Usaha Politisasi Ahmadiyah oleh Sepakterjang Ahrar dan Jama'at-i-Islami


(Sebenarnya saya bingung mau pake judul apa gitu untuk postingan kali ini!) — Jakarta, 4 Mei 2009.

Ada suatu organisasi yang didirikam kaum terplajar dan para alim Islam Hindustan nasionalis di India yang dikenal dengan nama "
Majlis-i-Ahrar". Sebelum India memisahkan diri dari Pakistan, golongan ini telah mengadakan konspirasi dengan dengan orang Hindu dalam Partai Kongress India. Di waktu pemimpin-pemimpin Islam di bawah pimpinan 'Sang Qaid-i-Azham' [Muhammad] Ali Jinnah sedang berjuang mati-matian berhadapan dengan Partai Kongres India, guna mendirikan negara Pakistan, maka partai Ahrar ini telah memihak Kongres India. Mereka menentang berdirinya negara Pakistan habis-habisan. Pada tahun 1946 diadakan pemilihan untuk memisahkan dan menentukan antara golongan Islam dan golongan Hindu. Kala itulah Partai Ahrar yang dipimpin oleh Ataullah Syah Bukhari menyerang Ali Jinnah dan kawan-kawannya dengan berpihak kepada Partai Kongress India.

Tatkala terjadi suatu bentrokan antara orang-orang Islam dan golongan Sikh mengenai masalah "Mesjid Syahid Gani", yang terkenal itu, maka Partai Ahrar telah memihak kaum Sikh sehingga Mesjid di kota Lahore itu dikuasai oleh kaum Sikh dan dijadikan kuil oleh mereka. Peristiwa mesjid itu bukan terkenal karena berpindah tangan saja, tetapi telah menimbulkan pertumpahan darah sehingga tidak bisa terlupakan. Orang-orang Islam minus Partai Ahrar, melalui pengorbanan besar dapat memperoleh kembali tempat suci mereka. Itulah sebabnya, Redaktur kenamaan Harian Zamnidar, Maulana Dzafar Ali Khan menamakan kaum Ahrar sebagai "pengkhianat Punjab dan kaum Muslimin".

Waktu Gubernur Punjab, berkebangsaan Inggris Sir Hurbert Imerson menentang Jemaat Islam Ahmadiyah. Secara menyolok pula, orang-orang Ahrar ini membela dan mendukung gubernur berkebangsaan Inggris itu. Orang-orang Ahrar ini juga dikenal sebagai pendukung Harry Singh, Maharaja Kashmir yang menindas orang-orang Islam Kashmir yang berada di bawah pemerintahannya. Sekiranya tidak karena kesadaran pemimpin-pemimpin umat Islam India waktu itu membentuk "All India Cashmere Committee" yang diketuai oleh Alhajj Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad (Khalifatul Masih II Jemaat Islam Ahmadiyah Internasional) yang membela umat Islam Kashmir yang terniaya itu, niscaya, mereka akan mengalami nasib terburuk dalam sejarah penindasan. Imam Jemaat Islam Ahmadiyah inilah yang dipilih sebagai ketua Panitia penolong umat Islam Kashmir dengan Dr. Muhammad Iqbal (pujangga Pakistan) sebagai Wakil Ketuanya.


Riwayat pengkhianatan kaum Ahrar ini telah digambarkan pula antara lain oleh penulis Mesir terkenal, Sayyidah Aminah Assa'id yang datang berkunjung ke Pakistan mengadakan peninjauan tahun 1953. Sayyidah ini kemudian membongkar dan mempublikasikan keburukan rahasia kaum Ahrar itu dalam majalah kenamaan Mesir "Almusshawar" pada penerbitannya tanggal 10 Maret 1953.


Setelah berdirinya negara Pakistan, sebuah golongan lain yang yang berjalanan secara paralel dengan golongan Ahrar adalah Jamaat-i-Islami yang dipimpin oleh Abu 'Ala Almaududi, yang dikenal dengan Maulana Maududi, seorang fanatik dan pemuja Filsafat
Nitzsche (!). Golongan ini bukan saja ekstrim di bidang politik tetapi juga dalam pemahaman agama. Seperti halnya dengan Ahrar golongan Maududi ini juga sebelumnya menentang berdirinya Pakistan dan telah menuding dan mencap Ali Jinnah dan kawan-kawannya dengan julukan sebagai pembangun "Kafiristan" (negara orang kafir), pengganti nama Pakistan (negara suci). Karena usaha Kongres Nasional India yang memperalat pemimpin ulama itu gagal, maka negara Pakistan pun berdiri pada tahun 1947, dan kemudian secara diam-diam ulama ini pun menyeberang juga kepada negara baru yang memisahklan diri dari India itu.

Setelah Ali Jinnah wafat mereka pun muncul ke permukaan dan mulai aktif dan ikut ambil bagian dalam kancah politik dengan berselimutkan agama. Golongan ini kemudian melansir ide ekstrimnya dengan paham dan cita-cita untuk mewujudkan pemerintahan Ilahiyah berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits, kalau perlu dengan melaksnakan kekerasan sekalipun. Mereka mencoba hendak menipu orang-orang Islam, dengan tujuan mereka yang menghalakan segala cara. Menurut pengamatan para peninjau gerak langkah Maulana Maududi ini cenderung menyerupai dan lebih banyak meniru cara kaum komunis dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Dengan sikapnya yang anti pemerintah itu ia tidak pernah diberi kesempatan ikut dalam suatu pemerintahan apapun. Sikap anti pemerintah ini membuatnya di zaman pemerintahan Ayyub Khan dicekal sehingga tidak diperkenankan bepergian ke luar negeri.


Pada tahun 1953, Maulana Maududi ikut mengepalai dan mendalangi suatu gerakan yang mengadakan tuntutan yang bersifat ultimatum kepada pemerintah untuk bertindak keras di luar hukum terhadap Jemaat Islam Ahmadiyah. Karena tuntutan itu dipandang usaha untuk memperkosa hukum dan undang-undang, pemerintah waktu itu secara tegas menolak tuntutan itu. Akibat penolakan itu, Maududi dan kawan-kawannya melancarkan apa yang mereka namakan dengan "direct action" yaitu memaksakan kemauannya kepada pemerintah guna meluluskan tuntutan tersebut.


Mereka menggunakan direct action-nya itu dengan melancarkan serangan dan penganiayaan fisik terhadap ratusan ribu orang-orang Ahmadi di Propinsi Punjab. Puluhan ribu orang-orang Ahmadi mengalami cedera, ratusan diantara mereka tewas dalam penganiayan itu dan ribuan rumah dan perusahan-perusahan orang Ahmadi dirusak , dibakar dan dijarah oleh massa. Suatu kerusuhan hebat telah terjadi dimana akhirnya pemerintah terpaksa menyatakan keadaan darurat dan ratusan alim-ulama—termasuk Maududi yang menjadi hakim—ditangkapi, digiring ke pengadilan dan dihukum.[] (Nadri Saaduddin/Rahmat Ali)