Ahmadiyah menanggapi tuduhan dan pernyataan Pesantren An-Nizhom, Selabintana, Sukabumi, Jawa Barat

  • by Dildaar Ahmad Dartono

    [#] Ahmadiyah meyakini Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Qadiani ‘alaihissalam sebagai Imam Mahdi dan Masih Mau’ud yang berpangkat
    Nabi dan Rasul namun tidak membawa syariat baru.

    Tanggapan: Sekaligus untuk menanggapi pernyataan l. Dikatakan oleh Pondok Pesantren An-Nidzom bahwa dalam Ruhani Khazain juz (jilid atau volume) 22 halaman 154 bahwa Pendiri Ahmadiyah mengaku sebagai nabi.

    Ruhani Khazain juz (jilid atau volume) 22 halaman 154 termasuk dalam buku Haqiqatul Wahyi Pendiri Ahmadiyah menulis, ‘Sharih thor par nabi ka khithab mujhe diya geya magar is tharah se keh eik pehlo se nabi aur eik pehlo se ummati.’ – “Dengan jelas aku disebut (dalam ilham yang beliau terima dari Allah swt, beliau dipanggil) sebagai nabi, akan tetapi dari satu segi saya nabi dan dari satu segi yang lain saya adalah ummati.”

    Penjelasan tambahan: Pendiri Ahmadiyah dalam dalam risalah “Al-Wasiyyat” menulis, “Kenabian muhammadiyyah ini menyalurkan faidh (keberkatan)nya tidaklah sedikit, bahkan faidhnya melebihi seluruh kenabian lainnya. Jalan paling mudah bagi manusia untuk sampai kepada Tuhan ialah dengan mengikuti kenabian (Muhammad) ini.”[1]

    Jadi, beliau as telah memperoleh faidh (keberkatan) dari Hadhrat Nabi [Muhammad] saw dan Allah Ta’ala telah mengangkat beliau as hingga kepada suatu maqam (kedudukan) yang merupakan maqam nubuwwah (kedudukan kenabian) karena semata-mata berkat mengikuti beliau saw. Namun demikian, beliau as sendiri menjelaskan bahwa hanya dengan kamil perwi (mengikuti/meniru yang sempurna) saja tidak cukup atau manusia tidak dapat menjadi nabi [setelah Nabi Muhammad saw] dengan kesempurnaan mengikuti beliau saw saja karena di dalam hal itu juga terdapat unsur merendahkan Hadhrat Nabi [Muhammad] saw. Ya, perkataan ummati dan nabi jika keduanya digabungkan menjadi satu baru akan membuka pengertian yang memadai untuk itu dan memang benar bahwa jika perkataan atau istilah nabi ummati dipergunakan maka tidak akan menimbulkan unsur penghinaan terhadap Hadhrat Nabi [Muhammad] saw. Bahkan, dari perkataan atau dari istilah itu posisi kenabian nampak cemerlang. Jadi, pada zaman ini disebabkan oleh menempatkan diri dalam kondisi ummati, kamil perwi (kesetiaan dan mengikut dengan sempurna) dan ‘isyq (asyik dalam kecintaan) kepada Hadhrat Nabi [Muhammad] saw, Allah Ta’ala telah menganugerahkan martabat kenabian kepada beliau as (Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad), yakni martabat kenabian ini diperoleh karena beliau as sebagai ummati dan karena beliau terbenam dalam kecintaan terhadap beliau saw. Menjadi ummati adalah syarat yang sangat penting dan wajib untuk itu. (Khutbah Hadhrat Khalifatul Masih V atba, 2011)

    Mengenai mengaku sebagai Imam Mahdi dan Isa yang dijanjikan; memang benar bahwa Pendiri Ahmadiyah menyatakan dirinya sebagai Imam Mahdi dan Isa Al-Masih sesuai janji dan kabar Nabi Muhammad saw sebagaimana disebutkan dalam Hadits-Hadits. Bukti dan hujjah mengenai hal ini siap kami paparkan sesuai ajaran Alqur’an dan  Hadits-Hadits Nabi Muhammad saw.

    Allah Ta’ala telah bersikap rehm (kasih-sayang) kepada umat Muslim sehingga sesuai dengan janji-Nya sendiri, sesuai dengan nubuatan (kabar tentang masa kemudian) dari Hadhrat Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Dia telah mengutus Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Qadiani ‘alaihissalam dan menjadikannya al-Masih al-Mau’ud dan al-Mahdi al-Ma’huud untuk mengakhiri firqah-firqah (golongan-golongan, kelompok-kelompok).[2] Kaum Muslimin yang masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah [sebenarnya] telah menyampaikan salaam Nabi Muhammad saw kepada Masih Mau’ud as, mereka berasal dari berbagai macam golongan Islam; masuk kedalam Jemaat Ahmadiyah sembari meninggalkan golongannya masing-masing; untuk mengamalkan ajaran Islam yang hakiki mereka masuk kedalam Jemaat Ahmadiyah. (Khutbah Hadhrat Khalifatul Masih V atba, 2 Desember 2011)
    Jadi, pengutusan Imam Mahdi di kalangan umat Islam patut dan harus disikapi dengan: 1. Penuh syukur, karena ini tanda rahmat dari Allah Ta’ala; 2. Ketebalan dan penguatan iman, mengingat ini bukti bahwa janji-janji-Nya begitu pula janji-janji dan kabar-kabar dari Nabi-Nya, Muhammad saw terbukti benar; 3. Dst sikap-sikap positif lainnya.

