SETIAP Zaman, Pertolongan Allah swt. Memanifestasi kepada para Hamba-Nya yang Beriman

Halo para Agan semua...!! Berikut adalah Petikan Khotbah Jumat Hudhur (Imam Jemaah Islam Ahmadiyah Internasional Sayyidina Hadhrat Amirul Mukminin Khalifatul Masih V) atba. kami/kita yang tercinta yang disampaikan pada tanggal 26 Maret 2010 lalu dari Mesjid Baitul Futuh London, Inggris Raya.

Dokumennya sudah saya unggah di SCRIBD.com. Ini link-nya: http://tinyurl.com/y3ssae3. PDF versi cetaknya pun ada. Lihat aja di http://tinyurl.com/y44uo7h. Masih di SCRIBD juga.

Petikan Khotbah Jumat Hudhur (Imam Jemaah Islam Ahmadiyah Internasional Sayyidina Hadhrat Amirul Mukminin K...

Kalau mau sekalian baca di blog saya ini, nah inilah isi selengkapnya. Selamat membaca.

Usai melafaz tasyahud, taawud, dan QS [Al-Fâtiĥah] 1:1—7, Hudhur atba. bersabda:

SEBAGAIMANA Allah swt. telah berfirman bahwa “barangsiapa yang bertakwa dan tawakal kepada-Nya maka cukuplah Allah baginya”, di luar perkiraan, Dia menyediakan sarana-sarana keperluan bagi kita. Manifestasi pertolongan Allah swt. yang diberikan kepada hamba-Nya tanpa perkiraan tersebut ditunjukkan kepada orang-orang beriman pada setiap zaman. Beberapa contoh di antaranya akan saya kemukakan pada kesempatan khotbah hari ini. Seiring dengan itu pula, beberapa peristiwa yang menunjukkan ghairat-Nya pun akan saya ceritakan.

Di dalam tarikh Jemaat, terdapat banyak sekali riwayat Hadhrat Khalifatul Masih I r.a. mengenai peristiwa seperti itu yang telah disusun dengan sangat cermat dan rinci sekali.

DICERITAKAN Tuan Chauhdri Ghulam Muhammad—katanya, “Saya mendengar tentang [kisah] Hadhrat Khalifatul Masih I r.a.: Pada suatu hari, beliau r.a. sedang dalam perjalanan kembali dari Kashmir melalui kota Rawalpindi dan uang pun sudah habis. Untuk itu, beliau r.a. hendak menjual kuda penarik kereta yang beliau tunggangi tersebut dengan harga empat atau lima ratus rupis. Dan dengan uang itu, keperluan selama perjalanan akan cukup. Sementara, kuda itu beliau beli dengan harga tujuh ratus rupis.

“Namun, tidak lama kemudian, kuda itu jatuh sakit dan mati setelah sampai di Rawalpindi. [Padahal], Hadhrat Khalifatul Masih I r.a. sangat memerlukan uang untuk membayar sewa kepada pemilik kereta kuda itu. Dan, beliau pun berjalan-jalan dengan perlahan sambil berdoa memohon pertolongan kepada Allah swt..

“Tidak lama kemudian, datanglah seseorang yang membawa ayahnya untuk berobat kepada beliau. Lalu, beliau pun memeriksa orang sakit itu. Kemudian, beliau membuatkan beberapa macam ramuan obat untuk orang sakit tersebut. Dikatakan, bahwa orang itu sangat gembira sekali setelah menerima obat-obatan dari beliau dan orang itu memberi uang kepada Hadhrat Khalifatul Masih I r.a. yang cukup banyak sehingga mencukupi biaya perjalanan beliau.”

Itulah yang dikatakan takwa. Jika secara tidak disengaja berbuat salah, terlalu bertumpu kepada materi dunia, tiba-tiba terjadi musibah atau kehilangan benda yang sangat diperlukan itu, manusia tidak perlu menangisi. Namun, beliau r.a. segera rujuk dengan penuh tawakal kepada Allah swt. secara sempurna dan sibuk memanjatkan doa ke hadirat Allah swt.. Maka, dengan begitu cepat, Allah swt. telah menyediakan sarana lain yang tanpa diduga berkat ketakwaan dan ketawakalan beliau kepada Tuhan. Sudah saya katakan bahwa kehidupan beliau r.a. penuh dengan peristiwa-peristiwa menarik, dan kesan seperti itu sehingga jika diceritakan semua, akan menambah keimanan kita.”

SATU lagi riwayat dari Tuan Mirza Salimullah Mistri—katanya, “Suatu hari pada Hari Raya Haji (Idul Adha). Hadhrat Khalifatul Masih I r.a. bertanya kepada isteri beliau, ‘Adakah baju yang sudah dicuci untuk dipakai hari ini?’

“Isteri beliau jawab, ‘Hanya ada satu. Dan itu pun sudah lama dan robek-robek.’
“Maka, beliau (Hudhur) r.a. ambil baju itu. Kemudian mulai menjahitnya dengan tangan beliau. Dari mesjid, orang telah mengirim pesan kepada beliau bahwa waktu salat sudah tiba. Orang-orang menunggu Hudhur dan usai Salat Id pun akan diadakan penyembelihan beberapa ekor hewan qurban.

“Beliau menjawab, ‘Katakan: Tunggu sebentar lagi!’

“Sementara itu, ada orang yang mengetuk pintu ingin berjumpa dengan beliau. Setelah diizinkan masuk tamu itu langsung berkata, ‘Hudhur. Saya datang dari Wazirabad, membawa pakaian untuk Hudhur, untuk Amma Ji (isteri beliau), dan untuk putra-putri Hudhur juga.’

