DIUTUSNYA para rasul ke suatu umat...

DIUTUSNYA para rasul ke suatu umat, pada masanya, kerap dianggap "tidak membawa kebijakan akulturatif yang komprehensif terhadap nilai-nilai yang hidup yang mentradisi di masyarakat agar tidak terjadi benturan dengan nilai-nilai baru agar terjadi proses perubahan yang damai."

Para rasul itu dituduh mendakwahkan nilai-nilai baru yang mereka bawa secara dogmatis. Ajaran para rasul itu ditafsirkan mereka sebagai syiar-syiar yang penuh ancaman azab bagi orang-orang yang belum dapat menerima.

Kita bisa maklum mengapa zaman ini ada benturan nilai-nilai. Konflik itu, celakanya, didesain sebagai konflik antar umat beragama yang sepanjang masa, yang dalam beberapa periode sejarah, diwarnai pula dengan efek kekerasan dan perang.

Jauh sebelum datangnya agama Islam, bangsa Arab Hijaz menganut paganisme atau menyembah berhala yang serupa dengan peradabaan Kana’an purba abad keempatbelas Sebelum Masehi (SM) dengan ilah-ilah atau sembahan-sembahan yang menginspirasikan atau mengutamakan peperangan dan seksualitas.

Suku-suku Hijaz mewarisi peradaban paganisme itu dari bangsa-bangsa Arab yang bermukim di lembah Edom pada abad kesepuluh SM, sekitar zaman Nabi Daud a.s..

Paganisme serupa juga dianut oleh bangsa-bangsa di seputar mereka--seperti Mesir, Persia, Babilonia, Asysyiria, Phoenix, dan sebagainya--dengan dewa-dewa Mendez, Zarathustra, Marduk, dan lain-lain; yang kemudian mewaris kepada bangsa Yunani serta Romawi dengan Dewa Matahari-Yang-Tak-Tertandingi (Sol-Invectus) yang belakangan kemudian berfusi dengan agama Kristen pada awal abad keempat Masehi atas prakarsa Kaisar Konstantin Yang Agung dari Romawi.

Di antara dewa sesembahan yang terkenal di tanah Kana’an (sekarang Palestina & Israel) dan di Hejaz adalah Ba’al El-Eliyon. Ia adalah Dewa Badai yang merupakan Dewa Perang yang paling diagungkan.

Pada abad kelima Masehi, penguasa Hijaz bernama Amr Bin Lubayyi dari Banu Khuza’ah memperkuat Dewa Ba’al dengan Dewa Hubal yang dibawa dari Syam atau Syria. Dewa Hubal yang ditahbiskan sebagai dewa kesehatan, sebagai pendukung dewa perang, dan ditempatkan di Ka’bah Mekkah al-Mukarramah. Sehingga, semua orang bisa memujanya.

Nah, kegemaran orang-orang Israel, orang-orang Arab, dan orang-orang Barat berperang satu sama lain, berkaitan dengan 'ketidaksadaran kolektif' mereka tentang dewa-dewa perang itu.

Kemungkinannya, ada kesan bahwa mereka menganggap Yahweh atau El atau Allah dalam peradaban Israel, Barat, dan Arab sebagai reinkarnasi dari dewa-dewa perang itu. Faktanya, tafsiran kitab-kitab suci dari ketiga agama samawi mereka mengandung dan dimaknai dengan nuansa peperangan. Mereka menjadikan "perang terhadap musuh agama" sebagai ideologi. Na'uudzu bi`l-Laahi min-dzaalik...!! (Marilah kita berlindung dari hal-hal yang seperti itu!).

Perang besar untuk memenuhi 'syahwat perang' di antara mereka sudah pernah berkorbar pada abad keduabelas hingga abad keempatbelas, yaitu: Perang Salib. Perang itu melibatkan hampir seluruh unsur peradaban mereka.

Kini, di zaman kontemporer ini, kita masih terus menyaksikan peperangan mereka: diawali dengan perang Irak-Iran, invasi Irak ke Kuwait, agresi pasukan Sekutu terhadap Afghanistan dan Irak yang berlangsung pada lintasan akhir abad keduapuluh, dan terus berlanjut hingga awal abad keduapuluh satu ini, dan terakhir perang Israel dengan Palestina-Hamas versi terbaru.

Dengan rendah hati mesti kita catat: Ada bukti-bukti antropologis yang menampakkan keberadaan jejak-jejak paganisme yang konsisten dalam agama Yahudi, Nasrani, dan Islam.

Maksudnya, tradisi peperangan itu dikhawatirkan terus berlanjut, khususnya bagi atau di antara bangsa-bangsa Israel, Arab, maupun Barat--na'uudzu bi`l-Laahi min dzaalik(!).

Karena itu, mungkin hipotesis “perang” atau “benturan” peradaban-nya Samuel Phillips Huntington menjadi relevan, meski ia mendapat bantahan kuat dari Fouad Ajami.

