Ke Mana Militer Akan Bergerak?

From: Sunny; Date: 2012/5/9

http://www.shnews.co/detile-1480-ke-mana-militer-akan-bergerak.html

Ke Mana Militer Akan Bergerak?

M Bachtiar Nur | Senin, 07 Mei 2012 - 16:15:39 WIB



(dok/antara) "Keterlibatan militer dalam sejumlah aksi baru simtom."

 

BENTROKAN antara mahasiswa dan polisi pecah di depan Stasiun Gambir, akhir Maret lalu. Sejumlah mahasiswa menyelamatkan diri ke Kompleks Angkatan Darat (AD), di belakang Gereja Imanuel, Jakarta Pusat.


Tak dinyana, di sana mereka mendapatkan perlakuan istimewa. Bukannya diserahkan kepada polisi, para mahasiswa itu justru dilindungi. Bahkan, anggota militer yang sedang berjaga menolak menyerahkan mahasiswa kepada polisi. Akhirnya, polisi kembali dengan tangan kosong.


Di Makassar, seorang anggota TNI ditangkap aparat kepolisian karena dianggap sebagai provokator. Ia tampak berdiri di antara kerumunan mahasiswa dan kemudian melempar batu ke arah polisi.

Tadinya, polisi mencokoknya karena dianggap mahasiswa biasa. Namun, belakangan polisi tahu, ia adalah anggota militer. Oleh karena itu, mereka mengembalikannya ke kesatuan TNI AD. Sejumlah aktivis menyebut kejadian itu sebagai "kolaborasi" antara mahasiswa dan prajurit miskin.


Belakangan, ketika aksi massa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menyurut, aksi geng motor muncul. Meski peristiwa itu tidak diketahui keterkaitannya secara langsung, aksi itu sempat membuat ketakutan.


Belakangan diketahui, pelaku tindakan brutal di minimarket 7-eleven adalah tentara. Mereka kemudian diproses POM TNI. Namun, Pangdam Jaya Mayjen Waris sempat menyebut, "Jenderal A", terlibat kasus itu, sekalipun akhirnya dibantah kembali.


Melihat kejadian itu, orang mulai berpikir, apakah militer akan kembali menggunakan gerakan massa untuk mengambil kekuasaan, seperti pada masa sebelumnya? Aksi massa secara radikal memang terjadi di mana-mana, melibatkan sektor tani, buruh, dan kaum miskin kota. Tokoh media massa Aristides Katoppo melihat hal itu hanya simtom, tidak bisa disebut militer mulai masuk ke dalam gerakan politik.


Pendapat itu setidaknya dibenarkan Kepala Pusat Komunikasi (Kapuskom) Publik Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Brigjen Hartind Asrin. Ia yakin TNI tidak akan terlibat dalam politik. Ketegasan dan kenetralan itu juga harus ditunjukkan meskipun mantan atasannya yang telah menjadi purnawirawan masuk partai tertentu. 


"TNI tidak akan berpolitik. Purnawirawan bisa berpolitik jika telah menjadi sipil," katanya. Pengawasan akan dilakukan di jajaran masing-masing. "Pengawasan dilakukan langsung oleh jajaran TNI," ujarnya lagi.


Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jaleswari Pramodhawardhani, juga yakin akan hal itu. "Tidak mungkin. Jika terjadi ia akan menabrak UU TNI, Pertahanan, dan juga paradigma TNI yang dicetuskan di awal Reformasi. Terlalu banyak ongkos politik dan ekonomi yang akan dikeluarkan," katanya.


Ia juga menyangkal adanya agenda setting di dalam tubuh TNI untuk terlibat aksi massa. "Saya tidak yakin soal konspirasi semacam itu. Yang sudah sering saya katakan adalah: kita ada persoalan dalam memandang konsep keamanan nasional kita, termasuk mengatur TNI-Polri dalam tugas-tugasnya," katanya.


TNI akan berhitung untuk tidak merusak pencapaian selama ini dengan melakukan pengamanan terkait kepentingan politik tertentu, seperti halnya yang terjadi di Orde Baru (Orba).