“Maka, Hadhrat Khalifatul Masih I r.a. bersabda, ‘Lihatlah betapa Allah swt. telah menyediakan rezeki itu tanpa diduga sebelumnya oleh siapa pun!’


PULA, Tuan Sufi Atta Muhammad meriwayatkan—katanya, “Pada suatu pagi di Hari Idul Adha. Hadhrat Khalifatul Masih I r.a. membagi-bagikan pakaian kepada orang-orang miskin. Sehingga, baju yang akan beliau pakai untuk Salat Id pun dihadiahkan kepada fakir miskin.

“Hadhrat Amma Ji r.a. berkata kepada beliau, ‘Hudhur. Semua pakaian sudah diberikan kepada orang-orang. Sekarang, untuk Salat Id, tidak ada lagi baju untuk dipakai, waktu Salat Id akan dimulai, tinggal 6—7 menit lagi.’

“Dengan tenang beliau r.a. menjawab, ‘Allah swt. akan menyediakan baju untuk saya.’

“Tiba-tiba, datang seorang tamu sambil membawa baju-baju baru untuk beliau r.a.. Lalu, bersabda kepada Hadhrat Amma Ji r.a., ‘Lihatlah, betapa Allah swt. telah membawakan baju ini tepat pada waktunya untuk Salat Id!’

“Allah swt. telah menyempurnakan setiap keperluan beliau tepat pada waktunya. Allah swt. sendiri menjadi penyedia bagi setiap keperluan beliau r.a..”


HADHRAT Maulana Ghulam Rasul Rajiki r.a. menceritakan kisah beliau sendiri. Katanya, “Ketika anak saya—Mia Iqbal Ahmad—masih kecil, saya bermimpi bahwa saya, isteri saya beserta anak saya ini, bermukim di rumah Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Dan pada waktu [mimpi] tersebut, saya merasa bahwa isteri saya itu adalah puteri Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dan anakku Mia Iqbal adalah cucu beliau a.s.. Dan dalam mimpi itu saya beserta anak saya—Mia Iqbal ini—sedang memijit-mijit kaki Hadhrat Masih Mau’ud a.s..

“Setelah mendoakan saya, beliau a.s. bersabda kepada saya: ‘Sekarang, pergilah engkau. Apa yang engkau perlukan, Allah swt. akan memenuhinya. Dan tidak ada lagi yang Anda perlukan. Semuanya sudah terpenuhi.’

“Maulana Ghulam Rajiki r.a. mengatakan, bahwa ‘Setelah mimpi itu, sampai sekarang, Allah swt. betul-betul selalu memenuhi setiap keperluan saya, dan di luar perkiraan saya. Keluarga saya dan orang-orang yang tinggal berdekatan dengan saya pun sering menyaksikan keadaan demikian.’

“Banyak sekali kisah-kisah seperti itu dalam kehidupan Hadhrat Maulana Ghulam Rajiki r.a.. Dan semuanya tercatat di dalam buku riwayat hidup beliau.”


HADHRAT Masih Mau’ud a.s. bersabda, “Raziq atau Pemberi rezeki sesungguhnya adalah Allah swt.. Orang yang percaya penuh kepada-Nya tidak pernah luput dari rezeki-Nya. Di mana saja dan bagaimanapun jua, demi hamba-Nya yang tawakal, Allah swt. menurunkan rezeki-Nya.

“Allah swt. sendiri berfirman, ‘Bagi orang yang percaya dan tawakal sepenuhnya kepada-Ku, dari Langit, Aku turunkan—dan dari bawah telapak kaki pun Aku keluarkan—rezeki baginya.’ Maka, setiap orang harus bertawakal kepada Allah swt..”


ALLAH swt. memiliki berbagai macam sifat. Keadaan para Nabi adalah fana dalam sifat-sifat-Nya. Dan Rasulullah saw. adalah contoh yang paling istimewa dalam menampilkan sifat-sifat Allah swt.. Beliau diwarnai penuh dengan sifat-sifat Allah swt., melebih para Nabi lainnya.

Berkenaan dengan ini, terdapat beberapa buah hadis Rasulullah saw. yang Hadhrat Abu Hurairah r.a. riwayatkan—katanya, Hadhrat Rasulullah saw. bersabda, “Jika saya memiliki sebongkah emas sebesar bukit Uhud, saya akan lebih merasa gembira jika setelah tiga hari, sedikitpun tiada emas lagi tersisa pada saya, kecuali sebagian disisakan untuk membayar hutang. Berapapun banyaknya kekayaan, saya tidak ingin menyimpan harta itu untuk waktu yang lama. Saya akan terus bagi-bagikan harta itu kepada fakir miskin.”

Sebuah riwayat lagi yang diceritakan Hadhrat Musa r.a. dari ayah beliau katanya, apa saja yang Rasulullah saw. minta atas nama agama, beliau segera memberinya. Pada suatu hari, seseorang datang kepada Rasulullah saw. meminta bantuan, lalu beliau menyerahkan sekumpulan domba-domba yang tersebar pada lembah yang terletak di antara dua buah bukit.

Ketika orang itu kembali kepada kaumnya, ia berkata kepada kaumnya tersebut, “Wahai kaumku, masuklah agama Islam. Sebab Muhammad saw. begitu pemurahnya, apa pun yang diminta pasti diberinya. Beliau, sedikitpun, tidak takut kekurangan.”

