Virus Salafi Wahabi Mewabah Indonesia; menanggapi buku "Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi" karya Syaikh Idahram

Oleh Darisman Broto

FENOMENA pengkafiran di antara sesama umat Islam sudah lama terjadi yang digambarkan oleh penulis buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi karya Syaikh Idahram bahwa sekte Salafi Wahabi bukan saja mengkafirkan golongan Islam lainnya yang tidak sejalan dan sepaham, bahkan membuat tindakan kekerasan sampai membunuhi bagi yang tidak mau mengikutinya. Dengan bukti-bukti sejarah dan kitab-kitab sirah dari sekte Salafi Wahabi sendiri, dengan sangat gamblang sang penulis membeberkannya.

Perpaduan kolaborasi pemangku paham Salafi Wahabi dan pemerintahan Saudi Arabia sebagai pemegang kekuasaan Baitul Makkah, saat ini, menjadi simbol representasi masyarakat Islam di seluruh dunia. Namun demikian, paham atau golongan Islam lainnya menolak sebagian paham Salafi Wahabi sebagai acuan Islam yang kâffah. Termasuk yang menolak tersebut yaitu yang mengaku dirinya Ahlussunah waljama’ah (Suni).

Tidak banyak orang yang tahu bahwa keluarga Saud yang kini menjadi “kuncen” Makkah itu adalah masih memiliki hubungan darah dan emosional dengan Yahudi Arab. Jadi, tidak ada sama sekali hubungannya dengan “keturunan” Rasulullah saw. yang di Indonesia dikenal dengan para “Habib”.

Fatwa Kafir Oleh Siapa Untuk Siapa?

Tidak sadar tokoh-tokoh ulama kita di Indonesia yang sangat jelas mempertontonkan perilaku pengkafiran umat Islam golongan lain yang tidak sejalan dan sepaham. Salah satu contoh adalah fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam MUNAS II tahun 1980 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah kelompok di luar Islam, sesat, dan menyesatkan. Keputusan fatwa ini ditegaskan lagi dalam MUNAS MUI VI di Jakarta tahun 2005.

Sang penulis buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi Syaikh Idahram, pada halaman 81—82, mengutip dua buah hadis dari riwayat Bukhari dan Muslim yang menegaskan siapa yang dapat dikatakan Muslim atau bukan.

Berikut hadisnya:


Artinya, “Barangsiapa yang shalat seperti shalat kita, menghadap kiblat seperti kiblat kita, dan makan sembelihan seperti (cara) menyembelihnya kita, maka dia adalah seorang muslim yang dilindungi Allah dan rasul-Nya. Maka, janganlah kalian merusak perlindungan Allah.” (HR Bukhari).


Artinya, “Siapa saja yang berkata «Laa ilaaha illa 'l-Laah» dan mengingkari ‘ibadah kepada selain Allah’, maka haram harta dan darahnya. Adapun perhitungannya ada di sisi Allah.” (HR Muslim).

Jika saja, MUI menggunakan metode dua hadis di atas, maka tidak akan keluar fatwa pengkafiran, sesat-menyesatkan terhadap warga muslim Ahmadiyah seperti itu.

Kanjeng Nabi Muhammad-Rasulullah saw. telah memberikan suatu jalan yang simple untuk mencirikan seseorang itu muslim atau bukan. Tanpa harus membuka sembilan kitab sebagaimana rujukan untuk memutuskan suatu fatwa terhadap Ahmadiyah, para ulama MUI dapat datang dan melihat di mana warga Ahmadiyah shalat Jumat di mesjid mereka berada. Apakah mereka shalatnya sama seperti yang dipraktekan Rasulullah saw.? Dan apakah menghadap kiblat? Dan apakah memakan sembelihan (cara) seperti umat muslim umumnya? Hal ini dapat dibuktikan dengan sangat simple.

