Penjelasan Theologi Jemaah Muslim Ahmadiyah Indonesia




PENJELASAN THEOLOGI JEMAAH MUSLIM AHMADIYAH
oleh Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia

(Disampaikan di Jakarta, 16 Pebruari 2011 pada Acara Dengar Pendapat Umum di Komisi VIII DPR RI)



I. RUKUN IMAN

Enam Rukun Iman kami adalah :

1. Beriman kepada Allah
2. Beriman kepada para Malaikat
3. Beriman kepada Kitab-kitab Allah
4. Beriman Kepada para Rasul Allah
5. Beriman kepada Hari Kiamat
6. Beriman kepada Taqdir

Berkaitan dengan Rukun Iman pertama dan kedua, pendiri Jemaat Ahmadiyah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘Alaihis-salaam bersabda, “Semakin kuat iman, semakin baik amal perbuatannya; sedemikian rupa sehingga, jika kekuatan iman ini memperoleh kesempatan mencapai puncaknya, orang tersebut akan mencapai taraf syahid karena dalam hal ini tidak ada yang dapat menghalang halanginya dan dia tidak enggan mengorbankan hidupnya.” (Malfuzhat, Vol. I, hal. 326, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

Selanjutnya, beliau ‘Alaihis-salaam menerangkan bahwa “Islam mengajarkan bahwa Allah adalah Dia Yang memiliki seluruh sifat mulia dan bersih dari segala macam kelemahan/kekurangan. Dia adalah Pencipta dan Penguasa seluruh benda. Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Islam tidak menjadikan suatu makhluk pun sebagai Tuhan atau sekutu bagi Tuhan. Islam mengajarkan perbedaan antara Khaliq dan Makhluq.” (Malfuzhat, Jld. IV, hal. 145 , Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984) “Untuk itu adalah penting agar kalian mewakafkan hidup kalian di

jalan Allah. Dan, inilah Islam. Inilah tujuan yang untuknya saya diutus.” (Malfuzhat, Jld. III, hal. 188-189, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)


Beliau Alaihis-salaam bersabda:
“Aku datang untuk menegakkan manusia di atas tauhid.” (Al-Istiftaa', hal. 45)

Berkaitan dengan Rukun Iman ketiga pendiri Jemaat Ahmadiyah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘Alaihis-salaam menyatakan, “Diriku yang lemah telah diutus ke dunia untuk menyampaikan pesan Tuhan untuk menyatakan bahwa di antara semua agama yang ada saat ini satu-satunya yang benar dan sesuai dengan kehendak Tuhan adalah yang dikemukakan oleh Alquran; dan Laa ilaaha illallaahu Muhammadur-Rasuulullaah adalah pintu memasuki Rumah Keselamatan.” (Malfuzhat, Vol. II, hal. 132, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)

“Sama sekali tidak mungkin mendapat keberhasilan tanpa mengikuti ajaran Alquran, jika seseorang berfikir sebaliknya, itu hanyalah semata-mata khayalan; orang-orang duniawi mengejar keberhasilan macam ini.” (Malfuzhat, Vol, II, hal. 157, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)



“Di masa kita, ada pertanyaan yang muncul: Apa sebab-sebab yang mengakibatkan kemunduran Islam, dan apa pula sarana-sarana yang melaluinya timbul jalan keluar bagi kemajuannya? Orang-orang telah memberikan berbagai macam jawaban atas hal itu sesuai dengan pemikiran masing-masing. Namun, jawaban yang benar adalah bahwa kemunduran itu terjadi karena meninggalkan Alquran. Dan, hanya dengan melakukan perbuatan yang sesuai dengannya Alquran-lah kondisinya akan menjadi baik.” (Malfuzhat, Vol. V, hal. 256, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)



Selanjutnya beliau ‘Alaihis-salaam bersabda, “Ini adalah suatu Kitab yang selaras dengan kodrat. Sebagaimana difirmankan: Fiihaa kutubun qoyyimah (Al-Bayyinah, 98 : 4). Ini adalah lembaran-lembaran yang di dalamnya terdapat seluruh kebenaran. Betapa beberkatnya Kitab ini dimana di dalamnya terkandung segala sarana untuk mencapai derajat yang paling tinggi.” (Malfuzhat, Jld. I, hal. 39, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984). Maka dari itu, beliau ‘Alaihis-salaam mengajak umat manusia untuk memahami dan melaksanakan ajaran Alquran.



Beliau ‘Alaihis-salaam bersabda:

“Aku tidak menyuruh manusia kecuali dengan Alquran dan kembali kepada Alquran serta taat kepada Tuhan yang kepada-Nya mereka akan dikembalikan.” (‘Ainah Kamalati Islam, hal. 486)



Sehubungan dengan Rukun Iman keempat, Pendiri Jemaat Ahmadiyah mengajarkan iman kepada semua Nabi dan Utusan Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa. Teristimewa ajaran keimanan kepada Sayyidina Nabi Besar Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya, beliau ‘Alaihis-salaam menyatakan dengan tegas sebagai berikut: “Tuhan telah berkehendak bahwa semua kesempurnaan yang dimiliki oleh para Nabi, semuanya terkumpul dalam wujud Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” (Malfuzhat, Vol. I, hal. 326, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)



Seandainya Yang Mulia Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak datang, maka bukan lagi kenabian, bukti akan adanya Tuhan pun tidak akan dapat dijumpai dalam keadaan demikian. Melalui ajaran beliaulah baru Tuhan itu dapat diketahui: Qul huwallaahu achad, Allaahushshomad, Lamyalid walam yuulad, walam yakullahu kufuwan ahad. (Al-Ikhlas, 112 : 2-5)



Selanjutnya beliau ‘Alaihis-salaam bersabda:

“Tidak ada Tuhan kecuali Allah, Muhammad adalah Utusan Allah--Kami beriman kepada Allah, malaikat-Nya, para Rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, Surga, Neraka dan Kebangkitan sesudah mati. (Anwarul-Islam, hal. 34)



Selanjutnya beliau ‘Alaihis-salaam bersabda:

“Dan Allah mengetahui sesungguhnya aku adalah pecinta Islam, berkorban untuk Hadhrat Khairil-anaam Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan aku sebagai pelayan Ahmad Mushthafa Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” (Ainah Kamalati Islam, hal. 388)



Sehubungan dengan Rukun Iman kelima, Hadhrat Imam Mahdi ‘Alaihis-salaam bersabda,

“Akhirnya, suatu hari dunia ini akan habis dan semuanya akan punah... Itu betul. Dan, Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa dari sejak awal sudah merupakan Khaaliq (Pencipta) terus-menerus. Namun, Keesaan-Nya pun menuntut supaya Dia di suatu saat menghabiskan semuanya ini. Kullu man ‘alaiha faan. (Ar-Rahman, 55 : 27). Segala sesuatu yang ada di atasnya, akan menjadi punah. Kita tidak dapat mengatakan kapan waktu itu akan tiba. Namun, waktu yang demikian pasti akan datang.” (Malfuzhat, Jld. IX, hal. 193, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)



“Hendaknya diketahui bahwa alam Akhirat pada hakikatnya merupakan sebuah refleksi alam dunia. Dan, segala sesuatu di dunia yang tampil secara rohani sebagai iman dan dampak keimanan, serta kufur dan dampak kekufuran, akan tampil di alam Akhirat secara nyata. Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa berfirman: ‘Wa man kaana fii chaadzihii a’maa fahuwa fil-aakhirati a’maa'. (Bani Israil, 17 : 73) Yakni, siapa yang buta di dunia ini, dia juga akan buta di Akhirat.’” (Malfuzhat, Jld. III, hal. 61-62, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).



