersisa bagi orang-orang di luar Wahabi dan Salafi di Pakistan.”

Upaya menghapus keberadaan keyakinan dan kebudayaan Ahmadiyah di Pakistan bisa dilacak dari sejarah dan bahkan mencoba menghapus kenangan akan Dr Abdus Salam, orang Pakistan pertama yang meraih Nobel dan anggota jemaat Ahmadiyah, yang dihormati atas perannya mengidentifikasi sifat-sifat partikel Higgs boson.

Sangat meragukan bahwa meningkatnya liputan media akan membawa perubahan. Dalam sebuah artikel di Express Tribune, Neqvi menulis, “Saking banyak kekejaman atas nama agama sehingga negeri ini menderita, saya bahkan tak ingat lagi satu contoh di mana masyarakat, parlemen, dan media bersatu mengutuk kekejaman apapun (yang signifikan) selama ini.”*

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik

*diposting via Blogger.com