Tatanan Sosial Kontemporer, Tantangannya

Kian menyusut dan memburuknya pengaruh agama atas perilaku moral saat ini, semakin menambah munculnya dorongan untuk membebaskan diri dari kewajiban-kewajiban keagamaan. Hal tersebut bertambah luas di hampir seluruh penjuru dunia sejak awal tahun 1990-an.

Terdapat pula kepanikan karena menurunnya rasa aman serta bertambah kacaunya perilaku sosial yang berjalan paralel mengiringi trend pengabaian norma-norma keagamaan dan etika. Ada yang lebih menyedihkan, akselerasi pemudaran keimanan pada Tuhan Yang Mahahidup: Tuhan yang tidak saja telah membentuk takdir manusia, tetapi yang juga mengatur pola kehidupan dari hari ke hari. Alquran Surah Ar-Rûm ayat 42 menyimpulkan hal tersebut sebagai: “Kerusakan telah meluas di daratan dan di lautan.”

Kristen sebagai agama yang dominan di Barat sampai dengan awal abad ini, masih memiliki kendali yang kuat dan efektif atas perilaku moral para pengikutnya di Barat. Sayang sekali, hal tersebut sudah tidak lagi demikian.

Kini suatu kebudayaan yang didasarkan pada interaksi sosialisme ilmiah, perkembangan keilmuan yang cepat dan kemajuan materialistis terus berevolusi sehingga memaksa agama Kristen mundur selangkah demi selangkah, kemudian perannya makin mengecil dalam pembentukan perilaku sosial.

Dengan demikian, moralitas di Barat saat ini sangat kecil kadar Kristiani-nya seperti juga kadar Keislaman dalam perilaku moral di negeri-negeri Muslim. Hal yang sama pun berlaku pada perilaku sosial dan moral umumnya di bagian lain dunia ini.

Kita lihat banyaknya penganut Budha, Konghucu, atau Hindu, tetapi sayang sedikit sekali bisa ditemukan ajaran-ajaran agama Budha, Konghucu maupun Hindu itu sendiri. Air dimana-mana, tetapi tidak setetes pun yang bisa diminum.

Bila norma-norma etika keagamaan dan adat tidak lagi ada di masyarakat, maka moralitas akan kehilangan maknanya bagi suatu generasi yang tidak lagi menelan mentah-mentah warisan budayanya sebagai suatu yang benar atau sahih. Generasi itu melalui suatu periode kritikal akan transisi menuju kegelapan dan kekosongan. Kondisi tersebut akan menimbulkan keinginan untuk bertanya.

Proses bertanya itu mungkin ‘akan’ atau mungkin juga ‘tidak’ menemukan norma perilaku yang lebih baik atau memuaskan. Mungkin saja proses tadi berakhir pada kekacauan atau anarki moral yang total. Kelihatannya kondisi terakhir itulah rupanya yang jadi pilihan—katakanlah—masyarakat modern.

Suatu angin perubahan sedang berhembus di antara masyarakat-masyarakat dunia, baik di Barat atau pun di Timur. Inilah angin jahat yang mencemari iklim dunia seluruhnya.

Dunia modern lebih memperhatikan peningkatan polusi dalam atmosfir materiil daripada peningkatan cepat polusi di tengah lingkungan sosial kita. Alquran Surah Al-‘Ashr yang rupanya berbicara mengenai masa itu, menyatakan:

“Demi masa. Sesungguhnya manusia senantiasa ada dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan menasihati satu sama lain supaya menyampaikan kebenaran dan menasihati satu sama lain untuk bersabar.” (QS 103:2—4)

Yang sekarang menjadi ciri masyarakat “modern” adalah eksploitasi sesama, penipuan, kemunafikan, egoisme, penekanan, kerakusan, mengejar kenikmatan, ketiadaan disiplin, korupsi, pencurian, perampokan, pelanggaran hak azasi manusia, pemalsuan, pengkhianatan, ketiadaan tanggungjawab serta hilangnya kepercayaan antar sesama dan saling menghargai.

Selaput tipis peradaban tidak dapat lagi menutupi kejelekan yang kian hari kian mengemuka. Namun, kita salah jika mengatakan bahwa tanda-tanda kemerosotan manusia itu tidak ada pada zaman dahulu. Banyak peradaban masa lalu mengalami sakit yang sama sebelum pada akhirnya riwayat mereka ditutup dalam sejarah umat manusia. Tidak ada bagian di dunia ini yang dikecualikan dari kemerosotan moral demikian. Beberapa masyarakat telah mulai meruntuh dimana-mana.