Bapak-bapak ulama MUI dapat menyuguhkan kepada warga muslim Ahmadi berupa sate ayam atau gule kambing yang dipotong oleh Bapak-bapak sendiri dengan ucapan basmalah. Silakan Bapak-bapak lihat, apakah orang-orang muslim Ahmadi mau memakan hidangan sate ayam atau gule kambing yang disediakan Bapak-bapak—yang terhormat anggota MUI. Adakah metode lain yang cukup Qa’i selain metode yang sudah digariskan Penghulu segala Nabi yaitu Muhammad saw. dalam memfatwakan seseorang atau golongan itu muslim atau kafir?

Alamdu li'l-Lāh! Ada sebagian ulama di beberapa daerah yang langsung melihat dan shalat bersama dengan warga muslim Ahmadi yang akhirnya mengerti dan paham akan kemusliman warga Ahmadiyah.

Pembunuhan Berbungkus Syariat

Apa yang sudah terjadi dalam sejarah berdarah sekte Salafi Wahabi sudah sangat jelas gamblang dilihat dan dipertontonkan di mata umat. Bukan saja muslim Ahmadiyah dikafirkan secara resmi oleh lembaga yang bernama MUI, bahkan sudah terjadi pembunuhan atas orang-orang muslim Ahmadiyah oleh sekelompok orang yang mengaku dirinya muslim. Unggahan Youtube.com telah mempertontonkan secara internasional tragedi penyerangan warga muslim Ahmadiyah di kampung Peundeuy, desa Umbulan, kecamatan Cikeusik, kabupaten Padeglang, provinsi Banten, hari Ahad tanggal 6 Februari 2011, dengan secara biadab oleh warga muslim lainnya. Setelah dibunuh, mayatnya masih diinjak-injak dan dipukuli dengan batang bambu.

Perkampungan muslim Ahmadiyah di kabupaten Lombok Barat, provinsi Nusa Tenggara Barat, dirusak dan dibakar oleh umat yang juga menamakan diri muslim. Sehingga, sejak 4 Februari 2006 sampai sekarang, warga muslim Ahmadiyah Lombok menjadi pengungsi di negerinya sendiri.

Mesjid warga muslim Ahmadiyah di kampung Cisalada, Desa Ciampea Udik, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, 1 Oktober 2010, juga dibakar masa yang menamakan dirinya masyarakat muslim. Di desa Parakansalak, kabupaten Sukabumi, mesjid warga muslim Ahmadiyah juga dihancurkan dan dibakar oleh massa muslim, sejak 28 April 2008 hingga kini, mesjid tersebut tidak boleh dibangun kembali oleh aparat setempat.

Dan masih banyak lagi tindakan kekerasan yang dialami warga muslim Ahmadiyah di wilayah Indonesia yang didokumentasi oleh Komnas HAM, SETARA, Wahid Institut, KontraS, dan Muslim Moderat Society yang konsen dengan perdamaian dan persatuan umat Islam yang dipimpin intelektual Muda NU Zuhairi Misrawi.

Pemerintah Indonesia belum lama ini dikejutkan dengan eksekusi mendadak atas pemancungan Muslimah Sumiati TKW asal Bekasi oleh pemerintah Saudi Arabia. Bukan saja umat yang seiman bergejolak hatinya, namun umat yang diluar Islam pun dengan rasa sebangsa setanah air akan mengutuk tindakan pemerintah Saudi Arabia. Satu-satunya ulama Pengurus Besar di NU Masdar F. Mas’udi yang berani berteriak atas perlakuan ketidakadilan atas Mahkamah Arab Saudi di harian umum Kompas. Yang lainnya bungkam seribu bahasa. Menjadi pertanyaan secara teologis syariati: Apakah pantas seorang muslimah yang mempertahankan kehormatannya diganggu oleh seorang laki-laki yang dirasuki nafsu setan kemudian dengan terpaksa harus membunuh lalu dihukum kisas?

