Membaca «pemimpin sebagai insan yang gentle-agreement» dari sejarah Perjanjian Hudaibiyah

“DENGAN nama Allāh Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Puji sanjung serta selawat kepada rasul-Nya yang suci—saw. serta khaddimnya—sang Masih Yang Dijanjikan.”

:salam: “Semoga Allāh memberikan kedamaian, kasih, dan keberkatan-Nya kepada Anda.”

Gambar diambil dari sini: dnaberita.com.
SEORANG pemimpin itu adalah insan yang gentle-agreement. Ialah orang yang di dalamnya terdapat jiwa yang damai, penuh kasih, dan memberikan keuntungan yang pada akhirnya tidak hanya bagi dirinya sendiri, tapi bagi siapa pun. Ia pandai membaca ruang dan waktu. Ia paham betul dengan segala kondisi dan situasi ada. Ia memiliki kehendak yang tinggi sekali. Pandangannya jauh ke depan melampaui zaman di mana ia hidup saat itu yang kadang sulit dicerna oleh siapa pun. Sehingga, ia berani dan mampu mengambil resiko bagaimanapun besarnya suatu bahaya sebagai sebuah peluang terbaik yang sama besarnya—bahkan lebih.




QS 002:197; mushaf
Ahmadiyah Online lihat di: alislam.org.
«WA atimmu'l-ajja wa'l-‘umrota li'l-Lāh. Fa'in
u
ḥṣirtum famā's-taisaro mina'l-had'y, wa lā
ta
liqū ru'ūsakum attā yablugho'l-had'yu
ma
illahū, famaŋ-kāna miŋkum-marīḍon-aw
bihī adzam-mir-ro'sihī fafid'yatum-miŋ-
ṣiyāmin-aw ṣodaqotin-aw nusuk, fa'idzā
amintum, famaŋ-tamatta’a bi'l-‘umroti ila'l-
ḥajji famā'staysaro mina'l-had
'y,
famal-lam yajid'fa
ṣiyā mutsalātsati ayyāmiŋ-fī'l-
ḥajji wa sab’atin-idzā roja’tum, tilka
‘asyarotuŋ-kāmilah, dzālika limal-lam yakun-
ahluhū ḥāḍiri'l-masjidi'l-ḥarōm[i], wa't-
taqu'l-Lōha wa’lamū anna'l-Lōha syadīdu'l-
‘iqōb[i]»

“DAN sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allāh. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi, jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian, itu[lah] (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan, bertakwalah kepada Allāh. Dan, ketahuilah bahwa Allāh sangat keras siksaan-Nya.” (QS [Al-Baqarah] 2:196; mushaf Depag RI)

“DAN sepurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allāh; tetapi, jika kamu terhalang, maka sembelihlah hewan kurban yang mudah didapat; dan janganlah mencukur kepalamu sebelum hewan kurban sampai ke tempat penyembelihannya. Dan, barangsiapa di antaramu sakit atau ada gangguan sakit di kepala, maka ia harus membayar fidyah dengan puasa, atau sedekah, atau kurban. Maka, apabila kamu telah aman, kemudian siapa yang ingin mengambil faedah mengerjakan umrah bersama-sama dengan ibadah haji, hendaklah ia berkurban yang mudah didapat. Dan barangsiapa tidak mendapatkannya, hendaklah ia berpuasa tiga hari di musim haji dan tujuh hari setelah kamu kembali. Inilah sepuluh hari yang sempurna. Yang demikian itu bagi orang yang keluarganya tidak tinggal dekat Masjidil Haram. Dan, bertakwalah kepada Allāh dan ketahuilah bahwa Allāh keras dalam menghukum.” (QS 2:197; mushaf JAI, 2006)


AYAT di atas berkaitan dengan ibadah haji dan umrah. Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima. Haji diwajibkan bagi kaum Muslimin pada tahun keenam kalender hijriyah. Sebelum itu statusnya merupakan ibadah sunah. Di samping ibadah haji ada ibadah umroh. Kedua-duanya wajib dikerjakan umat Islam, sekali seumur hidup. Tetapi, sebagian ulama berpendapat hanya haji yang wajib, sedangkan umrah hukumnya sunah.