Ibnu Sahab Jauhari r.a. mengatakan bahwa setelah peristiwa Fatah Mekkah, Hadhrat Muhammad saw. keluar beserta para Sahabat yang ada pada waktu itu untuk berperang di Hunain. Setelah peristiwa itu, Hadhrat Rasulullah saw. memberi seratus ekor unta kepada Sofyan bin Umayyah r.a., lalu memberi seratus ekor lagi, setelah itu seratus ekor lagi diberikan kepadanya sehingga jumlahnya menjadi tiga ratus ekor unta.

Ibnu Musayyib mengatakan bahwa Sofyan bin Umayyah r.a. selalu menceritakan mengenai dirinya, bahwa “Hadhrat Rasulullah saw. memberi hadiah begitu luar biasa besarnya kepada saya. Padahal, sebelum itu, Hadhrat Rasulullah saw. adalah wujud yang paling saya benci di dunia ini. Namun, setelah beliau selalu memberi hadiah-hadiah kepada saya, kecintaan saya terhadap beliau semakin meningkat terus, sehingga beliau menjadi wujud yang paling saya cintai.”

Sering terjadi, kekayaan dunia pun membawa manusia tertarik kepada agama dan memberi peluang untuk memperoleh kebenaran. Ketika rasa kasih Hadhrat Rasulullah saw. mewujud kepada Hadhrat Sofyan r.a., maka jelaslah bahwa perkara yang paling besar bagi Hadhrat Sofyan r.a. adalah kecintaan terhadap Rasulullah saw..

Di dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ketika Sofyan bin Umayyah r.a. beserta Rasulullah saw. melewati sebuah lembah di mana terdapat sekumpulan hewan ternak sedang merumput. Sofyan menyaksikan kumpulan ternak itu dengan keinginan memilikinya.
Hadhrat Rasulullah saw. bertanya kepadanya, “Hai Sofyan apakah engkau suka hewan-hewan ternak ini? Dari tadi, engkau menyaksikan ternak-ternak ini dengan serius sekali. Sekarang, ambillah hewan-hewan ternak ini—semuanya.”

Dengan penuh santun, Sofyan bin Umayyah r.a. langsung membungkuk dan mencium kedua kaki beliau, kemudian beliau masuk Islam. Sofyan r.a. berkata bahwa pemberian hadiah begitu besar. Hanya seorang Nabi Allah yang bisa melakukannya.

Sofyan dahulunya adalah seorang musuh Rasulullah saw. yang paling kejam dan biadab. Oleh karena itu, ketika terjadi Fatah Makkah, Sofyan melarikan diri. Karena, beliau pikir, tidak mungkin dapat pengampunan dari Rasulullah saw. mengingat dosa dan kekejamannya yang sangat luar biasa terhadap orang-orang Islam. Namun, Hadhrat Rasulullah saw. bukan hanya memaafkan dosa-dosa dan kekejamannya melainkan beliau memberi hadiah-hadiah juga yang tidak terhitung banyaknya kepada Sofyan bin Umayyah r.a. tersebut. Hadhrat Rasulullah saw. memberi nasihat kepada para Sahabat beliau agar jangan berlaku kikir untuk membelanjakan harta pada jalan Agama. Dan beliau menasihatkan agar [kita] menaruh perhatian serius terhadap kewajiban dalam memenuhi hak-hak sesama manusia.

Hadhrat Asma binti Abu Bakar r.a. menceritakan bahwa pada suatu hari Hadhrat Rasulullah saw. ketika menyampaikan sebuah nasihat [dan] bersabda, “Ringankanlah hati dalam membelanjakan harta pada jalan Allah swt.. Jika demikian, Allah swt. pun akan merasa ringan guna memberi rezeki kepada Anda. Yakni, Anda tinggal di rumah sambil membuka pundi-pundi Anda dengan merasa ringan untuk membelanjakan harta Anda. Pasti mulut pundi-pundi Anda akan terbuka selamanya.”

Maksudnya, bila pundi-pundi itu selalu tertutup dan uang tidak dikeluarkan darinya untuk dibelanjakan, maka bagaimana uang akan masuk ke dalam pundi-pundi Anda itu? Oleh karenanya, Rasulullah saw. bersabda, “Belanjakan harta Anda dengan hati terbuka sesuai dengan kemampuan Anda!”

Orang-orang yang beriman (mukmin) senantiasa membelanjakan harta mereka dengan penuh ikhlas sesuai dengan keperluan agama. Takwa dan tawakal yang Rasulullah saw. ingin hadirkan di kalangan para Sahabat beliau, betul-betul telah terbukti kenyataannya pada diri para Sahabat tersebut. Mereka yang dikatakan buta huruf dan juga tidak terpelajar, telah menjadi insan-insan milik Tuhan dan menjadi contoh yang sangat agung bagi umat manusia.

Hadhrat Rasulullah saw. setiap saat bukan memikirkan harta untuk umat beliau. Akan tetapi, beliau selalu memikirkan bagaimana umat beliau menjadi insan-insan yang ber-Tuhan dan mencintai-Nya. Untuknyalah, beliau selalu memberi nasihat kepada para Sahabat.

Ada sebuah riwayat dari Hadhrat Amar bin Auf Anshari r.a.—katanya, Hadhrat Rasulullah saw. mengutus Hadhrat Abu Ubaidah r.a. ke Bahrain untuk mengambil jizyah. Sebelumnya, Rasulullah saw. telah mengadakan suatu ikatan perjanjian dengan kerajaan Bahrain. Ketika Hadhrat Abu Ubaidah r.a. kembali sambil membawa harta jizyah dari sana dan berita ini telah tersebar kepada orang-orang Anshar, maka ramai sekali para Sahabat yang hadir pada waktu Salat Subuh.