“Kemudian, mengenai anugerah di Surga, dalam kaitannya dengan orang-orang saleh, Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa berfirman: Yufajjiruunahaa tafjiiraa—yang memancarkannya dengan sebaik-baiknya. (Al-Insan, 76 : 7) Yakni, dari tempat itu memancar dan mengalir sungaisungai. Kemudian di tempat lain dalam rangka menguraikan ganjaran bagi orang-orang mukmin dan orang-orang yang beramal saleh, Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa berfirman: Jannaatin tajrii min tachtihal-anhaar—Kebun Surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. (Al-Baqarah, 2 : 25)” (Malfuzhat, Jld. III, hal. 155-156, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)



“Hendaknya dimengerti, apakah Neraka itu? Neraka yang satu adalah yang akan diperoleh sesudah manusia mati sebagaimana janji Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa, sedangkan yang satu lagi adalah kehidupan ini, jika tidak untuk Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa; maka itu adalah Neraka juga.” (Malfuzhat, Vol. II, hal. 101, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)



Akhirnya sehubungan dengan Rukun Iman keenam, pendiri Jemaat Ahmadiyah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘Alaihis-salaam bersabda, “Orang-orang melontarkan kritikan mengenai ini, yakni mengapa taqdir itu terdiri dari dua bagian? Maka jawabnya adalah, pengalaman memberi kesaksian akan hal itu, yakni kadang-kadang tampil dalam bentuk-bentuk yang sangat berbahaya dan manusia benar-benar jadi putus asa. Namun, melalui doa dan sedekah serta pengorbanan, akhirnya bentuk bentuk bahaya tersebut jadi hilang. Jadi, akhirnya terpaksa diakui bahwa jika taqdir muallaq (taqdir yang masih dapat berubah) itu tidak ada, dan segala sesuatu yang berlaku hanyalah taqdir mubram (taqdir yang tidak dapat berubah), maka mengapa bisa terjadi penolakan bala? Dan berarti, doa serta sedekah dan sebagainya itu tidak ada artinya sedikitpun?



Beberapa iradah Ilahi hanya dengan maksud agar tumbuh rasa khawatir pada manusia sampai batas tertentu. Lalu jika ia memberikan sedekah dan pengorbanan, maka rasa khawatirnya itu dihilangkan. Permisalan pengaruh doa adalah seperti unsur laki-laki dan perempuan. Jika syarat terpenuhi dan diperoleh waktu yang tepat serta tidak ada kekurangan apapun, maka sesuatu masalah akan terhindarkan. Dan apabila yang berlaku taqdir mubram, maka tidak timbul sarana sarana pengabulan doa. Hati memang menginginkan doa, akan tetapi perhatian tidak dapat terpusat sepenuhnya dan dalam hati tidak muncul rasa perih dan sedih. Shalat, sujud dan lain-lain yang dilakukannya tidak terasa nikmat; yang darinya dapat diketahui bahwa itu bukan akhir yang baik dan merupakan taqdir mubram.” (Malfuzhat, Jld. VII, hal. 87-88, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)



II. RUKUN ISLAM



Lima Rukun Islam kami adalah :

1. Dua Kalimah Syahadat

Sehubungan dengan Rukun Islam pertama, pendiri Jemaat Ahmadiyah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘Alaihis-salaam bersabda, “Aku ingin memperkenalkan diriku kepada mereka sebagai saksi keberadaan Tuhan. (Malfuzhat, Vol. I, hal. 307, Cet.Add. Nazhir Isyaat 1984)



“Diriku yang lemah telah diutus ke dunia menyampaikan pesan Tuhan untuk menyatakan bahwa di antara semua agama yang ada saat ini satu-satunya yang benar dan sesuai dengan kehendak Tuhan adalah yang dikemukakan oleh Alquran dan Laa ilaaha illallaahu Muchammadur Rasuulullaah – Tidak ada tuhan, kecuali Allah – adalah pintu untuk memasuki Rumah Keselamatan.” (Malfuzhat, Vol. II, hal. 132, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)



2. Menegakkan Shalat

Sehubungan dengan Rukun Islam kedua, pendiri Jemaat Ahmadiyah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘Alaihis-salaam bersabda, “Salah satu arti dari surat Al-Fatihah ialah yang menaklukkan. Dia itu membuktikan seseorang menjadi beriman atau ingkar. Dengan kata lain, dia membedakan antara dua hal tersebut. Dia membukakan hati dan memberikan pengertian. Itulah sebabnya surat Al-Fatihah harus dibaca begitu sering dan seseorang harus menghayati doa ini dengan khusuk. Dia menjadikan seseorang betul-betul seperti seorang pengemis dan sangat membutuhkan. Sebagaimana seorang pengemis merendahkan dirinya dan meminta kemurahan dengan menunjukkan dia sangat membutuhkan atau dengan mengubah nada suaranya, seseorang hendaknya merendah dan kemudian memohon kepada Tuhan agar mencukupi kebutuhannya. Shalat tidak dapat dinikmati sepenuhnya, kecuali oleh orang yang merendahkan dirinya saat shalat dan menjadikannya sebagai sarana permohonannya.” (Malfuzhat, Vol. II, hal. 145, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984) “Masalahnya adalah bahwa tatkala manusia bersih dari gejolak nafsu serta meninggalkan egonya lalu berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan, maka tidak ada perbuatannya yang tidak benar. Bahkan setiap perbuatannya selaras dengan kehendak Tuhan.” (Malfuzhat, Jld. I, hal. 14-15, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)



Selanjutnya beliau ‘alaihis salaam menerangkan, “Apa yang dimaksud dengan shalat? Ia merupakan suatu doa khusus. Akan tetapi kebanyakan orang menganggapnya sebagai uang pajak bagi raja-raja. Orang yang tidak faham, sebegitu pun tidak tahu, apalah perlunya perkara-perkara itu bagi Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa. Kemaha-Cukupan-Nya mana pula memerlukan supaya manusia sibuk dalam doa, tasbih dan tahlil. Justru di dalamnya terdapat manfaat bagi manusia sendiri, bahwa dengan cara demikian ia dapat mencapai tujuannya. Saya sangat sedih menyaksikan bahwa pada masa kini tidak ada kecintaan terhadap ibadah dan kerohanian. Penyebabnya adalah suatu kebiasaan umum yang beracun. Karena faktor itulah kecintaan terhadap Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa menjadi beku. Dan kenikmatan yang seharusnya timbul di dalam ibadah, ternyata kenikmatan itu sudah tidak ada lagi.” (Malfuzhat, Vol. I, hal. 159-160, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)



“Shalat merupakan alat untuk menghindarkan diri dari dosa. Shalat memiliki khasiat untuk menjauhkan manusia dari dosa dan perbuatan buruk. Oleh sebab itu, carilah oleh kalian shalat yang demikian. Berusahalah untuk menjadikan shalat-shalat kalian seperti itu. Shalat merupakan ruh/jiwa segala kenikmatan. Karunia Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa datang melalui shalat yang seperti itu. Jadi, kerjakan shalat dengan khusyuk, supaya kalian menjadi pewaris nikmat Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa.” (Malfuzhat, Jld. V, hal. 126; Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)