Berbeda di banding negeri-negeri dengan pemerintahan totaliter. Meningkatnya kesadaran kemerdekaan individual di negara yang katanya bebas, nyatanya telah menjadi kecenderungan menceng yang menjadi dasar memburuknya perilaku sosial.

Di negeri-negeri dengan pemerintahan totaliter, kebangkitan kesadaran kemerdekaan individual diarahkan pada pembebasan diri dari pengendalian totaliter yang menyeluruh. Kecuali ada tentangan dari faksi kiri angkatan bersenjata, kecenderungan pemerdekaan diri tersebut kelihatannya akan menang. Apa yang akan terjadi nanti terlihat tidak begitu baik bagi prospek moral para muda usia di negeri-negeri yang dahulu menganut sistem komunis.

Hampir dua generasi masyarakat yang tumbuh dewasa, berada dalam keadaan tidak bertuhan dan tidak memiliki tuntunan serta disiplin perilaku moral. Selain ketiadaan norma nilai-nilai moral yang berakar pada kepercayaan keagamaan, bahaya kecenderungan mencari kesenangan diri yang membanjir dari Barat ke para muda usia di bekas Rusia dan negara-negara Eropa Timur lainnya, akan membawa dampak mengerikan bagi perilaku moral di masa mendatang.

Pada saat bersamaan, kita tidak dapat mengabaikan bahwa hidup tanpa agama selama berpuluh tahun itu tidak saja membawa kemudaratan bagi masyarakat kontemporer tetapi juga membawa beberapa kebaikan.

Revolusi sosial di Rusia telah memutus keterkaitan dunia sosialis dengan agama berikut dogma-dogma dan pandangan keagamaan yang memang telah cemar itu. Ada kekolotan dalam pandangan dan konsep mereka, baik pada Islam maupun Nasrani atau pun sekte-sekte kedua agama itu yang telah menimbulkan kesenjangan di antara doktrin agama dengan realita alam. Dibutuhkan kemampuan analisa khusus agar mampu melihat diskrepansi antara pandangan keagamaan dengan kenyataan alam tanpa hanyut terbawa perasaan.

Tidak mudah menerima berbagai paradoks kecuali paradoks itu tertanam di pikiran orang dari generasi ke generasi. Secara berangsur, manusia akan sampai pada suatu titik di mana masyarakat keagamaan akan menerima berbagai paradoks itu tanpa menyadari keberadaannya.

Di antara beberapa hal yang dilakukan revolusi sosial terhadap penduduknya adalah membersihkan pikiran mereka dari dogma-dogma kepercayaan dan menyembuhkan mereka dari strabismus (pandangan mata juling) dan diplopia (pandangan ganda). Dan hal tersebut menghasilkan keluguan yang hanya dapat dicapai jika keadaan memang bebas dari kemunafikan.

Pada saat ini, belum dapat dikatakan bahwa keadaan keluguan itu bisa dimanfaatkan untuk perbaikan moral mereka di masa pergolakan mendatang. Namun satu hal memang jelas yaitu mereka lebih mudah menerima Risalah kebenaran tanpa prasangka dibanding umat lainnya di dunia saat ini.

Hanya saja, hal yang sama tidak berlaku pada manusia ‘merdeka’ yang saat ini sedang mengalami peningkatan kecenderungan individualisme. Siapa pun dapat saja melakukan apa pun berdasarkan justifikasi kemerdekaan atas nama kemerdekaan individual. Sebagai pelopor kecenderungan tersebut, Amerika Serikat (AS) sangat berpengaruh bagi baik Eropa mau pun Dunia Kedua dan Ketiga.

Gema distorsi dari konsep kemerdekaan individual yang membebaskan seseorang dari disiplin kehidupan moral itu bergaung melintasi tirai ideologi dari sosialisme ilmiah. Kelompok gay, lesbian, pecandu narkotik, preman dan berbagai tipe pelaku kriminal sekarang ini terus-menerus bertambah banyak. Kegalakan mereka dalam membela perilakunya dengan kata-kata “Kenapa tidak” sudah menjadi tantangan mengerikan bagi masyarakat kontemporer.[]

Disadur dari terjemahan Alm. H. Abdul Qayum Khalid pada buku Islam’s Response to Contemporary Issues karya Mirza Tahir Ahmad; Surrey-Inggris (1992): Islam International Publications Ltd..