    [#] Ruhani Khazain adalah kumpulan karya tulis Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Qadiani ‘alaihissalam. Isi daripadanya yang disalahpahami dan salah dalam pengutipan adalah sebagai berikut :

    a. Dikatakan oleh Pondok Pesantren An-Nidzom bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Qadiani ‘alaihissalam menyatakan bersedia mengorbankan nyawa dan darah untuk penjajah Inggris yang dikatakan tercantum dalam Ruhani Khazain juz (lebih tepat dan sebenarnya Ahmadiyah memakai istilah jilid atau volume) 3 halaman 21.

    Fakta : Sudah kami periksa bolak-balik di dalam Ruhani Khazain juz (jilid atau volume) 3 halaman 21 TIDAK TERCANTUM kata-kata yang dituduhkan.

    b. Dikatakan oleh Pondok Pesantren An-Nidzom bahwa dalam Ruhani Khazain juz (jilid atau volume) 3 halaman 166 Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Qadiani ‘alaihissalam mewajibkan berterima kasih kepada Penjajah Inggris yang diakui sebagai pemerintah yang ditaati. Digabungkan dengan tuduhan atau pernyataan c. Dikatakan oleh Pondok Pesantren An-Nidzom bahwa bahwa dalam Ruhani Khazain juz (jilid atau volume) 8 halaman 36 Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Qadiani ‘alaihissalam mengaku sebagai antek Inggris.

    Tanggapan: Memberikan penghargaan dan menyebut kebaikan seseorang atau suatu pihak serta berterima kasih kepada manusia (siapa saja tanpa kecuali) yang berbuat baik kepada kita adalah termasuk perbuatan yang tidak bertentangan dengan ajaran Nabi Muhammad saw. Hadhrat (baginda yang mulia) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita agar memberikan penghargaan dan berterima kasih kepada siapa saja yang berbuat baik kepada kita. Dalam hal memberikan syukr (penghargaan, terima kasih) dan [membalas] ihsaan (kebaikan) orang, Hadhrat Nabi saw telah sampai ke martabat yang paling tinggi. Tidak ada manusia lain yang dapat mencapainya.

    Beliau bersabda, ‘Man lam yasykurin naasa lam yasykurillaah.’ - “Barangsiapa yang tidak bersyukur kepada manusia ia tidak dapat menyatakan rasa syukur terhadap Allah Ta’ala.”
    Hadits lengkapnya,عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏"‏ مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ ‏"‏

    “Dari Abu Sa’id berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Man lam yasykurin naasa lam yasykurillaah.’

    Pada bab yang sama juga terdapat riwayat

     عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏"‏ مَنْ لاَ يَشْكُرِ النَّاسَ لاَ يَشْكُرِ اللَّهَ ‏"‏ ‏.‏  
    “Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Man laa yasykurin naasa laa yasykurillaah.’

    Hadits diatas disebutkan dalam Sunan at-Tirmidzi Kitab al-birri wa ash-shilah baab maa jaa-a fisy syukri liman ahsana ilaika, hadits ini juga terdapat dalam Musnad Imam Ahmad.

    Dari sisi sejarahnya, kondisi anak benua India (India, Pakistan dan Bangladesh dsk) cukup berbeda dengan Indonesia. Penguasa-penguasa Muslim sendiri banyak yang berasal dari luar India (Persia, Afghan, Mughal) yang kemudian menginvansi India. Kaum Hindu yang lebih pribumi berupaya mempertahankan tanah airnya walau banyak juga yang akhirnya tunduk kepada penguasa Muslim. Kendati Dinasti Mughal yang menguasai sebagian besar India, namun orang-orang Muslim jumlahnya tidak mayoritas dari rakyat India. Ratusan tahun penguasa Muslim mampu diterima oleh rakyat India yang Hindu terutama disebabkan oleh toleransi mereka yang membiarkan rakyat memilih agamanya.

    Pada abad 18 dinasti Mughal mengalami kemunduran karena pertikaian internal, menguatnya penguasa daerah dan masuknya pengaruh politis Eropa. Satu demi satu daerah melepaskan diri, termasuk yang beragama Islam dan Hindu. Bangkitlah penguasa-penguasa yang mendesak kekuasaan dinasti Mughal termasuk penguasa Sikh.

    Dalam literatur Sikh disebutkan: "Rupanya kaum Sikh ini terdorong oleh rasa benci terhadap kaum Muslimin, wanita dan anak-anak dibantai tanpa ampun, kampung halaman dimusnahkan, perempuan­-perempuan dicabuli dan beribu-ribu mesjid dihancurkan." (Encyclopaedia of Sikh Literature, hlm. 1127 -80)

    Ketika kerajaan Inggris menguasai Hindustan dan mengambil alih kekuasaan Sikh, tanggal 1 November 1854 di Allahabad, pemerintahan Inggris atas nama Ratu Victoria memberi kebebasan bagi setiap penduduk untuk meyakini dan menjalankan ibadahnya masing­masing dengan rasa aman dan berdasarkan hukum berhak memperoleh perlindungan serta keamanan yang setara tanpa kecuali.
    Berterima kasih, memuji dan menyampaikan penghargaan dalam hal itu adalah hal yang wajar dan seharusnya. Apalagi pendiri Ahmadiyah dan nenek moyangnya lahir dan hidup di Punjab, daerah yang paling keras menerima penindasan golongan Sikh.