Usai Salat Subuh, tatkala Hadhrat Rasulullah saw. akan kembali ke rumah, orang-orang Anshar itu berkerumun di hadapan beliau. Melihat keadaan mereka itu, Hadhrat Rasulullah saw. bersabda kepada mereka sambil tersenyum, “Barangkali, Anda semua mendengar Abu Ubaidah telah kembali dengan membawa barang-barang?”
Mereka serempak menjawab, “Betul, ya Rasulullah saw.!”

Rasulullah saw. bersabda lagi, “Bergembiralah dengan harapan penuh! Sebab, saya tidak khawatir melihat keadaan kemiskinan Anda. Yang saya khawatirkan apabila Anda sudah memiliki harta melimpah, seperti telah diberikan kepada Kaum-kaum sebelum Anda; sehingga, Anda saling berlomba mencari harta itu. Akhirnya, harta dunia itu menghancurkan Anda seperti telah terjadi pada masa lampau.”

Itulah yang selalu dikhawatirkan Hadhrat Rasulullah saw.. Akan tetapi, sangat disesalkan, sekalipun kerasnya pernyataan beliau dan sekalipun telah diberikan peringatan keras, namun kebanyakan umat Islam telah berlomba mengejar kekayaan dunia. Akan tetapi, setiap Ahmadi—sambil mengingat Janji Baiat—harus memperhatikan kepada janjinya bahwa akan mendahulukan kepentingan agama daripada urusan duniawi. Kita sekarang menyaksikan bagaimana Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dalam mengikuti langkah-langkah Hadhrat Rasulullah saw. telah memberi nasihat-nasihat kepada para Sahabat beliau.


TUAN Doktor Basharat Ahmad telah menulis dalam bukunya bahwa Tuan Sayyid Ghulam Hussain r.a., seorang pemuda berumur 15-16 tahun, ketika berada di Qadian sangat mengharap tugas apa pun untuk berkhidmat kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s., dan dengan gembira beliau akan melaksanakannya. Akhirnya, ketika beliau sedang melihat-lihat sebuah buku, Hadhrat Masih Mau’ud a.s.—sambil melirik kepadanya—bersabda, “Ini adalah sebuah tagihan untuk mengambil parsel dari Battala.” Dan untuk biaya perjalanan dan pengambilan parsel itu diberikan kepada beliau lima rupis. Maka, Sayyid Ghulam Hussain pergi jalan kaki ke Batala—karena tidak ada alat angkutan pada waktu itu.

Sampai di Batala, bingkisan pun telah dikeluarkan dan sebelumnya sudah dibayar penuh. Tidak perlu membayar apa-apa lagi. Dalam perjalanan kembali ke Qadian, pengemudi delman meminta upah sangat banyak. Maka, beliau minta supaya paket itu dibawa naik delman sedangkan beliau sendiri jalan kaki dari belakang hingga sampai ke Qadian. Sesampainya di Qadian, keranjang parsel pun diambil dari delman sambil memberi upah empat anna (seperempat rupis atau 25 sen), lalu berjalan menuju Mesjid Mubarak. Dari situ dikabarkan kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bahwa bingkisan sudah sampai.

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. segera keluar sambil tersenyum, bersabda kepada Sayyid Ghulam Husein, “Anda sudah datang?”

Keranjang parsel diserahkan kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s., kemudian dibuka bagian atas paket itu dengan menggunakan sebilah pisau. Ketika dilihat, ternyata keranjang bingkisan itu berisi anggur jenis yang sangat baik.

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. mengambil anggur itu dengan kedua belah tangan beliau lalu diberikan kepada Sayyid Ghulam sambil bersabda, “Ini sebagian untuk Anda!”
Maka, Sayyid Ghulam segera menyimpannya ke dalam kantung kurtah (baju panjang) beliau dan sisa uang 4,75 rupis dikembalikan kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. sambil berkata, “Hudhur, ini sisa uang 4,75 rupis. Hanya empat anna yang dibelanjakan.”

Namun Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dengan kasih sayang bersabda, “Kita tidak mengambil perhitungan dengan seorang sahabat.” Hadhrat Masih Mau’ud a.s. tidak mau mengambil uang kembalian itu dari beliau. Lalu, Sayyid Ghulam Husein menyimpan uang itu kembali ke dalam saku baju beliau. Pada waktu itu, mata uang rupi cukup tinggi nilainya.

Dari kisah ini pula dapat dipahami bahwa Allah swt. sangat pemurah terhadap hamba-Nya yang bertakwa dan tawakal kepada-Nya, memberi rezeki terhadap hamba-Nya tanpa diduga.


TERDAPAT kisah Hadhrat Hakim Abdurrahman r.a. dari Gujranwala yang diriwayatkan oleh putera beliau Abdul Qadir—katanya, “Ayah saya sering bercerita. Katanya, ‘Pada suatu waktu, saya pergi ke Qadian, setelah tinggal beberapa hari, saya minta izin kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. untuk pulang kampung.

‘Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda, “Jangan dulu pulang. Tinggallah beberapa hari lagi.”

‘Setelah beberapa hari kemudian, saya menghadap lagi memohon izin untuk pulang. Namun, Hadhrat Masih Mau’ud a.s. memberi jawaban yang sama, “Tinggallah beberapa hari lagi.”

