Catatan atas Peradilan Kasus Penyerangan Ahmadiyah Cikeusik Banten

Foto: [May 3, 2011] Suasana Ruang Sidang III PN Serang, Banten

SETARA Institute pada siang, 8 Agustus 2011 jam 14.00 telah menggelar Konferensi Pers tentang kasus penyerangan Ahmadiyah Cikeusik Banten. Berikut saya posting Catatan atas peradilan tersebut . Semoga dapat diterima dengan baik.

Pembicara dalam Konferensi Pers adalah: 1. Hendardi (Ketua), 081-1170944; 2. Bonar Tigor Naipospos (Wakil Ketua), 081-1819174; 3. Ismail Hasani (Manager Program/Peneliti), 081-11884787.

--


Sumber asal: LINK

KEJAHATAN YANG TIDAK TERHUKUM
Catatan atas Peradilan Kasus Penyerangan Ahmadiyah Cikeusik Banten

SETARA Institute, Jakarta, 8 Agustus 2011



1. Penyerangan dan pembantaian anggota jemaat Ahmadiyah di Cikeusik Banten, 6 Februari 2011 merupakan kekerasan paling keji yang menimpa jemaat Ahmadiyah Indonesia setidaknya dalam lima tahun terakhir. Kekejian itu bahkan dapat disaksikan dengan vulgar oleh mata publik domestik dan internasional. Pembantaian 3 orang dan 5 orang luka serius yang menimpa anggota JAI merupakan kejahatan serius yang seharusnya disikapi oleh penegak hukum dengan menghukum para pelaku dan aktor intelektual peristiwa itu. Namun, vonis hakim yang dijatuhkan kepada para pelaku pada 28 Juli 2011 lalu, jelas menunjukkan bahwa kejahatan yang sesungguhnya tidak terhukum. Sejumlah 12 terdakwa hanya dijatuhi hukuman 3-6 bulan penjara.

2. Vonis Pengadilan Negeri Serang merupakan peragaan praktek peradilan yang manipulatif yang sengaja dikonstruksi sejak dari Kepolisian, Kejaksaan, dan berujung pada vonis di Pengadilan. Manipulasi institusi peradilan ini sengaja diciptakan semata-mata untuk menggugurkan kewajiban negara mengadili sebuah kejahatan bukan untuk mengungkapkan fakta yang sesungguhnya terjadi dan mewujudkan keadilan.

3. Sejak awal, pascaperistiwa penyerangan, Kepolisian RI dengan secara sengaja mengkonstruksi peristiwa ini sebagai penyerangan dan bentrokan dengan meletakkan anggota jemaat Ahmadiyah sebagai pihak yang menjadi pemicu penyerangan tersebut. Kepolisian bahkan gagal mengurai fakta-fakta peristiwa yang sesungguhnya telah direncanakan karena kepolisian sibuk mengkonstruksi penolakan tuduhan pembiaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Dugaan perencanaan penyerangan yang melibatkan banyak aktor dan bahkan dari luar Propinsi Banten hanya dibantah oleh Kepolisian dengan argumen, bahwa kemajuan teknologi memungkinkan pergerakan orang secara cepat, apalagi SMS rencana penyerangan sudah beredar sejak tanggal 2 Februari 2011, 4 hari sebelum peristiwa terjadi.

4. Kejaksaan, berbekal pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari kepolisian mengkonstruksi dakwaan dengan menjerat para pelaku dengan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan dengan ancaman 6 tahun dan Pasal 170 KUHP tentang perbuatan kekerasan yang mengakibatkan kematian dengan tuntutan pidana maksimal 12 tahun. Dua dakwaan yang berbentuk alternatif ini gagal diurai dalam Surat Dakwaan dan dalam proses pembuktian sehingga di ujung pemeriksaan di pengadilan, Jaksa Penuntut Umum hanya menuntut para terdakwa dengan hukuman 5-7 bulan penjara. Dalam sidang pembacaan tuntutan, jaksa mengakui bahwa pilihannya menuntut ringan para terdakwa didasarkan pada permintaan dari ulama-ulama Banten. Pertimbangan semacam ini jelas merupakan kekeliruan dalam proses peradilan, karena jaksa menjadi tidak profesional dan independen.

5. Sedangkan para hakim Pengadilan Negeri Serang yang memutus perkara ini dengan sangat ringan didasarkan pada pertimbangan subyektif para hakim yang dalam proses persidangan menunjukkan kebenciannya kepada Ahmadiyah. Hakim mengabaikan fakta-fakta hukum di persidangan dan memilih menggunakan emosi keagamaannya untuk memutus perkara. Sebagaimana diperagakan oleh salah satu hakim saat memeriksa Deden (terdakwa dari anggota JAI), Pinta Uli BR. Tarigan. Pada sidang tanggal 31 Mei 2011. Sama dengan para jaksa yang menangani kasus ini, para hakim pun bekerja tidak profesional dan tidak independen.

