Berhati-hati di Proyek Selat Sunda

From: Sunny <ambon@tele2.se>
Date: 2012/7/4
 

 
Sangatlah wajar jika Menteri Keuangan Agus S Martowardojo enggan menyetujui pelaksanaan studi kelayakan pembangunan Jembatan Selat Sunda oleh swasta. Anggaran pembuatan jembatan antarpulau itu bakal sangat besar. Jika ternyata proyek ini tak layak, biaya ganti rugi yang mesti ditanggung negara bisa tak terkira. Pemerintah jelas perlu berhati-hati mengawal pembangunan kawasan strategis tersebut.

Menteri Agus mengungkapkan, studi kelayakan (feasibility study) proyek dengan biaya lebih dari Rp 100 triliun itu semestinya disusun oleh pemerintah. Sudah bukan cerita baru, proyek-proyek kerja sama antara pemerintah dan swasta kerap merugikan pemerintah.

Menteri tampak ingin menghindari risiko itu sejak dini.

Dengan keterlibatan sejak awal dalam perencanaan, pemerintah jelas akan lebih paham ihwal kelayakan jembatan tersebut. Pemerintah bisa memastikan apakah pembangunan itu bakal berhasil atau sebaliknya.
Mereka juga bisa menghitung kebutuhan pinjaman dari luar dan bagaimana harus menggunakan jaminan.
Risiko pun lebih terukur dibandingkan dengan jika menyerahkannya kepada pendanaan swasta.

Alasan Menteri Keuangan yang masuk akal tersebut, anehnya, tak sinkron dengan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2011 yang telah diteken pada Desember lalu. Tak jelas bagaimana asal-usulnya, Peraturan tentang Pengembangan Kawasan Strategis dan Infrastruktur Selat Sunda ini justru memberikan kewenangan besar kepada Konsorsium BantenLampung, yang di dalamnya juga bergabung Artha Graha Network milik pengusaha Tomy Winata.

Konsorsium perseroan terbatas yang dibentuk oleh badan usaha milik Provinsi Banten dan Lampung ini ditunjuk sebagai pelaksana studi kelayakan.

Konsorsium yang juga disebut sebagai pemrakarsa proyek jembatan itu pun diminta merancang desain dasar, membuat rencana bentuk kerja sama, pembiayaan proyek, dan sumber dana. Termasuk yang mereka kerjakan adalah membuat jadwal, proses, dan cara penilaian.

Dengan kewenangan komplet seperti itu, bukan mustahil Konsorsium-lah yang justru akan menyetir proyek strategis ini. Ini terbukti, belum lagi studi kelayakan berjalan, Konsorsium telah meminta penjaminan biaya studi kelayakan dari pemerintah sebesar Rp 3 triliun. Mereka juga mengklaim telah mengeluarkan biaya US$ 60 juta untuk pra-studi kelayakan sejak 2004.

Sulit dipahami, Konsorsium, yang kelak akan mengikuti tender proyek pembangunan jembatan sepanjang 29 kilometer itu, justru yang mendapat tanggung jawab menyusun studi kelayakan. Bagaimana mungkin pemerintah bisa memenangkan perusahaan lain dalam tender jika peraturan yang disusun oleh lintas kementerian ini menguntungkan Konsorsium?

Dalam hal pemerintah membatalkan proyek, misalnya, Konsorsium berhak memperoleh kompensasi dari pemerintah atas biaya penyiapan proyek, termasuk hak atas kekayaan intelektual yang menyertainya. Konsorsium juga mendapat kompensasi berupa tambahan nilai paling banyak sebesar 10 persen, atau hak menyamakan penawaran (right to match), atau pembelian prakarsa proyek, dari pemenang lelang di luar Konsorsium.

Keluarnya peraturan presiden itu praktis telah mengunci gerak Menteri Agus. Gagasannya tentang pengambilalihan studi kelayakan oleh pemerintah pun bisa berakhir percuma. Keinginan Agus hanya bisa terwujud jika ada terobosan penting: merevisi Peraturan Presiden tentang Selat Sunda sesegera mungkin. Tanpa revisi, pembangunan kawasan strategis itu akan terus menggerogoti keuangan negara.[]