‘Dua-tiga kali selalu beliau memberi jawaban yang sama. Sehingga, waktu berlalu sampai tiga bulan. Lalu, saya memohon izin lagi, “Hudhur, sekarang izinkanlah saya pulang!”

‘Akhirnya, beliau menjawab, “Baiklah, sekarang boleh pulang.”

‘Pada waktu itu, saya memohon buku Izâlah-i-Auhâm kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Lalu, Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. menulis sebuah nota untuk mengambil buku itu dari tempat gudang buku.

‘Tetapi, Mir Sahib—penjaga gudang—kurang senang ketika menerima nota itu. Dan berkata, “Banyak orang-orang datang meminta buku gratis. Padahal tidak ada uang untuk mencetak. Dan sekarang beberapa buah buku sedang menunggu biaya untuk dicetak.”
‘Saya berkata kepada penjaga gudang itu, “Kalau begitu, kembalikanlah nota itu kepada saya.”

‘Lalu, dikembalikannya kepada saya, dan saya pun pergi kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. untuk pamit pulang.

‘Hudhur a.s. bertanya kepada saya, “Apakah buku itu sudah dapat?”

‘Saya jawab, “Hudhur, penjaga gudang itu berkata …{begini-begitu}….”

‘Mendengar jawaban itu, Hadhrat Masih Mau’ud a.s., tanpa beralas kaki, segera pergi bersama saya, dan bersabda kepada Mir Sahib, “Mengapa Anda bersusah hati? Siapa yang mendapat tugas, ia harus melaksanakan tugasnya itu. Setelah menerima nota dari saya yang kemudian seharusnya Anda segera memberi buku itu kepada orang ini, mengapa Anda menjadi khawatir? Tidak lama lagi, akan banyak manusia datang ke sini dan kita akan membagi-bagikan khazanah kepada mereka.”

‘Setelah mendengar nasihat Hadhrat Masih Mau’ud a.s., Mir Sahib memberi buku itu kepada saya dan saya pun pergi pulang.’”


SEKARANG, banyak orang-orang yang mempunyai kecintaan terhadap Islam mengorbankan harta mereka untuk menyebarluaskan amanat Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Kepada mereka pun, Allah swt. memperlihatkan pertolongan-Nya yang khas. Saya sudah biasa menceritakan pengalaman-pengalaman para Ahmadi lama. Sekarang, saya ingin menceritakan pengalaman orang-orang Ahmadi yang baru baiat masuk ke dalam Jemaat.

Seorang Ahmadi baru dari negara Pantai Gading, bernama Yaqub Ali, telah diberi penjelasan oleh mualim lokal tentang peraturan membayar Candah dan pengorbanan lainnya dalam Jemaat. Di awal bulan, beliau datang sendiri untuk membayar Candah Aam, Candah Tahrik Jadid, dan Candah Waqfi Jadid, yang kira-kira jumlahnya 50 pound. Untuk diri beliau, jumlah uang ini cukup besar.

Ketika sang mualim Jemaat hendak membuatkan tanda terima pembayaran itu, tiba-tiba Yaqub Ali menerima panggilan telepon dari temannya. Katanya, “Utang yang pernah saya ambil dari Anda, ambillah besok dari saya.”

Setelah menerima panggilan telepon itu, Yaqub Ali berkata, “Sudah lama saya beri uang kepada orang itu sebagai utang, dan saya sedikitpun tidak punya harapan untuk mendapatkannya kembali dari padanya. Dan sekarang ini, telah terjadi semata-mata karena saya membayar Candah ini.”

Bukan hanya itu, beberapa hari kemudian, setelah membayar candah, beliau menerima sepucuk surat dari pemerintah yang menjelaskan bahwa beliau bukan hanya dinaikkan pangkat namun gaji beliau pun dinaikkan 50 persen.

Maka, ketika menerima gaji pertama, setelah kenaikan itu, beliau pun segera membayar candah dua kali lipat besarnya. Beliau bukan hanya membayar candah-candah wajib saja, bahkan untuk perbaikan dan perlengkapan mesjid pun, beliau selalu memberikan sumbangan. Hal itu merupakan hujan cinta kasih dan karunia Allah swt. disebabkan pengorbanan yang beliau serahkan kepada Jemaat.

Perhatikanlah. Allah swt. bukan hanya memperlihatkan firman-Nya “[Wa yarzuqhu min ĥaitsu lâ yaĥtasib]—Dan Dia memberi rezeki kepadanya di luar perkiraannya”; bahkan, Dia sungguh-sungguh telah menyempurnakan janji-Nya: “[Fayudhô`ifahu lahû adh’âfaŋ-katsîrôn]—Dia melipatgandakannya berkali lipat ganda banyaknya.”


AMIR Jemaat Ahmadiyah Benin, ketika sedang memberitahukan pentingnya serta berkat-berkat pengorbanan Tahrik Jadid di sebuah kampung jemaat lokal Yapinggo, seorang perempuan non Ahmadi bernama Halim menyerahkan Candah Tahrik Jadid sejumlah lima ratus pound. Setahun kemudian, dia menghubungi Jemaat lagi untuk membayar Candah Tahrik Jadid itu. Tahun yang lalu, dia membayar empat kali lipat.

Waktu itu, ia mengatakan bahwa “Disebabkan pembayaran tahun lalu, perniagaan saya mendapat kemajuan luar biasa, sungguh di luar perkiraan saya, sedikitpun saya tidak membayangkan akan mendapat keuntungan yang luar biasa banyaknya. Maka dari itu, saya sekarang membayar lebih banyak lagi, dan saya sekarang ingin masuk dan menjadi anggota Jemaat ini.”

