PERNYATAAN SIKAP ”Pelanggaran Hak Anak Dalam Kasus Penggembokan Panti Asuhan Khasanah Kautsar Kawalu Tasikmalaya”

PERNYATAAN SIKAP

”Pelanggaran Hak Anak Dalam Kasus Penggembokan

Panti Asuhan Khasanah Kautsar Kawalu Tasikmalaya”

Pelibatan anak-anak dalam konflik orang dewasa tampaknya masih terus berlangsung di negeri ini. Pada tanggal 8 Desember 2010 lalu, terjadi penggembokan Panti Asuhan Khasanah Kautsar Kawalu Tasikmalaya yang diasuh oleh Jamaah Ahmadiyah Indonesia Tasikmalaya. Sebuah panti asuhan yang harusnya menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi anak-anak yang telah kehilangan kepengasuhan orang tuanya untuk hidup, tumbuh, belajar dan berkembang telah menjadi ajang konflik orang dewasa. Apapun alasannya, tak semestinya anak-anak yang harus menanggung akibat fisik maupun psikis dari konflik tersebut.

Kekerasan dan diskriminasi terhadap anak memiliki bermacam bentuk dan dimensi. Kekerasan tidak hanya berbentuk fisik, tapi juga dapat berbentuk psikis, yang bisa dilakukan oleh siapapun, orang perseorangan, kelompok, organisasi, dan juga negara. Gerakan anti kekerasan terhadap anak tidak hanya cukup mengkampanyekan anti kekerasan terhadap anak di dalam lingkup rumah tangga dan sekolah tetapi meliputi pula kekerasan berdasarkan status social, ras, jenis kelamin, dan kekerasan berbasis ideology atau penafsiran agama.

Pada dasarnya hak anak untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, untuk bermain, untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak, memperoleh pendidikan, memeluk dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya dan untuk terbebas dari diskriminasi dijamin dalam berbagai aturan baik di tingkat nasional maupun internasional. Seperti dalam Konvensi tentang Hak anak, Konvensi Hak Sipil dan Politik (UU No.12 Tahun 2005), yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Demikian halnya dalam UUD 1945, UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, secara tegas mengatur tentang hak anak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan biaya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali. Namun, jaminan hak tersebut dalam prakteknya tidak dengan sendirinya dapat dilaksanakan. Terdapat kesenjangan antara yang nilai-nilai normatif dan pelaksanaannya. Hal ini nampak dari kasus Penggembokan Panti Asuhan Khasanah Kautsar Kawalu Tasikmalaya tersebut diatas.

Dalam system hukum di Indonesia, keberadaan anak dianggap sebagai subyek hukum belum sempurna, artinya sebagai pihak belum cakap melakukan perbuatan-perbuatan hukum, secara psikologis belum matang, dan belum dapat mengambil keputusan dalam bersikap dan bertindak, sehingga dalam beberapa aturan hukum anak diberikan kekhususan pengaturan. Kekhususan itu meliputi ketika anak berhadapan dengan hukum orang tua atau walinya yang wajib mewakilinya di persidangan, dan apabila anak terbukti melakukan tindakan pidana, anak tidak dapat dihukum layaknya orang dewasa tetapi keberadaan anak sebagai individu yang harus disadarkan bahwa tindakan yang dilakukan adalah salah dan merugikan orang lain. Sementara itu dalam kasus hak untuk memilih kewarganegaraan, anak (sebelum berusia 18 tahun) diberikan dua kewarganegaraan dan setelah dewasa (usia 18 tahun) baru diminta untuk memilih kewarganegaraannya.

Seharusnya dalam kasus apapun termasuk kasus penggembokan Panti Asuhan Khasanah Kautsar Kawalu Tasikmalaya, anak tidak dilibatkan dan tidak dianggap sebagai pihak yang turut serta karena anak bukanlah subyek hukum sempurna, anak seharusnya mendapat perlakuan khusus termasuk dalam memilih agama yang diyakininya sebagaimana hak anak dalam memilih status kewarganegaraannya.