Tindakan penghukuman pancung terhadap Sumiati tak pelak mengukuhkan hukum Islam di Saudi Arabia yang masih menganggap pembantu atau babu atau TKW sebagai budak yang berhak diapakan saja oleh sang majikan. Kiranya, tidak berlebihan jika kaum “kafir” di luar sana memberikan sindiran yang melecehkan terhadap Islam Saudi Arabia: “Babi haram, tapi babu halal”. Penghalalan hubungan intim terhadap para budak yang mereka miliki begitu letterlijk dimaknai pada QS Al-Mu'minūn ayat 5—6.

Sejatinya Sumiati divonis bebas murni sebab dalam kondisi seperti itu dia dalam kondisi perang (jihad) melawan hawa nafsu bejad sang majikan.

Tak sedikit kisah para TKW yang pulang dengan menenteng anak balita berwajah Arab tanpa Bapak yang sah, dan tidak ada cerita hukum rajam serta pengusiran dari kampungnya diberlakukan atas majikannya.

Wahai para pengusung tegaknya syariat Islam di negeri ini, apakah hukum syariat Islam seperti itu yang akan kalian berlakukan di negeri Indonesia tercinta ini?

Penghancuran rumah Allah

Berkenaan dengan penghancuran mesjid-mesjid warga muslim Ahmadiyah, seorang dai muda berkomentar di suatu media televisi dengan lancangnya menisbatkan kepada suatu peristiwa di zaman Rasulullah saw.. Pernah beliau saw. meruntuhkan bangunan mesjid orang-orang munafik.

Mari kita baca dan telaah Surah dan ayat yang berkaitan dengan peristiwa tersebut:


Artinya, «Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan mesjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan memecahbelah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu[660]. Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). (QS [At-Taubah] 9:107)


Catatan kaki pada Alquran dan terjemah Depag RI nomor 660 bahwa yang dimaksud dengan “orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu” ialah seorang pendeta Nasrani bernama Abu Amir, yang mereka tunggu-tunggu kedatangnnya dari Syiria untuk bersembahyang di mesjid yang mereka dirikan itu, serta membawa tentara Romawi yang akan memerangi kaum muslimin. Akan tetapi kedatangan Abu ‘Amir ini tidak jadi karena ia mati di Syiria. Dan mesjid yang didirikan kaum munafik itu diruntuhkan atas perintah Rasulullah s.a.w. berkenaan dengan wahyu yang diterimanya sesudah kembali dari perang Tabuk.

Lihatlah kalimat terakhir dari catatan kaki oleh Tim Penyusun Alquran dan Tafsir DEPAG RI tersebut bahwa peruntuhan mesjid milik orang-orang munafik itu atas perintah Rasulullah SAW berdasarkan wahyu yang diterimanya.

Coba bayangkan, bagaimana jadinya jika seorang ulama dan suatu organisasi masa Islam mempunyai fatwa sendiri yang mana itu mesjid orang-orang munafik dan yang mana itu mesjid orang-orang yang sungguh-sungguh beriman kepada Allah swt. dan dengan penilaian sendiri untuk mengeksekusi mesjid-mesjid mana yang harus diruntuhkan. Dan alangkah berbahayanya jika kelompok Muhammad Syarif mempunyai legitimasi untuk menghancurkan mesjid Adz-Dzikro milik kepolisian resort Cirebon dan melukai beberapa jamaahnya yang sedang Shalat Jumat, karena dalam penilaiannya mereka adalah sebagai bagian dari pemerintahan thogut.

Yang jelas, seorang Rasul—apalagi Rasul yang berpangkat Khātama 'n-Nabiyīn—tidak akan bertindak dan berkata-kata atas kemauannya sendiri.

Yang menjadi pertanyaan, apakah para dalang penghancuran dan penutupan mesjid-mesjid milik warga muslim Ahmadiyah mendapat wahyu atau perintah langsung dari Allah swt. atas tindakannya itu?

Dengan atas nama desakan umat Islam dan arogansi kekuasaan, mesjid-mesjid warga muslim Ahmadiyah, selain ada yang dirusak, ada juga yang ditutup atas segala aktivitas termasuk untuk shalat berjamaah, bersujud, dan menyanjung kebesaran nama Allah swt..