Sejumlah aktivis juga menilai militer belum mengarah pada pergerakan seperti 1998. "Saya belum melihat ada keseriusan kaum prajurit untuk mendukung perjuangan rakyat, walaupun di sana-sini sudah banyak jenderal yang kritis terhadap keadaan sekarang. Justru kita akan terus menagih sumpah setia Sapta Marga kaum prajurit pada Tanah Air, UUD 1945, dan Pancasila," katanya.



Elemen Kritis


Namun, pendapat berbeda diutarakan aktivis gerakan mahasiswa 1998, Ricky Tamba. Menurutnya, saat ini, sudah ada elemen-elemen kritis dari kalangan militer yan bergerak secara diam-diam mendukung gerakan rakyat. Dari berbagai kasus sudah terlihat dukungan para prajurit pada gerakan rakyat.


Ketua Umum PRD Agus Priyono berpendapat, militer harus mulai berpikir untuk memihak siapa. Hal ini mengingat gerakan perubahan tidak bisa dihentikan. Dengan demikian, militer punya pilihan, yakni menjadi pelopor atau sekadar menunggangi seperti pada 1998.


Keikutsertaan militer dalam perubahan itu bisa dilihat di Venezuela. Perubahan itu dipimpin seorang militer, Hugo Chavez. Di Filipina perubahan dipelopori Reform Arm Forces Movement (RAM) yang dipimpin Kolonel Gregory Honassan, Jenderal Juan Enrile dan Jenderal Ramos, lewat percobaan kudeta yang dikombinasikan dengan perjuangan parlementer.


"Di Indonesia sendiri, Jenderal Soeharto sudah memberikan contoh bagaimana merebut kekuasaan dari tangan Soekarno melalui kudeta pada 1965. Walaupun perubahan yang terjadi adalah set-back, kontra-revolusi. Prajurit Indonesia tinggal pilih apakah jadi seperti Soeharto, atau Honassan, atau bahkan revolusioner seperti Chavez," katanya.


Anggota Komisi I Fraksi PDI Perjuangan Tubagus Hasanuddin mengakui TNI berpeluang masuk kembali ke politik, jika demokrasi tidak bisa menghasilkan hal-hal yang menyangkut kepentingan rakyat. Namun, menurutnya, gerakan itu melalui cara masuk ke parlemen. "Rakyat rindu dengan masa lalu yang aman dan punya kepastian walau terbelenggu," katanya.


Potensi lain yang membuka pintu bagi TNI berpolitik adalah kekacauan yang muncul akibat ketidakmampuan politikus sipil menjaga perdamaian. Hingga akhirnya ada di titik rakyat meminta TNI kembali masuk untuk memperjuangkan hak-hak rakyat yang terbelenggu.


"Dan kemudian rakyat meminta TNI masuk," tuturnya. Tanda TNI bisa masuk dalam politik terefleksi dari kegamangan para politikus yang sudah tidak percaya diri lagi. Ini ditandai dengan adanya partai politik yang mengajak atau menarik mereka masuk untuk memperkuat posisi partai.


"Nah, semua tanda-tanda itu sekarang sedang bergulir," ujarnya.

Fenomena ini juga terjadi di negara lain. Pengamat militer Cornelis Lay mengatakan, keterlibatan purnawirawan ke dalam politik sangat mungkin terjadi karena mereka telah menjadi sipil.


Namun, Direktur Imparsial Poenky Indarti berpendapat, keterlibatan mereka dalam politik praktis tetap berbahaya. Sebagai seorang purnawirawan, mereka memiliki akar kuat terhadap mantan-mantan bawahannya. Kondisi ini yang mengakibatkan tidak tertutupnya kemungkinan penggunaan ataupun pemberian tugas terhadap bawahannya yang masih aktif untuk turut mengamankan atau memperlancar kepentingan parpol yang dibela.

Adanya superkomando dalam bentuk formal dan informal (ketokohan) termasuk jaringan, tentunya akan membuat purnawirawan menjadi kartu truf tersendiri bagi parpol untuk dapat menggerakkan massa, bahkan tidak tertutup kemungkinan menyertakan anggota TNI aktif.[] (Web Warouw/Ninuk Cucu Suwanti)


(Sinar Harapan)