“Shalat adalah sesuatu yang di dalamnya harus terdapat keperihan dan keharuan. Dan, manusia berdiri di hadapan Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa dengan sikap penuh sopan. Tatkala manusia sebagai hamba lalu bersikap tidak peduli, maka Dzat Tuhan itu adalah Ghani (Maha Cukup dan Tidak Membutuhkan). Setiap umat akan tetap bertahan selama di dalamnya terdapat perhatian ke arah Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa. Akar iman pun adalah shalat. Sebagian orang yang tidak faham mengatakan: Apa perlunya shalat ini bagi Tuhan? Wahai orang-orang yang tidak mengerti, Tuhan memang tidak memerlukannya, tetapi kalianlah yang memerlukan agar Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa memberi perhatian kepada kalian. Pekerjaan-pekerjaan yang berantakan, akan menjadi benar kembali, karena mendapat perhatian dari Tuhan. Shalat menjauhkan ribuan kesalahan, dan merupakan sarana untuk meraih kedekatan Ilahi.” (Malfuzhat, Jld. VII, hal. 378, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)



Bahkan beliau ‘Alaihis-salaam menyatakan bahwa shalat itu merupakan sarana yang akan mengantarkan seorang hamba kepada Tuhannya.



Beliau ‘Alaihis-salaam bersabda:

“Maka, sesungguhnya shalat itu adalah sarana yang akan mengantarkan seorang hamba kepada Tuhannya para hamba itu.” (I’jazul-Masich, hal. 164)



Maka dari itu, shalat lebih utama dikerjakan pada awal waktunya karena shalat itu merupakan kesempatan dan sarana efektif yang bisa mengantarkan seseorang ke hadapan Tuhannya.



Beliau ‘Alaihis-salaam bersabda:

“Dan termasuk keutamaan ibadah, jika manusia menjaga shalat yang lima pada awal waktunya.” (I’jazul-Masich, hal. 163-164)



Pernyataan beliau ‘Alaihis-salaam ini sesuai dengan sabda Hadhrat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits beliau saw:

“Yang paling utama dari amalan itu adalah shalat yang dilaksanakan pada awal waktunya.” (HR Abu Daud, At-Turmudzi, dan Al-Chakim dalam Al-Mustadrak—dari Hadhrat Ummu Fardah radhiyallaahu ‘anhu; dan Kanzul-Umal, Juz VII/18900)



3. Puasa Bulan Ramadhan

Sehubungan dengan Rukun Islam ketiga, pendiri Jemaat Ahmadiyah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad ‘Alaihis-salaam bersabda, “Masalah ketiga, yang merupakan Rukun Islam adalah Puasa. Kebanyakan orang tidak mengetahui akan hakikat puasa sedikitpun. Pada dasarnya orang yang tidak pernah pergi ke suatu negeri dan tidak kenal akan alam negeri itu, bagaimana mungkin dia dapat menjelaskan keadaan negeri tersebut? Puasa bukanlah sekedar suatu ibadah di mana manusia menahan lapar dan dahaga saja. Melainkan, dia memiliki suatu hakikat serta pengaruh yang dapat diketahui melalui pengalaman. Di dalam fitrah manusia terdapat ketentuan bahwa semakin sedikit dia makan maka sedemikian itu pula akan terjadi tazkiyatun-nafs (penyucian jiwa). Dan potensi/kekuatan kasyfiyah pun bertambah. Maksud Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa dalam hal itu adalah: kurangilah satu makanan jasmaniah dan tingkatkanlah makanan rohaniah. Orang yang berpuasa hendaknya senantiasa memperhatikan bahwa hal itu bukanlah berarti supaya menahan lapar saja, melainkan mereka itu hendaknya sibuk dalam berdzikir kepada Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa, sehingga ia memperoleh tabattul (Surat Al-Muzammil, 73:9) dan inqithaa' 1).



Jadi, yang dimaksud dengan puasa adalah supaya manusia meninggalkan satu makanan yang hanya memberikan kelangsungan hidup bagi tubuh dan meraih makanan kedua yang dapat memberikan ketentraman dan kekenyangan bagi ruh. Dan, orang yang berpuasa semata-mata demi Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa, bukan sebagai suatu adat kebiasaan, mereka itu hendaknya terus sibuk dalam sanjungan, tasbih dan tahlil kepada Allah SubchaanaHu wa Ta’aalaa yang mana dari itu mereka akan memperoleh makanan kedua.” (Malfuzhat, Jld. IX, hal. 123, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)



“Puasa dan shalat, kedua-duanya merupakan ibadah. Penekanan puasa pada tubuh, sedangkan penekanan shalat adalah pada ruh. Shalat menimbulkan suatu keperihan dan keharuan. Oleh sebab itu ia lebih utama. Puasa menimbulkan kasyaf-kasyaf. Namun, kondisi demikian, juga kadang kadang dapat dialami oleh para yogi. Namun, keperihan/keharuan rohani yang timbul melalui doa-doa, tidak dialami oleh pihak lainnya.” (Malfuzhat, Jld. VII, hal. 379, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984). “Puasa dan shalat itu akan tetap berupa amal selama di dalamnya terdapat usaha gigih melawan rasa was-was.” (Malfuzhat, Jld. I, hal. 29-30, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984).



4. Membayar Zakat

Perintah Zakat berulang-ulang disebutkan dalam kitab suci Alquran, sedang penjelasannya secara rinci terdapat dalam Hadits-Hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.



Allah Taala berfirman:

“Ambillah dari orang-orang beriman [yang bernaung di bawah pemerintah Islam] sedekah/zakat, agar engkau (Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam) akan dapat membersihkan [hati mereka] dan juga engkau akan dapat membersihkan [harta benda (zakat)] mereka dari campuran harta orang lain dan doakanlah mereka.” (At-Taubah, 9 : 104)



Sehubungan dengan rukun Islam keempat ini, beliau ‘Alaihis-salaam pernah menetapkan tentang masalah zakat perhiasan. Sabda beliau, “Perhiasan pakaian tidak wajib zakatnya. Perhiasan yang disimpan tapi kadang-kadang dipakai, zakatnya dibayarkan juga hendaknya.

Pakaian perhiasan yang dipakai dan kadang-kadang dipinjamkan kepada orang-orang miskin, maka menurut fatwa setengah ulama, tidak wajib zakatnya. Pakaian yang dipakai sendiri dan tidak dipinjamkan kepada orang lain, lebih baik dizakatkan karena dia dipakai untuk sendiri. Di rumah kami, inilah yang dilakukan dan tiap-tiap tahun kami mengeluarkan zakat perhiasan di rumah kami. Tapi, perhiasan yang disimpan, seperti uang, wajib zakatnya. Tidak ada ikhtilaf (pertikaian pendapat).” (Majmu’ah Fatawa-e-Achmadiyyah, Jil. I, hal.163; terjemahan Alm. Mln. Ahmad Nuruddin rachimahullaahu)