Tentang haji dan umrah memang terdapat sejumlah perbedaan di kalangan ulama. Ada yang berpendapat agar haji dan umrah dilaksanakan secara terpisah pada waktu yang berbeda, artinya tidak dalam satu waktu di bulan haji. Tapi, ada yang berpendapat dapat dilaksanakan sekaligus dalam musim haji. Ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa Hudaibiyah di mana Ḥaḍrat Kanjeng Nabi Muammad—Rasūlu'l-Lāh saw. meniatkan Umrah pada bulan Dzu'l-qo’idah yang baru terlaksana pada bulan tersebut di tahun yang ketujuh sesuai Perjanjian Hudaibiyah. Pada tahun kesepuluh hijriyah, Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. berihram untuk haji-sekaligus-umroh pada bulan Dzu'l-qo’idah. Dan, beliau tidak berumrah lagi setelah itu.

Ada beberapa jenis ibadah haji menurut prosedurnya adalah sebagai berikut:

  1. Ḥajji Tamattu’, ialah melakukan umrah terlebih dahulu pada musim haji, setelah itu melaksanakan ibadah haji. Konsekwensinya adalah harus membayar dam nusuk, yaitu menyembelih seekor kambing. Kalau tidak mampu, berpuasa sepuluh hari: tiga hari di Mekkah sebelum wukuf di Arafah, dan tujuh hari di tanah air. Jika puasa yang tiga hari gagal dilaksanakan di Mekkah disebabkan adanya halangan, maka wajib dirapel di kampung halaman; dengan ketentuan, puasa tiga hari, berselang empat hari lalu puasa tujuh hari.
  2. Haji Ifrad, ialah melakukan haji saja. Umrah, baik wajib maupun sunah dilaksanakan sesudah haji dengan miqat dari Tan’im, Ji’ranah, Hudaibiyah atau daerah tanah halal lainnya (luar kota Mekkah). Cara ini tidak dikenakan dam.
  3. Haji Qiran, yaitu mengerjakan haji dan umrah dalam satu niat dan satu pekerjaan sekaligus. Cara ini wajib membayar dam nusuk yang pelaksanaannya sama dengan Hajji Tamattu’.

Adapun syarat wajib haji ialah: Islam; Baligh (dewasa); Berakal sehat; Merdeka (bukan budak); dan, Mampu (Istita’ah). Artinya, kalau tidak memenuhi lima syarat itu, orang belum wajib haji/umrah.

Sedangkan rukun haji adalah: Ihram (niat); Wuquf di Arafah; Tawaf Ifadah; Sa’I; Tahallul; Tertib.

Adapun wajib haji, ialah: Ihram haji dari miqat; Mabit di Muzdalifah; Mabit di Mina; Melontar Jumrah; Menghindari muharramat dalam ihram; dan, Tawaf Wada’ bagi yang akan meninggalkan Mekkah.

Ini hanyalah pokok-pokok dari ketentuan haji sebagai penafsiran baku dari kalimat, “Wa atimmu'l-ajja wa'l-‘umrota li'l-Lāh”—“Dan sepurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allāh.” Untuk kelengkapannya sudah ada terdapat pada buku-buku cara melakukan ritual haji yang lebih detail.

Tentang kalimat “Fa'in uḥṣirtum”—“jika kamu terkepung”, ini berkaitan dengan peristiwa Hudaibiyah ketika sekitar seribu empat ratus jemaah umrah Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. memasuki Ka’bah Baitullah tertahan di Hudaibiyah karena dihalangi kaum Quraisy Mekkah. Tetapi, ayat ini memberlakukan kondisi terkepung bagi semuanya dalam pengertian situasi darurat yang menghalangi kaum Muslim sampai ke Baitullah. Sehingga, dibenarkan menyembelih kurban yang mudah didapat, seperti kambing.

Di Hudaibiyah, Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. menyembelih seekor unta untuk tujuh orang, dan Rasulullah telah menyembelih tujuhpuluh ekor unta yang memang telah dipersiapkan sejak dari Madinah, setelah itu beliau bertahalul. Ini artinya penyembelihan kurban dilakukan di luar tanah haram, akibat pengepungan yang dilakukan Quraisy Mekkah terhadap Rasūlu'l-Lāh saw. dan kaum Muslim di Hudaibiyah.