6. Seluruh institusi penegak hukum yang terlibat dalam menangani perkara ini telah secara sempurna menampilkan wajah penegakan hukum di Indonesia yang tidak fair dan tidak independen. Dalam kasus-kasus yang mengatasnamakan agama, peradilan di Indonesia gagal memberikan keadilan. Peradilan di Indonesia tidak memberikan kontribusi apapun bagi pemajuan demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia. Selain tidak profesional dan tidak independen, pengerahan massa dan tekanan publik yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam menekan seluruh proses pengadilan, telah nyata berpengaruh terhadap prinsip independensi dan peradilan yang berwibawa.

7. Vonis Pengadilan Negeri Serang sama saja artinya bahwa pengadilan telah gagal menjadi benteng terakhir bagi perlindungan hak warga negara. Dalam kasus kekerasan atas nama agama, peradilan di Indonesia gagal memberikan keadilan. Vonis di PN Serang menegaskan bahwa pengadilan dalam tekanan sebagaimana terjadi di Cibinong Bogor untuk kasus Cisalada, di Temanggung untuk kasus penodaan agama, di Bekasi untuk kasus Ciketing. Bahkan Putusan Mahkamah Agung terkait dengan Gereja Taman Yasmin juga gagal dieksekusi. Pembangkangan atas Putusan MA justru diprakarsai oleh Pemkot Bogor dan didukung oleh Kemendagri. Dalam situasi demikian, nyaris tidak ada lagi ruang keadilan bagi kasus-kasus kekerasan atas nama agama.

8. Jika dilihat dari pasal-pasal yang dituduhkan terhadap semua terdakwa adalah pasal-pasal serius di mana ancaman pidananya sampai 6 tahun. Bahkan, pasal tindakan kekerasan yang mengakibatkan kematian diancam hukuman penjara hingga 12 tahun. Hal ini menguatkan dugaan bahwa sejak awal Kepolisian dan Kejaksaan mengkonstruksi penyidikan dengan tidak hanya menempatkan Ahmadiyah sebagai pemicu penyerangan, tetapi juga pihak yang menghendaki terjadinya penyerangan. Kesimpulan penyelidikan kepolisian itu mendasarkan pada alasan yang sangat lemah, yakni keberadaan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik yang meresahkan masyarakat, dan kedatangan 17 anggota jemaat Ahmadiyah ke Cikeusik yang disebut tidak mengindahkan himbauan dari aparat untuk mengevakuasi diri sebagai bentuk provokasi. Dengan demikian baik polisi maupun jaksa secara konsisten menempatkan pihak yang menjadi korban adalah yang paling bersalah, bukan para penyerang. Padahal, fakta empiris menunjukkan kedatangan 17 jemaat Ahmadiyah ke Cikeusik bukan merupakan faktor penentu terjadinya penyerangan. Datang atau tidaknya mereka ke Cikeusik, penyerangan akan tetap terjadi karena telah direncanakan.

9. SETARA Institute menyimpulkan bahwa kekeliruan utama dalam penanganan kasus penyerangan anggota JAI di Cikeusik terletak pada Presiden Susiolo Bambang Yudhoyono yang gagal menegaskan keberpihakannya untuk menegakkan hukum secara adil dalam kasus-kasus kekerasan atas nama agama. Perlu dicatat, bahwa Kepolisian RI dan Kejaksaan RI adalah institusi peradilan di bawah koordinasi Presiden. Jika SBY sungguh-sungguh ingin memberikan jaminan perlindungan bagi warga negara, maka SBY seharusnya memberikan perhatian khusus kepada Polri dan Kejaksaan untuk bekerja sungguh-sungguh. Vonis Pengadilan Negeri Serang menunjukkan bahwa Presiden SBY tidak mampu (un able) dan tidak mau (un willing) menegakkan keadilan dan jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan.

10. SETARA Institute merekomendasikan:

a. Presiden RI memerintahkan Kapolri dan Jaksa Agung agar mengevaluasi kinerja polisi dan jaksa yang menangani kasus Cikeusik.

b. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) memeriksa aparat kepolisian yang menangani kasus Cikeusik dan mengeluarkan laporan evaluasinya secara tebuka.

c. Komisi Kejaksaan RI memeriksa para jaksa yang menangani kasus Cikeusik dan mengeluarkan evaluasinya secara terbuka.

d. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengambil prakarsa menembus kebekuan keadilan dengan berpijak pada laporan investigasi yang dilakukannya, yang hingga hari ini tidak dipublikasikan.

e. Komisi Yudisial memeriksa para hakim yang mengadili kasus Cikeusik dan memberikan sanksi atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan para hakim. []





Kontak Person:
Hendardi (ketua Setara Institute, 0811170944)
Bonar Tigor Naipospos (Wakil Ketua SETARA Institute, 0811819174)
Ismail Hasani (Peneliti SETARA Institute, 08111.88.4787)