    Dalam hal-hal diatas, pendiri Ahmadiyah siap menyatakan membantu pemerintah. Namun, hal yang dilupakan oleh penuduh dari pihak Pesantren An-Nidzom ialah pada halaman dimaksud terdapat kata-kata menjadi pemberi nasehat (saran dan kritik membangun) kepada pemerintahan Inggris.  Orang mungkin heran, kenapa beliau menyatakan demikian kepada pemerintah penjajah dan beragama non Islam pula.

    Pertama, pengertian mengenai ketaatan ulil amri yang adalah terjadi perbedaan dalam hal ini. Ulil amri adalah siapa pun yang memang memiliki otoritas mengurus urusan kita termasuk dalam hal ini pemerintahan, penguasa. Sebagian orang Muslim berpendapat ulil amri yang dimaksud harus Muslim baru boleh, bisa dan harus ditaati. Padahal, di zaman ini mau tak mau kita harus berurusan dengan siapa pun bahkan dengan orang yang berbeda agama atau keyakinan. Tentu kita tidak akan menunggu mereka Muslim dulu baru mengikuti jalur yang mereka tentukan. Contohnya, mengurus visa dan lain.

    Kedua, para pemikir, cendekiawan dan ulama India yang sepakat dengan pendiri Ahmadiyah dalam hal segi positif pemerintah Inggris cukup banyak dan juga dalam hal penghormatan dan ketaatan kepada pemerintahan itu. Contoh, Sayyid Ahmad Khan, Sayyid Ahmad Barelwi, para ulama dari Nadwatul Ulama, Sayyid Ali Al-Hairi (Syiah), Maulwi Muhammad Husain Batalwi (Ahli Hadits, penentang Ahmadiyah)

    Ketiga, Dalam kondisi yang disebut diatas, Ahmadiyah selanjutnya tidak menghalangi hak rakyat India baik yang Muslim, Hindu, Sikh dan seterusnya untuk menjadi Negara merdeka. Bahkan, khalifah II Ahmadiyah berperan dalam perjuangan tersebut. Hal yang membedakan ialah Khalifah Ahmadiyah dan juga banyak para pemimpin India lainnya tidak mengambil jalan perjuangan bersenjata untuk hal itu. Melainkan, perundingan-perundingan dan seterusnya. Alhamdu lillaah dengan hal ini mereka berhasil karena Inggris memfasilitasi dan membuka pintu berdirinya Negara Pakistan, terpisah dari India.

    d. Dikatakan oleh Pondok Pesantren An-Nidzom bahwa dalam Ruhani Khazain juz (jilid atau volume) 10 halaman 296 Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Qadiani ‘alaihissalam menyebut Nabi Isa as sebagai pecandu arak atau pemabuk.

    Fakta : Sudah kami periksa bolak-balik di dalam Ruhani Khazain juz (jilid atau volume) 10 halaman 296 TIDAK TERCANTUM kata-kata yang dituduhkan.

    e. Dikatakan oleh Pondok Pesantren An-Nidzom bahwa dalam Ruhani Khazain juz (jilid atau volume) 11 halaman 289 Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Qadiani ‘alaihissalam menyebut Nabi Isa as sebagai biasa berbuat keji, lancang lidah dan berdusta.

    Tanggapan : Terjadi kesalahpahaman pembaca dari Pondok Pesantren An-Nidzom dalam memahami Ruhani Khazain juz (jilid atau volume) 11 halaman 289. Di halaman ini, pendiri Ahmadiyah sedang mendebat para pemeluk Kristiani dengan referensi (rujukan) dari kitab perjanjian baru yang dianggap suci oleh mereka. Pendiri Ahmadiyah justru sedang membuktikan keunggulan Alqur’an dalam menggambarkan kesucian dan keluhuran akhlak para nabi. Sebaliknya, Perjanjian Baru Kitab Matius menceritakan Yesus (Nabi Isa as) dengan demikian buruk.

    Sebuah artikel dari kalangan Muslim bukan Ahmadiyah berisi hal yang sama, yaitu mengenai bagaimana Kristen dalam Kitab Perjanjian Lama memberikan gambaran yang buruk tentang nabi-nabi:

    f. Dikatakan oleh Pondok Pesantren An-Nidzom bahwa dalam Ruhani Khazain juz (jilid atau volume) 11 halaman 290 bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Qadiani ‘alaihissalam menyebut Nabi Isa as tidak memiliki mukjizat.

    Tanggapan : Konteks buku dan tulisan tersebut adalah perdebatan argumentatif tertulis mengenai kelebihan Islam (mengei Alqur’an, peri kehidupan nabi) dibanding Kristen (Kitab Suci mereka, gambaran penjelasan mereka mengenai nabi-nabi). Orang-orang Kristen mengunggulkan tokoh Isa (Yesus) diatas Nabi Muhammad saw. Mereka menyebut Isa memiliki banyak mukjizat berdasarkan pengisahan dalam Perjanjian Baru. Namun, Pendiri Ahmadiyah membuktikan bahwa ada kata-kata Yesus (Isa) di dalam Perjanjian Baru yang menyebutkan bahwa beliau tidak mempunyai satu tanda (mukjizat) pun.