Tentang kalimat, “Famaŋ-kāna miŋkum-marīḍon-aw bihī adzam-mir-ro'sihī fafid'yah”—dan seterusnya—yang artinya,  “Barangsiapa di antaramu sakit atau ada gangguan sakit di kepala, maka ia harus membayar fidyah…”, terdapat sebab mengapa ayat ini turun. Sebagaimana diterangkan hadis riwayat Imām Bukhārī r.h. dengan sanadnya yang sampai pada Ḥaḍrat ‘Abdu'l-Lāh bin Ma’qil dan Ḥaḍrat Ka’ab bin Uzrah—r.a., yang menerangkan:

Ka’ab berkata, “Saya dibawa oleh seseorang menghadap Nabi saw.. Sementara itu, kutu berkeliaran di wajahku dari kepalaku.

“Maka, Nabi saw. bersabda, ‘Saya belum pernah melihat penderitaan seperti yang Anda alami. Apakah Anda punya domba?’

Ka’ab menjawab, “Tidak.”

Lalu Nabi saw bersabda, “Berpuasalah tiga hari, atau memberi makan enam orang miskin, kemudian cukurlah kepala Anda.”

Inilah perluasan makna ‘terkepung’ menjadi darurat umum yang menyangkut pula suatu penyakit.

Empat mazhab—Syafi’i, Hambali, Maliki, dan Hanafi—bersepakat tentang pengertian ini. Dan berfidyah dengan berpuasa, memberi makan enam orang miskin, atau berkorban seekor kambing yang disedekahkan bagi kaum miskin—ketiga pilihan itu ‘sah dan mencukupi’. Sabda Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw., “Sembelihlah domba, atau berilah makan enam orang miskin, atau berpuasalah tiga hari. Semuanya itu adalah bagus dalam kedudukannya masing-masing.”

Ini adalah ketentuan rukhṣoh (yang meringankan).

Dalam hal pilihan di atas, jika dimungkinkan, penyembelihan kurban dilakukan di ‘tanah haram’, sedangkan puasa dan sedekah untuk orang miskin dapat dilakukan di ‘tanah halal’ di mana saja. Buku sejarah Islam klasik, Hisyām, menerangkan hal ini.


PERJANJIAN HUDAIBIYAH. Keadaan sungguh menegangkan ketika para Sahabat Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. yang berada di Hudaibiyah mendengarkan kalimat-kalimat yang nyata dari isi Perjanjian tersebut.

Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. memerintahkan Ḥaḍrat ‘Alī bin Abi Ṭālib r.a. yang bertindak sebagai sekretaris nabi, agar memulai naskah perjanjian dengan kalimat “Bismi'l-Lāhi'r-ramāni'r-raḥīm.”

Suail, wakil penguasa Quraisy Mekkah, langsung menolak.

“Kami tidak mengenal atribut tuhan seperti itu. Tuliskanlah ‘Dengan nama-Mu, wahai Allāh!’.”

Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. menyetujuinya. Sedangkan, kaum Muslim di Hudaibiyah demikian terperanjat. Beliau saw. menyuruh Ḥaḍrat Ali r.a. mengubah kalimat basmalah dengan apa yang diminta oleh Suail.

Kalimat berikutnya adalah, “Di bawah ini adalah hal-hal yang Muammad-Rasūlu'l-Lāh sepakati dengan Suail bin ‘Amr.”

Kembali Suail ‘ngotot menolak susunan kalimat itu. Terutama istilah: Rasūlu'l-Lāh.

Kata Suail, “Jika saya mengakui bahwa Anda adalah rasul Allāh, saya tidak akan berperang dengan Anda.”

Argumen yang masuk akal. Ḥaḍrat ‘Alī r.a. yang telah menuliskan kata-kata ‘Rasul Allāh’ mengatakan tidak dapat menghapuskan.

Akan tetapi, kaum Muslim demikian terhenyak, ketika Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. meminta perkamen itu dari tangan Ḥaḍrat ‘Alī r.a., dan menghapuskan sendiri kata-kata “rasul Allāh” itu.

Kemudian, Rasūlu'l-Lāh saw. melanjutkan kalimatnya, “Ini adalah hal-hal yang telah disetujui Muammad bin ‘Abdu'l-Lāh dengan Suail bin ‘Amr.”

Sungguh, ini adalah ujian keimanan yang sangat berat bagi kaum Muslim. Bukan hanya hal-hal yang menyangkut persoalan politik dan ekonomi yang bersifat mendasar. Tetapi, simbol-simbol yang paling sakral dalam keimanan umat Islam, yaitu “Allāh” dan “rasul Allāh”, direndahkan dalam penulisan Perjanjian Hudaibiyah.