5. Menunaikan Ibadah Haji

Sehubungan dengan rukun Islam kelima, beliau ‘Alaihis-salaam bersabda: “Lihat, pergi menunaikan ibadah Haji dengan ikhlas dan kecintaan adalah perkara mudah. Namun, kembali dalam kondisi yang seperti itu adalah sulit. Banyak sekali orang yang pulang dalam keadaan gagal dan kalbunya menjadi keras. Penyebabnya adalah mereka tidak menemukan hakikat yang ada di sana. Melihat kekurangan-kekurangan, mereka langsung protes sehingga mereka luput dari karunia-karunia di sana akibat dari perbuatan buruk mereka sendiri, dan karena melontarkan tuduhan pada pihak-pihak lain. Oleh karena itu, adalah penting tinggal menetap bersama Utusan [Ilahi] untuk beberapa lama dengan hati tulus dan teguh supaya manusia menjadi sadar akan kondisi-kondisi batinnya dan supaya kebenaran itu sepenuhnya menyinari.” (Malfuzhat, Jld. V. hal. 177, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)



“Kami tidak pernah membuat kalimah syahadat atau shalat atau ibadah Haji atau masjid sekecil apapun yang terpisah dari mengikuti Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam; tugas kami ialah untuk mengkhidmati agama Islam ini; dan memenangkan agama ini di atas semua agama lain serta mengikuti hukum-hukum Alquran yang mulia dan Hadits-hadits yang terbukti berasal dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Hadits paling lemah pun kami anggap wajib diamalkan dengan syarat tidak bertentangan dengan Alquran yang mulia; dan kami mengakui bahwa Bukhari dan Muslim ialah ashachchul-kutub sesudah Kitab Allah.” (Malfuzhat, Jld. VII, hal. 138-139, Cet. Add. Nazhir Isyaat 1984)



Namun, ada sebagian orang Islam yang berupaya menghalang-halangi orang Islam yang ingin menunaikan ibadah Haji ke Baitullah. Padahal sikap demikian ini sangat bertentangan dengan Hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.



Hadhrat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Wahai kaum Quraisy, bertakwalah kepada Allah dan janganlah melarang orang mengambil manfaat dari ibadah Haji, apabila kamu melakukan pelarangan Haji, maka aku menjadi musuhmu di hari Qiyamat.” (HR Abu Nu’aim dari Hadhrat Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu; dan Kanzul-Umal, Juz V/12361)



III. DEFINISI MUSLIM



a. Menurut Al-Quran

“Bahkan, barangsiapa saja berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan berbuat baik kepada orang

lain, ia akan memperoleh ganjaran dari Tuhannya, tidak ada ketakutan akan menimpa mereka dan

mereka tak akan susah (Al-Baqarah :112)



“Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang telah mengucapkan “salam” kepada kamu,

kamu bukan seorang Mukmin.” (An-Nisa:94).



b. Menurut Nabi Muhammad Rasulullah saw

Jibril a.s. dalam bentuk manusia datang kepada Rasulullah s.a.w. dan bertanya kepada beliau saw:

“’Hai Muhammad! Beritahukanlah kepadaku tentang Islam.’ Rasulullah s.a.w. bersabda: ‘Islam, ialah hendaknya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Utusan Allah, mendirikan shalat, memberikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan beribadah haji di Baitullah jika engkau mampu menempuh di jalannya.’ Orang itu berkata: ‘Engkau benar!’ Perawi mengatakan: ‘Kami merasa heran kepada orang itu. Dia bertanya dan sekaligus membenarkannya.’ Kembali orang itu berkata: ‘Beritahukanlah kepadaku tentang Iman’. Rasulullah s.a.w. bersabda: ’Hendaknya engkau beriman kepada Allah, kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan Hari Akhir, serta beriman kepada takdir, baik dan buruknya takdir.’ Orang itu berkata: ‘Engkau benar.’” (Shahih Muslim, Kitabul Iman)



“Seorang laki-laki penduduk Najd datang kepada Rasulullah s.a.w., tidak teratur rambut kepalanya. Kami mendengar suaranya tetapi tidak memahami apa yang dikatakannya sampai dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Rasulullah s.a.w. bersabda: ‘Shalat lima kali dalam sehari semalam.’ Lalu dia berkata, 'Apakah ada kewajiban lain atasku ?' Beliau bersabda: ‘Tidak, kecuali engkau ingin melakukannya secara nafal! Rasulullah s.a.w. bersabda: ‘Dan puasa Ramadhan.’ Ia bertanya: 'Apakah ada kewajiban lainnya atasku ?' Beliau bersabda: ‘Tidak, kecuali engkau ingin melakukannya secara nafal.’ Dan Rasulullah menuturkan kepadanya tentang zakat. Ia bertanya: ‘Apakah ada kewajiban lainnya atasku ?’ Beliau bersabda: ‘Tidak, kecuali engkau ingin melakukannya secara nafal.’ Lalu laki-laki itu berpaling seraya berkata: ‘Demi Allah, saya tidak menambah atas ini dan tidak pula menguranginya.’ Rasulullah s.a.w. bersabda: ‘Berbahagialah dia, jika dia terbukti benar dalam ucapanya.” (Shahih Bukhari, Kitabul Iman, Bab Az-Zakatu minal Islam).



“Barangsiapa yang shalat seperti shalat kita, berkiblat pada kiblat kita, dan memakan sembelihan kita, maka ia adalah orang Muslim yang mempunyai jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu mengecoh Allah dalam hal jaminan-Nya. (Shahih Bukhari, Kitabul Shalat, Bab Fadhlistiqbaalil Qiblah).



Merupakan suatu ihsan agung Junjungan Suci kita Nabi Muhammad Rasulullah saw. bahwa melalui definisi tersebut Rasulullah saw. dalam kata-kata yang sangat lengkap telah meletakkan fondasi antara bangsa-bangsa di dalam kesatuan dunia Islam. Dan merupakan kewajiban setiap pemerintahan Islam untuk mengakui fondasi/prinsip ini dalam pandangan mereka dengan sangat jelas. Jika tidak, maka tatanan umat Islam senantiasa akan hancur, dan pintu-pintu kekacauan tidak akan pernah dapat ditutup.



c. Defenisi Muslim sejati dalam kata-kata Pendiri Jemaat Ahmadiyah

Pendiri Jemaat Ahmadiyah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad bersabda:

“Apakah Islam itu? Islam adalah api menyala yang membakar kehidupan rendah kita dan menghanguskan berhala-berhala palsu kita, lalu mempersembahkan pengorbanan jiwa kita, harta kita, dan kehormatan kita dihadapan Sang Sesembahan Yang Mahabenar dan Mahasuci. Setelah masuk kedalam mata air yang demikian, kita meminum kehidupan baru. Dan segenap kehidupan ruhani kita lekat menyatu dengan Allah sedemikian rupa bagaikan seutas tali yang diikatkan dengan tali lainnya. Bagai api halilintar dari dalam diri kita muncul sebuah api dan sebuah api lagi turun kepada kita dari atas. Dengan bertemunya kedua kobaran api ini, segenap hawa nafsu dan kecintaan kita terhadap wujud-wujud selain Allah menjadi hangus terbakar. Dan kita menjadi mati dari kehidupan pertama kita. Berdsarkan Al-Quran Suci, keadaan ini dinamakan Islam.” (Filsafat Ajaran Islam, hal. 102)



“Secara istilah, arti Islam adalah apa yang diisyaratkan oleh ayat suci ini, yakni Muslim adalah dia yang menyerahkan segenap wujudnya di jalan Allah Ta’ala. Yakni, mewakafkan wujudnya untuk Allah Ta'ala dan untuk mengikuti kehendak-kehendak-Nya, serta untuk meraih keridhaan-Nya. Kemudian dia berdiri teguh di atas perbuatan-perbuatan baik demi Allah Ta’ala. Dan dia mengerahkan segenap kekuatan amaliah wujudnya di jalan Allah. Artinya, secara akidah dan secara amalan, dia telah menjadi milik Allah Ta’ala semata.