    “Lalu muncullah orang-orang Farisi dan bersoal jawab dengan Yesus. Untuk mencobai dia merek meminta daripadanya suatu tanda dari sorga. Maka mengeluhlah ia dalam hatinya dan berkata: “Mengapa angkatan ini meminta tanda? Aku berkta kepadamu, sesungguhnya kepada angkatan ini sekali-kali tidak akan diberi tanda.” (Markus, 8 : 11)

    g. Dikatakan oleh Pondok Pesantren An-Nidzom bahwa dalam Ruhani Khazain juz (jilid atau volume) 11 halaman 291 bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Qadiani ‘alaihissalam menyebut Nabi Isa as lahir dari keturunan pezina.

    Masih dalam konteks buku dan tulisan tersebut yang adalah tentang perdebatan argumentatif tertulis mengenai kelebihan Alqur’an dibanding Kitab Suci agama Kristen dalam menggambarkan nabi-nabi. Pendiri Ahmadiyah menunjukkan kesalahan (kekurangan) Kitab Perjanjian Baru yang dianggap suci oleh umat Kristen. Kekurangan tersebut adalah penggambaran jelek oleh kitab2 tersebut mengenai kakek moyang Yesus. Kitab Perjanjian Baru menuliskan silsilah nenek dan kakek moyang Yesus (Isa) as. Namun demikian, ternyata Perjanjian Lama sendiri menceritakan perilaku buruk beberapa kakek moyang Yesus tersebut, yaitu berzina. Kelebihan Alqur’an ialah tidak menceritakan hal tersebut bahkan tidak ada pembenaran atas hal itu. Bahkan buku-buku ulama Islam pun tidak ada yang membenarkan cerita-cerita semacam itu.

    h. Dikatakan oleh Pondok Pesantren An-Nidzom bahwa dalam Ruhani Khazain juz (jilid atau volume) 16 halaman 26 dan jilid 17 halaman 443 bahwa Pendiri Ahmadiyah menghapus hukum jihad.
    Tanggapan : Sudah kami periksa bolak-balik di dalam Ruhani Khazain juz (jilid atau volume) 16 halaman 26 ternyata TIDAK TERCANTUM kata-kata yang dituduhkan, halaman tersebut tidak membahas soal jihad.

    Jemaat Ahmadiyah tidak mengingkari jihad, melainkan menentang salah pengertian tentang jihad. Kesalah-pahaman konsep jihad mengakibatkan Islam sangat menderita. Perang dan pertikaian di dunia Islam sering terjadi. Sesungguhnya jihad kabir (besar) hanya dapat dilakukan dengan perantaraan Al-Quran, bukan dengan senjata atau kekerasan. Jihad dengan senjata hanya dapat dilakukan jika syarat-syarat yang ditentukan oleh Al-Quran serta contoh-contoh Rasulullah saw. telah terpenuhi. Jika syarat-syarat tidak terpenuhi, maka jihad dengan menggunakan senjata tidak diperlukan.

    Ada pun dalam jilid 17 halaman 443 menjelaskan mengenai dua nama Nabi Muhammad saw yaitu Muhammad dan Ahmad; dan dua manifestasi kehidupan Nabi saw, jalaali dan jamaali yang keduanya terkumpul dalam satu nama kesempurnaan. Pertama, di Makkah yang di sana beliau saw sangat banyak menampakkan sifat Ahmad (jamaali,  kelemahlembutan, kerendahanhati, kesabaran dalam menerima kezaliman dan seterusnya). Ada pun di Madinah, Nabi Muhammad saw banyak menampakkan sifat Muhammad (jalaali, kegagahan, keberanian, mengalahkan kezaliman, menegakkan keadilan, dan seterusnya namun masih tetap memaafkan dan mengampuni).

    Era atau masa sahabat Nabi Muhammad saw kebanyakan akan dilalui atau dilewati dengan penampakan sifat jalaali (terkalahnya Persia dan Romawi, masa penuh perang dll).

    Ada pun era atau zaman Imam Mahdi dan Masih Ma’ud nantinya akan banyak dilalui oleh penzahiran sifat jamaali. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw sendiri yang menyebutkan bahwa Isa al-Masih dan Mahdi (dua nama ini akan disandang oleh salah seorang umat beliau saw) akan mempraktekkan kehidupan ‘yadha-al harb’ (menunda dan menjauhi peperangan, Shahih al-Bukhari, Kitab Ahaaditsil Anbiyaa, bab Nuzul Isa ‘alaihimas salaam). Sebab, ini adalah masanya untuk berlaku demikian. Barangsiapa yang tidak mengamalkannya akan jauh dari kesuksesan.

    i. Dikatakan oleh Pondok Pesantren An-Nidzom bahwa dalam Ruhani Khazain juz (jilid atau volume) 17 halaman 435 Pendiri Ahmadiyah mengaku mengemban syariat.

    Tanggapan : Di dalam Ruhani Khazain juz (jilid atau volume) 17 halaman 435 memang membahas soal syariat. Di halaman tersebut Pendiri Ahmadiyah menulis bahwa para pengkritik beliau menuduh beliau mengaku shahib asy-syariah dan beliau memberikan klarifikasinya.