Isi SKB tiga menteri terhadap Ahmadiyah yang hanya melarang menyebarkan ajaran ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad saw. di hadapan umum, kian merembet pada pelarangan beraktivitas apa pun termasuk Shalat Jumat di beberapa daerah pada warga Ahmadiyah. Sungguh tindakan berlebihan dan melampau batas.

Apa ancaman bagi orang-orang yang menghalang-halangi beribadah kepada Allah swt. adalah:

Artinya, “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk di dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (QS [Al-Baqarah] 2:114)

Pelarangan Pergi Haji

Bukan itu, saja sejarawan Wahabi, Ibnu Bisyr, dengan bangganya menceritakan tentang kejadian di tahun 1221 ketika keluarga Saud melarang jamaah haji asal Syam, Istambul, dan sekitarnya memasuki kota Makkah. Padahal rombongan jamaah haji tersebut telah sampai di kota Madinah menuju Makkah. Rombongan yang dipimpin oleh Gubernur Abdullah al-Uzham Pasya dan para petinggi negeri itu terpaksa menelan pil pahit untuk kembali ke negerinya masing-masing guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.(Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, halaman 101).

Pelarangan pergi haji oleh pemerintah Arab Saudi sudah lama terjadi terhadap warga muslim Ahmadi di seluruh dunia. Tidak aneh, memang itulah kenyataan yang terjadi.

Namun demikian, alamdu li'l-Lāh, masih ada beberapa warga muslim Ahmadi yang mendapat karunia Allah swt. diberikan jalan untuk menempuh rukun Islam yang kelima itu. Bapak Haji Abdul Basit, Bapak Haji Kandali Ahmad Lubis, Bapak Haji Agus Mubarik Ahmad dan Bapak Haji Ir. Ari Setarso adalah warga muslim Ahmadi Jakarta dan masih banyak lagi “pak Haji” dan “bu Hajjah” warga muslim Ahmadi di kota-kota lainnya yang memang sungguh-sungguh pergi menunaikan ibadah Haji ke Makkah-Arab Saudi, bukan ke Qadian India yang dituduhkan H.M. Amin Djamaluddin dan diamini penuh sebagai rujukan yang mutawatir oleh Bapak Prof. Dr. K.H. Abdurrahman, M.A. asal Bandung. Sudah terbukti kebohongan H.M. Amin Djamaluddin. Namun sang profesor masih saja menuding Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad pendiri Jemaah Ahmadiyah sebagai plagiator Alquran dengan rujukan-rujukan yang diberikan oleh H.M. Amin Djamaluddin yang hanya lulusan Sekolah Guru Agama (PGA) itu.

Beda dengan sang profesor yang satu ini, beda pula dengan Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain. Untuk menulis sebuah karya sejarah berdirinya Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, beliau harus bergaul akrab dengan warga Ahmadiyah serta membaca karya-karya tulis sang Pendirinya guna mendalami karya ilmiahnya sebagai sumber data yang berimbang dan akurat, bahkan sampai bertemu langsung dan berwawan cakap dengan Khalifah Ahmadiyah di London, Inggris.

Rumah kuno Allah swt. yang disebut Bakkah atau Makkah itu sejatinya milik semua umat manusia, karena semua umat adalah hamba-Nya. Sejak Nabi Ibrahim a.s., umat manusia sudah diseru untuk beribadah haji. Telusuri QS Al-ajj ayat 26—27. Sejarah juga mencatat bahwa sebelum Islam hadir sebagai agama jauh sebelum itu para kaum paganis Arab sudah melakukan ritual ibadag Haji. Lantaran wahyu-wahyu suci yang diterima oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ada sebagian yang mirip ayat-ayat Alquran lalu dengan mudahnya sang Profesor menuduh beliau sebagai Plagiat Alquran. Jadi, pertanyaan buat Pak Profesor Abdurrahman, apakah ritual ibadah Haji umat muslim itu dapat dikatakan sebagai plagiat ritual ibadah Haji-nya kaum paganis Arab ?

