Islam dan Gender; by Ibu Siti Musdah Mulia; {BahanaMahasiswa.com};


http://bahanamahasiswa.com/opini/794-islam-dan-gender.html

Oleh Siti Musdah Mulia
  
Rabu, 02 Mei 2012 13:16













SITI MUSDAH MULIA

Professor Riset bidang Lektur Keagamaan dan Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.




Beda Seks dan Gender


UNTUK konteks Indonesia, setidaknya sepuluh tahun terakhir, perbincangan tentang gender sudah semakin merebak. Sayangnya, dari berbagai pengamatan, ternyata pemahaman masyarakat tentang konsep gender masih rancu. Fatalnya, kesalahpahaman tersebut bukan hanya terjadi di kalangan awam, melainkan terjadi juga di kalangan terpelajar, termasuk para pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, dan pemuka agama.
Masalahnya, istilah gender seringkali dirancukan dengan istilah seks atau jenis kelamin, dan lebih rancu lagi, gender diartikan dengan jenis kelamin perempuan. Begitu disebut gender, yang terbayang adalah sosok manusia dengan jenis kelamin perempuan, padahal, istilah gender mengacu pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Salah satu faktor yang menyebabkan ketidakpahaman tersebut adalah bahwa dalam bahasa Indonesia kata gender diartikan sama dengan seks, yakni jenis kelamin. Sebenarnya arti ini kurang tepat, tetapi sampai sekarang belum ditemukan kosa kata bahasa Indonesia yang tepat untuk itu, jadi digunakan istilah jender, yang merupakan transkrip dari kata Inggris “gender”. Namun, dalam banyak tulisan tetap dipakai bentuk aslinya, yaitu gender.

Di dalam Women`s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Karena itu, penting sekali memahami terlebih dahulu perbedaan antara jenis kelamin (sex) dan gender. Jenis kelamin (sex) dibedakan berdasarkan faktor-faktor biologis hormonal dan patologis sehingga muncul dikotomi laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin laki-laki ditandai dengan adanya penis, testis, dan sperma, sedangkan perempuan mempunyai vagina, payudara, ovum, dan rahim. Perbedaan biologis tersebut bersifat kodrati, atau pemberian Tuhan, dan tak satupun yang dapat mengubahnya.

Boleh jadi, dewasa ini akibat kemajuan teknologi, seseorang dimungkinkan mengubah jenis kelaminnya, tetapi betapapun perubahan itu tidak sampai mengubah fungsinya. Diciptakannya makhluk dengan jenis kelamin berbeda, sesungguhnya dimaksudkan untuk saling melengkapi, saling menghormati, dan saling mengasihi agar tercipta kehidupan damai dan bahagia.
Konsep gender mengacu kepada seperangkat sifat, peran, tanggung jawab, fungsi, hak dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Timbullah dikotomi maskulin (laki-laki) dan feminin (perempuan). Di masyarakat, laki-laki selalu digambarkan dengan sifat-sifat maskulin, seperti perkasa, berani, rasional, keras dan tegar.

Sebaliknya, perempuan digambarkan dengan sifat-sifat feminin, seperti lembut, pemalu, penakut, emosional, rapuh, dan penyayang. Fatalnya, sifat-sifat maskulin selalu dinilai lebih baik daripada sifat-sifat feminin. Lebih fatal lagi, bahwa maskulinitas dan feminitas tersebut dianggap sebagai hal yang kodrati, padahal sesungguhnya merupakan hasil konstruksi sosial. Dalam teori psychology diajarkan bahwa setiap manusia dalam dirinya memiliki unsur-unsur maskulinitas dan feminitas. Pertumbuhan unsur-unsur tersebut dalam diri manusia sangat dipengaruhi oleh pola asuh di masa kecil, nilai-nilai tradisi yang dianut di masyarakat, sistem pendidikan di sekolah formal dan juga dari interpretasi ajaran agama.

Gender bukan kodrat. Buktinya, dalam realitas sosiologis di masyarakat ditemukan tidak sedikit laki-laki yang memiliki sifat feminin, seperti penakut, emosional, pemalu, lemah, dan lembut. Sebaliknya, cukup banyak perempuan yang maskulin, dia kuat, berani, perkasa, pantang menyerah, rasional, dan sangat tegar. Dengan ungkapan lain, sifat-sifat tersebut bukanlah kodrati, melainkan dapat berubah dari waktu ke waktu dan juga berbeda antara suatu daerah dan daerah lain.
Ringkasnya, masyarakatlah yang membentuk laki-laki menjadi maskulin, dan perempuan menjadi feminin. Sejak masih dalam kandungan sampai tua renta, bahkan sampai ke liang kubur, laki-laki diperlakukan sedemikian rupa agar mereka terbentuk menjadi makhluk yang superior, hal yang sebaliknya diperlakukan pada perempuan sehingga mereka menjadi inferior. Bentukan ini dibakukan sedemikian rupa melalui berbagai norma tradisi, adat, budaya, dan hukum, bahkan juga agama sehingga seolah-olah semuanya itu merupakan kodrat atau pemberian Tuhan yang harus diterima apa adanya, dan tidak boleh dipertanyakan lagi.


Islam Membawa Ajaran Luhur dan Ideal, Khususnya dalam Relasi Gender


SEBAGAI perempuan Muslim saya yakin sepenuhnya bahwa Islam adalah agama ideal dan sangat sempurna. Ajarannya mencakup semua tuntunan luhur bagi kehidupan manusia di muka bumi dalam semua bidang kehidupan. Tujuan Islam tidak lain agar manusia selamat dan bahagia dalam kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Saya sangat percaya Islam menjanjikan harapan hidup yang lebih baik kepada semua manusia tanpa membedakan ras, suku, bangsa, warna kulit, jenis kelamin, dan gender: laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, Islam paling vokal bicara soal keadilan dan persamaan antar manusia, termasuk di dalamnya persamaan antara perempuan dan laki-laki.
Sejarah Islam awal menunjukkan secara konkret betapa Rasul telah melakukan perubahan radikal terhadap posisi dan kedudukan perempuan dalam masyarakat Arab jahiliyah abad ke-7 M. Rasul mengajarkan keharusan merayakan kelahiran bayi perempuan di tengah tradisi Arab yang memandang aib kelahiran bayi perempuan.

