historical attempt (was re: men-demokrasi-kan pancasila?)

Gambar diambil dari KapanpunBisa.blogspot.com.

by CHRIS KOMARI

Mengapa DEMOKRASI PANCASILA sejauh ini oleh NGOs International hanya di kategorigan sebagai DEMOKRASI PINCANG…?


Demokrasi itu mempunyai 2 okjektif dan 1 perangkat yang diperlukan, yakni:

1). Freedom (Kebebasan)
2). Equality (Persamaan HAK)
3). Control (kontrol dari rakyat terhadap Wakil-Wakilnya di Pemerintahan).

Satu fakta yang tidak bisa dibantah dan dipungkiri adalah para Founding Fathers kita tidak ingin Indonesia memiliki sistem Demokrasi seperti yang di jalankan oleh kaum penjajah.

Karena itu semua dokumen, falsafah dan ideology yang dicetuskan oleh para Founding Fathers kita, mulai dari PANCASILA, Preambule, UUD 1945 asli, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, tidak mengenal:

1). Sistem 'checks and balances",
2). Tidak mengenal dan mengatur soal "tyranny majority"
3). Dan tidak mengenal dan mengatur sistem "KONTROL", dari rakyat terhadap WAKIL-WAKIL nya di pemerintahan.

Jangankan sistem "KONTROL" dari rakyat terhadap WAKIL-WAKIL nya di pemerintahan, mekanisme untuk membuat RAKYAT bisa ikut dalam decision making process dalam pemerintahan setelah PEMILU selesai; baik di tingkat Kota, Propinsi dan Pusat, ITU TIDAK ADA…???

Sehingga setelah PEMILU selesai, rakyat Indonesia hanya bisa nonton TV kayak kambing congek, nglihatin Wakil-Wakilnya di pemerintahan rebutan jabatan, rebutan amplop yang melayang-layang di Parliament, banja'an dana APBN, bikin sinetron dalam persidangan dan di cekal KPK karena kena kasus korupsi.

Jadi yang namanya "KONTROL" dari rakyat terhadap Wakil-Wakilnya di pemerintahan itu dalam DEMOKRASI PANCASILA, tidak ada sama sekali alias nol putul, zip, nara alias big zero!!!

Apalagi memberi hak Filibuster kepada golongan atau suara minoritas dan kepada rakyat biasa!

Dari 5 sila PANCASILA, hanya Sila ke #4 yang mengacu pada system pemerintahan demokrasi. Karena itu, sila-sila lainya tidak kami bahas.

4). Kerakyatan Yang di Pimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan.

Pernah kita berpikir, mengapa para Founding Fathers kita; khususnya PANITIA 9, memilih kata PERWAKILAN dan mengapa tidak memakai kata PEMILIHAN?

Sila ke #4 PANCASILA diatas, secara prinsip mengatur proses deliberation (musyawarah untuk mufakat) dan ditambah (garis miring) PERWAKILAN, dan bukan PEMILIHAN.

Jadi jelas, dalam benak dan pikiran para Founding Fathers, system pemerintahan demokrasi yang mereka pikirkan (envision) adalah system PERWAKILAN.

Tetapi apa ramifikasinya terhadap system perwakilan ini dalam demokrasi? Adakah system demokrasi yang di wakili?

Terus, apa yang di maksud oleh para Founding Fathers dengan maksud di WAKILI (PERWAKILAN) ini?

Kita lihat penjabaranya dari kata PERWAKILAN ini dalam UUD 1945 asli, yang dituangkan atau diterjemahkanya BAB dan Pasal, sbb:


BAB II
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

Pasal 2

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.

* Coba perhatikan kata-kata dibawah ini baik-baik:
”Utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan!”

Dalam kontek kehidupan social orang Indonesia, yang namanya di UTUS (Utusan) itu adalah orang yang ditunjuk (hand picked, atau apppointed).

Jadi UTUSAN adalah wakil yang ditunjuk (appointed or, hand-picked).

Kalau mau menunjuk utusan yang akan menghadiri undangan kawin atau undangan hajatan yang lain, itu sih tidak ada masalah.

Tapi kalau UTUSAN itu akan duduk di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang akan memutuskan, membuat, membatalkan dan merubah UUD mewakili rakyat banyak dari daerah-daerah dan golongan-golongan…., ya nanti dulu?

