"Maaf Saya"; Cerpen Woody Allen

Dikutip dari postingan Mas Doni di grup Facebook Lingkar Puisi dan Prosa - Lembaga Bhinneka, tanggal 13 Agustus, akses {14:07 13-Agust-2012}. Terima kasih, ya Mas Doni, atas sharing/postingannya yang bagus. GBY.

--
DARI sekian banyak orang tenar yang pernah hidup, salah satunya yang ingin saya jumpai adalah Socrates. Bukan karena pemikirannya yang termashyur, melainkan karena saya telah banyak mengenal banyak alasan-alasan yang telah memperkaya wawasan saya sendiri. Meskipun dalam waktu tak tentu di sekitar bandara Swedia para pramugarinya terborgol tangannya… O, tidak, tidak. Satu-satunya yang menarik perhatian saya adalah kebijakan pemikirannya terhadap rakyat Yunani, terutama yang menunjukkan keberaniannya menghadapi kematian.

Keputusannya kuat. Tidak bertentangan dengan prinsipnya. Dalam hidup ia sudah membuktikannya. Ya, itulah poinnya. Secara pribadi sesungguhnya saya juga tak takut pada saat-saat menjelang kematian seperti setelah terdengar bunyi-bunyi tak enak di kuping. Misalnya bunyi klakson yang mengganggu tatkala saya sedang berbicara dengan orang lain.

Pada saat kematian Socrates, ia menunjukkan keotentikannya; sesuatu dimana eksistensi begitu kurang terasa. Rasanya sepertinya saya sedang tak punya tagihan kepada dinas pajak.

Saya akui bahwasanya saya telah mencoba meletakkan diri saya sendiri ke atas sandal filosofnya setiap waktu. Tak penting bagaimana saya bisa melakukannya, karena saya dengan segera memutar jam weker kemudian tidur dan menikmati mimpi.

(Adegan dalam mimpi ini terjadi di sebuah penjara. Saya sedang duduk sendirian, seperti biasa. Saya sedang mengerjakan sesuatu yang mungkin dalam pikiran rasional kira-kira yang tergambar adalah: dapatkah obyek yang disebut dengan hormat sebagai seni itu dapat digunakan untuk membersihkan kompor? Saat ini, saya sedang dikunjungi oleh 2 orang filsuf, Agathon dan Simmias.)

Agathon: Ah, sahabatku bagaimana hari-harimu di dalam sel?

Allen: Apa yang harus saya katakan, Agathon? Memang badan saya terkurung tapi pikiran saya tetap bebas, tidak terkekang oleh 4 jeruji. Sekarang saya balik bertanya, apakah kurungan itu sebetulnya ada?

Agathon: Well, apa yang kamu gunakan untuk berjalan dengan bebas?
Allen: Pertanyaan bagus. Saya memang tidak bisa.

(Kami bertiga duduk berbincang-bincang dalam posisi sempurna, tidak kaku. Nah, sekarang Agathon mulai bicara.)

Agathon: Sebenarnya saya tak tega mengatakannya. Sebentar lagi kematianmu sudah dekat.

Allen: Wah, seperti perdebatan dalam senat saja.

Agathon: Bukan debat. Pemungutan suara.

Allen: Sungguh?

Agathon: Ya, seperti pada saat pertama pemungutan suara.

Allen: Hmmm, berarti paling tidak saya harus mendapat dukungan.

Simmias: Senat memilihmu mati karena ide-ide kamu membentuk negara Utopia.

Allen: Seumur-umur saya belum pernah dinasihati filsuf.

Simmias: Seharusnya kamu tetap pada pendirianmu dan bersihkan tenggorokanmu.

Allen: Dan kemudian para penghukum saya, algojo-algojo itu adalah
iblis.

Agathon: Saya pun juga.

Allen: Err…yeah, well…apakah sosok iblis yang sebenarnya lebih dari itu?

Agathon: Bagaimana ?

Allen: Misalnya begini, jika seorang pria sedang menyanyikan lagu cinta dengan bagus sekali. Tapi kalau dia terus bernyanyi, ada orang lain yang sakit kepala mendengarkannya.