Rasul memperkenalkan hak waris bagi perempuan di saat perempuan diperlakukan hanya sebagai obyek atau bagian dari komoditas yang diwariskan. Rasul menetapkan pemilikan mahar sebagai hak penuh perempuan dalam perkawinan pada saat masyarakat memandang kepemilikan mahar adalah hak monopoli para wali dari mempelai perempuan.

Rasul melakukan koreksi total terhadap praktek poligami yang biadab dan sudah mentradisi dengan mencontohkan perkawinan monogami yang bahagia bersama Khadijah, perempuan yang sangat dihormatinya. Bahkan, sebagai ayah, Rasul melarang anak perempuannya, Fatimah dipoligami. Rasul memberi kesempatan kepada perempuan menjadi imam shalat, dikala masyarakat memandang posisi pemimpin ritual adalah hak mutlak laki-laki.

Rasul mempromosikan posisi ibu yang sangat tinggi, bahkan derajatnya lebih tinggi tiga kali dari ayah, di tengah masyarakat hanya memandang ibu sebagai mesin produksi. Rasul menempatkan isteri sebagai mitra sejajar suami di saat masyarakat memandangnya sebagai obyek seksual belaka.
Fakta historis tersebut melukiskan secara terang-benderang bahwa Rasul melakukan perubahan yang sangat revolusioner terhadap posisi dan kedudukan kaum perempuan. Rasul mengubah posisi dan kedudukan perempuan dari obyek yang dihinakan dan dilecehkan menjadi subyek yang dihormati dan diindahkan. Mengubah posisi perempuan yang subordinat, marjinal dan inferior menjadi mitra yang setara dan sederajat dengan laki-laki.

Rasul memproklamirkan keutuhan kemanusiaan perempuan setingkat dengan laki-laki. Keduanya sama-sama ciptaan Tuhan, sama-sama manusia, sama-sama berpotensi menjadi khalifah fi al-ardh (pengelola kehidupan di bumi), dan juga sama-sama berpotensi menjadi fasad fi al-ardh (perusak di muka bumi). Nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan sama, tidak ada perbedaan sedikit pun. Karena itu, tugas manusia hanyalah ber-fastabiqul khairat (berlomba-lomba berbuat terbaik) demi mengharapkan ridha Allah swt.

Sayangnya, ajaran luhur yang diperkenalkan Rasul itu tidak bertahan lama. Umat Islam sepeninggal Rasul kembali mempraktekkan tradisi jahiliyah sebelumnya, di samping juga kemudian mengadopsi budaya feodal dan nilai-nilai patriarki yang hidup di wilayah-wilayah di mana umat Islam mengembangkan kekuasaan politiknya, seperti Persia, Byzantium, India, Mesir sampai ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Perlu diketahui bahwa ajaran Islam terpola kepada ajaran dasar dan non-dasar. Ajaran dasar berupa teks-teks suci dalam Al-Qur`an dan Sunnah mutawatir yang diyakini datang dari Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, ajaran non-dasar ialah ajaran berupa hasil ijtihad manusia dalam bentuk tafsir, interpretasi atau pemikiran ulama yang menjelaskan tentang ajaran dasar dan implementasinya dalam kehidupan nyata. Ajaran dasar selalu bersifat absolut, abadi, dan tidak berubah. Sebaliknya ajaran non-dasar bersifat ijtihadi, relatif, tidak abadi dan bisa berubah seiring dengan tuntutan dinamika masyarakat, serta perkembangan sains dan teknologi.

Ajaran Islam yang menyinggung soal relasi gender, seperti perkawinan, pewarisan, hubungan keluarga, etika berbusana, kepemimpinan masuk dalam kategori kedua, ajaran non-dasar, sehingga lebih banyak bersifat ijtihadi.Untuk itu, diperlukan pembacaan ulang dan upaya-upaya rekonstruksi atas hasil ijtihad atau penafsiran lama yang dinilai bias gender dan bias nilai-nilai patriarki. Penafsiran baru atas teks-teks keagamaan mendesak dilakukan untuk menemukan kembali pesan-pesan keislaman yang hakiki dan universal, seperti pesan persamaan, persaudaraan, kebebasan, kesetaraan dan keadilan, termasuk di dalamnya kesetaraan dan keadilan gender.

Al-Qur`an, kitab suci umat Islam, sebagaimana halnya kitab-kitab suci agama lain, diturunkan dalam suatu lingkup masyarakat yang tidak hampa budaya. Karena itu, isinya memiliki dimensi kemanusiaan, di samping dimensi keilahian. Diyakini teks-teks Al-Qur`an sarat dengan muatan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan ideal.

Dalam konteks relasi gender Al-Qur’an berisi seperangkat nilai yang memberikan landasan bagi kesetaraan dan kesederajatan laki-laki dan perempuan. Al-Qur`an mengakui ada perbedaan secara biologis di antara perempuan dan laki-laki, namun perbedaan itu bukan dimaksudkan untuk mengistimewakan yang satu dan menghinakan lainnya. Perbedaan itu untuk melengkapi satu sama lain sehingga keduanya dapat hidup bersama dalam damai dan harmoni, saling mengasihi, saling mencintai, dan saling menghormati.

Nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan adalah sama. Perbedaan di antara manusia hanya terletak pada kualitas takwanya, dan soal takwa, Tuhan belaka yang berhak menilai, bukan manusia.