Banyak pertanyaan yang mesti di jawab:

1). Terus, utusan daerah dan utusan golongan ini yang berhak dan punya wewenang MENUNJUK siapa?

2). Penguasa daerah mana dan siapa yang qualify untuk menjadi penunjuk?

3). Apakah seperti Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Kapolda, Kapolres, Ketua LSM, Ketua NGO’s, atau siapa?

4). Apakah penunjukan itu akan fair dan tanpa diskriminasi?

5). Apakah orang yang ditunjuk akan benar-benar bisa mewakili daerah-daerah dan golongan-golongan yang diwakilinya?

6). Siapa yang bisa menjamin bahwa orang yang “menunjuk” dan yang “ditunjuk” tidak akan membuat kontrak-kontrak politik atau transaksi-transaksi politik terselubung, setelah yang ditunjuk duduk di MPR dan dapat GAJI + Tunjangan yang banyak?

7). Siapa yang berani menjamin, bahwa orang yang ditunjuk itu akan benar-benar menjalankan tugas mewakili rakyat daerah-daerah dan golongan-golongan?

8). Jaminanya apa?

9). Terus, kalau diketahui melanggar alias ternyata yang ditunjuk itu tidak mewakili kepentingan daerah-daerah dan golongan-golongan, hanya mengedepankan dan melindungi kepentingan orang atau golongan yang “MENUNJUK”, konsekwensi hukum dan konsekwensi politiknya apa?

10). Terus apa syarat, ukuran, standard dan qualifikasi dari seorang utusan daerah dan utusan golongan itu?

Disinilah sebenarnya KE-PINCANG-AN dari system PERWAKILAN yang ada pada Sila ke #4 PANCASILA itu.

Bila utusan daerah-daerah dan utusan golongan-golongan itu di TUNJUK (appointed atau hand-picked) seperti yang di artikulasikan dalam UUD 1945, BAB II, Pasal #2, Ayat #1, dan bukanya di PILIH langsung (elected) oleh rakyat daerah lewat PEMILU, maka 99.99% saya berani mengatakan:

”akan terjadi kontrak-kontrak politik atau transaksi-transaksi politik terselubung antara orang atau golongan yang MENUNJUK dan orang atau golongan yang di TUNJUK”.

Karena itulah, Sila #4 Pancasil adalah pemikiran yang TIDAK DEMOKRATIS, atau at best, hanya dikategorikan sebagai refleksi dari DEMOKRASI PINCANG (Flaw Democracy) oleh ratusan NGOs International.

Ya, karena memang proses dan mekanismenya itu FLAW, tidak mengena dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dan objektivitas DEMOKRASI.

Makanya tidak HERAN, bila selama ini DEMOKRASI PANCASILA meski sudah berjalan 67 tahun, masih saja di sebut dan dikategorikan sebagai FLAW DEMOKRASI alias, Demokrasi Pincang...???

Karena konsepnya dari sono sudah TIDAK demokratis!!!

Biar di gali 67 tahun lagi, 100 tahun, 150 tahun, 500 tahun atau sampai khiamat, PANCASILA tidak akan menjadi falsafah dan ideology yang Demokratis, kecuali…!!! (Now this is open for public debates).

Tapi untuk sekedar menjawab dan memenuhi curiosity para pembela PANCASILA, khususnya golongan orthodox yang suka memaksa-maksa orang lain untuk memberi ALTERNATIF atau memberi solusi bagaimana membuat PANCASILA yang tidak demokratis itu menjadi ideology yang lebih demokratis, maka kami akan menyajikan beberapa options.

Untuk membuat ideology yang tidak demokratis menjadi yang lebih demokratis, itu sebenarnya tidaklah sulit.

Yang sulit itu adalah MENJINAKAN sentiment bangsa yang telah meng-KULTUS-kan Pancasila dan satu anggapan bahwa:

Merubah dan memperbaiki hasil karya para Founding Fathers demi kedamaian, kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia itu sendiri, bukanlah tindakan pengkhianatan terhadap jasa-jasa mereka.

Hal ini harus di lihat sebagai PROGRESS untuk maju dan berkembang!!!

Options yang kami berikan untuk sementara ini adalah sbb:

[4]. Kerakyatan Yang di Pimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan,

Menjadi:

[4a]. Kerakyatan Yang di Pimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Pemilihan.

Atau,

[4b]. Kedaulatan Rakyat Yang di Pimpin Secara Terbuka Dalam Permusyawaratan/ Pemilihan Melalui Konsensus Suara Mayoritas dan Minoritas.

