Takdir Sang Kupu-kupu (was RE: [ahmadina] Kupu-kupu patah sayap)

Duhai, dirimu berbicara hal-ihwal kupu-kupu. Takdir sang kupu-kupu, betapa dia hrs banyak menghisap madu dari bunga-bunga yang menawarkan sari. Dia hrs rajin terbang ke sana-sini, dari pagi hari hingga petang datang. Jika ada hujan badai menerpa ia harus lekas-lekas berlindung di bawah gelayutan dahan maupun daun, di bawah rerumputan yang tegak menantang, di bawah kokohnya bangunan alam. Kupu-kupu hrs pandai membawa diri, banyak-banyak hilir-mudik makan makanan sari, agar nanti ia bakal menelurkan atau membuahi banyak telur di kemudian hari. Kelak telur-telur akan menetas, menjadi ulat-ulat yang menggeliat di dahan-dahan dan dedaunan, yang akan banyak memakan gizi-gizi baik dari zat hijau tetumbuhan, lalu menjadi gemuk dan bertapa untuk berkepompong, hingga mengubah diri, melahirkan kehidupan baru yang sama seperti kupu-kupu muda tadi. Kepak sayap tak 'kan lelah dirasa. Karena percuma saja, bila tak bergerak dan tidak terbang ke berbagai penjuru bunga, bakal mati-mati juga. Kupu-kupu muda: Hidup-mati untuk siapa? []

 

From: ahm+++@yahoogroups.com [mailto:ahm+++@yahoogroups.com] On Behalf Of lika vulki
Sent: Rabu, 17 Maret 2010 21:35
To: ahm+++@yahoogroups.com
Subject: [ahm+++] Kupu-kupu patah sayap

 

 

Kupu-kupu yang lucu

Ke mana engkau terbang

Hilir mudik mencari

Bunga-bunga yang kembang

Berayun-ayun pada tangkai yang lemah

Tidakkah sayapmu merasa lelah?

Seekor kupu-kupu terkapar lemah di salah satu sudut masjid Al-Furqon, hampir mati. Sesekali terlihat, dalam satu tarikan napas ia mencoba menggerakkan sepasang sayap pelanginya, mencoba bangkit dan terbang walau tertatih. Ia masih ingin belajar menari pada angin, terbang bebas dalam warna-warni alam, bermandi hangatnya mentari pagi, mengecup manisnya harum madu aneka bunga, masih begitu banyak yang ingin ia lakukan. Namun apa daya, sekuat apa pun ia mencoba, sayapnya terasa kaku.

Dalam lelah, ia menangis dalam hati, terkenang akan kehangatan rumah pintalannya yang jauh di atas pohon. Tempat dimana dulu ia biasa terlelap diiringi buaian semilir angin. Lembut dan hangat layaknya pelukan seorang ibu yang melindungi dari dinginnya dunia. Saat dimana ia hanya bisa mendengar riuh cengkrama teman-temannya yang lebih dulu melihat dunia, tentang betapa "luar biasa"nya kehidupan di luar sana. Menari bersama angin, berkejaran di sela bunga-bunga, berlindung dari alam yang tak bersahabat. Sungguhpun ia begitu penasaran ingin menyahut dan bertanya, saat itu ia hanya seekor ulat yang sedang berproses. Dari dalam rumah hangatnya, ia mulai memupuk mimpi, ingin seperti teman-temannya yang tangguh. Dan berdo'a semoga waktu itu segera datang… "Suatu saat aku pun bisa seperti kalian…"

Hingga waktu mengantarnya menjemput takdir yang ditunggunya. Dengan segenap tenaga, ia, si kupu-kupu muda berhasil keluar dari rumahnya yang terasa semakin sempit. Silau, namun ia paksakan mendongak. Takjub ia memandang dunia baru. Luas, sangat luas! Tidak sempit seperti rumah rajutannya. Ia bersyukur diberikan sepasang sayap yang indah. Perlahan namun pasti, dengan luapan bahagia yang tak tertahankan, ia mencoba berdiri, mengepakkan sayap, dan terbang. Sekali dua kali, ia terjatuh. Kupu-kupu merasa sedih. Namun seketika itu ia teringat akan mimpinya. Dengan mantap ia menarik napas, mencoba mengepak lagi, dan dalam tiga hitungan, ia merasakan tubuhnya tidak lagi menjejak bumi. Terbang! Ia terbang! Ia terbang ke sana ke mari sambil tak henti bertasbih sebagai ungkapan rasa gembiranya. Dari satu bunga ke bunga lainnya, mengikuti irama angin, bercengkrama mesra dengan teman-temannya. Sungguh itu saat paling membahagiakan dalam hidupnya. Namun itu tak
berlangsung lama. Sampai ia sadari bahwa ada sesuatu yang lain dengan tubuhnya.

Sayapnya tiba-tiba terasa berat dan kaku, seolah tak mampu menahan beban tubuhnya. Seketika itu ia terhempas jatuh ke bumi. Jatuh di sisi trotoar tempat manusia lalu lalang melintas. Sakit sekujur tubuhnya. Terengah-engah ia mencoba mengumpulkan tenaga untuk bangkit, namun nihil. Ia hanya bisa menggerakkan sebelah sayapnya yang tidak bersentuhan langsung dengan bumi. Di tengah keputusasaannya ia merasakan sentuhan hangat tangan manusia, menggotongnya ke salah satu sudut masjid megah ini. Mencoba membantunya berdiri berkali-kali, namun berkali-kali pula kupu-kupu muda itu terjatuh oleng, tak kuat menahan hembusan angin.

Manusia itu pergi, tanpa ia (kupu-kupu) sempat mengucapkan terima kasih atas budi baiknya. Sepeninggal manusia baik hati itu, dengan perasaan galau ia masih terus mencoba bangkit untuk terbang lagi. Teman-teman pasti mencari, pikirnya. Namun tak bisa, sayapnya dingin dan kaku. Dalam tangisnya, sempat ia berpikir, andai manusia tadi tak memungutnya, mungkin kini ia telah mati terinjak-injak orang yang berlalu lalang. Mungkin itu lebih baik daripada harus menderita lama seperti ini.

Kupu-kupu muda tak tahu harus berbuat apa. Akan mencoba bangun atau menyerah lalu mati saja, disapu oleh petugas kebersihan masjid besok pagi, lalu ikut terkubur bersama mimpi-mimpinya dalam tumpukan sampah dan debu. Ia tidak lupa akan tekad mewujudkan mimpi-mimpinya, namun pikirnya, bila ia bertahan hidup pun, tentu ia akan menyusahkan teman-temannya, karena ia sadari penuh bahwa ia "berbeda" dengan yang lainnya. Ia tak berani berandai-andai, sampai kapan teman-temannya akan setia…

Dalam kesendiriannya, kupu-kupu muda kembali menangis dalam hati. Bukan menangisi takdir, tapi menangisi kepengecutannya yang mendahului takdir. Menangisi kerapuhannya…

[zindegì]