    YEH BHI TO SAMJHO KE SYARIAT KIYA CIZ HE. JIS NE APNI WAHYU KE ZARIA SE CAND AMAR OR NAHY BAYAN KIYE OR APNI UMAT KE LIYE EK QANUN MUQARAR KIYA WAHIY SHOHIBUSY SYARIAT HO GEYA. PAS IS TA'RIF KE RO SE BHI HAMARE MUKHALIF MULZAM HEI KYUNGKE MERI WAHYI MEI AMAR BHI HEI OR NAHY BHI (RUHANI KHAZAIN JUZ.17, H.435)

    Pahamilah hal ini pula bahwa apakah itu syariat? Seseorang manusia yang dengan sarana wahyu menjelaskan mengenai amr o nahyi (perintah dan larangan) dan menetapkannya bagi umatnya sebagai qanun, dialah shahibusy syari’ah. Melihat dari definisi ini, penentang kami juga menuduh [demikian] karena di dalam wahyu-wahyu saya juga ada amr o nahy. Contohnya, ilham ini ‘qul lil mu’miniin ..
    Konteks tuduhan/pendapat pengkritik Pendiri Ahmadiyah dalam menafsirkan ayat walau taqawwala ‘alainaa.’ hanyalah para pengaku kenabian yang membawa syariat yg mendapat hukuman.

    Tanggapan pendiri Ahmadiyah, hal itu tidak benar karena ayat tersebut bersifat umum siapa saja yang mengaku-aku mendapat tugas atau kata-kata dari Tuhan serta menyebarluaskan pengakuannya tersebut padahal ia tidak mendapat perintah dari Allah maka ia layak dihukum bila tidak bertobat.
     Selanjutnya Pendiri Ahmadiyah membicarakan soal ta’rif (definisi) shahibusy Syari’ah (Pengemban Syariat), yaitu seseorang manusia yang dengan sarana wahyu [dari Allah] menjelaskan mengenai amr o nahyi (perintah dan larangan) dan menetapkannya bagi umatnya sebagai qanun.

    Pengkritik atau penentang Ahmadiyah menuduh pendiri Ahmadiyah mengaku sebagai shahib asy-syari’ah (mengemban syariat).

    Pengkritik Ahmadiyah menuduh karena di dalam wahyu-wahyu yang beliau terima terdapat amr dan nahy.

    Pendiri Ahmadiyah mengakui di dalam wahyu-wahyu yang beliau terima dari Allah Ta’ala terdapat kata-kata bersifat amr dan nahy. Namun, itu tidak menjadikan beliau sebagai shahib asy-syari’ah. Sebab, di halaman lain dari Al-Hakam (sebuah suratkabar jaman beliau), beliau menyatakan bahwa banyak orang salah paham dengan pengakuan beliau. Mereka menuduh beliau mengaku shahib asy-syariat yang sama dengan kenabian Nabi Muhammad saw. beliau tegaskan lagi bahwa beliau memang nabi tetapi ummati (umat Nabi Muhammad saw dan tidak membawa kitab syariat baru atau agama baru).

    Pendiri Ahmadiyah menolak pengertian syariat dalam arti ahkaam (perintah-perintah baru) karena dalam Surah Al-A’laa terdapat ayat inna haadzaa lafish shuhufil uulaa shuhufi ibraahiima wa muusaa.. (Isi ayat-ayat Alqur’an ini tercantum dalam lembaran-lembaran Ibrahim dan dan lembaran-lembaran Nabi Musa, Taurat. Banyak isi perntah Alqur’an yang juga pada zaman nabi-nabi sebelumnya telah diundangkan atau diperintahkan hal demikian seperti jangan mencuri, jangan membunuh dst)
    Pendiri Ahmadiyah menyatakan bahwa dibanding semua nabi, Nabi Muhammad saw adalah khatamul anbiyaa (nabi yang khatam atau paling sempurna) dan dibanding semua kitab, Alqur’an adalah khatamul kutub (kitab yang paling sempurna).

    Bukan hal yang mustahil (bisa saja) Allah Ta’ala mengulangi lagi amr dan nahy yang dulu pernah diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, Dia ilhamkan kepada siapa pun manusia yang hidup setelah beliau saw.

    Ilham Qur’aani (ilham-ilham), ru-ya (mimpi) dan kasyaf dalam bentuk mendengar, membaca dan menyaksikan tulisan ayat ayat Alqur’an adalah bukan hal yang mustahil dan bisa diterima oleh siapa pun dari umat Nabi Muhammad saw ini termasuk pendiri Ahmadiyah, Imam Mahdi dan Almasih yang dijanjikan bagi umat ini.

    j. Dikatakan oleh Pondok Pesantren An-Nidzom bahwa dalam Ruhani Khazain juz (jilid atau volume) 18 halaman 207 bahwa Pendiri Ahmadiyah mengaku sebagai jelmaan Nabi Muhammad saw dan sebagai rasul.

    Tanggapan: Ruhani Khazain juz (jilid atau volume) 18 halaman 207 yang dimaksud adalah buku Eik Ghalati ka Izaalah halaman 207 lebih tepatnya tercantum demikian (tidak tercantum kata-kata jelmaan), tulisan dari pendiri Ahmadiyah: beliau mendapat ilham,
    “Muhammad Rasulullah dan orang-orang yang besertanya keras terhadap orang-orang yang ingkar (kuffar), tetapi lemah lembut diantara mereka sendiri.”