Ada pemikiran tersendiri dari point (4a) dan (4b) yang bisa diperdebatkan.

Pada kenyataanya “HIKMAT” itu sulit di ukur dan kalau toh bisa, standard kehikmatan itu harus di buat dan di formalisasikan dulu. Apalagi bila HIKMAT itu akan di pakai untuk mengukur kerja seorang wakil rakyat dalam pemerintahan?

Akan sangat sulit sekali, disamping memang pada prinsipnya demokrasi tidak mengedepankan sisi “MORALITAS” dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat, tetapi lebih mengedepankan system yang baik dan terkoordinasi secara terpadu untuk menutup gap (lubang tikus), kesempatan dan kemungkinan bagi para pemimpim bangsa atau wakil rakyat itu untuk berbuat jahat.

Karena itulah system demokrasi menuntut “transparency”, “checks and balances” dalam pemerintahanya melalui “oversights” atau “kontrol dan mekanisme” dari rakyat terhadap Wakil-Wakilnya di Pemerintahan.

Yang jelas, kalau dikupas word by word, atau secara kesuluruhan dalam satu clause, Point (4a) dan point (4b) diatas, akan terbukti jauh lebih demokratis dibanding Sila ke #4 Pancasila yang ada sekarang ini.

Mencari solusi dan memperbaiki PANCASILA untuk menjadi ideology yang lebih demokratis itu, hal yang TIDAK sulit. Yang tidak mudah adalah menjinakan sentiment bangsa.

Dan “SOLUSI” itu baru akan bisa di mulai untuk diperdebatkan, kalau kita sebagai bangsa mau menerima dan mau mengakui kelemahan, kekurangan, ketidak sempurnaan dan ke-TIDAK-DEMOKRASI-an cetusan para Founding Fathers kita dimasa lalu.

Kalau mengakui saja tidak bisa, bagaimana akan mencari solusi?

Bagaimana solusi itu akan dicari dan ditemukan, wong dokumen, falsafah ideology yang dicetuskan oleh para Founding Fathers semuanya di anggap TIDAK ada yang salah atau tidak ada yang kurang?

Kalau TIDAK ADA YANG KURANG dan tidak ada yang salah, mencari solusi akan di anggap GILA!

Menengok system “KONTROL MEKANISME” di America (USA).

Bagaimana dengan system “KONTROL” yang telah di lakukan oleh negara-negara maju, seperti di America (USA) dalam menjalankan demokrasinya?

Saya akan memberi contoh dari negara bagian California, USA.

Di dalam aturan the “BROWN ACT” itu ada aturan, hukum dan mekanisme yang mengharuskan:

1). Public (rakyat America) harus diundang dalam sidang umum seperti sidang umum anggota City Council (DPRD tingkat Kota) atau Board of Supervisor (DPRD Tingkat Propinsi) dll., sebagai participants atau observers, dan bukan sebagai decision makers.

Rakyat dalam berpartisipasi dalam sidang umum dan terbuka itu boleh protes, bisa secara langsung dan terbuka engaging dalam debat public dengan wakil-wakil nya di Dewan, boleh mengajukan saran, boleh mengakukan objections, bebas mengkritik dan bebas memberi comments dalam batas waktu yang diberikan, tentang item agenda yang diperdebatkan dalam sidang City Council atau Board of Supervisor, dll.

Yang tidak diperbolehkan adalah menganggu jalananya sidang dan membuat kerusuhan dalam sidang itu.

Kalau hal itu terjadi, maka POLICE OFFICER akan memborgol orang ini dan akan dikeluarkan dari tempat sidang. Bisa juga di press-charge dan masuk penjara!

Ini adalah salah satu bentuk dan mekanisme "KONTROL" dari rakyat terhadap Wakil-Wakilnya di Pemerintahan....

2). Rakyat America punya HAK, WEWENANG dan MEKANISME untuk me-RECALL Wakil-Wakilnya di Pemerintahan mulai dari Mayor, City Council, Supervisor, State Assembly Members, Governor, State Senator, U.S Senator dan members of U.S Congress.

Gubernur California pernah di RE-CALL berkali-kali, seperti Gubernur Gray Davis dan berhasil di ganti oleh then Gubernur Arnold Schwarzenegger.

Tahun ini, Gubernur Winsconsin; Mr. Scott Walker, juga di recall oleh rakyatnya. Tapi tidak berhasil dan Gubernur Walker tetap mebnjadi Gubernur.