Secara normatif Al-Qur`an melukiskan figur ideal seorang perempuan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian dalam berbagai bidang kehidupan, terutama kemandirian dalam bidang politik (al-istiqlal al-siyasah), seperti figur Ratu Bulqis. Al-Qur`an menyebutnya sebagai pemimpin kerajaan superpower ('arsyun 'azhim) yang dikenal dengan kerajaan Saba'.3

Bahkan, Al-Qur'an menghimbau perempuan agar berani menyampaikan kebenaran,4sekalipun harus menentang pendapat publik (public opinion),dan berani melakukan gerakan "oposisi" terhadap pemerintah yang tiranik. Perempuan harus mandiri dalam menentukan pilihan pribadi (al-istiqlal al-syakhshi) yang diyakini kebenarannya sekalipun berbeda dengan pandangan suami.Ringkasnya, dalam jaminan Al-Qur'an, perempuan dengan leluasa memasuki semua sektor kehidupan di ranah publik, seperti politik, ekonomi, dan sosial.

Hanya saja ketika ajaran yang ideal dan suci itu turun ke bumi dan berinteraksi dengan beragam budaya manusia, tidak mustahil terjadi distorsi dalam penafsirannya. Demikianlah yang terjadi dengan ajaran Islam yang berbicara soal relasi gender. Pemahaman yang distortif itu muncul, karena beberapa faktor.

Di antaranya: karena pemaknaan ajaran agama yang sangat tekstual sehingga mengabaikan aspek kontekstualnya; karena perbedaan tingkat intelektualitas manusia yang menafsirkannya; dan karena pengaruh latar belakang sosio-kultural dan sosio-historis manusia yang menafsirkannya.

Dalam konteks ajaran tentang posisi perempuan, disimpulkan paling tidak ada tiga alasan yang menyebabkan munculnya pemahaman keagamaan yang tidak ramah perempuan atau bias gender. Pertama, pada umumnya umat Islam lebih banyak memahami agama secara dogmatis, bukan berdasarkan penalaran yang kritis dan rasional, khususnya pengetahuan agama yang menjelaskan peranan dan kedudukan perempuan.

Tidak heran jika pemahaman yang muncul adalah sangat ahistoris. Relasi gender dipandang sebagai sesuatu yang given, bukan socially constructedKedua, pada umumnya masyarakat Islam memperoleh pengetahuan keagamaan melalui ceramah dari para ulama–yang umumnya sangat bias gender dan bias nilai-nilai patriarkhal-bukan berdasarkan kajian kritis dan mendalam terhadap sumber-sumber aslinya (Al-Qur`an dan Sunnah). Ketiga, pemahaman tentang relasi laki-laki dan perempuan di masyarakat lebih banyak mengacu kepada pemahaman tekstual terhadap teks-teks suci, mengabaikan pemahaman kontekstualnya yang lebih mengedepankan prinsip egaliter dan akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Agama bukan hanya sekedar tumpukan teks, melainkan seperangkat pedoman ilahiah yang diturunkan demi kebahagiaan dan kemaslahatan seluruh manusia: perempuan dan laki-laki.


Relasi Gender Dalam Realitas Empiris


BERBEDA dengan ajaran normatif yang dipaparkan terdahulu, realitas empiris sosiologis di lingkungan masyarakat Muslim menjelaskan secara nyata betapa perempuan masih mengalami diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan. Ironisnya, hampir semua perlakuan destruktif itu dibenarkan dengan alasan agama.

Buktinya sangat kasat mata. Lihatlah, atas nama Islam, perempuan tidak diakui sebagai manusia utuh sehingga mereka tidak berhak merepresentasikani dirinya sendiri dalam akad nikah. Bahkan, dalam beberapa kasus di pesantren, puteri kyai dinikahkan secara paksa, atau dinikahkan tanpa sepengetahuannya.Perempuan juga tidak berhak menjadi wali dan saksi dalam perkawinan, meski terhadap anak kandung yang dibesarkan sendirian dengan penuh duka lara.

Atas nama agama, perempuan dilarang berkiprah di dunia politik dan juga dilarang menjadi pemimpin karena jika terpilih menjadi kepala negara dikhawatirkan akan membawa bencana dalam kehidupan bangsa. Bahkan, di lingkup rumah tangga saja perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.

Sebab, kepemimpinan dalam keluarga adalah hak monopoli laki-laki. Atas dalih agama, perempuan dipandang makhluk kotor sehingga harus dienyahkan dari rumah ibadah ketika menstruasi dan nifas, dan sama sekali tidak diberikan akses untuk memimpin ritual agama. Atas nama agama, perempuan dipojokkan sebagai makhluk domestik, hanya berkutat seputar sumur, kasur dan dapur.

Atas nama agama, perempuan dijauhkan dari peluang mendapatkan pendidikan tinggi, meniti karir dan beraktivitas secara profesional di ruang publik karena perempuan dianggap kurang akal dan lemah agamanya.

Atas nama agama, perempuan harus menjadi isteri yang taat pada suami dengan memuaskan birahi mereka kapan saja dibutuhkan; perempuan harus rela jika suami berpoligami karena kerelaannya itu menjadi pintu menuju sorga; perempuan harus menjadi ibu yang harus sabar merawat anak-anaknya; dan perempuan harus selalu menjaga nama baik diri dan keluarganya, serta harus menjadi penyangga moral demi kebaikan seluruh masyarakat.

Atas nama agama, perempuan selalu diposisikan sebagai obyek hukum dalam seluruh peraturan perundang-undangan, khususnya berkaitan dengan hukum keluarga.

Atas nama agama, perempuan dipandang sebagai makhluk setengah laki-laki sehingga mendapatkan warisan setengah dari jumlah yang diterima laki-laki; jumlah kambing untuk akikah anak perempuan setengah dari jumlah kambing untuk anak laki-laki; persaksian dua perempuan dinilai setara dengan persaksian satu laki-laki dan seterusnya; dan mahar selalu dimaknai sebagai harga tubuh perempuan.