Ulama mana pun tahu bahwa perintah puasa itu adalah suatu ibadah yang juga diperintahkan oleh Allah swt. kepada umat terdahulu sebelum Islam, amati QS Al-Baqarah ayat 183. Pertanyaan lagi untuk Pak Profesor, apakah ibadah puasa umat Islam itu suatu plagiat dari umat terdahulu?

Kesamaan atau kemiripan ayat-ayat Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Sang Khātama 'n-Nabiyyīn dengan wahyu-wahyu suci yang diterima Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad itu menunjukan bahwa Tuhan-nya Nabi Muhammad saw. dengan Tuhan-nya Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah sama, dus Jibrilnya sebagai perantara turunnya wahyu pun sama juga. Itulah yang disebut sunatullah, percakapan seorang hamba dengan Tuhannya menunjukan sifat Mutakalimun Allah swt. masih tetap lestari sampai kapan pun. Dan menunjukan Allah swt. masih tetap HIDUP.

Imam Jalaluddin Abdur Rahman As-Suyuthi dalam bukunya Turunnya Isa Bin Maryam Pada Akhir Zaman, pada halaman 50 terbitan C.V. Haji Masagung, dengan tegas meyakini Isa bin Maryam nanti tetap menerima wahyu Hakiki, bukan Ilham. Keyakinan As-Suyuthi berkenan dengan Nabi Isa a.s. nanti akan tetap mendapat Wahyu Hakiki dan tetap berpangkat Nabi dan Rasul yang tidak membawa syariat baru bukanlah pendapat pribadi namun diperkuat dengan hadis-hadis riwayat Muslim, At-Tarmidzi dan An-Nasai yang tidak diragukan lagi sebagai hadis Mutawatir.

Warga Nahdliyin sebagian besar juga meyakini Nabi Isa a.s. Akhir Zaman nanti tetap akan berpangkat sebagai Nabi dan Rasul. Hal ini termaktub dalam Akhkamul Fuqaha Kumpulan Masalah-masalah Dinyah dalam Mu’tamar NU ke-1 s.d. 15 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang diterbitkan oleh C.V. Toha Putra Semarang, halaman 34—35.

Jamaah Ahmadiyah meyakini masih adanya wahyu yang akan turun dan meyakini ada nabi lagi yang tidak membawa syariat baru setelah Nabi Muhammad saw., berpijak dan beranjak dari kedua keyakinan “Nuzulu 'l-Masī” yang juga terdapat di kedua buku tersebut.

Jadi, jika kepercayaan masih ada Wahyu dan Rasul setelah Nabi Muhammad saw. dianggap suatu yang menyimpang dan sebagai suatu yang menodai agama dalam tatanan hukum di Indonesia, maka dengan semestinya, buku Turunnya Isa Bin Maryam Pada Azhir Zaman terbitan C.V. Haji Masagung dan buku Kumpulan masalah-masalah Dinyah Nahdlatul Ulama terbitan C.V. Toha Putra Semarang diberangus dari peredarannya di seluruh wilayah hukum di Indonesia. Namun, sayang pemberangusan buku atau suatu penerbitan yang dulu kewenangannya dipegang Kejaksaan Agung kini sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Ganjil memang jika perkara perbedaan penafsiran dan beda pemahaman dibawa-bawa ke ranah hukum. Apalagi, yang berkaitan dengan penistaan atau penodaan agama. Yang satu mengklaim suatu kebenaran, yang lainnya mempertahankan suatu kebenaran yang lain pula.

Jika Plagiator Alquran dibawa ke ranah hukum [dunia] yang dituduhkan Profesor Dr. K.H. Abdurrahman, M.A., tentu sang hakim akan mempertanyakan suatu bukti, “Mana ‘hak paten’ Alquran yang dimiliki Pak Profesor sebagai orang yang mewakili umat Islam yang menunjukan bahwa Alquran itu kitab sucinya orang Islam?”