Namun, Nabi saw. tengah mengupayakan bentuk penyelesaian ‘politik damai’ dalam menghadapi para aristokrat Mekkah, agar dapat dicapai suatu rekonsiliasi sosial sesudahnya. Hal yang akan sangat penting artinya bagi pengembangan Islam ke depan. Inilah kejeniusan yang melampaui zamannya, sehingga sulit dicerna di kalangan para Sahabat Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. kala itu.

Di tengah-tengah perundingan yang sulit itu, tiba-tiba muncul Ḥaḍrat Abu Jundal r.a., putra Suail yang telah beragama Islam dan selama ini dipenjarakan di rumahnya sendiri oleh ayahandanya agar tidak bergabung dengan Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw.. Abu Jundal r.a. berhasil lolos dan segera ke Hudaibiyah, masih dengan menyeret rantai belenggunya dengan harapan dapat bergabung dengan Rasūlu'l-Lāh saw..

Pada saat itu perjanjian telah ditandatangani. Suail menuntut agar Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. menjalankan isi perjanjian itu secara konsekwen terhadap kasus anaknya. Para Sahabat dan kaum Muslim di Hudaibiyah jelas menginginkan Rasūlu'l-Lāh saw. tidak mengkhianati Ḥaḍrat Abu Jundal r.a. dengan menyerahkan kembali kepada ayahandanya untuk mengalami penghinaan dan perendahan martabatnya sebagai Muslim.

Tetapi, Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. menunjukkan sikap seorang pemimpin yang “gentlement-agreement”, yang setia dan konsekwen terhadap perjanjian, dan mempertaruhkan kehormatannya dengan melaksanakan isi perjanjian itu. Maka, ia menyerahkan kembali Ḥaḍrat Abu Jundal r.a. kepada ayahandanya, artinya menolak Abu Jundal r.a. untuk melakukan hijrah tanpa seizin ayahnya.

Ketika ayahnya memukul wajahnya dan menyeretnya kembali ke Mekkah, Ḥaḍrat Abu Jundal r.a. memprotes sikap Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw., “Apakah saya akan dikembalikan kepada berhala kemusyrikan yang akan membujukku meninggalkan Islam, wahai orang Islam?”

Mungkin, demikianlah keadaan hati para Sahabat dan kaum Muslim di Hudaibiyah yang sedemikian rupa terhadap sikap Rasūlu'l-Lāh saw.. Namun, tentang kasus Ḥaḍrat Abu Jundal r.a., ini menjadi ujian pertama bagi pelaksanaan Perjanjian Hudaibiyah tersebut.

Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. bersabda, “Wahai Abu Jundal. Bersabarlah dan kendalikan dirimu. Karena Tuhan akan memberikan kelonggaran dan cara meloloskan diri bagimu dan bagi Anda yang tidak berdaya. Kami telah berdamai dengan mereka, dan kami telah mendesakkan ‘nama Allāh’ dalam perjanjian dengan mereka. Kita tidak mungkin melakukan kesalahan.”

Sabda Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. tersebut, sangat mendamaikan Ḥaḍrat Abu Jundal r.a. dan kaum Muslim di Hudaibiyah. Meski demikian, sejumlah Sahabat, bahkan termasuk Ḥaḍrat ‘Umar bin Khaṭṭab r.a., pada awalnya menilai, ini merupakan langkah perdamaian “yang tidak terhormat”. Namun, itu menjadi wujud dan buah dari pengorbanan serta keitaatan yang tiada tara yang diteladankan mereka untuk kita. Sejarah membuktikan bahwa perkembangan politik sesudah itu telah memperkokoh kedudukan politik Ḥaḍrat Rasūlu'l-Lāh saw. dalam konstelasi Arabia masa tersebut.

Perjanjian Hudaibiyah memberikan peluang terbesar bagi beliau dan umat Islam untuk memenangkan semuanya dengan jalan damai. Futuh Mekkah tanpa pertumpahan darah, tahun 630 masehi, adalah awalnya disusul sebuah rekonsiliasi besar dan terbuka bagi seluruh Arabia dengan mainstream Islam yang “ramatan lil-‘ālamīn”, yang kemudian terbukti menjadi modal terpenting bagi kemenangan Islam di seluruh dunia pada abad-abad berikutnya. Allāhu akbar![] (HAM; PTUW20080104; RA—20120521)