Umumnya, kita tidak menerima candah dari Non Ahmadi. Akan tetapi di Afrika, hal seperti itu sudah biasa terjadi demi menjalin hubungan lebih erat lagi dengan Jemaat. Dan mereka pun mendesak agar sumbangan atau pengorbanan mereka bisa diterima. Sebab, mereka betul-betul ingin memberi dan mereka yakin bahwa Jemaat Ahmadiyah membelanjakan uang ini dengan cara yang betul.

Ketika saya bertugas di Ghana, orang-orang kampung non Jemaat membawa uang zakat kepada Jemaat. Mereka bertanya dan kita pun memberi jawaban kepada mereka tentang zakat tersebut. Mereka berkata, “Jemaat Ahmadiyah menggunakan uang zakat dengan cara yang betul. Namun, jika kami berikan kepada maulwi kami, mereka akan masukkan uang itu ke dalam kantung mereka dan memakannya sendiri.”

Bagaimana Allah swt. telah menganugerahkan banyak karunia kepada perempuan yang baik dan mukhlis tersebut. Bukan hanya Allah swt. menganugerahkan kelapangan rezeki kepadanya, bahkan Dia telah memberi taufik kepadanya untuk mendapatkan hidangan rohani hakiki yang telah dibawa oleh Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada zaman ini.


HADHRAT Yaqub Ali Irfani r.a. meriwayatkan—katanya, “Hafiz Nur Ahmad adalah saudagar dari Ludhiana. Beliau adalah salah seorang murid Hadhrat Masih Mau’ud a.s. yang sangat mukhlis. [Sekali waktu], beliau mendapat banyak kerugian di dalam perniagaannya. Bahkan, perniagaan beliau sudah hampir bangkrut. Beliau ingin pergi ke tempat yang berbeda untuk menjalankan bentuk bisnis lain lagi supaya keadaan ekonomi beliau membaik.

“Di masa kehidupan Hadhrat Masih Mau’ud a.s., Tuan Hafiz sering berkirim surat kepada beliau a.s.. Dan Tuan Hafiz banyak berkorban harta terhadap Jemaat melebihi taufik dan kekuatan beliau sendiri. Dan beliau tinggal di Qadian. Beliau mengenang bagaimana pemurahnya Hadhrat Masih Mau’ud a.s. dalam segi keuangan. Saya katakan bahwa beliau tidak tahu memberi sedikit, [melainkan] selalu memberi banyak.

“Tuan Hafiz menceritakan pengalamannya sendiri. Katanya, ‘Ketika saya telah berkehendak untuk bepergian ke luar daerah, saya memohon beberapa rupis dari Hadhrat Masih Mau’ud a.s.. Dari dalam rumah, Hudhur a.s. membawa sebuah kotak berisi penuh dengan uang dan meletakkannya di hadapan saya.

‘Beliau bersabda kepada saya, “Berapapun Anda perlu, ambillah uang ini!”

‘Hudhur nampak sangat senang sekali. Lalu, saya mengambil sesuai keperluan saya, sedangkan Hudhur selalu mendesak saya untuk mengambil semuanya sebagaimana firman Allah swt. bahwa Dia memberi tanpa perhitungan.’”


TUHAN kadang-kadang mengambil juga perhitungan dari hamba-Nya. Dan di dunia ini pula, Dia mengambil perhitungan dari hamba-Nya. Sehubungan dengan itu telah banyak terjadi peristiwa. Hadhrat Ghulam Rasul Rajiki r.a. meriwayatkan—katanya, “Setelah membacakan khotbah nikah putera Tuan Mia Bira Bakhs—seorang Sahabat Hadhrat Masih Mau’ud a.s., saya pergi bersama rombongan barât (rombongan keluarga pengantin lelaki ke rumah pengantin perempuan—Penerj.).

“Setelah kembali dari sana, baru saya tahu bahwa selain dari lelaki yang baru nikah itu, semua anak lelaki Tuan Mia Bira Bakhs menjadi tuli dan bisu. Saya pikir musibah ini tidak mungkin terjadi tanpa sebab. Sungguh menakutkan.

“Maka saya tanya kepada Mia Bira Bakhs, mengapa telah terjadi demikian. Mia Bakhs menjelaskan—katanya, ‘Adik ipar perempuan saya mempunyai seorang anak bisu dan tuli. Maka, sambil mencemooh, saya berkata kepada adik ipar itu, “Jika melahirkan anak, mestinya anak yang pandai bicara dan bisa mendengar juga. Kamu ini telah melahirkan anak yang tuli dan bisu lagi.”

‘Adi ipar itu sangat tersinggung atas perkataan saya itu. Ketika perbincangan sudah kian keras, adik ipar itu berkata kepada saya, “Takutlah kepada Tuhan! Jangan-jangan engkau juga mendapat musibah seperti ini!”

‘Saya pun tidak berhenti bercakap, “Lihatlah anak-anak saya! Betul-betul sehat walafiat!”

‘Namun, apa yang terjadi? Anak-anak[ku] yang lahir, kemudian telah menjadi sarana kemarahan Tuhan. Keadaan mereka betul-betul tuli dan bisu. Atas musibah ini, saya banyak beristighfar dan saya sangat menyesal sekali atas perbuatan seperti ini. Dan saya berkali-kali memohon [bantuan] doa kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. [agar] Allah swt. mau mengabulkan permohonan doa saya sehingga anak bungsu yang baru nikah ini dalam keadaan sehat tidak cacat.’”

