[Saripati Khotbah Jumat Imam Jemaat Islam Ahmadiyah Internasional] [10 Juli 2009] Makna Rafa’ untuk Ketinggian atau Derajat Rohani

km5
[Saripati Khotbah Jumat Imam Jemaat Islam Ahmadiyah Internasional] [10 Juli 2009]
Makna Rafa’ untuk Ketinggian atau Derajat Rohani

Topik khotbah jumat yang Imam Jemaat Islam Ahmadiyah Hadhrat Sayyidina Khalifatul Masih V Mirza Masroor Ahmad atba. sampaikan pada tanggal 10 Juli 2009, mengetengahkan tentang Rafa’ atau pengangkatan sebagaimana termaktub dalam Kitab Suci Alquran (Alquran Karim) bagi para Nabi di samping kedudukan Hadhrat Nabi Isa a.s..

Hudhur atba. menguraikan apakah kata tersebut dapat digunakan dengan arti ‘naik ke Langit dengan tubuh kasar’ seperti yang—keliru—dikenakan kepada Hadhrat Isa a.s..

Alquran Surah Maryam ayat 57-58 (QS [Maryam] 19:57-58) menyatakan, “Wa`dzkur fi`l-kitâbi idrîs[a], innahû kâna shiddîqan-nabiyyâ[n]. Wa rafa’nâhu makânan ‘aliyyâ[n]—Dan ceriterakan kisah Idris di dalam Kitab. Sesungguhnya, dialah seorang Nabi yang benar. Dan Kami telah mengangkat derajatnya yang tinggi.”

Ayat-ayat ini menyebutkan lebih tingginya kedudukan yang Allah swt. anugerahkan kepada Hadhrat Idris a.s. daripada Isa a.s. yang hanya memakai kata-kata «“…Wa râfi’uka ilayya―Dan akan meninggikan derajat engkau di sisi-Ku…”» dalam QS [Âli ‘Imrân] 3:56.

Umat Islam harus memperhatikan kenyataan tersebut terutama setelah Sang Imam Zaman—i.e. Pendiri Suci Jemaat Islam Ahmadiyah—menyingkap masalah ‘naik-ke-langit-dengan-tubuh-kasarnya’ secara detil. Pendiri Jemaat Ahmadiyah menerangkan bahwa semua Nabi Tuhan diangkat atau ditinggikan kerohaniannya.

Dikatakan tentang ‘diangkatnya Hadhrat Isa a.s.’ dalam Alquran Karim adalah untuk membebaskan beliau terhadap tuduhan yang dilemparkan oleh kaum Yahudi pada zaman tersebut. Yaitu, bahwa beliau itu tidak wafat pada tiang salib, yang merupakan—na’uudzu bi`l-Laah miŋ dzaalik—satu kematian yang terkutuk dalam pandangan orang-orang Yahudi.
Untuk hal tersebut, orang-orang Kristen tidak memiliki bukti-bukti betapa pun ada banyak perubahan-perubahan yang dimasukkan dalam Kristologi. Konsep ‘tiga tuhan’ atau trinitas pun dikembangkan. Kematian pada palang salib memberi arti signifikan bagi penebusan dosa. Di sana dinyatakan bahwa Hadhrat Isa a.s. itu naik ke atas Langit dengan tubuh kasar. Nabi Isa ini akan turun kembali di kemudian hari dan siapa pun yang tidak mempercayai Trinitas akan dihukum. Inilah kepercayaan umat Kristen pada umumnya hingga kini yang mengaitkan keilahian Hadhrat Isa a.s. secara harfiah.

Umat Islam pada umumnya pun punya konsep tentang Hadhrat Isa a.s. yang naik ke Langit dengan tubuh kasarnya. Katanya, seorang Mahdi yang berlumuran darah akan kembali ke bumi guna menegakkan dunia Islam.

Jumat sebelumnya (3/7), Hudhur atba. menyinggung pandangan Presiden Iran tentang hal tersebut. Hudhur atba. mengatakan, rujukan ini diambil dari surat kabar berbahasa Urdu yang tidak akurat. Ketika dicari berdasarkan teks aselinya yang berbahasa Inggris, di sana disebutkan Hadhrat Isa a.s. kembali ke bumi untuk mengadakan reformasi. Surat kabar Bahasa Urdu telah menterjemahkan dengan tidak akurat.