Dalam beberapa ayat Alquran, Allah swt. menyeru kepada orang-orang beriman dengan “Yā ayyuha 'l-ladzīna āmmanū,” dan ada beberapa ayat yang menyeru “Yā ayyuha 'n-nās.” Itu menunjukan, Alquran bukan saja diperuntukkan bagi yang telah beriman (umat Islam), tapi juga diperuntukkan bagi umat manusia secara universal.

Suatu kali, dalam persidangan Lia “Eden” Aminudin, jaksa menuduh bahwa dia bertemu dengan Jibril yang palsu. K.H. Abdurrahman Wahid, yang biasa disapa Gus Dur, sebagai ‘saksi yang meringankan’ berujar kepada Jaksa di persidangan, “Emangnya kalian pernah bertemu dengan Jibril yang asli?”

Sungguh suatu pertanyaan bernada sindiran yang sangat berharga buat mereka yang menilai sesuatu ‘palsu’ namun tidak mengetahui bagaimana sesungguhnya yang ‘asli’. Demikian pun hendaknya jika seseorang menuduh ada ‘nabi palsu’, tentunya harus mengetahui bagaimana sebenarnya ciri ‘nabi yang asli’.

Dan kalimat yang perlu direnungi oleh para pegiat atau aktifis keislaman yang mengaku dirinya ‘pembela Islam’, Gus Dur acap pernah berucap, “Tuhan tidak perlu dibela karena Dia bisa membela diri-Nya sendiri.”

Jangankan seorang Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Hadhrat Muhammad saw. saja jika mengada-ada dusta atas nama Allah diancam akan diputus urat nadinya. Telaahlah QS Al-āqqah ayat 44—47! Jika Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad mengada-ada dusta atas nama Allah, tidaklah akan sempat menyebarkan wahyu-wahyu suci yang terus diperkenalkan oleh jemaahnya. Sejak menerima wahyu pada Maret 1882, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad terus hidup mengkhidmati Islam sampai dengan wafatnya secara wajar di tahun 1908. Dan umat tidak perlu kawatir dan ambil pusing terhadap tangan-tangan jahil yang akan merusak dan merubah ayat-ayat Alquran, karena Alquran sudah ada Sang Penjaga yang terus memeliharanya. Tengoklah QS Al-Hijr ayat 9! Adakah seorang manusia yang diberikan kewenangan untuk memeliharanya atas nama Allah swt.?

Bid’ah Terpaksa atau Terpaksa Bid’ah?

Para ulama salaf, tabi’in dan taba’ Tabi’in, jika memulai khotbah, mengucap dua kalimah syahadat cukup dengan “Asyhadu allā ilāha illa 'l-Lōh[u], wa asyhadu anna Muammadar-rasūlu 'l-Lōh.” Namun, untuk membendung kepercayaan ‘ada Nabi lagi’ sebagian ‘ulama masa kini’ yang Salafi maupun yang Suni ‘menambah-nambah’ dengan satu kalimat lagi di belakangnya menjadi: “Asyahadu alla illāha illa 'l-Lōhu wa asyhadu anna Muammadar-rasūlu 'l-Lōh—laa nabiyya ba’dah[u].” Konon, kata para fuqaha, sesuatu yang haram jika terpaksa bisa jadi halal. Namun, pada zaman salafi, bukankah orang yang mengaku nabi juga sudah ada? Lalu, mengapa mereka tidak pakai jurus menambah ‘dua kalimah’ syahadat menjadi ‘tiga kalimah’?

Furu’ boleh Beda, Uul tidak boleh Beda?