Agathon: Betul.

Allen: Dan apabila dia tidak menghentikan nyanyiannya, kamu ingin menyumbat mulutnya dengan kaus kaki.

Agathon: Ya, betul.

Allen: Nah, kapan saat kematian itu tiba?

Agathon: Mmm, jam berapa sekarang?
Allen: Apa? Hari ini!?

Agathon: Mereka segera ke penjara.

Allen : Biarkan saja! Biarkan mereka mengambil nyawa saya. Biarlah itu terabadikan tatkala saya mati melebihi prinsip kebenaran dan kebebasan. Hey, kau jangan tersedu-sedu begitu Agathon.

Agathon: Saya tidak menangis, saya sedang alergi.

Allen: Dalam pikiran seorang manusia, kematian sesungguhnya bukanlah akhir melainkan permulaan.

Simmias: Maksudmu?

Allen: Sebentar, sebentar. Beri saya waktu berpikir.

Agathon: Nah, berpikirlah.

Allen: Ini benar, Simmias. Seorang manusia tidak akan ada sebelum dia lahir, bukan begitu?

Simmias: Betul.

Allen: Tidak juga setelah kematiannya.

Simmias: Ya, saya setuju.

Allen: Hmmmm.

Simmias : Jadi?

Allen: Tunggu sebentar. Saya jadi bingung. Kamu tahu, di penjara ini saya diberi makan daging domba, tapi mereka tidak memasaknya dengan benar. Rasanya tidak enak!

Simmias: Kebanyakan orang menerima kematian sebagai yang terakhir. Kebanyakan mereka takut.

Allen: Kematian itu sebenarnya seperti ketidakberadaan. Kematian itu tidak ada. Hanya kebenaran yang ada. Kebenaran dan kebaikan. Keduanya bisa saling bertukar tempat. Mmm, ngomong-ngomong, apa sih yang mereka katakan tentang saya?

Agathon: Racun.

Allen (heran): Racun?

Agathon: Kamu ingat cairan warna hitam di atas meja yang terbuat dari pualam itu?

Allen: Benarkah?

Agathon: Hanya secangkir. Mereka punya lagi di dalam piala kalau kamu memuntahkannya.

Allen: Apakah itu menyakitkan?

Agathon: Ya, mereka bilang jika kamu tidak membuat film lagi. Ini mengganggu tawanan lainnya.

Allen: Benar…benar…err, apakah konsep “eksil” itu ada di pikiran mereka?

Agathon: Sayang, mereka sudah menghilangkannya setahun lalu.

Allen: Baik, baik….yeah..(sikap bingung, kikuk tapi sedang mencoba bersikap tenang). Err…ngg..eh…Apalagi?

Agathon: O, saya bicara kepada Isosceles. Katanya dia punya ide bagus untuk segitiga yang baru.

Allen: Baik….baik….(kepercayaan dirinya tiba-tiba muncul) Lihat, saya sudah setingkat denganmu sekarang. Aku tidak mau pergi! Aku masih terlalu muda untuk mati!

Agathon: Tapi ini kesempatanmu mati demi kebenaran!

Allen: Jangan salah paham. Sayalah kebenaran itu. Sebenarnya minggu depan saya ada janji makan siang di Sparta dan saya tidak mau melewatkannya. Ini giliran saya mentraktir mereka. Kamu tahu kan’ mereka mudah marah kalau saya tidak menepati janji?

Simmias: Wah, wah…apakah filsuf kita yang baik itu ternyata seorang yang pengecut?

Allen: Saya bukan pengecut dan saya juga bukan pahlawan. Saya berada di tengah-tengahnya.

Simmias: Ah, seperti kutu saja kamu ini!

Allen: Begitulah.

Agathon: Lho, padahal kamu baru saja membuktikan kepada kami kalau kematian itu tidak ada.

Allen: Dengar, saya sudah menunjukkan kepada kalian banyak hal. Dan begitulah saya di dunia kalau membayar utang-utang saya. Teori dan observasi. Seperti kerutan-kerutan di wajah. Ah, jangan buru-buru dulu kenapa…

Agathon: Tapi kau baru saja membuktikan kepada kami bahwa jiwa-jiwa itu tidak kekal.