Kita, umat Islam Ahmadiyah sangat beruntung sudah menerima Sang Imam Zaman. Dengan demikian, terhindar dari menjadi bagian suatu konsep revolusi berdarah yang mengerikan.
Mengutip Bibel, Hudhur atba. menerangkan bahwa selain pernyataan naiknya Jesus ke Langit dalam ‘Lukas 24:51’ «“Maka sambil Ia memberkati mereka itu, Ia bercerai daripada mereka itu, lalu terangkat naik ke surga”», Bibel pun berbicara mengenai Hadhrat Nabi Idris a.s. yang di dalamnya disebut Henoch dengan nada yang serupa «“Maka Henoch itu hidup dengan Allah, maka tiadalah ia lagi, karena diangkat Allah akan dia”» dalam ‘Kejadian 5:24’ (Alkitab, LAI, 1965).

Jika ‘diangkat ke langit’ merupakan sebuah standar ketuhanan, maka Hadhrat Idris a.s. pun memenuhi kriteria ini. Jika tidak, maka ketuhanan Hadhrat Isa a.s. pun tidak bisa dibuktikan.
Hudhur atba. bersabda, umat Islam harus mencari petunjuk dari ayat Alquran yang telah disebutkan tadi terkait Hadhrat Idris a.s.. Ayat-ayat tersebut membuktikan bahwa Isa a.s. tidak menduduki kedudukan yang superior, karena pengangkatan dari Nabi yang lain pun, dengan nada sama, ada disebutkan di dalam Alquran. Ajaran Kitab Suci Alquran itu tidak akan pernah berubah atau didistorsi. Setelah kedatangan Imam Zaman, maka tiada lagi alasan untuk kesalahan dalam penafsirannya. Tulisan orang-orang Yahudi dengan secara rinci menyebut tentang nama ‘Enoch’ ini bahwa beliau akan dikirim ke dunia untuk mengadakan reformasi; namun, jika dunia ini dipenuhi dosa, maka Tuhan akan mengangkatnya ke Langit.

Bilamana Tuhan mengangkat para Nabi-Nya, Dia akan mengangkat mereka di dunia ini. Ini memberi makna pengangkatan spiritual. Sehingga, mereka dapat mereformasi dunia. Bilamana mereka wafat, mereka pun akan diangkat dan ditinggikan di akhirat nanti.

Membaca tulisan agung Sang Pendiri Jemaat Ahmadiyah, dalam menerangkan ayat QS 19:58, “Dan Kami telah mengangkat derajatnya yang tinggi”, Hudhur atba. bersabda bahwa ada banyak kedudukan setelah mati dan Nabi Tuhan diangkat serta ditinggikan derajatnya pada puncak yang tinggi setelah kewafatannya. Di sini, diangkat itu adalah dalam arti spiritual.

Merujuk pada QS [Âli ‘Imrân] 3:56 yang menyebut pengangkatan Isa a.s., Hadhrat Masih Mau’ud a.s. mengatakan bahwa sangat disayangkan orang-orang itu tidak memperhatikan, bahwa dalam ayat yang disebutkan tadi, kata yang berarti “mati secara alamiah” itu mendahului kata “diangkat” atau “ditinggikan”. Jadi, sangat dipastikan Nabi Isa a.s. itu tidak naik ke Langit dengan tubuh kasarnya, tetapi kenaikan itu adalah setelah kewafatan beliau. Para nabi Hadhrat Adam, Idris, Ibrahim, Yusuf, dan Yahya a.s., semuanya diangkat derajat kerohaniannya ke Langit setelah kewafatan mereka. Itu sebab Hadhrat Rasulullah saw. melihat mereka dalam perjalanan spiritual mikraj beliau. Lalu, mengapa kata rafa’ ini harus diartikan berbeda untuk Hadhrat Isa a.s.?

Kata tawaffi [sebagaimana dalam ayat QS 3:56] mengkonfirmasikan mati secara alamiah dan kata ini digunakan bagi mereka. Semua mengatakan dan melakukan: mereka diangkat dan ditinggikan. Hanya demikian mereka sampai ke Langit. Hudhur atba. mengatakan ini bukan hanya jalan pemikiran intelektual saja, tetapi Hadhrat Masih Mau’ud a.s. telah menerangkannya, menggunakan persepsi dan wawasan Alquran.

Hudhur atba. mengatakan ada seseorang yang dikenal sebagai seorang ulama agama yang beliau pernah ceriterakan sebelumnya. Ia tidak mau menerima bahwa kata rafa’ memiliki makna spiritual. Ketika seorang pemuda Ahmadi menemui dan mewawancarainya, dia tetap bertahan mengatakan bahwa dia lebih terpelajar daripada ulama-ulama kita, bahwa dia juga sudah membaca buku-buku Pendiri Jemaat Ahmadiyah dan ia pun masih belum merasa yakin.