    Dalam wahyu ini, saya (pendiri Ahmadiyah) telah dipanggil dengan nama Muhammad dan rasul.”
    Sama halnya di beberapa tempat lainnya dalam kitab Barahiin Ahmadiyya aku telah disebut sebagai nabi dan rasul.

    Jika dikatakan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. adalah KHAATAMAN NABIYYIIN (Meterai sekalian nabi), maka bagaimana bisa datang seorang nabi setelah beliau? Jawaban untuk ini adalah, tentu saja, tidak ada nabi baru atau lama yang dapat datang dalam arti sebagaimana yang kamu percayai mengenai kedatangan Nabi Isa a.s. dan kamu juga mempercayai kenabiannya serta kesinambungan wahyu yang diterima olehnya selama 40 tahun, lebih lama waktunya dari masa kenabian Rasulullah s.a.w.
    mendapat wahyu. Tidak diragukan lagi, kepercayaan dan akidah semacam itu memang durhaka betul.

    Dan ayat Al-Qur’an: WA LAAKIR RASOOLULLAHI WA KHAATAMAN NABIYYIIN yaitu “akan tetapi ia adalah seorang Rasul Allah dan Meterai para nabi” serta Hadits LA NABIYYA BA`DEE yakni, “tidak ada nabi sesudah aku [Muhammad s.a.w.]” - adalah bukti yang sempurna atas dusta dan kelirunya kepercayaan itu. Tetapi aku menentang keras kepercayaan itu dan percaya sepenuhnya kepada ayat Al-Qur’an: WA LAAKIR RASOOLULLAHI WA KHAATAMAN NABIYYIIN.

    Dalam ayat ini tersimpan satu nubuatan yang luput dari perhatian orang-orang yang menentangku. Adalah setelah diutusnya Nabi Suci s.a.w. ini, maka anugerah kenabian dari Tuhan akan tetap disembunyikan sampai hari akhir di dunia ini. Tidaklah mungkin bagi seorang manusia pun, apakah ia seorang Hindu, Yahudi, Kristen atau seseorang yang disebut Muslim untuk membenarkan penggunaan sebutan nabi bagi dirinya sendiri. Semua pendekatan kepada sebutan agung itu telah tertutup, kecuali satu, yaitu sirat-isiddiqui [jalan shiddiqiya] yang sama artinya dengan meleburkan diri secara sempurna dengan penuh kecintaan kepada Rasulullah s.a.w. Dengan demikian, dia yang mencari kedekatan Tuhan melalui cara itu, akan dianugerahi jubah kenabian, yang tidak berarti apa pun kecuali sesuatu yang berasal dari milik kenabian Muhammad s.a.w. sendiri. Pendakwaan kenabian seperti itu tidaklah menyalahi kenabian Muhammad, hal itu dapat terjadi karena kenabiannya bukanlah secara mandiri atau pun berasal dari hidupnya sendiri. Ia mendapatkan semua kebaikan dalam dirinya bukanlah berasal dari dirinya sendiri melainkan dari Rasulullah s.a.w., sumber mata air
    semua rahmat. Oleh sebab itu kedudukannya sebagai nabi bukan untuk keagungan dirinya sendiri melainkan untuk kemuliaan dan kejayaan Nabi Muhammad s.a.w.

    Itulah sebabnya mengapa ia dikenal di langit sebagai Muhammad dan Ahmad.
    Walhasil ialah, bahwa kenabian Muhammad s.a.w. bagaimanapun juga kembali lagi kepada Muhammad s.a.w. dan tidak kepada orang lain. Seseorang yang mendakwakan kedudukan ini harus menyatakan semua kualitas yang ada pada dirinya adalah cerminan bayangan (buruzi) dari Muhammad s.a.w. dan ia mengakui berhutang budi kepadanya.

    k. Dikatakan oleh Pondok Pesantren An-Nidzom bahwa dalam Ruhani Khazain juz (jilid atau volume) 19 halaman 50 bahwa Pendiri Ahmadiyah mengaku sebagai jelmaan Maryam as, lalu jelmaan Nabi Isa as
    Tanggapan: Ruhani Khazain juz (jilid atau volume) 19 halaman 50 tepatnya tidak tercantum kata-kata jelmaan Maryam dan jelmaan Nabi Isa as, lafaz Urdu dari tuduhan diatas adalah:
    me apni teref se ilhaam taraasy kar awwal apna naam Maryam rakhaa..
    Dan. Allah membuat misal bagi orang-orang mukmin, seperti  istri Firaun ketika ia berkata, “Hai Tuhan, buatkanlah bagiku di sisi Engkau sebuah rumah di surga ; dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang aniaya. Dan, seperti Maryam putri ‘Imran, yang telah memelihara kesuciannya, maka Kami meniupkan ke dalamnya Ruh Kami, dan ia membenarkan firman Tuhan-nya dan Kitab-kitab-Nya, dan ia termasuk orang-orang yang patuh.” (Surah At-Tahrim, 66 : 12-13) 
    Pendiri Ahmadiyah menulis mengenai hal tersebut diatas semoga bisa mendapat kejelasan, “Kepada hal itulah baris-baris di dalam surah At Tahrim mengisyaratkan juga, bahwa mengenai beberapa orang dari umat ini akan mempunyai persamaan dengan Siti Maryam Shiddiqah yang menjalani hidup suci, lalu ruh Isa ditiupkan ke dalam kandungannya dan lahirlah Isa darinya.