Secara akidah adalah demikian, yakni dia memahami segenap wujudnya secara hakikat sebagai sesuatu yang telah diciptakan untuk mengenali Allah Ta’ala, untuk mentaati, dan untuk meraih kecintaan serta keridhaan-Nya. Sedangkan secara amalan adalah demikian, yakni murni demi Allah dia melakukan kebaikan-kebaikan hakiki yang berkaitan dengan segenap kemampuannya dan yang berhubungan dengan segenap karunia anugerah Allah. Namun, dengan penghayatan dan pendalaman sedemikian rupa seolah-olah pada pandangan keitaatannya dia sedang menyaksikan wajah Sang Ma’bud Haqiqi itu….



Sekarang dengan menelaah ayat-ayat tersebut di atas, setiap orang berakal dapat memahami bahwa hakikat Islam baru dapat merasuk ke dalam diri seseorang apabila wujudnya bersama segenap kemampuan batiniah dan zahiriahnya hanya diwakafkan untuk Allah Ta'ala dan untuk jalan-Nya. Dan amanat-amanat yang dia terima dari Allah Ta’ala, dia serahkan kembali kepada Sang Penganugerah Sejati itu. Dan tidak hanya secara akidah saja, melainkan secara amalanpun dia memperlihatkan seluruh bentuk Islamnya serta hakikat sempurna Islam tersebut. Yakni, seorang yang mengaku Islam, membuktikan bahwa tangannya, kaki, kalbu, otak, akalnya, pemahamannya, kemarahannya, rasa kasihnya, kelembutan hatinya, ilmunya, segenap kekuatan rohani dan jasmani yang ia miliki, kehormatannya, hartanya, ketenteraman dan kebahagiaannya, dan apa saja yang ada secara zahir maupun batin mulai dari rambut-rambut di kepalanya hingga ke kuku-kuku di kakinya, bahkan sampai niat-niatnya, partikel-partikel kalbunya, dorongandorongan nafsunya, kesemuanya itu telah mengikuti Allah Ta’ala sedemikian rupa sebagaimana anggota-anggota tubuh yang dimiliki seseorang taat mengikuti orang itu. Ringkasnya, hal ini harus terbukti bahwa langkah kebenaran itu telah mencapai suatu derajat di mana apa saja yang dia punyai sudah tidak lagi menjadi miliknya, melainkan telah menjadi milik Allah Ta’ala. Dan segenap bagian tubuh serta kemampuan, telah dikerahkan untuk mengkhidmati Ilahi, seakanakan semua itu menjadi bagian tubuh Al-Haq.



Dan dengan menelaah ayat-ayat itu, hal inipun tampil dengan jelas dan nyata bahwa mewakafkan hidup di jalan Allah Ta’ala, yang merupakan hakikat Islam, ada dua macam. Pertama, menyatakan hanya Allah Ta’ala itulah Dzat yang disembah, dituju dan dicinta. Serta tidak menyekutukan apapun dalam penyembahan, kecintaan, takut, dan harapan terhadap-Nya. Dan hal-hal yang berkaitan dengan pengkudusan-Nya, pemujian terhadap-Nya, penyembahan-Nya, dan segenap tata-krama penyembahan-Nya, hukum-hukum-Nya, perintah-perintah dan laranganlarangan- Nya, serta hal-hal yang berkaitan dengan keputusan dan taqdir Samawi, kesemuanya itu diterima dengan sepenuh hati. Kemudian sepenuhnya menggali segenap kebenaran suci dan makrifat-makrifat suci yang merupakan sarana untuk mengetahui qudrat-qudrat-Nya yang maha luas, dan yang merupakan perantara untuk mengetahui derajat tinggi pemerintahan dan kerajaan-Nya, serta yang merupakan suatu penuntun kokoh untuk mengenali kemurkaankemurkaan dan anugerah-anugerah-Nya.



Jenis kedua mewakafkan hidup di jalan Allah Ta’ala adalah mewakafkan hidup dalam mengkhidmati, bersikap solider sependeritaan, membantu mencarikan jalan, membantu memikul beban, dan benar-benar merasakan kepedihan hamba-hamba-Nya. Menanggung penderitaan untuk memberikan ketenteraman pada orang-orang lain, dan rela merasakan kepedihan atas diri sendiri demi kesejahteraan orang lain.



Dari pernyataan ini diketahui bahwa hakikat Islam sangat mulia. Dan seorang manusia tidak pernah dapat secara hakiki menyandang sebutan mulia sebagai warga Islam selama dia belum menyerahkan kepada Allah seluruh wujudnya bersama segenap kemampuan, keinginan, dan kehendaknya. Dan mencabut diri dari keakuannya (egoisme) serta dari segenap hal yang berkaitan dengan itu, dan menjauhi jalan keakuan tersebut.



Jadi, secara hakiki seseorang itu baru dapat dikatakan Muslim tatkala timbul suatu revolusi besar di dalam kehidupannya yang penuh kelalaian. Kemudian, eksistensi wujud nafs amarah yang dia miliki, beserta segenap dorongannya, serentak punah. Lalu, setelah maut tersebut, di dalam dirinya mulai timbul kehidupan baru sebagai orang yang berbuat kebaikan demi Allah. Dan itu adalah suatu kehidupan suci yang di dalamnya tidak terdapat apapun kecuali ketaatan terhadap Sang Khaliq dan sikap solider terhadap sesama makhluk.



Ketaatan terhadap Sang Khaliq adalah demikian, yakni dia siap untuk menerima kehinaan dan kenistaan demi menzahirkan kehormatan, keperkasaan, serta keesaan-Nya. Dan dia siap menerima ribuan kematian demi menghidupkan Tauhid-Nya. Dan dalam ketaatan terhadap-Nya, satu tangan bisa rela memotong tangan yang lain. Dan dalam kecintaan akan keagungan perintahperintah-Nya serta dalam kehausan akan keridhaan-Nya, dia membenci dosa sedemikian rupa seakan-akan dosa itu adalah suatu api yang siap melahap, atau bagai racun yang mematikan, atau sebuah halilintar yang dapat menghanguskan, sehingga harus melarikan diri dari dosa itu dengan segenap kemampuannya. Ringkasnya, untuk mengikuti kehendak-Nya, kita harus meninggalkan segenap kehendak jiwa kita. Dan untuk melekat dengan-Nya, terimalah sayatan-sayatan luka yang sangat menyakitkan. Dan untuk memberikan bukti ikatan dengan-Nya, putuskanlah segenap ikatan nafsu.



Dan mengkhidmati makhluk Allah adalah demikian, yakni sekian banyak kebutuhan makhluk, dan sekian banyak faktor serta jalan yang telah diciptakan Sang Pembagi Azali untuk membuat sebagian membutuhkan sebagian lainnya, dalam segenap hal tersebut memberikan manfaat kepada makhluk semata-mata demi Allah dengan solidaritas hakiki dan tanpa maksud tertentu serta dengan solidaritas sejati yang dapat timbul dari dirinya. Dan membantu setiap yang membutuhkan bantuan, melalui kemampuan anugerah Allah. Dan mengerahkan semua kekuatan untuk mengadakan perbaikan dunia dan akhirat bagi [makhluk-makhluk].