Inilah bentuk ke # 2 dari mekanisme dan sistem KONTROL dari rakyat terhadap Wakil-Wakilnya di Pemerintahan, dari sistem demokrasi yang diterapkan di AMERICA.

Sekarang, coba lihat dengan mekanisme dan system Kontrol di Indonesia. Yang bisa me-recall anggota DPR siapa?

Eh, malah partai politiknya sendiri yang dulu mempromosikanya saat mencalonkan diri menjadi CALEG?

Lho kok aneh? Apa itu bukan sistem "KONTROL" yang ngempret.....????

3). Di dalam aturan hokum “BROWN ACT", ada satu sistem, procedurial dan mekanisme yang bisa di pakai RAKYAT umum (public) untuk "MEM-FILIBUSTER", semua anggota dewan Council untuk tidak melakukan VOTING sama sekali, kalau misalnya rakyat banyak TIDAK setuju dan menentang keras dengan topic agenda yang akan di VOTING-KAN!!!

Hak ini sangat luar biasa, meski jarang dipakai! Seluruh Dewan itu akan bisa dibuat berhenti dan TIDAK bisa melakukan VOTING, kalau rakyat tahu, mampu dan mau mengunakan hak dan mekanisme FILIBUSTER yang disediakan oleh hukum?

4). Di U.S Congress, HAK Filibuster sengaja dibuat dan diberikan kepeada suara Minoritas, agar partai mana saja yang berkuasa dan menjadi suara Mayoritas di U.S Congress, tidak akan sewenang-wenangnya membuat Bill/ UU baru yang merugikan golongan minoritas.

Karena itu, untuk menciptakan keseimbangan dalam kepentingan di U.S Congress (system checks and balances), Hak Filibuster itu diciptakan dan diberikan kepada suara minoritas sebagai alat untuk menteinbangi kekuatan dan kekuasaan golongan atau suara Mayoritas, agar suara mayoritas tidak bisa berbuat seenak perutny.

Hak filibuster itu bisa di pakai oleh suara minoritas di U.S Congress untuk MEMAKSA suara Mayoritas untuk tidak melakukan VOTING.

Itulah makna dari system KONTROL dan system checks and balances. Dan system control, checks and balances itu bukan hanya dari rakyat terhadap Wakil-Wakilnya di Pemerintahan, tetapi juga antara Lembaga Tinggi Negara, seperti Executive vs. Legislative (vise versa) dan Legislative vs. Judikative (vise-versa).

Apa PANCASILA dan UUD 1945 asli atau yang sudah di amendment menyediakan system dan mekanisme "KONTROL" dari RAKYAT terhadap Wakil-Wakilnya di Pemerintahan?

Boro-boro menyediakan system “KONTYROL dan memberi hak FILIBUSTER kepada suara minoritas dan rakyat banyak, nggak di SKB aja udah mending!!!

Diatas itu baru sebagian kecil dari sistem KONTROL dan mekanisme yang ada di negara America. Apakah sistem demokrasi di USA tidak ada FLAW nya?

Jelas ada dan jumlahnya banyak. Tetapi, ke -FLAW-an dari system demokrasi yang diterapkamn di USA adalah lebih banyak karena akal bulus dari para pemilik Giant Corporations dan para Lobbyists yang ingin memanipulasi sistem Demokrasi di USA!

Tetapi OVERALL, sistem Demokrasi di USA itu sudah sangat bagus (full demokrasi), bahkan dari pengalaman pribadi saya menjadi pejabat negara di negara bagian California (City Council), sistem itu sangat LUAR BIASA!!!

Luar biasa karena rakyat benar-benar ikut active in the decision making process dan ikut berdebate langsung secara regular dengan Wakil-Wakilnya di Pemerintahan demi menjaga dan menegakan “KEDAULATAN RAKYAT”, dengan menjalankan tugas dan fungsi “OVERSIGHT” terhadap Wakil-Wakilnya di Pemerintahan.

Disinilah sebenarnya makna dari “kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat”.

Bagus khan? Jadi rakyat tidak kayak kambing congek aja setelah PEMILU selesai.

Bagi rakyat, Demokrasi di Amerika dimulai dari PEMILU, dan bukanya malah diAKHIRI setelah PEMILU selesai, seperti yang terjadi di Indonesia!

*diposting via Blogger.com