Perempuan, Pendidikan dan Pemburuhan

From: Sunny; Date: 2012/5/9

Ririn Handayani* | Jumat, 04 Mei 2012 - 15:48:34 WIB


(
Keadaan ekonomi yang sulit, memaksa banyak perempuan Indonesia mengadu nasib sebagai TKW.

Tren global menunjukkan jumlah pekerja perempuan mengalami peningkatan yang sangat signifikan, namun ironisnya keadaan ini sering kali bertolak belakang dengan kesejahteraan dan perlindungan yang mereka dapatkan.

Data terbaru Bank Dunia menyebutkan bahwa 4 dari 10 pekerja global saat ini adalah perempuan, namun secara rata-rata setiap satu dolar yang dihasilkan laki-laki, perempuan hanya menghasilkan 80 sen.

Ketimpangan pendapatan antara perempuan dan laki-laki ini sangat tidak sebanding dengan tingginya risiko perempuan menjadi korban human trafficking dibandingkan laki-laki. Fenomena ini terlihat sangat jelas pada apa yang menimpa banyak tenaga kerja wanita (TKW) kita dalam percaturan tenaga kerja global saat ini.

Sekitar 4,2 juta perempuan Indonesia atau sekitar 70 persen dari total 6 juta tenaga kerja Indonesia (TKI) bekerja sebagai TKW. Keadaan ekonomi yang sulit, lapangan kerja yang sempit dan tidak adanya akses terhadap permodalan, membuat banyak perempuan Indonesia terpaksa menjadi TKW.

Ironisnya, hanya segelintir dari mereka yang memiliki bekal pendidikan dan keterampilan memadai. Sementara itu, sejumlah besar lainnya tak punya banyak pilihan selain bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga (PRT).

Empat Pemicu Utama

Dari tahun ke tahun, jumlah TKW meningkat cukup signifikan. Jika pada periode 1996 terdapat 44 persen migran laki-laki dan 56 persen migran perempuan dari setiap 100 persen tenaga kerja migran yang meninggalkan Indonesia, pada 2007 jumlah pekerja migran perempuan meningkat menjadi 78 persen, sementara pekerja laki-laki justru menurun menjadi 22 persen (IOM 2010).

Selain karena kemiskinan sebagai akar masalah utama, terdapat sejumlah faktor lain yang turut memicu meningkatnya jumlah TKW. Pertama, akses pendidikan rendah. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menyebutkan, hingga 2010 jumlah perempuan Indonesia yang belum melek huruf mencapai 5 juta lebih.

Sementara itu, data BPS 2009 menunjukkan bahwa sebanyak 75,69 persen perempuan usia 15 tahun ke atas hanya berpendidikan tamat SMP ke bawah, di mana mayoritas perempuan hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat SD, yakni sebanyak 30,70 persen.

Semakin tinggi tingkat pendidikan, persentase partisipasi pendidikan perempuan semakin rendah, yaitu SMA (18,59 persen), Diploma (2,74 persen), dan Universitas (3,02 persen). Angka partisipasi sekolah perempuan memang sudah meningkat dibandingkan persentase angka partisipasi sekolah pria, tetapi itu hanya pada tingkat pendidikan rendah.

Kedua, daya saing rendah. Rendahnya pendidikan dan timpangnya kualitas pendidikan perempuan pada pendidikan tinggi dibandingkan laki-laki menyebabkan daya saing perempuan di dunia kerja juga rendah. Rata-rata proporsi laki-laki dan perempuan secara nasional sekitar 1 : 1.

Tetapi, jumlah angkatan kerja laki-laki kurang lebih 1,5 kali lebih banyak dibandingkan perempuan, di mana pekerja perempuan hanya mengisi sekitar 38,23 persen dari total pekerja di Indonesia. Artinya, masih banyak perempuan yang belum dapat menembus dunia kerja karena lebih sedikit perempuan yang mengenyam pendidikan formal.

Hal ini secara langsung memengaruhi tingkat pendapatan yang diperoleh perempuan. Terdapat 12,44 persen pekerja perempuan yang berpenghasilan bersih Rp 200,000 ke bawah per bulan dibandingkan dengan pekerja laki-laki yang hanya 4,39 persen.

Sementara itu, mayoritas laki-laki memiliki pendapatan di atas Rp 600.000 sekitar 69,29 persen, tetap lebih besar dibandingkan wanita (50,27 persen). Data ini menunjukkan bahwa laki-laki lebih dihargai dengan adanya perbedaan kisaran upah yang ada.

Ketiga, permintaan pasar internasional. Salah satu permintaan pasar internasional terbesar saat ini adalah sektor pekerja rumah tangga (PRT) di mana PRT asal Indonesia merupakan salah satu favorit di banyak negara. Fakta ini membuat Penyedia Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) lebih suka memberangkatkan pekerja migran perempuan daripada laki-laki.

Besarnya permintaan pasar internasional yang dibarengi dengan ketersedian pekerja di dalam negeri yang juga besar membuka sejumlah celah kejahatan yang sangat merugikan TKW. Salah satunya human trafficking atau perdagangan manusia.

Keempat, persepsi sosial masyarakat. Ketiga faktor sebelumnya pada akhirnya memengaruhi persepsi masyarakat tentang tenaga kerja Indonesia (TKI). Bekerja di luar negeri kemudian identik dengan TKW, dan secara lebih spesifik identik dengan PRT.

Akibatnya, perempuan sering dikondisikan dan diprioritaskan untuk menjadi tulang punggung perekonomian keluarga dengan bekerja ke luar negeri sebagai PRT. Seiring dengan feminisasi migrasi internasional ini, bermunculan sejumlah daerah pengirim TKW seperti Subang (Jawa Barat), Wonosobo (Jawa Tengah), dan Blitar (Jawa Timur). Dalam tataran global, Indonesia kemudian juga dikenal sebagai pengirim PRT yang utama.

Memutus Mata Rantai

Keadaan ekonomi yang sulit, lapangan kerja yang sempit dan tidak adanya akses terhadap permodalan, memaksa banyak perempuan Indonesia mengadu nasib sebagai TKW. Salah satu upaya paling efektif untuk memutus mata rantai keadaan ini bisa dimulai dengan memberi akses pendidikan yang seluas-luasnya bagi perempuan Indonesia.

Pendidikan di sini termasuk pembekalan keterampilan dan keahlian yang memungkinkan mereka mengembangkan segenap potensi yang dimiliki.

Langkah selanjutnya adalah memberi akses modal lebih besar bagi perempuan agar mereka lebih berdaya dalam mengentaskan diri dan keluarganya dari kemiskinan tanpa harus bekerja ke luar negeri.

Jika pada akhirnya keadaan tetap memaksa mereka bekerja sebagai TKW, maka yang harus dilakukan pemerintah adalah memberikan perlindungan lebih optimal bagi TKI/TKW dan keluarganya sejalan dengan tujuan ratifikasi Konvensi Buruh Migran Tahun 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarganya yang baru diputus DPR pada 12 April lalu.

*Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu HI Universitas Airlangga.