'Bangsa negara' Indonesia meskipun bermayoritas muslim, ia memiliki basis historiografi, psikologi, dan antropologi yang berbeda dengan 'negara bangsa' Arab. Sebagai bangsa negara, kita juga memiliki sejarah paganisme yang panjang yang nilai-nilai luhurnya juga mewaris hingga sekarang.

Tetapi, aliran paganisme nenek-moyang kita, yang telah mempengaruhi ketidaksadaran kolektif kita, (maasyaa' Allaah!), justru berbeda dengan aliran paganisme Arabisme atau Judeo-Griko.

Agama-agama yang berkembang pada awal sejarah 'bangsa negara' ini ialah Sunda Wiwitan, Parmalim, Hinduisme, Budhisme, hingga yang kemudian ada di tempat lain memfusi menjadi Shiwa-Buddha; dan setelah masuknya Islam ke beberapa daerah di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Maluku, dan kepulauan Sunda Kecil (Nusatenggara) dengan model kesultanan-kesultanan Islam-nya, ia menjadi sublimasi Islam kultural seperti tampak dalam sikap mental dan perilaku Islam tradisional.

Sepanjang abad yang lalu di era modern ini, Nahdlatul 'Ulamaa` dianggap salah satu atau mungkin satu-satunya yang mewakili segmen tersebut. Namun, pada awal abad ini, ada tarik-menarik dengan Arabisme radikal membawa pergeseran-pergeseran dalam PBNU ke arah yang "lebih Arabik".

_
DALAM kenyataan, manusia telah membuktikan diri mampu menjalani penderitaan material yang paling ekstrem atas nama ide-ide yang semata-mata di wilayah kesadaran, entah itu berupa pemujaan terhadap sapi atau Trinitas.

Artinya, tidak akan mungkin berhasil suatu 'pemaksaan' nilai-nilai agama dari kelompok sosial tertentu kepada kelompok sosial lainnya yang tentu akan memberikan perlawanan dengan spirit fundamental.

Untuk bisa memahami proses yang mendasari sejarah (termasuk sejarah bangsa Indonesia), perlu dipahami terlebih dahulu perkembangan di wilayah kesadaran atau ide-ide termasuk agama dan budaya.

Adalah fakta bahwa dunia ini, termasuk 'bangsa negara' Republik Indonesia tidak terbentuk oleh budaya tunggal, bukan oleh agama Islam saja, bukan oleh budaya Jawa saja, tetapi oleh keanekaragaman budaya yang kemudian membentuk realitas berbangsa negara dengan dasar Pancasila yang bersifat multikultur tersebut.


"[QS 2:88] And verily, We gave Moses the Book and caused after him Messengers to follow in his footsteps; and to Jesus, son of Mary, We gave manifest Signs, and strengthened him with the Spirit of holiness. Will you then, every time a Messenger comes to you with what you yourselves desire not, behave arrogantly and treat some as liars and slay others?"

Ayat di atas membuktikan bahwa suatu nilai tidak dapat begitu saja dicanangkan untuk diterapkan pada pihak lain yang juga merupakan sekumpulan nilai-nilai.

Kegagalan memahami akar perilaku sosial yang terletak dalam wilayah kesadaran dan budaya yang beragam, telah menyebabkan munculnya kesalahan umum yang menganggap adanya nilai-nilai teokratik yang solid dari asumsi agama atau budaya mayoritas.

Kesalahan-kesalahan ini bukan mustahil akan berbuntut pada kekerasan-kekerasan politik akibat adanya pemaksaan dan perlawanan.

Perlu dipahami bahwa di zaman ini ide yang solid adalah ide-ide tentang kesetaraan dan kebebasan, termasuk kebebasan bagi semua agama dan semua alirannya serta budaya.

Negara yang diterima yang muncul di zaman ini adalah negara 'liberal', dalam arti: Mengakui dan melindungi hak universal manusia akan kemerdekaan melalui sistem hukum; dan, negara 'demokratis' dalam arti: Hadir hanya dengan persetujuan mereka yang diperintah.

Hal ini merupakan produk dari sejarah kongkret manusia dan lingkungan sosialnya yang bergerak dari tahapan kesadaran primitif hingga bentuk-bentuk kongkret organisasi sosial, seperti: kesukuan, teokrasi, dan akhirnya masyarakat yang egaliter-demokratis--sebagai bentuk modern yang dicapai umat manusia.

Sejarah dan waktu berjalan maju. Maka, tidak mungkin kita mundur lagi ke bentuk-bentuk teokratis seperti perda-perda syari’ah dan sejenisnya yang hanya akan berakhir dengan kegagalan karena kompleksitas paradoksal yang akan membentur akar-akar peradaban dunia modern, termasuk negara modern Republik Indonesia yang liberal, demokratis, multikultur berdasarkan Pancasila.

_
*adaptasi dari materi Pengajian Tauhid Wahdatul Ummah #100 yang diasuh Almarhum K.H. Agus Miftach di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan pada tanggal 14 Juli 2006.