    Di dalam ayat ini diisyaratkan kepada kenyataan bahwa akan ada seorang dari umat ini (umat Islam) yang mula-mula akan memperoleh martabat Siti Maryam kemudian  akan ditiupkan ruh Isa ke dalam dirinya, lalu dari Siti Maryam akan lahir Isa. Yakni dari sifat-sifat Maryam beralih kepada sifat-sifat Isa. Seakan-akan keadaan sifat Maryam melahirkan bayi yang bersifat Isa, dan dengan demikian ia akan disebut Ibnu (anak) Maryam… 

    Dan peristiwa itu di dalam Surah At-Tahrim dalam bentuk nubuwatan diterangkan dengan jelas sekali,  bahwa Isa Ibnu Maryam akan lahir dengan cara demikian, yakni mula-mula seseorang dari umat ini akan dijadikan Maryam, kemudian sesudah itu ke dalam  diri Maryam tersebut akan ditiupkan ruh Isa.

    Jadi, selama satu masa tertentu ia mendapat asuhan dalam kandungan sifat Maryam, ia akan lahir dengan memiliki keruhanian Isa  dan dengan demikian ia akan dipanggil Isa Ibnu Maryam. Inilah kabar mengenai Isa Ibnu Maryam Muhammadi ytang diterangkan dalam Quran Syarif, yakni  dalam Surah At Tahrim 1300 tahun yang lalu. Kemudian di dalam kitab “Barāhīn Ahmadiyya” Allah Ta’ala sendiri telah menerangkan tafsir ayat-ayat Surah At-Tahrim tersebut.

    Quran Suci ada, periksalah Quran Suci pada satu pihak dan kitab “Barāhīn Ahmadiyya” pada pihak lain, kemudian renungkanlah dengan adil, dengan rasional, dengan ketakwaan, bahwa nubuwatan yang terkandung di dalam Surah At Tahrim berbunyi:  Di dalam umat ini pun akan ada seseorang yang disebut (dinamai) Maryam,  dan kemudian dari keadaan Maryam ia akan dijadikan Isa. Jadi, seakan-akan dari ini ia akan lahir.”

    l. Sudah dijawab diatas

    [#] Ahmadiyah bersyahadat, rukun Iman dan Rukun Islam yang sama dengan umat Islam umumnya. Dikatakan oleh Pondok Pesantren An-Nidzom yang memisalkan antara manusia dan monyet yang memiliki persamaan namun beda besar.

    Tanggapan: Adalah salah besar bila seseorang mempersamakan dan memperbedakan semua orang (siapa dan dari mana pun kelompoknya itu) yang bersyahadat ‘Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasuulullah’, mempercayai dan menjalani rukun Iman dan rukun Islam sebagai persamaan atau perbedaan antara manusia dan monyet.

    Orang yang beriman kepada Allah yang Esa dan membenarkan Muhammad sebagai rasul-Nya kemudian berusaha menapaki langkah demi langkah memenuhi seruan-Nya adalah orang-orang yang sungguh bernilai dan berharga.

    عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَيُؤْمِنُوا بِي وَبِمَا جِئْتُ بِهِ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ»
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan memerangi (menghadapi) manusia hingga mereka beriman tiada yang patut disembah selain Allah dan beriman kepada apa-apa yang kubawa dan jika mereka mengerjakannya wajib bagiku menjaga darah dan harta mereka kecuali pada haknya dan hisab (perhitungan amalnya) adalah hak Allah.” (Shahih Muslim, kitabul iman, Bab al-amr bi qitaalin naas …) Muslim, Kitab al-Imaan bab bayan al-imaan wal islaam wal ihsaan

    Dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun atas lima hal, syahadat (kesaksian atau ikrar) ‘laa ilaaha illallah wa anna muhammadan ‘abduhu wa rasuuluhu’ – Tiada yang patut disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, menegakkan shalat, membayar zakat, haji dan shaum Ramadhan.” (Shahih Muslim, kitabul iman, bab qaulun nabi saw, buniyal islaam…)

    Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab r.a.. Beliau [r.a.] berkata, “Di kala kami sedang duduk di sisi Nabi SAW, tiba-tiba datang seorang laki-laki di tengah-tengah manusia. Keadaannya seperti seorang musafir. Dan ia bukan termasuk penduduk negeri ini. Lalu, ia duduk tawaruk di depan kedua tangan Rasulullah SAW sebagaimana salah seorang kita duduk dalam shalat. Kemudian, meletakkan tangannya di atas kedua lutut Rasulullah SAW, sambil berkata, ‘Wahai Muhammad. Apakah Islam itu?’
    “Beliau menjawab, ‘Islam itu adalah jika Anda bersaksi bahwa «Tiada tuhan kecuali Allah dan Muhammad itu adalah Rasul Allah», Anda menegakkan shalat, Anda menyerahkan zakat, dan Anda berpuasa Ramadhan, dan Anda menunaikan ibadah haji [ke Baitullah] bila Anda memiliki kemampuan untuk…. Ia berkata: Engkau benar wahai Muhammad! Ia berkata: Apakah iman itu? Beliau menjawab: Kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan kamu beriman kepada kebangkitan sesudah mati dan kamu beriman kepada Qadar, baik dan buruknya… ia berkata: Engkau benar! ( Al-Bukhari dan Muslim).