Di mesjid sana kalau shalat Jumat adzannya dua kali, di mesjid sini cukup satu kali. Di mesjid sana, kalau Tarawih duapuluh tiga kali—plus witir. Di mesjid sini cukup sebelas kali—plus witir. Di kampung sana, kalau ada orang Islam yang meninggal ditahlil-in dan dingajiin. Di kampung sini, tidak perlu ditahlil dan dingajiin; kayak kucing mati, sudah dikubur, selesai sudah. Begitu kata sebagian orang.

Perbedaan itu ada yang menamakannya furu’, yakni cabang atau khilafiyah, tidak perlu dipersoalkan atau diperpanjang, istilah kerennya ‘dapat ditolerir.’

Namun, jika masalah kepercayaan, keyakinan, aqidah, atau biasa disebut ushul tersebut merupakan masalah mendasar, haruslah sama. Tidak boleh beda. Itulah sebagian ulama keukeuh berpendapat. Kalau masalah ushul beda, itu sudah sesat dan kufur. Demikian mereka berfatwa.

Marilah kita telaah tafsir ayat-ayat yang dikemukakan oleh pendiri dan ketua MUI pertama Prof. Dr. Buya Hamka terkait keyakinan bahwa ‘Nabi Isa a.s. sudah wafat.’ Dalam Tafsir Alquran Al-Azhar bahasan surah An-Nisā' ayat 157—158, Nabi Isa a.s. tidak diangkat ke langit dengan badan kasarnya, namun diselamatkan di suatu tempat yang aman. Bahkan, Buya Hamka mengamini penyelidikan dan penemuan Mirza Ghulam Ahmad bahwa Nabi Isa a.s. telah wafat dan kuburnya ada di Srinagar, Kashmir, India. Lihat Juz VI halaman 71!

Dalam bahasan Surah Al-Mā'idah ayat 117 adalah lebih tegas lagi. Setelah kewafatannya itu, barulah para pengikutnya membelokkan ajarannya yang mempertuhankan Nabi Isa a.s. dan ibundanya. Hasbullah Bakry dalam bukunya Pedoman Islam di Indonesia, juga mengemukakan pendapat yang sama bahwa Nabi Isa a.s. telah wafat. Kewafatannya bukan disalib dan diselamatkannya bukan diangkat ke langit, namun dalam lindungan Allah masih tetap hidup hingga usianya 120 tahun di tempat yang tinggi dan datar serta bermata air seperti yang tergambar dalam Surah Al-Mu'minūn ayat 50.

Lain Buya Hamka, lain pula alim Persis (Persatuan Islam) yaitu Ustadz A. Hassan. Alim yang satu ini, A. Hassan, tetap keukeuh mempertahankan keyakinanya bahwa Nabi Isa a.s. masih hidup di langit sampai sekarang dan di Akhir Zaman nanti akan turun. Itu jelas beliau kemukakan dalam debat dengan wakil dari Ahmadiyah, «Rahmat Ali, H.A., O.T.» dan «Abubakar Ayyub, H.A.» pada tahun 1933 di Gang Kenari, Batavia.

Dari kedua ulama tersohor, antara Buya Hamka dan A. Hassan, terkait kepercayaan ‘Nabi Isa a.s. telah wafat dan masih hidup di langit’, jelas suatu kepercayaan yang bertolak belakang. Bisakah kepercayaan yang sangat penting dan mendasar ini ditolerir? Siapakah dari antara kedua ulama ternama itu yang benar dan yang sesat jika masalah ushul tidak boleh beda?

Mari Bergandeng Tangan

Seperti yang dinukil oleh sang penulis Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, suatu ayat yang menjadi pegangan orang untuk berdakwah dalam Surah An-Nal ayat 125 yaitu:

Artinya, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya, Tuhan-mu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Amat jelas kalimah Allah tersebut sebagai pegangan bagi orang yang akan berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, bukan dengan cacian dan celaan. Dengan bantahan pun, yang dianjurkan adalah dengan cara yang baik pula, bukan dengan aksi keren-kerenan. Dan pada kalimah terakhir menunjukan, hanya Tuhan-lah yang mempunyai hak dan lebih tahu siapa yang tersesat dan siapa yang mendapat petunjuk. Manusia mana pun tidak ada yang diberi wewenang untuk mengafirkan manusia lainnya. Sungguh, fatwa MUI telah melampaui batas!