Jadi, inilah ketaatan dan pengkhidmatan demi Allah yang sangat mulia, yang bercampur dengan kasih sayang dan kecintaan, serta yang dipenuhi oleh ketulusan dan sikap merendahkan diri. Inilah Islam dan hakikat Islam serta intisari Islam yang diraih setelah memperoleh kematian dari nafs, dorongan alami, nafsu, dan kehendak.” (Ainah Kamalaat-e-Islam, p. 57-62)



IV. Pemahaman dan pengamalan warga Jemaat Ahmadiyah berdasarkan Al- Quranul-Karim, Sunnah dan Hadits Nabi Muhammad saw.



a. Kedudukan Al-Quranul Karim

Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad tentang 3 sumber hukum bersabda: “Aku mendengar bahwa beberapa orang di antara kamu ada yang sama sekali menolak hadits. Jika hal itu benar mereka itu sangat keliru. Aku tidak mengajarkan demikian, malah aku mengajarkan bahwa untuk petunjuk jalan bagi kamu, Tuhan telah memberikan kepada kamu 3 hal. Yang pertama, ialah Quran Syarif, yang mengutarakan Keesaan Tuhan di dalamnya, Kegagahan-Nya dan Kebesaran-Nya, serta olehnya diputuskan pertentangan dan kekeliruan paham mengenai terbunuhnya Nabi Isa Ibnu Maryam di atas salib dan bahwa beliau seorang terkutuk.



Demikian pula Quran Syarif melarang kamu agar jangan memuja apa pun selain Allah, baik berupa benda, manusia, hewan, matahari, bulan, sesuatu benda langit lainnya, atau pun diri kamu sendiri. Karena itu berhati-hatilah jangan melangkah selangkah pun yang bertentangan dengan ajaran Tuhan dan petunjuk Quran Syarif. Aku berkata dengan sungguh-sungguh bahwa barangsiapa yang mengabaikan sebuah saja dari ke-700 hukum Ilahi berarti menutup pintu keselamatan baginya dengan tangannya sendiri.



Jalan keselamatan yang hakiki dibuka hanya oleh Quran Syarif saja, sedangkan yang lainnya semuanya itu hanya bayangan semata. Karena itu hendaknya mempelajari Quran Syarif dengan pemikiran yang dalam, dan hendaknya kamu mencintainya begitu rupa mendalam seperti kamu tidak pernah mencintai apa pun sebesar itu. Sebab sebagaimana Tuhan berfirman kepadaku:

“Segala macam kebaikan terletak di dalam Al-Quran”.



Sayang sungguh orang-orang itu, yang lebih mengutamakan barang lain selain Quran Syarif. Segala falah (sukses) penghidupan kamu serta najat (keselamatan) kamu sumbernya terletak di dalam Quran Syarif. Tidak satu pun dari kebutuhan-kebutuhan ruhani bagi kamu yang tidak terdapat di dalam Quran Syarif.



Saksi pada Hari Kiamat yang membenarkan mau pun yang menyangkal keimanan kamu adalah Quran Syarif. Di kolong langit ini tidak ada sebuah kitab pun -- kecuali Quran syarif -- yang dapat memberikan petunjuk secara langsung. Tuhan telah begitu baik hati kepada kamu dengan menganugerahkan sebuah kitab suci seperti Quran Syari.



b. Kedudukan Sunnah

Petunjuk yang kedua bagi kaum Muslim ialah Sunnah, yaitu amal (perbuatan) Nabi Muhammad Rasulullah saw. sebagai penjelasan dari hukum (peraturan) Quran Syarif, yang dituangkan dalam bentuk amalan. Secara pandangan lahir di dalam Quran Syarif tidak ada penjelasan terinc mengenai jumlah rakaat dalam tiap-tiap shalat wajib yang 5 waktu: berapa rakaat shalat Subuh dan shalat-shalat pada waktu lainnya, akan tetapi Sunnah Rasulullah saw. membuat semuanya itu menjadi jelas.



Janganlah kita keliru bahwa seolah-olah Sunnah dan hadits itu sama, sebab hadits dikumpulkan orang sesudah 150 tahun kemudian, sedangkan Sunnah itu terwujud bersamaan dengan lahiran Quran Syarif. Tuhan dan Rasul-Nya mempunyai dua macam kewajiban, yaitu Dia menyampaikan kehendak-kehendak-Nya dengan mengirimkan Quran Syarif sebagai firman-Nya untuk memulai pelaksanaan hukum-Nya, sedangkan Rasulullah saw. berkewajiban memperagakan firman-firman Ilahi kepada umat manusia dengan amal (perbuatan). Karena itu beliau menterjemahkan dalam bentuk amalan apa-apa yang difirman Allah Ta’ala kepada beliau, dan dengan jalan Sunnah – yakni amal (perbuatan) – beliau memecahkan segala macam persoalan yang dihadapkan kepada umat manusia.



Tidaklah tepat untuk mengatakan bahwa tugas ini telah diserahkan kepada Hadits, sebab Islam telah berdiri lama sebelum Hadits terwujud. Tidakkah orang-orang sebelum hadits-hadits dihimpun senantiasa mendirikan shalat, membayar zakat, melaksanakan ibadah haji dan mengetahui batas-batas halal dan haram?



c. Kedudukan Hadits

Petunjuk jalan yang ketiga tentu saja Hadits, sebab banyak sekali soal-soal yang berhubungan dengan tarikh (sejarah) Islam, akhlak, jurisprudensi (fiqqah) dibentangkan di dalam Hadits, dan faedahnya yang sangat besar dari hadits itu terletak pada kenyataan bahwa Hadits merupakan khadim (pengkhidmat/pelayan) dari Quran Syarif dan Sunnah. Ada sementara orang yang tidak mengerti akan kedudukan yang hakiki dari Quran Syarif, ia mengatakan bahwa kedudukan Hadits itu merupakan hakim bagi Quran Syarif, sebagaimana orang Yahudi punya anggapan terhadap hadits-hadits mereka.



Akan tetapi kita memandang Hadits itu sebagai khadim dari Quran Syarif dan Sunnah, dengan adanya khadim-khadim kebesaran seorang majikan semakin bertambah. Quran Syarif adalah firman Allah Ta’ala dan Sunnah adalah amal (perbuatan) Rasulullah saw., sedangkan Hadits itu bagi Sunnah merupakan saksi penguat. Salah sekali jika dikatakan – na’uudzubillaah – bahwa Hadits itu menjadi hakim bagi Quran Syarif. Apabila harus ada hakim bagi Quran Syarif maka hakim itu adalah Quran Syarif sendiri.



Hadits, yang dalam sesuatu hal mengandung unsur zhan (pandangan/persepsi) di dalamnya, tidak dapat diberi kedudukan lebih tinggi, hanya boleh dianggap sebagai saksi penguat. Quran Syarif dan Sunnah telah melakukan semua tugasnya yang hakiki, dan hadits tidak lebih dari hanya memberikan kesaksian-kesaksian tambahan.



Bagaimana mungkin Hadits dapat berkedudukan sebagai hakim untuk Quran Syarif? Quran Syarif dan Sunnah waktu itu memberikan bimbingan, saat ketika apa yang dinamakan Hadits yang dianggap menghakimi Quran Syarif [belum ada wujudnya]. Bahkan katakanlah Hadits itu merupakan saksi penguat bagi Quran Syarif dan Sunnah.