    Di dalam riwayat lain disebutkan : “Siapa yang shalat seperti shalat kita, menghadap ke Kiblat kita dan memakan sembelihan kita, maka ia adalah seorang muslim yang mempunyai jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah membatalkan jaminan Allah ( Al-Bukhari dari Anas ra).

    [#] Ahmadiyah telah ada di Indonesia sejak tahun 1926.

    Dikatakan oleh Pondok Pesantren An-Nidzom bahwa penjajah Belanda yang membawa Ahmadiyah ke Indonesia.

    Tanggapan: Itu salah dan fitnah. Para pelajar dari Indonesia (Sumatra) telah belajar di India (khususnya Qadian) beberapa tahun sebelum 1926. Belasan pelajar tersebut dalam sebuah pertemuan dengan Khalifah dan Imam Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad mengajukan permohonan agar beliau mengirim da’i ke Indonesia. Permohonan ini dipenuhi beberapa waktu kemudian.

    Sangat salah bila menganggap Ahmadiyah menjadi antek penjajah Belanda di Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, da’i-da’i Ahmadiyah fokus pada tabligh (dakwah) dan tarbiyat kepada kaum Muslimin dan orang-orang yang menjadi Ahmadi. Mereka menjauhi hiruk-pikuk dunia politik. Kalau para da’i Ahmadiyah itu adalah antek penjajah Belanda, sangat mustahil bila seorang Entoy Muhammad Toyyib, pejuang yang dibuang oleh penjajah Belanda ke Digul mau bergabung dengan Ahmadiyah sampai akhir hayatnya. Disamping kiprah perjuangan lainnya pada masa perang kemerdekaan, pada tahun 1959 beliau diangkat sebagai Sekretaris Pimpinan Umum Perintis Kemerdekaan Indonesia.

    Setelah merdeka, beliau tidak berpangku tangan, kiprah, peranan dan tanda/piagam penghargaan dari pemerintah RI kepada lelaki kelahiran Singaparna, Tasikmalaya ini untuk mengisi kemerdekaan dapat dilihat buktinya di http://haidarahmad.wordpress.com/2008/11/10/hari-pahlawan-10-november-2008/

    [#] Dikatakan oleh Pondok Pesantren An-Nidzom bahwa fakta yang juga diakui olehnya, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, telah berbadan hukum sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953).

    Tanggapan: Pesantren An-Nidzom menyebut bentuk pengakuan itu pada 1953 tanpa menyebutkan bahwa faktanya sampai zaman sekarang tidak dicabut. Hal ini adalah bentuk pengakuan legal dari Negara (Pemerintah) Republik Indonesia dari zaman Orde Lama sampai sekarang dan insya Allah sampai seterusnya. Pengakuan kelegalan dari pemerintah pusat tersebut merupakan bukti dan fakta bahwa dari sisi legalitas dan aktifitas, program dan kegiatan Jemaat Ahmadiyah tidak mempunyai efek yang membahayakan Negara. Pemerintah pusat tidak memiliki alasan dan bukti kuat untuk membatalkan SK Menteri Kehakiman RI pada 1953 tersebut.

    [#] Dikatakan oleh Pondok Pesantren An-Nidzom bahwa legalisasi Ahmadiyah di Indonesia terus-menerus dikoreksi dan dikritisi oleh berbagai pihak, sehingga keluar berbagai putusan karena dinilai sesat dan menyesatkan. Pondok Pesantren An-Nidzom menyebutkan 20 poin (dari a s.d. t) berbagai putusan dan fatwa beberapa lembaga agama di pusat (MUI) dan lembaga di daerah.

    Tanggapan:
    1. Pihak pondok pesantren An-Nidzom sendiri mengakui bahwa Legalisasi dari pihak Negara sendiri adalah bersifat relatif dan tidak mutlak menunjukkan kebenarannya.
    2. Koreksi dan kritisi atas suatu golongan agama dan atas legalisasinya pernah dialami oleh berbagai ormas dan golongan. Bahkan, para ulama salaf yang pada zaman sekarang begitu dihormati ternyata pada masa hidupnya sangat mengalami penderitaan akibat fatwa pengkafiran dari orang-orang berkuasa atau orang kuat pada masanya. Namun, seiring perjalanan waktu berubahlah pikiran para ulama dan umat Islam mengenai mereka. Akhirnya, saat ini nama mereka disebut dengan penuh penghormatan. Contoh dari mereka ialah Hadhrat Husain bin Ali (yang ijtihadnya menolak baiat kepada Yazid, tak satu pun ulama saat ini yang akan percaya diri menganggapnya pemberontak), Imam Hanafi, Imam Syafi’I, Ibnu Taimiyah dan lain-lain.

    Dildaar Ahmad Dartono,
    31 Maret 2012



    -- 
    [1] Risalah Al-Wasiyyat, Ruhani Khazain jilid 20 h. 311 [2] Al-Masih Mau’ud, Al-Masih Yang Dijanjikan, Al-Mahdi al-Ma’huud, Al-Mahdi yang Dijanjikan kedatangannya. Sebutan diatas sesuai lisan (penyebutan) Hudhur V atba dalam khotbah tersebut. Red.