Atas peristiwa yang terjadi anak (kebanyakan adalah para korban) terancam kehidupan kondusif mereka, karena:

1. Terganggunya akses terhadap pendidikan, karena mereka tidak bisa melanjutkan atau mengikuti kegiatan belajar di sekolah.2. Terganggunya kehidupan sosial, karena terputusnya interaksi dan komunikasi mereka dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya.
3. Kehilangan masa ceria bermain anak.
4. Anak-anak korban konflik akan mengalami trauma akibat konflik yang berkepanjangan.
5. Konflik berkepanjangan itu pada nantinya akan mengakibatkan Post Traumatic Social Disorder-PTSD, yakni anak mengalami gangguan kemampuan bersosialisasi akibat trauma berkepanjangan, ditandai dengan kehilangan kepekaannya terhadap kekerasan (terbiasa dengan kekerasan), hilangnya rasa kasihan/empati, menganggap semua orang musuhnya, dan indikator lainnya.
6. Munculnya resistensi, yakni keberanian anak-anak sebagai korban untuk melakukan perlawanan sebagai pembelaan diri atas intimidasi dan ancaman pada dirinya. Hal ini pada nantinya akan menambah panjang rantai kekerasan.

Untuk itu kami koalisi dari institusi-institusi maupun pribadi-pribadi yang peduli hak-hak anak, menyatakan sikap sebagai berikut :

1. Menyerukan semua pihak untuk menjadikan anak sebagai prioritas untuk dilindungi dari segala ekses konflik.
2. Berikan perlindungan khusus kepada anak-anak yang berada dalam situasi darurat sehingga anak terbebas dari traumatic, sesuai UU Perlindungan Anak Pasal 59 tentang Perlindungan khusus.
3. Berikan perlindungan khusus, sarana dan prasarana (pelayanan jangka pendek maupun jangka panjang) kepada anak-anak yang berada dalam situasi konflik apapun sehingga anak terbebas dari traumatic, sesuai UU Perlindungan Anak Pasal 65 tentang Perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi.
4. Mendesak negara untuk menjamin terpenuhinya hak anak termasuk memberikan perlindungan terhadap kebebasan kepada anak untuk melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk bermain, sekolah, belajar, beribadah sesuai yang mereka yakini dan berinteraksi sosial dengan wajar tanpa membedakan status sosila, ras, agama dan kepercayaannya.
5. Menuntut Pemerintah daerah untuk menyediakan shelter dan menjamin terpenuhinya hak anak untuk bersekolah, hak untuk mendapatkan makanan yang layak, hak untuk bermain dan bersosialisasi dengan lingkungannya, serta menjadi mediator dan memberikan penyadaran kepada kelompok-kelompok yang melakukan penggembokan Panti Asuhan bahwa tindakannya adalah bagian dari tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap anak.
6. Menuntut Kapolres Tasikmalaya untuk bersikap tegas, dan melakukan tindakan preventif dalam setiap aksi kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Tasikmalaya dan mengantisipasi setiap tindaan yang menjadikan anak sebagai korban.
7. Meminta jaminan keamanan dan keselamatan kepada pihak yang berwenang, tanpa terkecuali.
8. mengajak semua pihak untuk kembali melihat 4 (empat) prinsip dasar hak anak serta 31 (tiga puluh satu) Hak Anak dalam Konvensi Hak Anak.

Dan atas semua pertimbangan diatas, maka kami menyerukan langkah kongkret dalam jangka pendek yang mutlak harus segera dilaksanakan :



1. Membuka Kunci/Gembok yang mengisolasi anak didalam Panti Asuhan Khasanah Kautsar Kawalu Tasikmalaya.2. Menjamin keamanan anak-anak panti asuhan tersebut, baik didalam panti maupun ketika beraktifitas di luar Panti Asuhan Khasanah Kautsar Kawalu Tasikmalaya.3. Menjamin berlangsungnya suasana yang kondusif bagi anak-anak di Panti Asuhan Khasanah Kautsar Kawalu Tasikmalaya untuk bersosialisasi dengan masyarakat, baik di sekolah maupun ditempat lain. Menghentikan diskriminasi sosial yang terjadi pada anak-anak tersebut.

Demikian pernyataan dan seruan sikap kami, gabungan/aliansi berbagai pihak yang menginginkan adanya prioritas/pengarusutamaan hak-hak anak dalam penanganan segala macam konflik orang dewasa.


Jakarta, 24 Desember 2010



SOS Children’s Villages Indonesia/ SOS Desa Taruna, ECPAT Indonesia, Institut Studi Anak Indonesia (ISAI), Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Positif Movement, Maarif Institute (MI), the Wahid Institute (WI), KONTRAS, LBH Jakarta, SAMIN, PBHI, Seto Mulyadi, Hadi Supeno, Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, GKR Hemas, Feri Latief, Sony Akhmad, Ummi Farida, Inayah Wahid, Nia Sjarifudin, Kyai Maman Imanulhaq, Moh. Monib, Irfan Amale,

Odi Salahudin, Hening Budiyawati.

Firdaus Mubarik 0856 92 656 945 (Humas Jemaat Ahmadiyah Indonesia Cabang Kebayoran)

Subscribe