Membaca Ta'awud--“A’ūdzubi'l-Lāhi mina'sy-syaiṭōni'r-rojīm”, sekilas dari kacamata Frued


Freud through the years. (Psychotherapy.Tumblr.com)
Assalāmu’alaikum wa romatu'l-Lōhi wa barokātuh[u].

Fa'idzā qoro'ta'l-Qur'āna fa'sta’idz bi'l-Lāhi mina'sy-syaiṭōni'r-rojīm[i]”—artinya, apabila kamu membaca al-Qur'ān, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allāh dari syaitan yang terkutuk (QS [an-Nal] 16:98), yaitu kalimat “A’ūdzubi'l-Lāhi mina'sy-syaiṭōni'r-rojīm”—artinya: Aku berlindung kepada Allah dari segala godaan syaitan yang terkutuk.

Satu kalimat pembuka al-Qur'ānu'l-Karīm tersebut bukan basa-basi biasa. Namun, mengandung makna yang penting dan mendasar.

Syaitan bukan sesuatu yang tidak dapat diidentifikasi secara kongkret sejauh logika dan pemikiran. Untuk sementara saya mengesampingkan eksistensi makhluk halus atau hantu. Melainkan lebih mengutamakan aspek psikologis manusia.

Syaitan sudah inheren dalam konstitusi manusia sebagai disposisi fisiologis dan pskologis sejak homo sapiens ini mendapatkan kehidupan dari aksi tenaga kosmik dari konstansi anorganik dari Allāh ‘azza wa Jalla. Syaitan dalam arti psikologis merupakan rejim instingtif yang mendasarkan berfungsinya dengan pleasure principle atau prinsip kenikmatan. Sigmund Freud menyebutnya dengan istilah das Es atau id.

Das Es adalah sumber hawa nafsu, merupakan kumpulan destruksi nilai yang hanya mengejar kesenangan belaka. Dari posisi das Es atau id itulah segala khayalan dan keinginan tentang kenikmatan organisme dibentuk. Dari posisi das Es itulah tragedi buah kuldi terjadi, tragedy Habil dan Qobil atau Habil dan Qain dalam versi Taurat terjadi. Dan sesungguhnya, segala dosa dunia bersumber dari das Es itu. Ultra materialisme dan atheisme atau berhalaisme yang menjadikan duniawi sebagai tujuan akhir juga bersumber dari das Es.

Impuls instingtif yang terpenting dari das Es ialah impuls Stomach dan Sexual, yaitu dorongan rasa lapar dan dorongan ingin bersenggama. Yang paling berbahaya ialah impuls agresif yang sesungguhnya merupakan insting mati yang cenderung kepada kerusakan dan kehancuran. 

Pada posisi das Es sesungguhnya stuktur biologi dan mental manusia sama dengan hewan.

Impuls Stomach menjadi akar segala perilaku ketamakan, dan impuls Sexual menjadi akar segala perilaku pemuasan hawa nafsu. Impuls Agresif sangat misterius, segala kecenderungan kepada pengrusakan dan penghancuran apa saja termasuk segala bentuk kerakusan dan kekerasan bersumber dari impuls agresitas ini. Jika impuls stomach dan seksual termasuk dalam kategori insting-insting hidup, maka impuls agresif berasal dari insting-insting mati.

Dengan menyebut “A’ūdzu bi'l-Lāhi mina'sy-syaiṭōni'r-rojīm”, artinya, kita mewaspadai semua impuls instingtif das Es. Mewaspadai bagian dari hewaniah kepribadian kita sendiri. 

Mewaspadai diri ke dalam, mengenali dorongan-dorongan impulsif yang menempatkan derajat manusia sama dengan hewan. Dengan demikian, kita memasuki al-Qur'ān dengan kondisi psikologis yang terbebas dari kekuasaan rejim instingtif yang syaithoniyah.