Jadi, dalam perbuatan senda gurau yang dianggap main-main, namun bagi pihak kedua menjadi sebab kemarahan dan sakit hati, sehingga menggoyang Arasy Ilahi. Dan di dunia ini pula, perhitungan Tuhan kepada seseorang mulai berjalan. Semoga, Allah swt. mengasihaninya, dan semoga Dia menanamkan takwa hakiki di dalam kalbu-nya.


SATU peristiwa lagi diceritakan oleh Tuan Maulana Ghulam Rajiki r.a., yang terjadi pada tahun 1929. Katanya, “Di daerah pemilihan kami—untuk [pemilihan] Anggota Punjab Legislative Council (DPRD Punjab) ada dua orang calon. Satu orang bernama Tuan Chauhdri Riasat Ali dan seorang lagi Tuan Bhaksha Bhatti.

“Kedua calon ini memohon bantuan kepada para Anggota Jemaat di daerah tersebut supaya memilih mereka. Akan tetapi, Tuan Mia Safdar r.a. berkata kepada mereka, ‘Selama kami belum menerima keputusan dari Hudhur (Hadhrat Khalifatul Masih II) atba. «kepada siapa kami harus memilih», kami tidak bisa berjanji kepada siapa pun untuk memberi suara. Dikatakan, bahwa Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. pergi ke sebuah mesjid jami’ pada sebuah kampong. Dan di sana, selain orang-orang Ahmadi, banyak pula non Ahmadi yang hadir.

“Di situ, Hudhur r.a. memberi saran agar [kami] memberi suara kepada Tuan Chauhdri Riasat Ali. Setelah mendengar keputusan itu, selain orang-orang Ahmadi, semua orang-orang non Ahmadi yang hadir di sana menentang Tuan Chauhdri Riasat Ali. Dan mereka semua [tidak hanya] menentang, bahkan mereka langsung menyerang orang-orang Ahmadi. Kami dengan sabar dan tabah menghadapi serangan orang-orang non Ahmadi itu.”
Pada waktu itu, seorang pembesar kampung bernama Khatam Ali melakukan serangan kelewat batas sambil memaki dengan kata-kata sangat kotor terhadap Jemaat dan terhadap Maulwi Ghulam Rajiki, terhadap Hadhrat Khalifatul Masih II r.a., dan kepada Hadhrat Masih Mau’ud a.s. juga.

Ketika penghinaannya itu sudah melampaui batas, maka Tuan Maulwi Ghulam Rajiki memperingatkan Tuan Khatam Ali di hadapan orang-orang ramai dengan kata-kata, “Hai, Khatam Ali! Perbuatan engkau ini tidak baik! Allah swt. tidak memberi umur panjang terhadap orang seperti engkau. Ingatlah, jika tidak bertobat, engkau akan cepat ditangkap oleh Allah swt.!”

Setelah Tuan Maulwi Ghulam Rajiki mengancam Khatam Ali dan [kemudian] memberi nasihat kepada warga Ahmadi bahwa harus membaca doa “Allôhumma inna naj’aluka fî nuhurihim wa na’ûdzubika miŋ-syurûrihim”, beliau kembali ke Qadian.

Setelah beliau pergi, Khatam Ali tiba-tiba jatuh sakit dan segera diusahakan berobat dan dirawat di rumah sakit besar. Namun, setelah ia menderita sakit selama empat bulan, akhirnya meninggal.


TUAN Hadhrat Maulwi Ghulam Rajiki r.a. menceritakan lagi sebuah peristiwa di kampung Kasur, Distrik Sialkot. Di sana, tinggal seorang hakim (tabib pengobatan ala Yunani—Ed.) dari kalangan Ahmadi. Di kampung itu [pula], ada tinggal seorang mullah yang sangat teguh pendiriannya bahwa Nabi Isa a.s. masih hidup di langit hingga sekarang. [Suatu] ketika, ayat (QS [Âli ‘Imrôn] 3:56) berikut ini dikemukakan kepadanya:

إذ قال الله يٰعيسٰىۤ إنّي متوفّيك ورافعك إليّ ومطهّرك من الّذين كفروا وجاعل الّذين اتّبعوك فوق الّذين كفروۤا إلى يوم القيٰمة ، ثمّ إلىّ مرجعكم فأحكم بينكم فيما كنتم فيه تختلفون .

“[Idz qôla`l-Lôhu yâ ‘Îsâ innî mutawaffîka wa rôfi’uka ilayya wa muthohhiruka mina `l-ladzîna kafarû wajâ’ilu `l-ladzîna `t-taba’ûka fauqo `l-ladzîna kafarû ilâ yaumi `l-qiyâmah, tsumma ilayya marji’ukum fa`aĥkumu bainakum fîmâ kuntum fîhi takhtalifûn(a)]”—artinya, “Ingatlah ketika Allah berfirman, ‘Hai Isa, sesungguhnya Aku akan mematikan engkau secara wajar dan akan meninggikan derajat engkau di sisi-Ku dan akan membersihkan engkau dari tuduhan orang-orang yang ingkar dan akan menjadikan orang-orang yang mengikut engkau di atas orang-orang yang ingkar hingga Hari Kiamat; kemudian, kepada Aku-lah kamu kembali, lalu Aku akan menghakimi di antara kamu tentang apa yang kamu perselisihkan.’”