Hudhur atba. mengatakan, adalah Tuhan yang memberi petunjuk kepada orang itu. Pada zaman awal Islam pun, orang-orang sekaliber Abu Jahal dan lain-lainnya tidak dapat melihat kilauan cahaya spiritual Hadhrat Rasulullah saw. dan menjuluki Kitab Suci Alquran— na’ûdzu bi`l-Lâh miŋ dzâlik —sebuah karya penggubah syair. Itu hanya karena mereka tidak memiliki pandangan wawasan. Sungguh suatu kemalangan besar. Namun, hal itu tidak berpengaruh apa pun bagi keagungan Alquran. Sekarang, jadi tidak mengherankan, jika terhadap pencinta sejati beliau saw. juga diperlakukan hal yang sama.

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menyatakan pasti bahwa kata rafa’ hanya menunjukkan makna kenaikan spiritual. Isi QS 19:58 merujuk pada kenaikan spiritual Hadhrat Idris a.s. Walau kepercayaan umat Yahudi-lah yang mengartikan kenaikan secara fisik tubuh kasar Hadhrat Idris a.s., tapi ada pula umat Islam tertentu yang secara keliru—dikarenakan informasi yang salah dari ulama mereka—juga ikut mempercayainya. Penjelasan QS [Al A’raf] 7:26 memastikan bahwa di bumi inilah kita akan hidup dan akan mati. Singkatnya, jika pengangkatan Hadhrat Idris a.s. dianggap dengan tubuh kasar, maka mengapa turun-kembalinya ke bumi bukan menjadi bagian kepercayaannya?

Sungguh mengherankan bahwa umat Islam pada umumnya mengambil arti keliru ungkapan kata-kata Alquran “Khâtama`n-Nabbiyîn” (QS [Al-Ahzâb] 33:41) dan tidak dapat menerima jika ada seorang Nabi dapat datang dari Ummat ini. Walau sudah ada penjelasan ayat Alquran «“Wa âkharîna minhum lammâ yalĥaqû bihim—Dan, pada kaum lain di antara mereka, yang belum bertemu ikut mereka…”» (QS [Jumu’ah] 62:4) dan hadis Hadhrat Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa Imam kita ada dari antara kita, namun dalam ketidaktahuannya berpikir bahwa pendakwaan kenabian Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad Qadiani a.s.— na’ûdzu bi`l-Lâh miŋ dzâlik—merupakan sebuah penghinaan terhadap Nabi Muhammad Rasulullah saw.. Padahal, merupakan kebesaran dan keagungan Hadhrat Rasulullah saw. bahwa melalui umat beliau Allah swt. mengirimkan seorang Nabi yang tunduk kepada beliau saw.. Tak seperti halnya para nabi terdahulu yang dianugerahi Kenabian semata-mata untuk hubungan pribadi mereka dengan Tuhan, pemberian status kenabian pada diri Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pun dikarenakan pengabdian mutlaknya yang sempurna kepada Hadhrat Rasulullah saw..

Beberapa dari mereka bertahan bahwa “Tuan Mirza mengatakan, dalam kematian Isa a.s. terletak kehidupan Islam, tetapi dalam kenyataannya ia hanyalah menginginkan untuk mempertahankan pernyataannya bahwa Isa itu masih hidup.” Memang, kita sebagai umat Islam Ahmadiyah mempercayai bahwa kedudukan tertinggi itu merupakan kedudukan Hadhrat Rasulullah saw.. Jika dimungkinkan dengan hukum alam bagi seseorang yang naik ke Langit dengan tubuh kasar, maka semestinya orang itu adalah Nabi Muhammad saw.. Dalam mikraj spiritualnya, beliau melihat para Nabi terdahulu. Beliau melihat dan bertemu dengan Hadhrat Isa a.s. pada Langit kedua, dan dengan Hadhrat Idris a.s. pada Langit yang keempat, sementara beliau saw. sendiri terus melewatinya sampai pada puncak Langit tertinggi. Ketika beliau sampai di Langit keenam di sana beliau berjumpa dengan Nabi Musa a.s. dan Musa mengatakan kepada Tuhan bahwa ia tidak tahu apakah akan ada seorang Nabi yang diangkat lebih tinggi daripada beliau. Sebagaimana yang diterangkan dalam QS [Al-Baqarah] 2:254, setiap Nabi diangkat sesuai kedudukan rohaninya.