Di dalam diri manusia juga terdapat energi-psikis yang menghidupi dorongan moralistis, yang disebut oleh Freud dengan istilah das Ueber Ich atau super ego. Dalam berfungsinya das Ueber Ich berpijak pada moral principle atau prinsip moralitas. Das Ueber Ich berisi struktur nilai kebudayaan, termasuk religi dan tradisi-tradisi yang bertujuan membangun mental manusia (mental development) ke arah kesempurnaan.

Das Ueber Ich merupakan lawan das Es. Di dalam das Ueber Ich segala potensi spiritual dikembangkan. Das ueber Ich orang Islam tentu berisi struktur nilai ajaran, budaya, dan tradisi Islam yang merupakan isi-isi kesadaran dan ketidaksadaran, baik individu maupun kolektif.

Ketika kita menyebut “Bismi'l-Lāhi'r-ramāni'r-raḥīm”, sebagai ayat pertama pembuka al-Qur'ān, jiwa kita berada pada posisi das Ueber Ich. Basmalah memijakkan kepribadian kita kepada nilai-nilai moralitas dari struktur religi yang kita anut, yaitu Islam, dalam arti sepenuhnya, sesuai dengan isi-isi kesadaran dan ketidaksadaran yang kita miliki.

Suatu anjuran moralitas dengan agresitas menunjukkan adanya korupsi energi das Ueber Ich oleh das Es. Artinya, terjadi ketidakseimbangan das Ich atau ego sebagai fungsi eksekutif kepribadian yang mengintegrasikan fungsi-fungsi das Es dan das Ueber Ich. Atau selalu terjadi dorong mendorong dan saling mempengaruhi dan berusaha mendominasi antara das Es dan das Ueber Ich, untuk mengusai das Ich yang merupakan sentral kepribadian.

Jika dominasi energi insting lebih cenderung kepada das Es, maka perilaku seseorang lebih didorong oleh hawa nafsunya. Sebaliknya, jika energri psikis lebih didominasi das Ueber Ich, perilaku seseorang lebih didorong oleh moralnya. Adalah das Ich atau ego yang merupakan struktur kognitif bermotif yang selalu berusaha memusatkan energi insting pada dirinya agar tercapai keseimbangan kognitif yang memberinya kecakapan untuk mengintegrasikan fungsi-fungsi jiwa tersebut dan mengarahkannya pada alam realistis dengan perilaku yang terkendali dan kreatif. Dalam berfungsinya das Ich berpegang pada prinsip realitas (reality-principle).

Dorongan-dorongan das Es disebut cathexis dan dorongan-dorongan das Ueber Ich dan das Ich disebut anti-cathexis. Dari proses ini manakala timbul dorongan instingtif das Es berupa perilaku primitif yang ditolak masyarakat, maka das Ich akan berorientasi kepada struktur nilai das Ueber Ich dan membentuk cathexis substitusi untuk melakukan penggantian obyek, sehingga ungkapan instingtif yang primitif dapat diubah menjadi ungkapan yang dapat diterima masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan proses sublimasi yang menjadi salah satu sumber kreativitas manusia dan kebudayaan manusia.

Ke mana sublimasi jiwa seorang Muslim? Karena, ia tidak hanya memerlukan transferabilitas progresif dengan diferensiasi nilai-nilai kebudayaan. Namun, lebih dari itu. Dia memerlukan diferensiasi nilai-nilai ketuhanan.

Bagi seorang muslim, akseptasi nilai-nilai sosial adalah dalam rangka nilai tertinggi yaitu keridhoan Allah yang Tunggal yang Tauhid sebagai faktor monotehisme yang menjadi sentral tatanan organis dan anorganis serta tatanan agnostik dan transendental. Dengan kata lain, landasan cathexis substitutif das Ich adalah Iman Tauhid, yang akan tercermin dalam perilaku dan proses mental seorang Muslim. Insya Allah.

Wa's-salāmu’alaikum wa romatu'l-Lōhi wa barokātuh[u]. [] (AM; PTWU001—20040617; RA)