Jika keadilan dan persamaan merupakan nilai-nilai dasar yang diajarkan Islam, sebagaimana dikhotbahkan oleh para pemuka agama, lalu mengapa perempuan diperlakukan secara diskriminatif dalam masyarakat Muslim? Potret buram tentang perempuan tersebut, melahirkan resistensi masyarakat, khususnya kelompok perempuan terhadap upaya-upaya formalisasi syariat Islam.

Sebab, dalam konteks perempuan, implementasi syariat Islam selalu dimaknai sebagai kembali merumahkan perempuan; kembali ke ajaran domestifikasi perempuan; kembali meneguhkan subordinasi perempuan.


Mewujudkan Pemikiran Islam Ramah Perempuan


UPAYA-upaya rekonstruksi pemikiran Islam bukan hal baru dalam sejarah Islam, Bahkan, rekonstruksi pemikiran Islam tentang perempuan mulai dikenal sejak akhir abad ke-19. Upaya tersebut berjalan seiring dengan mencuatnya pemikiran Islam modern yang diusung para intelektual Muslim.

Diantaranya dapat disebutkan nama-nama berikut. Rif’ah Badawi al-Tahtawi (1801-1873) menekankan pentingnya perempuan memperoleh pendidikan setara dengan laki-laki. Lalu diikuti Muhammad 'Abduh (1849-1905) yang bicara secara tegas soal bahaya poligami dalam kehidupan sosial.Kemudian, Qasim Amin (1863-1908) melalui dua bukunya yang kontroversial mengulas panjang tentang tiga hal yang perlu direkonstruksi, yaitu soal pendidikan bagi perempuan, hijab, dan poligami.Tahir al-Haddad (1899-1935) secara spesifik bicara soal pentingnya memperbaharui hukum keluarga Islam demi memperbaiki posisi dan kedudakan perempuan dalam perkawinan.

Selanjutnya, Fazlur Rahman (1919-988), dan sejumlah tokoh intelektual yang masih hidup sekarang, seperti Ashgar Ali Engiineer, Fatimah Mernissi, Amina Wadud Muhsin dan Riffat Hassan semuanya menyuarakan pentingnya rekonstruksi pemikiran Islam tentang perempuan sehingga kelompok perempuan dapat menikmati hak-haknya sebagai manusia, seperti dijamin dalam Al-Qur’an.

Untuk konteks Indonesia, dapat disebutkan, antara lain Harun Nasution, Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan Munawir Syadzali. Tokoh yang disebutkan terakhir dikenal sangat kuat mendorong komunitas Islam Indonesia melakukan rekonstruksi pemikiran secara jujur dan berani, khususnya soal pembagian warisan yang adil buat perempuan.10Adapun ketiga tokoh yang disebutkan terdahulu menentang perlakuan diskriminasi, kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan.

Rekonstruksi pemikiran Islam tentang perempuan di berbagai negara Islam membawa kepada lahirnya hukum keluarga baru yang semakin mengakomodasikan hak-hak perempuan. Sejarah Islam mencatat usaha-usaha pembaruan hukum keluarga mulai merebak sejak awal abad ke-20.11 Dimulai dari Turki yang pada 1917 melakukan pembaruan hukum perkawinan dengan membuat Qanun Qarar al-Huquq al-'A'ilah al-'Usmaniyyah atauOttoman Law of Family Rights.12

Isu yang menonjol dalam hukum keluarga Turki itu adalah larangan poligami secara mutlak. Menarik dicatat bahwa sampai tahun 1996 hanya ada lima negara di Timur Tengah yang belum memperbarui hukum keluarganya, yakni Emirat Arab, Saudi Arabia, Qatar, Bahrain dan Oman.13

Berbeda dengan pembaruan dalam bidang hukum Islam lainnya, seperti bidang politik dan ekonomi, pembaruan dalam bidang hukum keluarga selalu mengundang reaksi keras dari kalangan tradisional.

Hal itu dapat dimaklumi mengingat institusi keluarga dalam hampir semua agama, terutama Islam dipandang sebagai sanctuary atau wilayah sakral dan karenanya menjadi sangat sensitif.14 Tidak mengherankan jika berbagai hukum yang digunakan dalam mengatur masyarakat di negara-negara Islam dapat berubah dengan mudah, namun tidak demikian halnya dengan hukum keluarga.

Hukum keluarga seringkali dipandang sebagai benteng terakhir pertahanan umat Islam untuk menjaga tradisi dan kemurnian ajaran Islam. Salah satu tujuan penting pembaharuan hukum keluarga dalam Islam adalah peningkatan status perempuan.15

Meskipun tujuan ini seringkali tidak disebutkan secara eksplisit, namun sangat terasa bahwa pembaruan tersebut merespon tuntutan peningkatan status dan kedudukan perempuan. Mengacu kepada penelitian Tahir Mahmood, diidentifikasi minimal tiga belas isu krusial dalam hukum keluarga yang harus mengalami pembaruan dalam rangka peningkatan status perempuan.

Isu-isu dimaksud adalah: batas usia minimal perkawinan; peran wali dalam perkawinan; pencatatan perkawinan, kemampuan ekonomi dalam perkawinan, poligami, nafkah keluarga, pembatasan hak cerai suami, hak-hak dan kewajiban suami-isteri setelah perceraian, kehamilan dan implikasinya, hak ijbar orang tua, pembagian dan jumlah hak waris, wasiat wajibah dan wakaf.16

Setelah Turki, menyusul negara Islam Tunisia melakukan pembaruan yang spektakuler dalam hukum keluarga. Pertama, dalam hal adopsi anak menetapkan bahwa anak angkat memperoleh hak dan kewajiban yang sama sebagaimana anak kandung. 17 Kedua, keharusan perceraian di pengadilan. Ketiga, larangan poligami secara mutlak.18

Sementara pembaruan hukum keluarga di Syria19 terkait dengan syarat usia menikah, pertunangan, poligami, perceraian, wasiat, dan warisan.20 Isu yang unik dalam hukum Syria adalah pengaturan tentang selisih umur antara kedua calon mempelai. Jika perbedaan usia di antara mereka terlalu jauh, pengadilan dapat melarang perkawinan. Demikian pula di Yordania, perkawinan dilarang jika selisih umur di antara calon suami-isteri lebih dari dua puluh tahun, kecuali ada izin khusus dari pengadilan.