Hudhur atba. mengatakan Hadhrat Masih Mau’ud a.s. telah menguraikan dengan sangat akurat terminologi Khâtama`n-Nabbiyîn dan dalam perefleksian keagungannya yang hakiki. Jika Allah swt. akan menurunkan Nabi Isa a.s. ke dunia untuk kedua kali, maka akan terjadi penyangkalan terhadap Kenabian Isa yang pertama. Jika orang harus mempercayai bahwa Isa a.s. akan kembali ke dunia ini maka orang akan menolak makna esensi Khâtama`n-Nabbiyîn.

Hadhrat Rasulullah saw. menubuatkan kedatangan Almasih dengan kata-kata yang sangat jelas di mana tidak pernah bisa diasumsikan dari sana bahwa seorang nabi Israili yang dimaksud akan hadir ke bumi. Sungguh sangat menusuk hati untuk mengatakan bahwa Hadhrat Isa a.s. akan kembali setelah menangguhkan Kenabiannya yang terdahulu.

Hudhur atba. mengatakan bahwa sungguh sangat-sangat jelas bahwa Almasih yang akan diutus itu datangnya dari umat Islam dan ketinggian status ini dianugerahkan kepadanya oleh Allah. Status ini dianugerahkan kepadanya dikarenakan pengabdiannya yang sangat tulus dan sempurna kepada Hadhrat Nabi Muhammad Rasulullah saw. dan dengan alasan ini beliau merupakan seorang nabi dan rasul.

Hudhur atba. mengatakan ada beberapa orang Ahmadi, yang barangkali dikarenakan kurangnya ilmu, atau kurang hubungannya dengan Jama’at, atau karena sebagai pendatang baru, merasa kurang yakin akan status kenabian Hadhrat Masih Mau’ud a.s.; atau, mereka mengatakan mereka menerima beliau sebagai seorang nabi tetapi bukan seorang rasul. Ini bertentangan dengan pendakwaan Hadhrat Masih Mau’ud a.s..

Hudhur atba. mengatakan, agar setiap orang benar-benar sangat jelas, bahwa Imam Mahdi yang kedatangannya sudah dinubuatkan itu adalah dianugerahi status nabi dan rasul yang berada di bawah dan tunduk kepada Hadhrat Rasulullah saw. dan bahwa seorang nabi atau rasul adalah sama.

Hadhrat Masih Mau’ud a.s. mengatakan, seseorang yang menerima langsung wahyu Ilahi disebut Nabi dan Rasul. Beliau mengatakan bahwa di mana pun dalam Kitab-kitab Suci lama disebutkan tentang kedatangan Mahdi, ia disebut sebagai seorang Nabi.

Hudhur atba. mengatakan kedudukan rafa’ bukan disyaratkan untuk kenabian saja. Para mukmin (orang yang beriman) secara hakiki juga diangkat, ditinggikan. Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menerangkan, jika seorang mukmin sudah menganggap Tuhan merupakan paling segala-galanya terhadap semuanya, maka kemudian kepadanya akan dianugerahkan Rafa’. Dia berada pada luar jangkauan syaitan. Kepadanya dianugerahi kekuatan istimewa dan nur rohani guna mengalahkan bujukan rayu syaitan.

Seorang mukmin harus senantiasa dan secara terus-menerus berdoa kepada Allah agar kepadanya dianugerahi kekuatan sedemikian rupa untuk dapat meniadakan syaitan. Seorang mukmin jangan sampai menyerah, putus asa, karena pada akhirnya ia akan berhasil dan sukses. Mereka yang berupaya dan berusaha keras akan diberikan kesuksesan oleh Allah. Ketinggian manusia ialah berada dalam upaya meniadakan hawa nafsu syaitan pada dirinya.

Semoga Allah Maha Kuasa memberi taufik dan kemampuan kepada kita agar dapat memahami makna hakiki Rafa’. Sehingga kita tidak semata-mata menyibukkan diri dalam diskusi intelektual perkara ini. Melainkan, kita harus memperhatikan reformasi amal perbuatan kita dan meningkatkan hubungan kita dengan Allah supaya kita senantiasa termasuk di antara orang-orang yang menghancurkan hawa nafsu syaitan yang bersemayam di dalam diri.● «Penerjemah: PPSi (Meruya Selatan, 12 Juli 2009); Editor: Rahmat Ali (Kebayoran Lama, 1 Agustus 2009)»


―――――――oooOooo―――――――



SocialTwist Tell-a-Friend