Memang Sunnah itu tidak syak lagi adalah suatu hal yang mempertunjukkan kehendak Quran Syarif, dan Sunnah memberikan petunjuk jalan, yang di atasnya Rasulullah saw. telah membimbing para sahabat dengan teladan. Sunnah bukanlah suatu hal yang ditulis dalam kitabkitab 100 atau 150 tahun kemudian. Hal demikian itu adalah hadits namanya, sedangkan Sunnah itu adalah contoh contoh amal (perbuatan) yang semenjak mula-mula terus menerus dihidupkan di tengah-tengah umat Muslimin yang patuh, yang berjumlah ribuan.



Walau pun di dalam Hadits juga ada sebagian besar yang bermartabat zhan (pandangan/persepsi) tetapi dimana hal itu tidak bertentangan dengan Quran Syarif dan Sunnah, tetap hadits tersebut dapat diterima sebagai penunjang Quran Syarif dan Sunnah, serta di dalamnya terdapat perbendaharaan yang berlimpah-limpah mengenai masalah-masalah keislaman.



Oleh karena itu tidak menghargai hadits berarti seakan-akan memenggal satu anggauta tubuh Islam. Tetapi sudah barang tentu jika ada sebuah hadits yang bertentangan dengan Shahih Bukhari maka hadits tersebut tidak patut diterima, sebab kalau hadits tersebut diterima berarti menolak Quran Syarif dan menolak semua hadits-hadits yang cocok dengan Quran Syarif.



Aku maklum, bahwa tidak ada seorang pun dari antara orang-orang yang shalih akan berani mempercayai hadits semacam itu. Betapa jua pun hargailah hadits dan ambillah faedahnya, sebab sumbernya berasal dari Rasulullah saw., dan selama Quran Syarif dan Sunnah tidak mendustakannya kamu pun hendaknya jangan mendustakannya, malahan hendaknya kamu mentaati hadits sedemikian rupa, sehingga tidak ada kegiatan kamu, istirahat kamu, tingkah-laku kamu, dan berhenti kamu dari sesuatu pekerjaan yang tidak dibenarkan oleh hadits.



Tetapi apabila ada sebuah hadits yang bertentangan dengan apa yang telah diterangkan di dalam Quran Syarif kamu harus mempergunakan akal kamu dengan memperbandingkannya, barangkalai pertentangan itu adalah disebabkan oleh kekeliruan kamu belaka. Dan apabila sesudah kamu berusaha mencari titik persesuaiannya lalu tidak berhasil maka hadits tersebut harus ditolak dan dikesampingkan. Sedangkan hadits yang dhaif (lemah) tetapi mempunyai kecocokan dengan Quran Syarif maka terimalah hadits itu, sebab Quran Syarif membenarkan hadits tersebut. (Ajaranku, h. 42-53)



V. DASAR-DASAR KEYAKINAN TENTANG TURUNNYA NABI ISA & IMAM MAHDI SESUDAH NABI MUHAMMAD SAW. SEBAGAI PELAKSANA SYARIAT ISLAM



1. Shahih Al-Bukhari antara lain: kitab ahaaditsil anbiyaa bab nuzuulu ‘iisa bnu maryam hadits nomor 3448

"Bagaimana dengan kalian apabila Ibnu Maryam di kalangan kalian turun dan sebagai Imam di antara kalian (Al-Bukhari, Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dan Kanzul-Umal, Juz XIV/38845)”.



2. Shahih Muslim dalam kitabul fitan bab dzikrud dajjaal hadits nomor 2937

“…Dari Nawas bin Sim’an, ia berkata: Rasulullah saw. bercerita tentang dajal…lalu Nabi Isa beserta sahabatnya terkepung…lalu Nabi Isa memanjatkan doa kepda Allah swt… kemudian turunlah Nabi Isa beserta sahabat-sahabatnya lalu Nabi Isa dan sahabatnya memanjatkan doa kepada Allah…”



3. Sunan Ibnu Majah

“Dan tiada Mahdi kecuali Isa ibnu Maryam.” (Ibnu Majah, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dari Anas ra Kanzul-Ummal, Juz XIV/38656)



4. Ath-Thabrani dalam kitab al-kabiir dari Anillah bin Mughaffal radhiyallahu ‘anhu

“Kemudian Isa ibnu Maryam turun dengan membenarkan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas agamanya sebagai Imam Mahdi dan Hakim yang adil, lalu ia membunuh Dajjal.” (Ath-Thabrani dalam Al-Kabir dari Anillah bin Mughaffal radhiyallahu ‘anh dan Kanzul-Umal, Juz XIV/38808)



5. Buku berjudul Turunnya Isa ibnu Maryam pada akhir Zaman karya Imam Jalaluddin Abdur Rahman As Suyuthi yang memuat 60 Hadits.



6. Mufti Mesir Tahun 1882, dalam kitab Lawaami’ul Anwaaril Bahiyyah, Juz II, hal. 84

“Beriman kepada datangnya Imam Mahdi itu wajib, sebagaimana telah dibenarkan oleh para Ulama dan telah dijelaskan dalam aqidah-aqidah Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah dan juga diakui oleh Ahlusy-Syi’ah.” (Lawami’ul-Anwaril-Bahiyah, Juz II, hal. 84).



7. Muktamar Nahdlatul ‘Ulama III di Surabaya (12 Rabi’uts Tsani 1347/28 September 1928) dalam buku Ahkamul Fuqaha Kumpulan Masalah-Masalah Diniyah dalam Mu’tamar ke 1 s/d 15 PBNU halaman 34-36 penerbit CV. Toha Putra Semarang. No.46 Judul:Nabi Isa akan Turun kembali ke Dunia sebagai Nabi dan Rasul

S :Bagaimana pendapat Mu’tamar tentang Nabi ‘Isa a.s. setelah turun kembali ke dunia. Apakah tetap sebagai nabi dan rasul?Padahal Nabi Muhammad Saw.adalah Nabi terakhir. Dan apakah mazhab empat itu akan tetap ada pada waktu itu?

J :Kita wajib berkeyakinan bahwa Nabi Isa a.s itu akan diturunkan kembali pada akhir zaman nanti sebagai Nabi dan Rasul yang melaksanakan syariat Nabi Muhammad Saw. dan hal itu, tidak berarti menghalangi Nabi Muhammad sebagai Nabi yang terakhir, sebab Nabi ‘Isa a.s. hanya akan melaksanakan syari’at Nabi Muhammad. Sedang mazhab 4 pada waktu itu hapus (tidak berlaku).



8. Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Baaz, ulama terkemuka Rabitah ‘Alam Islamidalam

berkala ‘Akhbaarul ‘Alamil Islaami 21 Muharram tahun 1400 Hijriyah halaman 7 bahwa Hadits-hadits tentang Mahdi itu derajat Haditsnya mutawatir:

“Adapun mengingkari sama sekali kedatangan Mahdi yang dijanjikan, sebagaimana anggapan sementara golongan mutaakhirin adalah pendapat yang salah. Karena Hadits-hadits tentang kedatangannya di akhir zaman dan tentang ia akan mengisi bumi ini dengan keadilan dan kejujuran, karena telah penuh kezaliman, adalah mutawatir dari segi isi dan artinya dan terdapat dalam jumlah banyak.”