Tujuan kedua negara tersebut mengatur selisih umur di antara kedua calon mempelai adalah semata-mata untuk memproteksi warganya dari tindakan pemerasan dan eksploitasi. Sebab, perbedaan umur yang begitu senjang mengandung potensi pemerasan dari satu pihak.21Selain itu, hukum Islam Syria memberikan hak kepada isteri mengajukan gugatan cerai kepada suaminya disebabkan kasus-kasus: suami menderita penyakit yang dapat menghalangi untuk hidup bersama, penyakit gila dari suami, suami meninggalkan isteri atau dipenjara lebih dari tiga tahun, suami dianggap gagal memberikan nafkah, dan penganiayaan suami terhadap isteri.

Pembaharuan hukum keluarga Mesir, antara lain terkait dengan masalah poligami, wasiat wajibah, warisan, dan pengasuhan anak. Di samping itu, hukum keluarga Mesir juga memberikan ancaman kepada orang yang memberikan pengakuan palsu kepada pegawai pencatat tentang status perkawinan atau alamat isteri atau isteri-isterinya, atau isteri yang dicerai.22

Pembaruan Hukum Keluarga di Yordania antara lain terkait dengan batas usia perkawinan, perjanjian perkawinan, perkawinan beda agama, pencatatan perkawinan, perceraian, dan wasiat wajibah. Yang paling mengemuka adalah soal pencatatan perkawinan.23 Reformasi hukum keluarga Irak antara lain terkait dengan masalah status wali, pemberian mahar, wasiat wajibah, dan pengasuhan anak (hadhanah).24

Paling tidak ada dua hal yang perlu dicatat dari upaya pembaruan hukum keluarga tersebut. Pertama, semangat pembaruan hukum Islam dalam bidang hukum keluarga umumnya adalah untuk memperbaiki status dan kedudukan perempuan serta melindungi hak anak. Kedua, pembaruan hukum Islam di berbagai negara Islam selalu berujung pada kelahiran hukum keluarga baru yang materinya berbeda dengan ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqh klasik. Materinya terkesan mulai ramah terhadap perempuan.

Paparan di atas menggambarkan secara konkret bahwa rekonstruksi pemikiran Islam dalam bentuk pembaruan hukum Islam merupakan suatu kebutuhan untuk merespon tuntutan masyarakat yang dari zaman ke zaman semakin kompleks dan rumit. Tuntutan tersebut muncul sebagai akibat dari perkembangan dinamika sosial, pengaruh globalisasi serta kemajuan sains, teknologi dan bidang informatika.

Dengan demikian, kalau di masa lalu upaya rekonstruksi pemikiran Islam berhasil dilakukan, maka generasi sekarang pun dapat melakukan hal yang sama. Artinya, upaya-upaya rekonstruksi tetap terbuka, dan harus banyak dilakukan, terutama untuk merespon berbagai masalah sosial kontemporer yang berkembang dalam kehidupan umat Islam. Masalah sosial manusia membutuhkan solusi yang cepat dan tepat, termasuk solusi keagamaan. Di sinilah pentingnya rekonstruksi pemikiran Islam.


Tawaran Metodologi


SALAH satu faktor penyebab terpuruknya posisi perempuan dalam masyarakat Muslim adalah penafsiran agama, maka solusi yang ditawarkan pun harus dimulai dengan merevisi penafsiran atau rekonstruksi pemikiran. Umat Islam hampir sepakat bahwa ijtihad dalam arti pembaruan penafsiran dan pemahaman terhadap Islam adalah suatu kebutuhan dasar. Kebutuhan itu dirasakan bukan hanya setelah Rasul tiada, malah ketika masih hidup.

Hadis Muaz ibn Jabal mengindikasikan kebutuhan itu dengan sangat jelas. Hadis lain, yang sering dijadikan acuan mengenai pentingnya ijtihad atau pembaruan ini adalah: "innallaha yab`atsu ala kulli ra`tsi miati tsanah man yujaddidu laha dinaha" (Sesungguhnya Allah akan mengutus setiap seratus tahun seorang pembaru yang akan memperbarui agamanya).

Uraian berikut menjelaskan prinsip-prinsip dasar apa saja yang harus diperpegangi dalam upaya rekonstruksi atau pembaruan penafsiran demi mewujudkan wajah agama yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ramah terhadap perempuan.

a. Prinsip Maqashid al-Syari`ah

Al-Qur’an dan Hadis meski mempunyai aturan yang bersifat hukum, namun jumlahnya amat sedikit dibandingkan dengan begitu banyaknya persoalan sosial manusia yang memerlukan ketentuan hukum.25 Oleh karena itu, pembaruan penafsiran merupakan keniscayaan.

Akan tetapi, pembaruan penafsiran harus tetap mengacu kepada sumber-sumber Islam utama, yakni Al-Qur`an dan Sunnah. Hanya saja pemahaman terhadap kedua sumber tadi tidak semata didasarkan kepada pemaknaan literal teks, melainkan lebih kepada pemaknaan non-literal atau kontekstual teks dengan mengacu kepada tujuan hakiki syariat (maqashid al-syari`ah).26

Tujuan dasar syariat secara jelas terimplementasi dalam nilai-nilai keadilan (al-`adl), kemashlahatan (al-mashlahah), kebijaksanaan (al-hikmah), kesetaraan (al-musawah), kasih sayang (al-rahmah), pluralisme (al-ta`addudiyah), dan hak asasi manusia (al-huquq al-insaniyah).

