[wPaper.Tempo.co] Soal Korupsi, Partai Kuncinya

From: Sunny; Date: 2012/5/10
 
Refl.: Apakah partai politik tidak terkait korupsi, jika hasil panen korupsi disumbangkan untuk kas partai?
 
http://epaper.tempo.co/PUBLICATIONS/KT/KT/2012/05/09/ArticleHtmls/Soal-Korupsi-Partai-Kuncinya-09052012003018.shtml?Mode=0


Mail Clipping
pressmart
JAKARTA

"Kekuasaan cende rung untuk korup."

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ganjar Pranowo, mengatakan partai politik harus berperan aktif memupus budaya korupsi di DPR. "Sebagai lembaga yang melahirkan politikus di DPR, partai harus punya rumusan yang tegas terhadap upaya melawan korupsi," kata Ganjar kemarin.

Dia mengakui perilaku korupsi di lingkungan DPR sangat mungkin terjadi. "Semua yang punya kewenangan, muncul potensi korupsi," ujar Ganjar. Hal ini karena banyaknya kewenangan dan akses yang dimiliki anggota Dewan. Namun, kata dia, korupsi ini bisa saja terjadi di hampir semua lembaga negara.

Maraknya kasus korupsi yang terjadi di DPR, menurut Ganjar, disebabkan oleh dua faktor. Pertama, rendahnya integritas orang-orang yang duduk di kursi kekuasaan.

Kedua, lemahnya penegakan hukum. "Aji mumpung, karena memang kekuasaan itu cenderung untuk korup. Korupsi itu tidak kenal partai," katanya. Hal tersebut diperparah dengan belum ditemukannya pola pemberantasan korupsi yang paling tepat untuk diterapkan.

Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Oce Madril, mengatakan maraknya korupsi bukan berasal dari gagalnya sistem pendidikan. Menurut dia, masalah korupsi terjadi karena seseorang tidak bisa menahan godaan ketika masuk ke lingkaran kekuasaan, baik legislatif maupun eksekutif.

"Lulusan pesantren saja kalau masuk pemerintahan bisa saja jadi koruptor. Jadi tidak ada kaitannya dengan alumni mana," kata Oce kepada Tempo kemarin.

Hal itu disampaikannya menanggapi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie, yang melontarkan pernyataan tentang orang-orang pintar yang menjadi koruptor.

Para koruptor itu, menurut Marzuki, merupakan produk perguruan tinggi negeri terkemuka di Indonesia, termasuk anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam, serta alumni Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Para pengajar juga banyak yang hanya memikirkan proyek sehingga membuat sikap kritis mereka tumpul.

Pengamat politik dari UGM, Ary Dwipayana, menuturkan DPR dan partai politik selama ini justru menjadi bagian utama dari kasus korupsi. Penyelewengan para wakil rakyat itu bisa terjadi karena tradisi kompetisi politik Indonesia yang menuntut biaya mahal.

"Uang menjadi alat utama merengkuh kekuasaan sehingga uang pula yang dikejar saat berkuasa." Peneliti Indonesia Corruption Watch, Donald Fariz, mengatakan korupsi di lembaga legislatif sangat mungkin terjadi karena besarnya kewenangan yang dimiliki.

Anggota DPR sangat rentan terhadap korupsi dan terlibat jual-beli anggaran, pemilihan pejabat publik, ataupun penyusunan produk legislatif lainnya. "Penyusunan undang-undang juga bisa menguntungkan kelompok tertentu," katanya.

Masyarakat, menurut Donald, menangkap citra negatif para politikus Senayan karena memang terbukti banyak terlibat dalam berbagai kasus korupsi. Apalagi belakangan juga muncul kasus korupsi yang dilakukan secara terstruktur melalui mekanisme penganggaran.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh mengatakan kebanyakan produk kampus menjadi nakal setelah lulus kuliah. "Bisa jadi perguruan tingginya sudah mempersiapkan dengan baik, tapi setelah keluar kan enggak bisa lagi mengendalikan," katanya kemarin.

Demikian pula, kata dia, organisasi kepemudaan ataupun organisasi politik tidak bisa mengendalikan sepenuhnya para anggotanya setelah lulus agar tidak menjadi koruptor. "Yang terpenting, mari kita sama-sama membenahi keadaan yang ada," kata Nuh.

IRA GUSLINA SUFA | RAFIKA AULIA | ANGGA SUK MA WIJAYA | ISTMAN MP | ANANDA BADUDU | AGUSSUP