Allen: Dan, begitulah! Ya, jika di atas kertas! Itulah filsafat. Bukankah itu tidak berfungsi lagi setelah kamu keluar dari kelas?

Simmias: Bagaimana dengan “bentuk-bentuk” keabadian? Kamu bilang segalanya tidak abadi dan abadi.

Allen: Itu kalau terhadap benda-benda yang keras, kasat mata. Seperti patung atau apalah. Kalau dengan manusia berbeda.

Agathon: Tapi dari semua pembicaraan tadi seolah-olah kamu menganggap mati itu sama saja dengan tidur…

Allen: Iya, kalau kamu mati lalu tiba-tiba seseorang berteriak, ”Semuanya bangun, hari sudah pagi,” Ini tidak bisa kamu samakan begitu saja!

(Algojo datang sambil membawa racun. Wajahnya yang saya lihat mirip pelawak Irlandia, Spike Milligan).

Algojo: Nah, ini dia. Siapa yang akan mati?
Agathon (Tangannya menunjuk kepada saya): Dia.

Allen: Wah, racun dalam gelas yang besar….apakah sesudah itu tempatnya bisa digunakan sebagai asbak?

Algojo: Ya. Minumlah. Masih banyak racun lagi di bawah kalau mau.

Allen (Di sinilah saya tak lagi berpikir seperti filsuf Socrates. Saya berteriak dalam tidur saya.)
: Tidak, tidak! Saya tidak mau mati! Tolong! Tolong!

(Algojo itu memaksa saya meminumkan racun. Sekonyong-konyong seperti ada isyarat untuk tetap bertahan diri dalam pikiran saya. Ketika tanda-tanda itu muncul, datang seorang kurir.)
Kurir: Tahan! Senat sudah mengulang kembali pemungutan suara! Tuntutan kepadamu dibatalkan! Setelah dinilai kembali, senat memutuskan dia seharusnya mendapat kehormatan.

Allen: Ah, akhirnya! Akhirnya saya bebas! Bebas! Bebas dan terhormat! Cepat, Agathon, Simmias! Ambilkan tas saya! Saya harus pergi. Tapi sebelum saya pergi, saya ada parabel…

Simmias: Lho, lho…apakah senat tahu apa yang mereka lakukan?

Allen: Ada sekelompok orang, semuanya pria, tinggal di dalam gua. Mereka tak pernah keluar dan menghindari sinar matahari. Cahaya satu-satunya di dalam sana hanyalah api dari lilin-lilin kecil yang mereka gunakan untuk melihat.

Agathon: Bagaimana mereka bisa mendapatkan lilin?

Allen: Well, anggaplah mereka sudah memilikinya.

Agathon: Mereka tinggal di gua yang gelap tapi punya lilin? Tidak mungkin!

Allen: Lho, kan’ kamu bisa membelinya?

Agathon: O.K, O.K, langsung sajalah!

Allen: Pada suatu hari salah satu dari mereka pergi keluar dari gua dan melihat dunia luar.

Simmias: Dan semuanya tampak jelas…begitu?

Allen: Betul, betul…semuanya kelihatan jelas.

Agathon: Lalu dia kembali dan kemudian menceritakan apa yang dilihatnya kepada yang lainnya. Tapi tak ada satupun yang percaya dengan ceritanya?

Allen: O, tidak. Tidak. Dia tidak bercerita kepada siapapun.

Agathon: Lho?

Allen: Tidak. Lelaki itu membuka toko daging , menikah dengan seorang penari dan mati karena penyakit kanker otak pada usia 42 tahun….

(Mereka marah dan memaksa saya meminumkan racun. Pada saat itu saya mendadak terbangun. Keringat saya bercucuran. Tercium di hidung saya bau telur goreng dan ikan salmon asap. Baunya membuat saya tenang.) *

Judul asli : “My Apology”, dari buku kumpulan cerpen Woody Allen, “Side Effects”. Terbitan Ballantine Books, 1981.

*diposting via Blogger.com