Imam Al-Ghazali merumuskan nilai-nilai yang terkandung pada maqashid al-syari`ah tersebut ke dalam lima prinsip dasar hak asasi manusia yang disebutnya al-huquq al-khamsah. Kelima hak asasi dimaksud adalah hak hidup, hak kebebasan beropini dan berekspresi, hak kebebasan beragama, hak properti, dan hak reproduksi.

Konsep al-Huquq al-Khamsah ini selanjutnya membawa kepada pentingnya melihat manusia sebagai sasaran sekaligus subyek hukum dalam syariat Islam. Tidak berlebihan jika Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, ahli fiqh dari Mazhab Hanbali, merumuskan sebagai berikut: Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal, seperti kemashlahatan, keadilan, kerahmatan, kebijaksanaan.

Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam itu sendiri.27

Pernyataan yang tidak kurang tegasnya dilontarkan oleh Ibnu Rusyd: bahwa kemashlahatan merupakan akar dari berbagai syariat yang ditetapkan Tuhan.28 Bahkan, Izzuddin ibn Abdissalam sampai kepada kesimpulan bahwa seluruh ketentuan agama diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi kemaslahatan manusia.29

Berangkat dari teori Maqashid al-Syari`ah ini, Ibnu Muqaffa` mengklasifikasikan ayat-ayat Al-Qur`an ke dalam dua kategori: ayat ushuliyah yang bersifat universal karena menerangkan nilai-nilai utama dalam Islam dan ayat furu`iyah yang bersifat partikular karena menjelaskan hal-hal yang spesifik.

Contoh kategori pertama adalah ayat-ayat yang berbicara soal keadilan, sedangkan kategori kedua adalah ayat-ayat yang mengulas soal uqubat (bentuk-bentuk hukuman), dan hudud (bentuk-bentuk sanksi), serta ayat-ayat yang berisi ketentuan perkawinan, waris, dan transaksi sosial.

Sayangnya umat Islam lebih banyak terjebak pada implementasi ayat-ayat partikular, dan mengabaikan ayat-ayat universal. Tidak heran jika penampilan umat Islam sering terkesan kaku, eksklusif, dan tidak ramah, terutama kepada perempuan.

b. Prinsip Relativitas Fiqh
Meskipun Al-Qur’an adalah kebenaran abadi, namun penafsirannya tidak lah abadi. Penafsiran selalu bersifat relatif. Perkembangan historis berbagai mazhab fiqih merupakan bukti positif relativitas fiqh.

Fiqh yang kita kenal sekarang merupakan rekayasa cerdas pemikiran ulama abad pertengahan yang isinya, antara lain mencakup empat komponen dasar, yaitu masalah ubudiyah (membahas hubungan transendental manusia dengan Tuhan), muamalah (membahas hubungan manusia dengan sesamanya, makhluk lain dan alam semesta), munakahah (membahas hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupan keluarga), dan jinayah (membahas berbagai masalah pidana).

Perlu dipahami bahwa seorang faqih atau mufassir, seobyektif apa pun dia, akan sulit melepaskan diri dari pengaruh budaya, hukum dan tradisi yang berkembang pada masa atau lingkungan di mana dia hidup. Karena itulah, pembukuan pendapat-pendapat fiqh dalam suatu masyarakat yang bias gender tentu akan melahirkan kitab-kitab fiqh yang memuat pandangan-pandangan keagamaan yang tidak ramah terhadap perempuan (missoginis).

c. Prinsip Tafsir Tematik
Kajian terhadap metode tafsir tahlily yang selama ini banyak dipakai menyimpulkan sedikitnya lima kekurangan. Pertama, penafsiran tersebut sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan sektarian (al-ta’milah al-‘ashabiyah). Kedua, produk pemahaman keagamaan yang dihasilkan oleh model penafsiran ini kelihatan mengada-ada. Ketiga, penafsirannya amat diwarnai oleh pandangan non-Islam, seperti pandangan isra’iliyat atau dipengaruhi tradisi Judeo-Kristiani kuno. Keempat, kemukjizatan Al-Qur’an (I’jaz) cenderung diabaikan dalam tafsir konvensional ini. Terakhir, keunikan dan kedahsyatan retorika Al-Qur’an luput dari pengamatan para mufasir yang memakai metode tradisional ini.30

Oleh karena itu, ditawarkan sebuah solusi penafsiran yang disebut penafsiran tematik dengan inductive method. Metode penafsiran ini dibangun berdasarkan teori yang meyakini bahwa seluruh isi Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang integral, utuh dan tidak terpisahkan.

Prinsipnya adalah satu bahagian dalam Al-Qur’an menjelaskan bahagian lainnya (Al-Qur’anyufassiru ba’duhu ba’dan). Prinsip-prinsip dasar dari teori penafsiran ini sesungguhnya sudah populer digunakan di masa sahabat dengan istilah tafsir bi al-ma`tsur. Para mufassir hendaknya memahami Al-Qur’an berdasarkan informasi yang terkandung di dalam diri Al-Qur’an itu sendiri, bukan berdasarkan pandangan atau ajaran dari luar Al-Qur’an.Karena itu, penting sekali pemahaman terhadap kata, kalimat dan struktur bahasa Al-Qur’an.

Pola tafsir tematik mengunakan tiga pendekatan. Pertama, menekankan pentingnya memahami arti bahasa kata-kata Al-Qur’an (lexical meaning of any Qur’anic word). Pemahaman terhadap makna asli kata-kata dalam teks Al-Qur’an akan sangat membantu mufasir memahami tujuan makna (al-ma’na al-murad) sesuai dengan asbab nuzul ayat.

Kedua, menyelidiki serta menyeleksi semua ayat yang berhubungan dengan tema yang dibahas. Dengan prinsip ini, Al-Qur’an diberi kebebasan dan otonomi untuk berbicara tentang dirinya sendiri sehingga dihasilkan penafsiran yang objektif, bukan penafsiran subjektif yang sarat dengan muatan politis dari para mufasirnya.