Di dalam ayat ini, ada susunan kalimat sebagai berikut: “Innî mutawaffika wa rôfi’uka.” Mullah itu dengan emosi sekali menukar susunan ayat tersebut menjadi demikian, yaitu: “Wajâ’ilul ladzîna `t-tabâ’uka fauqo `l-ladzîna kafarû illâ yaumi `l-qiyâmah”; dan dilanjutkan dengan: “Innî mutawaffika wa rôfi’uka ilayya wa muthohhiruka mina `l-ladzîna kafarû. Dia tukar balikkan susunan ayat itu tanpa merasa takut sedikitpun kepada Allah swt..

Lalu, dalam tempo beberapa lama, dia mengulang-ulang membaca ayat yang sudah dia ubah itu. Dan dalam emosi keras seperti itu, dia mulai musyawarah dengan beberapa orang ulama untuk mengubah susunan ayat tersebut. Para ulama mengatakan bahwa susunan ayat ini memang demikian; apabila susunannya ditukar, yang di muka disimpan di belakang; sebaliknya, yang di belakang disimpan di muka; tentu, orang-orang akan ribut dan dengan keras mengajukan keberatan. Maulwi itu berkata, “Apa pun yang akan terjadi, akan saya kerjakan sendiri.”

Setelah mengumpulkan banyak uang ia pergi ke beberapa buah percetakan di kota Amritsar meminta untuk mencetak perubahan ayat itu. Namun, semua percetakan menolak permintannya itu, karena mereka takut akibatnya. Lalu, ia pergi ke percetakan orang Sikh dengan [janji] memberi imbalan yang cukup banyak untuk mencetak perobahan ayat itu. Namun, orang Sikh itu pun tidak berani dan menolaknya sebab ia takut kepada orang-orang Islam jika berbuat demikian.

Benak Maulwi itu sudah dirasuk penyakit gila, sehingga akhirnya ia membeli sebuah alat pencetak untuk mencetak sendiri pengubahan ayat Alquran itu di kampungnya. Namun, setelah sampai kembali ke rumah, ia mendapat musibah yang aneh dan dahsyat sekali. Tiba-tiba Maulwi dan segenap anggota keluarganya terserang wabah pes. Sehingga hanya dalam tempo semalam, semua meninggal. Jadi, orang-orang begitu kerasnya menentang Hadhrat Masih Mau’ud a.s., sehingga orang yang menamakan diri ‘alim ini, namun kosong dari takwa, telah berusaha keras untuk mengubah ayat-ayat suci Alquran. Namun, akhirnya, perhatikanlah, bagaimana Allah swt. telah mengambil perhitungan yang sangat menakjubkan dan cepat sekali.

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. bersabda, “Jika manusia sedikit saja ingat kepada keagungan Allah swt. dan yakin akan menghadapi kematian, maka semua kemalasan dan kelalaian akan sirna. Oleh sebab itu, keagungan Allah swt. harus selalu tertanam di dalam hati dan harus selalu takut kepada-Nya. Cengkeraman tangan Tuhan sangat berbahaya dan menakutkan sekali. Sekalipun Dia pun acapkali menutupi kelemahan hamba-Nya dan memaafkannya, akan tetapi, apabila ia telah menangkap seseorang, Dia tidak akan melepaskannya lagi. Sehingga, firman-Nya menjadi ‘ و لا يخاف عقباها [wa lâ yakhôfu ‘uqbâhâ]’—artinya, ‘Dan, Dia (Tuhan) tidak memperdulikan apa yang akan terjadi akibat-akibatnya.’ Sebaliknya, orang-orang yang takut kepada Allah swt. dan hati yang penuh dengan pujian keagungan-Nya, maka Allah swt. menaruh hormat kepadanya. Dan otomatis, Dia menjadi perisai untuk melindunginya.

Semoga, Allah swt. menaruh welas kasih kepada kita-semua. Dan semoga, Dia senantiasa melindungi kita dari murka-Nya dan dari hukuman-Nya walau sedikit. Dan semoga, Dia menurunkan nikmat-nikmat-Nya kepada kita. Dan semoga, Dia selalu memperlihatkan karunia-karunia-Nya di luar perkiraan kita. Semoga, rasa takut (baca: “cinta”) kepada-Nya selalu ditanamkan di dalam kalbu kita sedalam-dalamnya. Semoga, Dia menjadi Pelindung kita setiap saat sesuai dengan janji-janji-Nya. Amin.

Insya Allah, saya akan pergi menempuh suatu perjalanan jauh. Beberapa Jumat mendatang, insya Allah, di [Mesjid] Baitul Futuh ini akan disaksikan khotbah jumat sebagaimana disaksikan di MTA oleh negara-negara lainnya di dunia. Doakanlah, semoga Allah swt. memberkati perjalanan ini. Âmîn.[]

--::--
Alihbahasa dari audio Bahasa Urdu oleh Maulana Hasan Basri Sy.—Singapura, 31 Maret 2010; editor: Rahmat Ali ‘Daeng Mattiro’—Kebayoran, 9 April 2010
--::--
Arsip-arsip Khotbah Jumat Hudhur atba. dalam Bahasa Inggris dan Urdu bisa kamu kunjungi di website: HTTP://ALISLAM.ORG
dan HTTP://ALFAZL.ORG
--::--
Kamu sudah pernah kirim surat Permohonan Doa ke Hudhur atba. melalui email? Kalau belum, [“gampang!”], Sign Up dan Log In ‘aja ke: HTTP://ELETTER.ALISLAM.ORG
--::--