Kalau saya boleh simpulkan, melihat dan membaca, ternyata, virus paham dakwah sekte Salafi Wahabi sudah merasuki sebagian tokoh-tokoh ulama Indonesia. Dan, sudah sangat klop dan lengkap aksi dakwah Salafi Wahabi yang ditiru oleh sebagian ulama dan umat Islam Indonesia terhadap Jemaah Muslim Ahmadiyah, yaitu dikafirkan dan mengalami tindak kekerasan oleh orang-orang yang juga mengaku dirinya muslim.

Dalam uraian terakhir penutup buku tersebut, sang penulis mengajak kita semua, khususnya umat Islam, untuk saling bahu-membahu dalam dakwah, mengajak kepada Allah swt. dengan jalan: senantiasa mengedepankan sikap lemah lembut dan perangai yang baik serta menghindar sedapat mungkin kata-kata yang buruk dan perangai yang jahat.

Sudah menjadi kewajiban warga Ahmadiyah untuk [1] selalu bersedia di mana saja untuk berdialog dan bekerjasama dengan umat Islam yang lainnya dalam rangka mengajak seruan kebaikan di jalan Allah swt., serta [2] menyambut dengan baik ajakan sang penulis pada kalimat penutup buku tersebut. Ajakan resolusi jihad yang dicanangkan oleh Bapak Ketua Umum PBNU Profesor Dr. K.H. Said Agil Siraj, M.A. baru-baru ini perlu mendapat sambutan masyarakat luas, khususnya kaum muslimin di Indonesia, termasuk warga muslim Ahmadiyah.

Akhirul kalam,

Jakarta, 9 Desember 2011

Wa's-salām

Darisman Broto, seorang warga muslim Ahmadiyah

Jl. Praja Dalam E №. 53
Kel. Kebayoran Lama Selatan, Kec. Kebayoran Lama
Kodya Jakarta Selatan, DKI Jakarta
Hp. 0818-07335402; www.multibizindo.indonetwork.co.id

APPENDIKS

Judul buku: Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi; penulis: Syaik Idahram; kata pengantar: Prof. Dr. K.H. Said Agil Siraj, M.A.

penerbit & distribusi: Pustaka Pesantren
Salakan Baru №. 1, Sewon Bantul
Jl. Parangtritis KM 4,4
DI Yogyakarta
Telp.(0274) 387194
Fax.(0274) 379430
www.lkis.co.id

Komentar para tokoh terhadap buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi :

Ust. H. Muhammad Arifin Ilham, Pimpinan Majelis Zikir az-Zikra:

“Saya rasa, rumah-rumah setiap muslim perlu dihiasi dengan buku penting seperti ini, agar anak-anak mereka juga turut membacanya, untuk membentengi mereka dengan pemahaman yang lurus. Islam adalah agama yang lembut, santun dan penuh kasih-sayang.”

KH. Dr. Ma’ruf Amin, M.A. Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI):

“Buku ini layak dibaca oleh siapa pun. Saya berharap, setelah membaca buku ini, seorang muslim meningkat kesadarannya, bertambah kasih-sayangnya, rukun dengan saudaranya, santun dengan sesama umat, lapang dada dalam menerima perbedaan, dan adil dalam menyikapi permasalahan.”

Prof. Dr. K.H. Said Agil Siraj, M.A. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU):

“Saya sangat bergembira dengan adanya karya ilmiah dari Saudara Syaikh Idahram ini yang merupakan satu karya penting bagi masyarakat muslim Indonesia. Bisa dikatakan, belum ditemukan karya setajam ini sebelumnya dalam mengkritisi Salafi Wahabi.”

———oooOooo———


Darisman Broto - Virus Salafi (Artikel REVISI Akhir 20121216) (2)