Ketiga, dalam rangka memahami kata, kalimat dan struktur bahasa Al-Qur’an harus ada kesadaran untuk mengakui adanya teks-teks agama yang turun dalam konteks tertentu atau khusus (as-siyaq al-khas) dan yang turun dalam konteks yang lebih umum (as-siyaq al-am).31 Dengan kata lain, sebuah penafsiran harus dilakukan dengan pendekatan tekstual dan kontekstual sekaligus.

Umat Islam hendaknya menyadari bahwa Al-Qur`an adalah suatu teks yang harus dibaca dengan mempertimbangkan aspek kontekstualnya, yaitu dengan memahami konteks sosio-historis dan sosio-politis ketika Al-Qur`an diturunkan. Membaca Al-Qur'an secara tekstual dan kontekstual akan membawa kepada penghayatan terhadap pesan-pesan moral Islam universal seperti keadilan, kemaslahatan, kesamaan hak, penghormatan terhadap kemanusiaan, cinta kasih, dan kebebasan.

Pesan-pesan hakiki inilah sesungguhnya benang merah yang menjadi penghubung eksistensi umat manusia dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu kurun waktu ke kurun berikutnya. Inilah ajaran yang disampaikan oleh Adam as., diteruskan oleh para rasul dan nabi sampai kepada Muhammad saw., dengan perwujudan kontekstual yang berbeda-beda.

Benang merah inilah yang sesungguhnya harus dipahami ketika membaca dan menafsirkan ayat-ayat yang berbicara tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam semua bidang kehidupan. In urîdu illa al-ishlâh mastatha’tuWa mâ tawfîqiy illâ billâh.@ Wallahu a’lam bi as-shawab.



Footnote


2. Ijtihad adalah suatu rekayasa cerdas dan sungguh-sungguh untuk memahami ajaran Islam, memahami hukum-hukum yang terkandung di balik teks-teks suci, baik dari Al-Qur’an maupun hadis Nabi dengan menggunakan aturan-aturan yang telah disepakati ulama. Walaupun demikian, hasil ijtihad dalam bentuk tafsir dan interpretasi tersebut tetap bernilai relatif, tidak mutlak. Karenanya, tetap terbuka ruang untuk perubahan, reinterpretasi, dan rekonstruksi.

3. Q.S. al-Mumtahanah, 60:12 dan al-Naml, 27:23.

4. Q.S. .al-Taubah, 9:71.

5. QS. al-Tahrim, 66:12

6. Q.S. al-Tahrim, 66:11. 

7. Iklilah Muzayyanah, Kuasa Konsep Ijbar Terhadap Perempuan: Studi Pengalaman Kawin Paksa di Masyarakat Pesantren, Tesis Majister, Program Studi Sarjana Kajian Wanita, Program Pascasarjana UI, Jakarta, 2007. 

8. Muhamad Rasyid Rida, Tafsir Al-Manar, Jil. 5, Dar al-Fikr, Beirut, t.th, hal. 348-349.

9. Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970, hal. 162-164.

10. Bahtiar Effendy dkk., Munawir Syadzali, MA: Pencairan Ketegangan Ideologis, dalam Azyumardi Azra, Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik, Kerjasama INIS, PPIM, dan Litbang Departemen Agama, Jakarta, 1998, h. 410.

11. Untuk pembahasan yang komprehensif lihat J.N.D. Anderson, Law Reform in the Muslim World, The Athlone Press, London, 1976, h. 2; Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, N.M. TRIPATHI PVT. LTD, Bombay, 1972, h. 49.

12. Tahir Mahmood, ibid., h. 17.

13. Dawoud El. Alami dan Doreen Hinchcliffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of the Arab World, Kluwer Law International, Boston, 1996, h.4-5.

14. Lebih jauh menurut Anderson, perhatian terhadap upaya pembaharuan hukum keluarga yang dilakukan di berbagai negara Islam membawa kepada kesimpulan berikut. Pertama, hukum keluarga selalu dipandang sebagai substansi syariah; Kedua, hukum keluarga dianggap sebagai landasan utama pembentukan masyarakat muslim; Ketiga, hukum keluarga masih menjadi pedoman utama bagi mayoritas umat Islam di dunia; dan keempat, sampai sekarang hukum keluarga tetap menjadi objek perdebatan sengit antara kelompok konservatif dan kelompok moderat. Lihat J.N.D. Anderson, Law Reform in The Modern World, Anthone Press, London, 1967

15. Sejumlah penelitian menyimpulkan ada tiga alasan yang mendorong negara-negara Islam melakukan pembaruan hukum keluarga. Pertama, untuk tujuan unifikasi hukum. Usaha unifikasi dilakukan karena masyarakatnya menganut mazhab atau bahkan agama yang berbeda-beda. Di Tunisia, misalnya upaya unifikasi Hukum Perkawinan ditujukan untuk semua warga negara tanpa memandang perbedaan agama. Kedua, untuk tujuan peningkatan status perempuan. Meskipun tujuan ini tidak disebutkan secara eksplisit, namun sangat terasa bahwa undang-undang tersebut merespons tuntutan-tuntutan peningkatan status dan kedudukan perempuan. UU Perkawinan Mesir dan Indonesia dapat dimasukkan dalam kelompok kedua ini. Ketiga, untuk merespon tuntutan zaman dan dinamika perkembangan masyarakat akibat perkembangan global dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Lihat J.N.D. Anderson, Law Reform in The Modern World, Anthone Press, London, 1967

16. Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, Time Press, New Delhi, 1987, h. 11-12.