VI. PENJELASAN KENABIAN MENURUT PENDIRI JEMAAT AHMADIYAH

Pendiri Jemaat Ahmadiyah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. menyatakan, “Dan aku bersumpah atas nama Dia bahwa seperti Dia telah bermukaalamah-mukhaathabah dengan Ibrahim as, kemudian dengan Ishak as, dan dengan Yusuf as, dan dengan Musa as, dan dengan Masih Ibnu Maryam as, dan sesudah beliau-beliau itu dengan Nabi kita Muhammad saw, yang demikian rupa keadaannya hingga kepada beliau telah turun wahyu yang paling cemerlang dari semuanya dan paling suci pula. Begitu pula Dia telah menganugerahkan kehormatan mukaalamah-mukhaathabah kepada diriku. Akan tetapi kehormatan ini kuperoleh hanya semata-mata karena mengikuti Rasulullah saw. Seandainya aku bukan umat Rasulullah saw. dan tidak mengikuti beliau, maka sekiranya ada amal-amalku besarnya seperti sejumlah gununggunung, namun demikian sekali-kali aku tidak akan mendapat kehormatan mukallamah mukhatabah itu; sebab pada waktu sekarang kecuali kenabian Muhammad, semua kenabian sudah tutup. Nabi yang membawa syariat tidak dapat datang lagi, akan tetapi nabi yang tidak membawa syariat adalah mungkin, namun syaratnya ialah ia ummati (bukan dari umat lain). Ringkasnya, atas dasar itu, aku adalah umamti juga lagi pula nabi. Dan kenabianku, yakni mukaalamah-mukhaathabah Ilahiyah adalah bayangan dari kenabian Rasulullah saw dan tanpa itu kenabianku tiada artinya.” (Tajalliyati Ilahiyyah/Penampakan Kebesaran Tuhan, hal. 38-39)



VII. PENDAKWAAN PENDIRI JEMAAT AHMADIYAH TENTANG KENABIAN TANPA SYARIAT

Tuduhan yang dikenakan kepada saya bahwa saya mendakwakan kenabian yang denga pendakwaan itu saya tidak memiliki lagi hubungan sedikitpun dengan Islam dan dengan demikian berarti saya sebagai nabi yang mustaqill (tidak memerlukan kepatuhan dan keberkatan nabi sebelumnya) sehingga tidak memerlukan untuk mengikuti Al-Quran suci dan telah membuat kalimah sendiri dan kiblat sendiri yang terpisah serta menyatakan syariat Islam seolah-olah telah mansukh (batal) dan seolah-olah saya tidak mengikuti serta tidak menuruti yang mulia nabi suci Muhammad saw. Semua tuduhan-tuduhan ini tidak benar, bahkan pendakwaan kenabian yang seperti itu menurut saya adalah kekafiran: Dan bukan saja sekarang bahkan dalam setiap buku, saya selalu menuliskan demikian, bahwa kenabian sejenis itu tidak pernah saya dakwakan, dan ini semata-mata hanya tuduhan kepada saya. Dasar yang atasnya saya mengatakan diri saya sebagai nabi hanya sekedar demikian ini, bahwa saya mendapatkan kehormatan bercakap-cakap dengan Tuhan dan Dia banyak berkata-kata dan berfirman kepadaku dan menjawab perkataanku dan Dia banyak sekali menzhahirkan hal-hal yang gaib kepadaku serta membukakan rahasia kepadaku tentang hal-hal yang akan datang, bahwa selama manusia tidak memiliki qurub (kedekatan yang khusus kepada-Nya), Dia tidak akan membukakan tirai rahasia kepadanya; dan dikarenakan banyaknya hal tersebut di atas, Dia menamakanku nabi. Jadi, sesuai dengan perintah Tuhan, aku adalah nabi dan jika saya mengingkarinya tentu saya akan berdosa; dan keadaan dimana Tuhan memberikan nama nabi kepadaku, maka bagaimana mungkin saya dapat mengingkarinya, saya teguh di atasnya sampai saya meninggalkan dunia ini. Namun saya nabi bukan dalam pengertian bahwa saya memisahkan diri saya dari Islam atau saya memasukkan suatu hukum Islam; tengkuk ketaatanku telah saya letakkan pada ikatan peraturan dan ketentuan yang ditetapkan oleh Al- Quran suci; dan tak ada seorang pun yang memiliki keberanian dan kemampuan untuk memansukhkan Al-Quran walaupun hanya satu harakat atau satu titik (Dikutip dari surat kabar Aam Lahore, tanggal 26 Mei 1908/ Haqaniyyat Ahmadiyah, hal 214, Nazarat Isyaat Pakistan).



Adapun tentang pendakwaan sebagai Al-Masih dan Al-Mahdi yang dijanjikan kedatangannya di akhir zaman antara lain adalah:

Dan sungguh telah aku terangkan berulang-ulang dan aku jelaskan dengan sejelas-jelasnya kepada umat manusia bahwa sesungguhnya aku adalah Al-Masih Al-Mau’ud dan Al-Mahdi yang dijanjikan (I’jazul-Masih, hal. 6)



VIII. SIKAP JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA

Jemaat Ahmadiyah Indonesia berada di dalam Islam sesuai sabda Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad alaihissalaam antara lain:

1. “Ringkasan dan intisari pendirian kami adalah Laa ilaha illallahu Muhammadur Rasulullah.”

2. “Kami beriman bahwa jika sekiranya ada seseorang yang mengurangi sedikit saja dari syariat Islam ini atau sedikit saja merubahnya atau meninggalkan perkara-perkara yang telah diwajibkannya dan mengerjakan perkara yang dilarangnya, mereka itu adalah termasuk ke dalam golongan yang tidak beriman dan sesat dari agama Islam.”

3. “Kami menasehati Jamaah kami supaya beriman dengan sepenuh hati terhadap dua kalimah Laa ilaha illallahu Muhammadur Rasulullah dan mati di dalam keimanan tersebut.”

4. “Walhasil semua akidah atau amalan yang dilaksanakan secara ijma oleh ahli sunnah adalah kewajiban bagi Jamaah kami untuk menerimanya. Bumi dan langit akan menjadi saksi bahwa inilah pendirian kami.” (Ruhani Khazain, Jld 14, Ayyamul Suluh, h. 323)

5. “Tidak masuk kedalam Jamaah kami kecuali yang telah masuk ke dalam agama Islam dan mengikuti Kitab Allah dan sunnah-sunnah pemimpin kita sebaik-baik manusia--Nabi Muhammad saw. dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Yang Mulia dan Pengasih, dan beriman kepada Hari Kebangkitan, surga dan neraka serta berjanji dan berikrar bahwa tidak akan memilih satu agama selain agama Islam. Dan akan mati di atas agama ini yaitu agama fitrah dengan berpegang teguh kepada Kitab Allah Yang Maha Tahu dan mengamalkan setiap yang ditetapkan dari Al-Quran, Sunnah dan Ijma’ sahabat yang mulia. Dan siapa saja yang mengabaikan tiga hal ini berarti ia membiarkan jiwanya dalam api neraka.” (Mawahiburrahman, h. 315)

6. “Tidak ada agama bagi kami kecuali agama Islam dan tidak ada Kitab bagi kami kecuali Al- Quran Kitab Allah Yang Maha Tahu. Tidak ada Nabi panutan bagi kami kecuali Nabi Muhammad, Khatamunnabiyyin saw. (Anjami Atham, h. 143)



IX. PENUTUP

Demikian yang dapat kami jelaskan, semoga Allah Ta’ala senantiasa menganugerahkan karunia dan lindungan-Nya kepada kita semua. Amin.[]

Subscribe