17. Tahir Mahmood, Op.Cit., h. 164

18. Ketentuan hukum ini memicu perdebatan serius di kalangan ulama, dan mayoritas ulama menolak ketentuan tersebut. Meskipun demikian, pembaruan hukum keluarga di Tunisia tetap dilakukan dengan berpegang pada prinsip pembelaan dan pemberdayaan kaum perempuan. Larangan poligami ditegaskan pada pasal 18: bahwa beristeri lebih dari satu dilarang. Siapa saja yang menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau penjara dan denda sekaligus. Lihat, Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text and Comparative Analysis), Academy of Law and Religion, New Delhi, 1987, h. 156.

19. Syria sejak merdeka (1945) mulai melakukan nasionalisasi dan pembaruan sistem hukum. Sejumlah undang-undang diberlakukan seperti hukum dagang 1949, hukum pidana 1950, dan hukum keluarga (Qanun al-akhwal al-syakhsiyah) 1953 yang diamandemen tahun 1975 dengan maksud untuk menjamin hak-hak perempuan dalam pandangan hukum. Lihat Don Peretz, The Middle East Today, Praeger, New York, 1983, h. 397.

20. Menyangkut warisan (pasal 288) dinyatakan bahwa sisa harta warisan dikembalikan kepada ahli waris zaw al-furud selain suami-isteri apabila tidak ada ashobah. Sisa harta dapat dikembalikan kepada suami-isteri ketika ahli waris zaw al-furud, ashobah, dan zaw al-arham tidak ada. Lihat Tahir Mahmood, Op. Cit., h. 150.

21. Hal seperti itu perlu dipikirkan oleh ulama Indonesia mengingat akhir-akhir ini banyak dilaporkan kasus- kasus perdagangan anak perempuan (trafficking) dengan modus operandi perkawinan.

22. Seorang pegawai pencatat yang lalai atau gagal melakukan tugasnya dapat dihukum dengan hukuman penjara maksimal satu bulan dan hukuman denda maksimal 50 pound Mesir. Dan pegawai yang bersangkutan dinon-aktifkan selama maksimal 1 tahun. Lihat, Dawoud El Alami, h. 58.

23. Hal ini diatur dalam undang-undang 1976 pasal 17. Pasal ini menjelaskan bahwa mempelai laki-laki berkewajiban mendatangkan qadhi atau wakilnya dalam upacara perkawinan. Petugas yang berwenang sebagaimana ditunjuk oleh qadhi mencatat perkawinan tersebut dan mengeluarkan sertifikat perkawinan. Apabila perkawinan dilangsungkan tanpa pencatatan, maka orang yang mengadakan upacara perkawinan, kedua mempelai, dan saksi-saksi dapat dikenakan hukuman berdasarkan Jordanian Penal Code dan denda lebih dari 100 dinar. Pencatatan perkawinan merupakan hal yang amat krusial dalam masyarakat modern, sebab pencatatan memberikan bukti legal bagi suami, isteri dan anak-anak untuk mendapatkan hak-hak mereka. Hal lain juga sangat penting menyangkut kebolehan perkawinan tanpa wali. Apabila perempuan telah mencapai usia 15 tahun dan mempunyai keinginan untuk menikah sementara walinya tidak mengijinkan tanpa alasan yang sah, maka perempuan tersebut pada dasarnya tidak melanggar prinsip-prinsip kafâ`ah dan pengadilan dapat memberikan izin pernikahan. Demikian juga apabila perempuan telah mencapai umur 18 tahun dan walinya keberatan memberikan izin tanpa alasan kuat, maka pengadilan dapat memberi izin pernikahan. Lihat Tahir Mahmood, h. 78-79.

24. Dalam hal pengasuhan anak dinyatakan bahwa seorang ibu memiliki hak istimewa dalam mengasuh dan mendidik anak selama perkawinan berlangsung. Begitu juga setelah perkawinan, dengan catatan ia tidak berbuat aniaya terhadap anak, sehat, dapat dipercaya dan mampu bertanggungjawab dan melindungi anaknya serta tidak kawin lagi dengan lelaki lain. Lihat Tahir Mahmood, h. 68-69.

25. Penelitian Abdul Wahab Khallaf, pakar ushul fiqh, mengenai ayat-ayat hukum menjelaskan bahwa jumlah ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi ketentuan hukum secara tegas hanya sekitar 5,8% atau sebanyak 368 ayat saja, sedangkan jumlah yang terbesar justru berisi nilai-nilai universal, seperti keadilan, cinta kasih, kedamaian, dan kebebasan yang kesemuanya merupakan pesan-pesan moral keagamaan yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Lihat Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushu Al-Fiqh (Kairo, 1956), cet. VII, hal. 34-35.

26. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi dalam bukunya yang terkenal: al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari`ah. Akan tetapi, konsep ini sudah disinggung sebelumnya oleh Al-Juwaini Imam al-Haramain dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali.

27. Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, I`lan al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin, Dar al-Jil, Beirut, T.T. Juz III, h. 3. Pandangan serupa dinyatakan juga oleh sederetan ulama yang sangat otorotatif di bidang fiqh, seperti Al-Ghazali (w. 505H); Fakhruddin al-Razi (w. 606 H); Izzuddin ibn Abdissalam (w. 660 H0; Najmuddin al-Tufi (w. 716 H); Ibnu Taimiyah (w. 728 H.); Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H.); dan Muhammad ibn Tahir al-Asyur (w. 1393 H.).

28. Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fi Taqrir ma baina al-Syariat wa al-Hikmah min al-Ittishal aw Wujuh al-Nadhar al-`Aqli wa Hudud al-Ta`wil, Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, Beirut, 1999, h. 125.

29. Izzuddin ibn Abdissalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-An`am, Dar al-Jil, Kairo, T.T. h 72.

30. Aisyah Abd Al-Rahman Bint Asy-Syati’, Al-Qur’an wa Tafsir Ashr (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1970), hal. 24-32.

31. Quraish Shihab, “Penetapan Hukum Islam secara Tekstual dan Kontekstual: Tinjauan Mufassir”, dalam Dialog, No. 35 Th. XVI, Februari 1992, hal. 3-5.#